• Tidak ada hasil yang ditemukan

VOC Vereenigde Oostindische Compagnie

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu menekankan pada proses-proses dan makna-makna yang tidak diukur secara ketat dari segi jumlah; intensitas; maupun frekuensi (Denzin dan Lincoln, 1994 dalam Sitorus, 1998).

Pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi sumber data (triangulasi) pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen. Informasi yang diperlukan berasal dari elemen masyarakat (termasuk LSM), negara, dan swasta. Sumber informasi ditentukan secara purposive sampling dan snowbolling. Metode etnografi digunakan untuk menghimpun informasi wawancara dan pengamatan.

Makna kualitatif penelitian ini juga dalam hal pemosisian peneliti terhadap subyek penelitian dalam relasi subyek-subyek (intersubjectivity). Fenomena sosial yang terbangun dalam konteks sosial dipertimbangkan sebagai pengetahuan yang dinamis. Metode yang dilakukan turut mengamati pembentukan, pelembagaan, dan pentradisian fenomena sosial itu (social contructionism37).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu sebagai berikut: Ruang : kawasan area pertambangan seluas 22x 1,8 km2.

Waktu : periode 2006-2009, dari momentum sosialisasi hingga AMDAL.

3.3 Tahapan Penelitian

Penelitian ini terdiri atas 3 (tiga) tahap, yaitu: 1. Tahap I

Tahap I penelitian dilangsungkan selama 3 bulan efektif (Februari – April 2010) di tingkat komunitas dan jaringan pendukungnya. Penelitian ini bertempat       

37Social constructionism adalah teori sosiologi pengetahuan yang mempertimbangkan bagaimana fenomena sosial terbentuk dalam konteks sosial. “All knowledge, including the most basic, taken- for-granted common sense knowledge of everyday reality, is derived from and maintained by social interactions. When people interact, they do so with the understanding that their respective perceptions of reality are related, and as they act upon this understanding their common knowledge of reality becomes reinforced. Since this common sense knowledge is negotiated by people, human typifications, significations and institutions come to be presented as part of an objective reality (Berger and Thomas, 1966 In. www.wikipedia.org).

 

   

di Desa Bugel dan Garongan (Kecamatan Panjatan), Desa Karangwuni (Kecamatan Wates), dan Desa Karangsewu (Kecamatan Galur) dengan memilih masing-masing satu tokoh lokal berikut rumahtangganya.

Pemilihan lokasi didasarkan pada alasan:

a. Desa Bugel : lokasi inisiatif pertanian lahan pasir b. Desa Karangwuni : lokasi dengan frekuensi konflik

paling tinggi

c. Desa Garongan : lokasi pusat kelembagaan petani d. Desa Karangsewu : lokasi pilot proyek

Metode yang digunakan adalah wawancara mendalam.

2. Tahap II

Tahap II penelitian dilangsungkan selama 2 bulan efektif (April- Mei 2010) di tingkat pengambil kebijakan (Pemda) dan pelaksana proyek (perusahaan) dan jaringan pendukungnya. Metode yang digunakan adalah wawancara terstruktur.

3. Tahap III

Tahap III penelitian dilangsungkan selama 1 bulan efektif (Juni 2010) dengan studi literatur, penelusuran dan analisis naskah mengenai sejarah struktur penguasaan SDA setempat, kebijakan tataguna agraria, dan proses politik kebijakan SDA.

3.4 Rancangan Penelitian

3.4.1. Struktur konflik pemanfaatan ruang dan SDA

a. Tujuan : memetakan kepentingan

b. Metoda pengumpulan data

: wawancara mendalam dan terstruktur

c. Variabel yang diamati : kepentingan aktor kunci dan perspektif aktor pelengkap d. Metoda analisis data : analisis sosial

3.4.2. Pembentukkan jejaring kekuasaan atas SDA

a. Tujuan : memetakan aktor dan perannya

b. Metoda pengumpulan data : wawancara mendalam dan terstruktur,penelusuran naskah c. Variabel yang diamati : peran aktor utama dan pendukung d. Metoda analisis data : analisis sosial

3.4.3. Analisis hubungan konflik SDA dengan krisis SDA dan sosial politik

a. Tujuan : mengetahui konsekuensi-

konsekuensi atas konflik yang terjadi

b. Metoda pengumpulan data

: rekam jejak, penelusuran naskah

c. Variabel yang diamati : arah konflik d. Metoda analisis data :analisis konflik,

3.4.4. Perumusan sintesis alternatif pengelolaan SDA

a. Tujuan : merumuskan penyelesaian

b. Metoda pengumpulan data : rekam jejak konflik SDA c. Variabel yang diamati : kepentingan utama, akar

konflik dominan, situasi konflik dominan

  P k d G 4.1 K 4.1.1 a. Top Kabup Provinsi Da kecamatan, 110o16’26” dan kependu Gambar 4, T IV Kondisi Umum Profil Wila pografi dan K paten Kulon aerah Istime 88 desa, d BT dan 7o38 udukan (200 Tabel 3, Tabe Gamba Tabel Per Bagia Bagia Bagia Bagia Sumbe V. HASIL m Wilayah ayah Kependuduk Progo meru ewa Yogyak dan 930 ped 8’42” – 7o59 08) Kabupate el 4, dan Tab ar 4. Peta Ka 3. Batas Wil rbatasan an Barat an Timur an Utara an Selatan er: www.kul L DAN PEM kan upakan salah karta, deng dukuhan) d 9’3” LS. Bat en Kulon Pro bel 5 sebaga abupaten Ku layah Kabup Kabupaten Kabupaten DIY Kabupaten Samudera lonprogokab MBAHASAN h satu dari l an luas dae dan posisi g tas wilayah, ogo, berturu ai berikut: ulon Progo, P paten Kulon Wil n Purworejo n Sleman n Magelang a Hindia b.go.id N lima daerah erah 586,28 geografis 11 karakteristik ut-turut disaji Propinsi DIY Progo ayah o Provinsi Jaw dan Bantu Provinsi Jaw otonom di 8 km2 (12 10o1’37” – k topografi, ikan dalam Y. wa Tengah ul Provinsi wa Tengah

Tabel 4. Karakteristik Topografi Kabupaten Kulon Progo

Bagian Tinggi tempat

(m dpl)

Kecamatan

Bagian Utara 500-1000 Girimulyo, Samigaluh, Kalibawang, dan Kokap

Bagian Tengah 100-500 Nanggulan, Sentolo,

Pengasih, dan sebagian Lendah

Bagian Selatan 0-100 Temon, Wates, Panjatan

Galur, dan sebagian Kecamatan Lendah

Sumber: www.kulonprogokab.go.id

Tabel 5. Kependudukan Kawasan Pesisir Kabupaten Kulon Progo

Kecamatan Luas (ha) Jumlah Desa Jumlah

penduduk Temon 3.629,09 15 31.619 Wates 3.200,24 8 48.176 Panjatan 4.459,23 11 39.877 Galur 3.291,23 7 32.615 Jumlah 14.579,79 41 152.287 Sumber: www.kulonprogokab.go.id  b. Sosiologi Lingkungan

Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo No 1 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Kulon Progo, kawasan pesisir di tetapkan sebagai Kawasan Budidaya, yaitu pertanian lahan kering (lahan pasir) dan sebagai Kawasan Lindung Setempat (Gambar 5 dan Gambar 6). Penetapan fungsi kawasan ini merupakan penyesuaian terhadap karakteristik ekosistem dan sosial setempat.

Pola kehidupan masyarakat pesisir di Kabupaten Kulon Progo terbentuk dari interaksi antara manusia dengan ekosistemnya. Ekosistem pesisir tersebut merupakan hamparan gumuk pasir (sandbank) seluas 44 km2 ; yang dihimpit oleh dua sungai besar, yaitu Sungai Serang dan Sungai Progo. Ekosistem tersebut menyediakan potensi yang jarang ditemukan di ekosistem pesisir lain di Indonesia, yaitu air tawar di sepanjang pantai. Selain mengandung air tawar,

 

   

hamparan gumuk pasir di kawasan tersebut mengandung mineral besi. Dua potensi ekonomi ini (air tawar dan pasir besi) menjadi unsur penting dalam keputusan-keputusan politik yang berdampak pada perubahan sosial dan budaya setempat.

Meskipun menempati kawasan yang dekat dengan aktivitas maritim pada umumnya, masyarakat pesisir Kulon Progo justru merupakan masyarakat agraris. Watak gelombang Samudera Hindia menjadi alasan bagi masyarakat untuk memilih strategi nafkah. Alasan lain yang melatarbelakangi pilihan masyarakat untuk hanya memanfaatkan potensi air tawar ialah bahwa akses ekonomi terhadap pasir besi memerlukan syarat teknologi tinggi berskala industri yang jelas tidak mereka kuasai.

 

4.1.2 Sejarah Wilayah a. 1945-1950

Kultur sosial dan politik di Propinsi Yogyakarta tidak terlepas dari sejarah situasi kolonial yang membentuknya. Surjomiharjo (1989) mengungkapkan bahwa situasi kolonial, khususnya kota Yogyakarta sebagai pusat gerakan di masa kemerdekaan, melibatkan kekuatan ekonomi politik suatu minoritas asing dengan latar belakang peradaban yang berbeda. Minoritas asing ini membangun kerangka administrasi kolonial sejak 1880-1930 dan turut membentuk kompleksitas sosial melalui keterbukaan pada kekuatan pasar, aliran pemikiran, dan kebudayaan non Jawa di Yogyakarta. Konfigurasi yang beragam itu kini memberi nuansa bahwa Yogyakarta adalah miniatur Indonesia.

Dinamika eksistensi lembaga swapraja juga tidak lepas dari situasi kolonial tersebut. Sebelum 1945, lembaga swapraja dalam arti struktur kekuasaan dan tata pemerintahan dapat dikatakan sebagai produk kekuatan ekonomi politik kolonial38. Wilayah Swapraja pada tahun 1830 (Gambar 7) hingga 1945 (Gambar 8) adalah wilayah Propinsi DIY yang sekarang. Sebagian wilayah Swapraja yang dikuasai oleh Paku Alam berada di dalam kota yaitu meliputi Kecamatan Paku Alaman yang sekarang, sedangkan wilayah luar kota (Kadipaten Adikarto) meliputi daerah Panjatan, Brosot, Bendungan, dan Temon, yang beribukota di Wates, kini Kadipaten Adikarto merupakan wilayah selatan Kabupaten Kulon Progo.

      

38 Dapat disimak dalam sejarah kekuasaan, baik yang tertuang dalam perjanjian-perjanjian politik ; antara lain 1) Perjanjian Gianti 13 Februari 1755, 2) Penobatan KGPA Paku Alam I oleh Thomas Raffles pada 29 Juni 1812, 3) Kontrak Politik Paku Alaman dengan Inggris 17 Maret 1813, 4) Rijksblad Kasultanan No 16 tahun 1918 dan Rijksblad Paku Alaman No 18 tahun 1918 sebagai akibat pemberlakuan Agrarische Wet 1870, dan 5) Kontrak Politik Belanda dengan Sultan HB (1877-1940) sebagai akibat politik kekalahan perang Diponegoro, maupun hasil-hasil penelitian antara lain oleh Darmosugito (Sedjarah Kota Yogyakarta dalam Kota Yogyakarta 200 tahun 7 Oktober 1756 - 7 Oktober 1956, 1956), Soedarisman Poerwokoesoemo (Kasultanan Yogyakarta, Suatu Tinjauan Tentang Kontrak Politik 1877-1940, 1985), Selo Soemarjan (Perubahan Sosial di Yogyakarta, 1986), Abdurrachman Surjomiharjo ( Penelitian Kota Yogyakarta 1880-1930 Suatu Tinjauan Historis Perkembangan Sosial, 1989), Djoko Suryo (Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990, 2004) dan Luthfi et al. ( Keistimewaan Yogyakarta, Yang Diingat dan Yang Dilupakan, 2009).

  Gamba G ar 7. Wilaya Gambar 8. W ah Swapraja Wilayah Swa 1830 (sumb apraja 1945 ber www.wik (sumber ww kipedia.com) ww.wikipedia ). a.com) 

b. 1980-2006

Kemiskinan selalu melekat sebagai identitas masyarakat pesisir Kabupaten Kulon Progo. Mereka yang hidup di kawasan ini disebut Cubung oleh orang di luar komunitasnya, sebuah istilah yang bermakna keterbelakangan, golongan rendah, dan berpenyakitan. TJ (32) memberi kesaksian mengenai pencitraan ini39:

“Dahulu, sewaktu saya masih kecil orang-orang pesisir disebut sebagai orang Cubung. Orang Cubung itu ya orang goblok, miskin, penyakitan, pokoknya terbelakang lah. Hal itu sudah pas dengan keadaannya karena kami tak punya pekerjaan selain bekerja sebagai buruh kasar di kota. Pertanian lahan pasir belum berkembang seperti sekarang, paling banter hasilnya cuma 3 kilo cabai. Keadaan di sini sebelum penggarapan lahan jauh lebih buruk karena untuk bisa makan nasi sehari harus mengumpulkan pendapatan seminggu. Setiap bulan Agustus-November dari laut selatan bertiup angin yang membawa pageblug (wabah), kalau sudah begitu, sakit mata dan kulit sudah langganan.”

Sebelum dekade 1980-an masyarakat setempat memanen kelapa di sepanjang pesisir sebagai komoditas ekonomi untuk melengkapi komoditas lain yaitu anyaman daun pandan, yang sumbernya merupakan spesies endemik yang tumbuh liar. Penghasilan lain diperoleh dari penambangan garam dari air laut yang dalam istilah setempat aktivitas itu disebut sirat40. Perjuangan untuk hidup dan tekanan alam mendorong generasi muda memilih jalan penghidupan lain melalui urbanisasi (Kompas, April 2008ab)41. Kutipan wawancara dengan TJ (32) juga menyebutkan gejala urbanisasi pada dekade 1980-an tersebut:

“Saya tidak pernah mimpi jadi petani dengan penghasilan minimal 30 juta per bulan seperti sekarang ini. Saya pernah kerja di Malaysia sebagai buruh selama 3 tahun pada tahun 1997-2000, hasilnya hanya       

39 Catatan Harian Peta Konflik, 10 Februari 2010, TJ (32),: 40 Wawancara dengan KN (50). Juli 2009 (Preliminary) 41 Catatan Harian Peta Konflik, 10 Februari 2010,TJ (32):

 

   

cukup untuk modal buka lahan 2000 m2. Saya ini tergolong gerbong terakhir pemuda yang beralih profesi menjadi petani, cukup terlambat dibanding teman-teman seusia saya yang tidak tergiur menjadi buruh perusahaan asing.”

Aktivitas ekonomi sebagai buruh di kota lambat laun mengendurkan ikatan sosial individu urban dengan lingkungan asalnya. Sistem sosial yang semula dibentuk oleh solidaritas mulai bersifat individualis. KN (50) mengemukakan bahwa komunikasi tradisional setempat adalah pembentuk ikatan sosial42:

“Orang-orang Cubung di pesisir ini mempunyai kebiasaan bertukar informasi, kebiasaan ini disebut endong-endongan. Apa yang dibicarakan di endong-endongan macam-macam, biasanya seputar masalah hidup sehari-hari. Kelak kebiasaan ini berperan dalam penyebaran gagasan dan teknologi bertani di lahan pasir.”

Pada tahun 1982, salah seorang penduduk43 terinspirasi untuk memulai bercocok tanam di lahan pasir pantai, ketika ia mendapati sebatang tanaman cabai liar yang mampu tumbuh dan berkembang di bentangan gumuk pasir itu44 (Kompas, April 2008b). KN (50), penduduk yang memulai penggarapan lahan itu, mengemukakan sejarah awal mula perubahan ekosistem di pesisir Kulon Progo:

“Sebelum kembali pulang untuk bertani, saya dulu bertahun-tahun merantau ke Jawa Barat dan Sumatera untuk mencari pekerjaan. Saya hampir putus asa karena tak mendapatkan hasil, dalam kondisi itu saya berjalan-jalan di tepi pantai dan saya mendapati sebatang tanaman cabai yang tumbuh liar dan berbuah. Lalu muncul gagasan saya, kalau tanaman liar saja bisa tumbuh apalagi kalau dirawat. Saya       

42 Catatan Harian Peta Konflik, 15 Februari 2010, KN (50)

43 Ada dua versi cerita mengenai kemunculan inspirasi ini, sumber lisan yaitu TJ (32) dan SR (40), keduanya Desa Garongan, menyatakan bahwa KN adalah sang pemula (lihat juga, Kompas April 2008b), sumber tertulis setempat menyatakan IJ adalah yang mengawali (Iman Rejo, 1996). Kedua versi tersebut menguatkan bukti bahwa gagasan untuk mengubah bentang alam pesisir menjadi lahan hortikultura berasal dari masyarakat lokal.

memulai budidaya tanaman cabai dalam luasan kecil, dengan memanfaatkan air tawar di bawah pasir.”

Bersama beberapa warga lainnya, KN (50) memanfaatkan sumberdaya air tawar yang tersimpan di kedalaman 3-6 m di bawah permukaan pasir pantai untuk menyuplai kebutuhan air bagi tanaman (Kompas, April 2008a). Air tawar di tepi pantai memberikan berkah bagi jenis pekerjaan baru, yaitu petani hortikultura terutama cabai dan semangka.

Pada tahun 1988-1995 budidaya tanaman hortikultura itu meluas di 4 kecamatan di kawasan pesisir (Temon, Wates, Panjatan, Galur), dengan didukung pengembangan teknologi dan informasi. Pada mulanya mereka hanya membangun sumur timba yang sangat sederhana pada galian pasir. Seiring dengan peningkatan pengetahuan dan pendapatan petani, sumur timba tersebut kemudian berkembang menjadi sumur berantai yang mampu menghemat waktu dan tenaga (Iman Rejo, 1999). Beberapa rumah tangga petani yang secara ekonomi lebih mapan kemudian mencukupi kebutuhan pengairan dengan menggunakan mesin. Menurut KN (50) komunikasi tradisional yang sudah terbentuk sebelumnya mempunyai peranan dalam penyebaran pengetahuan setempat45:

“Kebiasaan endong-endongan membantu penyebaran apa yang saya lakukan. Kami mulai membicarakan bagaimana meningkatkan hasil, mulai dari mengubah sumur gronjong (berdinding bambu) menjadi sumur timba, dari sumur timba menjadi sumur renteng (berantai). Kami juga mulai memikirkan untuk membuat pagar angin baik itu menanam tanaman keras di daerah dekat pantai, maupun menanam tanaman selingan untuk melindungi tanaman utama. Hasil panen meningkat pesat seiring perkembangan pengetahuan masyarakat, dan teknologi yang diterapkan semakin canggih seiring pertambahan nilai jual, harga paling tinggi adalah ketika krisis moneter 1997, di sini banyak orang kaya mendadak.”

      

 

   

Keberadaan jenis pekerjaan baru di desa lambat laun menggerakkan arus balik urbanisasi (Kompas, April 2008ab). Para pemuda yang dahulu bekerja di sektor industri di kota kembali ke desa untuk menekuni profesi sebagai petani yang lebih menjanjikan bagi penghidupan46. Matapencaharian baru ini mampu menyerap tenaga kerja dari luar kawasan, yaitu sebagai buruh petik47. Perkembangan informasi dan teknologi tidak hanya meningkatkan taraf hidup secara ekonomi tetapi juga membangun hubungan sosial dengan elemen pembangunan di luar komunitas pesisir, terutama akademisi.

Pada tahun 2001 Fakultas Pertanian UGM mengkaji pengembangan potensi lahan pasir pantai. Pertukaran informasi antara akademisi dan para petani lahan pasir membuahkan kelembagaan baru di sektor distribusi, yaitu 1) pengaturan sarana produksi dan 2) sistem lelang. Pengaturan sarana produksi meliputi kegiatan penyediaan pupuk dan benih, sedangkan sistem lelang untuk pengendalian harga panen. Kedua kelembagaan ini dijalankan oleh komunitas setempat melalui pengorganisasian diri. Posisi tawar petani terhadap pasar terbangun melalui proses interaktif yang panjang antara pengetahuan dan tindakan yang berubah dari waktu ke waktu. Sistem lelang mulai dilakukan pada tahun 2002. Sistem ini memungkinkan petani mempunyai daya tawar terhadap pasar distribusi dengan cara turut mengatur harga panen di tingkat petani48.

      

46 Dengan luas 1000 m2 atau 0,1 ha , hasil bersih rata-rata petani lahan pasir pantai untuk komoditas cabai adalah Rp. 11.554.090,00 dengan indeks B/C ratio sebesar 4,54 dan rata-rata produktivitas 2.014 ton per satuan luas; artinya sangat layak diusahakan (sumber: Shiddieq et al., 2008, Anonim, 2007, dan Rismiyadi, 2003). Laporan Kelompok Gisik Pranaji di Bugel pada Mei 2010 menyatakan bahwa rerata hasil cabai adalah 0,8 kg/tanaman, jarak tanam 1 x1 m diterapkan untuk setiap 1.000 m2 (dalam setiap 1.000 m2 ada 1.000 lubang) rerata penggarapan petani adalah 3.000 m2, sehingga rerata hasil panen per keluarga petani adalah 0,8 kg x 3.000 tanaman= 2.400 kg/ panen. Panen dilakukan 5 hari sekali selama dua bulan (puncak produksi), sehingga rerata hasil panen per keluarga petani selama dua bulan adalah: 2.400 kg x 12 kali panen= 28.800 kg. Harga cabai pada bulan Mei dan Juni 2010 rerata Rp. 15.000,00 , dengan demikian pendapatan kotor petani selama dua bulan adalah 28.800 kg x Rp. 15.000,00 = Rp. 432.000.000,00 (Empat ratus tigapuluh dua juta rupiah). Biaya produksi total untuk setiap 3000 m2 adalah Rp. 115.200.000,00 (harga panen Rp. 4.000,00/kg). Dengan demikian, pendapatan bersih petani dalam dua bulan adalah Rp.432.000.000,00-Rp.115.200.000,00= Rp.316.800.000,00 (Tiga ratus enambelas juta delapan ratus ribu rupiah).

47 Wawancara dengan SR (40), Garongan, Panjatan, Agustus 2008 (Preliminary). 48 Mekanisme sistem lelang sebagai berikut:

1) Kelompok tani di setiap dusun mengadakan rapat untuk mengambil keputusan mengenai pelaksanaan lelang menjelang panen.

2) Tempat, waktu, dan tenaga operasional lelang ditetapkan.

3) Pada waktu panen, setiap keluarga petani menyetorkan hasil panen kepada kelompok, hasil panen kemudian disortir oleh tenaga operasional lelang untuk dipilih yang memenuhi kualitas pasar,.

Pada tahun 2005, PT. JM, PT NE, PT. KS dan AK Ltd. menjalin kerjasama bisnis untuk pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo49. AK adalah TNC di Australia dan mempunyai proyek pertambangan di beberapa negara, salah satunya adalah pertambangan emas di Peru. Pada tahun 2006 AK tersebut berubah nama IM Ltd50.

Pada tahun 2006 Pemda Kabupaten Kulon Progo menerbitkan Ijin Kuasa Pertambangan berikut mineral ikutannya kepada PT. JM yang merupakan perusahaan keluarga lembaga swapraja Yogyakarta51. Saham yang dikuasai oleh PT. JM dalam bisnis ini sebesar 30 % dan IM Ltd. sebesar 70 %.

4.1.3.Kultur Politik

a. Kedudukan Lembaga Swapraja

Struktur kekuasaan dan politik di Yogyakarta tidak mengalami perubahan yang berarti bagi lembaga swapraja sebelum 1945 (Soemarjan, 1986). Kedudukan Raja, terutama Sultan Hamengku Buwono, bagi masyarakat Jawa adalah sebagai pusat dan sumber kekuasaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar yang diakui oleh RI dan dipertahankan sejak 1755, yaitu: Sampeyan Ngarso Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panotogomo, Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping… (I- X) Ing Ngayogyakarto Hadiningrat (Andika Paduka Yang Mulia Baginda Sultan Hamengku Buwono, Panglima Perang, Hamba Sang Maha Pengasih Pewaris

        4) Hasil panen sebelum dan sesudah proses penyortran dicatat dalam buku administrasi, dan

petani menerima tanda bukti.

5) Pada pukul 17.00-20.00 secara serentak dibuka lelang di setiap dusun.

6) Para pedagang atau tengkulak menuliskan harga beli secara rahasia dan tertutup dalam secarik kertas dan dimasukkan dalam kotak undian.

7) Pada pukul 20.00, kotak undian dibuka.

8) Harga yang tertinggi adalah harga penjualan cabai yang berlaku di tingkat petani pada hari itu, sehingga para pedagang yang akan memperoleh barang dagangan pada hari itu harus membeli sesuai harga yang telah disepakati.

49 

Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Ironsands-Pig Iron Project-Yogyakarta, Indonesia, tertanggal 12 Agustus 2005 dan Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Ironsands-Pig Iron Project-Due Diligence Results and Corporate Plan, tertanggal 3 November 2005: 

50 Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Change of Name to IM Limited, tertanggal 7 Maret 2006. 51 Menurut Akta Notaris Pendirian PT JM No 40 Buntario Tigris Darmawa NG, SH.SE., PT JM didirikan 6 Oktober 2005.

 

   

Rasulullah Sang Penata Agama, Wakil Allah Yang Bertahta Ke..[I-X] Di Kerajaan Yogyakarta).

Meskipun hubungan ekonomi politik antara Pemerintah Kolonial Belanda dengan Sultan diperbaharui setiap kali putra mahkota akan bertahta52, pandangan masyarakat di Yogyakarta khususnya terhadap kedudukan Sultan tidak berubah: Sultan adalah sosok yang dianugerahi kekuasaan politik, militer, dan keagamaan secara absolut53, sebuah konsep kekuasaan yang diadopsi dari Khaliffah Islamiyah di Timur Tengah pada Dinasti Abbassiyah.

Kedudukan politik dan budaya Sultan dan Paku Alam tetap dipertahankan hingga sekarang dengan penetapan Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur di Propinsi DIY54. Keistimewaan Yogyakarta dinilai dari sumbangan lembaga swapraja bagi perjuangan kemerdekaan 1908-1950.

      

52 Soemarjan (1986) mengemukakan bahwa pasal-pasal penting dari semua perjanjian politik selalu mencantumkan: 1) kedaulatan Kasultanan di bawah kerajaan Belanda, 2) pemberlakuan undang-undang kolonial di dalam kerajaan, 3) pengambilan keputusan pergantian kekuasaan Kasultanan oleh Gubernur Jenderal, 4) kewajiban Sultan untuk patuh kepada Kerajaan Belanda sepanjang memerintah Kasultanan, 5) sistem pertahanan dan keuangan diatur oleh Gubernur Jenderal, berikut wewenang pengelolaan SDA seperti hutan jati, pertambangan, dan produksi dan distribusi garam (hal 6-7).

53 Kesadaran mistis masyarakat Jawa atas kekuasaan Sultan diwujudkan dengan kepercayan pada kekuatan spiritual Sultan untuk dapat membaca arah jaman dan kemampuannya dalam membawa kemakmuran dan keaadilan bagi rakyat. Mengenai hal ini, telah dilaporkan oleh Soemarjan bahwa pada tahun 1932 dan 1948, ketika Yogyakarta dilanda wabah, penduduk memohon Sultan untuk menyelamatkan mereka dengan cara mengarak pusaka Kanjeng Kyai Tunggul Wulung (panji hitam dengan tulisan-tulisan Arab yang diyakini sebagai bagian dari jubah penutup Ka’bah di Mekah) mengelilingi wilayah-wilayah epidemi. Arak-arakan itu diikuti oleh puluhan ribu orang dan dilakukan di tengah kota yang pada saat itu (1948) merupakan pusat revolusi, pergerakan, markas organisasi-organisasi politik, dan pembaruan sistem politik dari aristokrasi feodal menuju sistem demokrasi (Ibid: 24-25).

54 UU No 22 Tahun 1948 Tentang Aturan-aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri

Dokumen terkait