KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN
PERTAMBANGAN PASIR BESI : STUDI IMPLIKASI
OTONOMI DAERAH
(STUDI KASUS DI KABUPATEN KULON PROGO PROVINSI
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA)
KUS SRI ANTORO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Konflik-konflik Sumberdaya
Alam di Kawasan Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah
(Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2010
Kus Sri Antoro
KUS SRI ANTORO. Natural Resource Conflicts on Iron Sand Mining Area: An Implication Study of Regional Autonomy (A Case Study in Kulon Progo District Yogyakarta Province). Under direction of ARYA HADI DHARMAWAN and ARIF SATRIA.
The social transformation of coastal community in Kulon Progo District, Yogyakarta Province, as a result of ecosystem transformation, has occurred since 1980. These processes take place gradually as the progress of indigenous knowledge and supported by the subsistent local livelihood activities. The local government publishes the mining policy on the coastal area to earn native local income. The impacts of the policy not only triggers the natural resource conflicts between local community; local government; and private sector, but also threaten the sustainability of community’s knowledge evolution; ecosystem; and the local community existence. A qualitative research was conducted to analyzed the natural resource conflicts, power relation, and develop conflicts resolution, used Theory of Decentralization, Theory of Property Rights, Theory of Conflict, and Theory of Human Ecology on the political ecology perspective as conceptual analysis. The concept of Governmentality was used to analyzed the empirical dimensions i.e. : 1) the agrarian structure, 2) the political processes of natural resource policy, 3) the structure of conflict, and 4) the relation of power on natural resource control. The results are that 1) natural resource conflicts are caused by both of material grounds (agrarian structure, decentralization) and immaterial grounds (political economy, partiality), its existence are manifest and latent, 2) the political processes of natural resource policy indicate the involvement of political economy of global economic actor in the context of agrarian changes, 3) the complexity of structure of conflicts are on the level of power, policy, and community, and 4) the power relations of conflicting actors are mutual, conflictual, and neutral. The conclusions are 1) the structure of natural resource conflicts in Kulon Progo District could characterize as multi actors, multi dimensions, multi arenas, and multi matters, manifest and latent, perennial and temporal conflicts, 2) the web of power relations of natural resource in Kulon Progo district are an articulation of agrarian structure, political process of natural resource policy, and the structure of conflicts that occur on decentralized political system, 3) the ecological crisis in Kulon Progo District is connected to social political crisis, and 4) the alternative of natural resource policy in Kulon Progo district is difficult to develop due to the absence of equality, transparency, and trust on the conflicting actors.
Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN AND ARIF SATRIA
dan kesetaraan kekuasaan antara pemerintah, masyarakat, dan swasta.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber:
a.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan kritik, atau tinjauan
suatu masalah.
b.
Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN
PERTAMBANGAN PASIR BESI : STUDI IMPLIKASI
OTONOMI DAERAH
(STUDI KASUS DI KABUPATEN KULON PROGO PROVINSI
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA)
KUS SRI ANTORO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2010 ini ialah konflik-konflik sumberdaya alam, dengan judul Konflik-konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB yang telah membimbing penulis dalam proses belajar di IPB.
2. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr. Ketua Komisi Pembimbing penulis, sehingga penyusunan tesis dapat terselesaikan sebaik-baiknya. 3. Dr. Arif Satria, SP., MSi. Anggota Komisi Pembimbing yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
4. Dr. Satyawan Sunito, Penguji Luar Komisi Pembimbing yang telah menguji dan memberi masukan yang sangat berarti bagi penyempurnaan tesis ini.
5. Dr. Ir. Lailan Syufina, MSc. Ketua Tim Penguji Tesis yang telah memberi masukan dalam ujian tesis penulis.
6. Dr. Ir. Suryo Adiwibowo, MSc. yang telah berkenan menyempatkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis guna pendalaman teori dan metodologi ekologi politik.
7. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MSc. yang telah berkenan menyempatkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis guna pendalaman konsep kelembagaan dan kebijakan sumberdaya alam.
8. The Indonesian International Education Foundation (IIEF) penyelenggara International Fellowship Program-Ford Foundation yang penulis ikuti dan penyandang dana penulis selama studi di IPB.
9. Segenap pihak yang telah berkenan menjadi sumber informasi bagi penelitian ini.
10.Kedua orang tua penulis yang begitu sabar dan penuh dedikasi mendidik penulis dalam kesederhanaan. Kedua saudara penulis yang telah mendukung kelancaran proses belajar penulis. Anak-anak yang penulis asuh, yang mengubah tanggungjawab menjadi daya gerak dan semangat hidup bagi penulis.
11.Para sejawat, kerabat, dan sahabat penulis yang senantiasa menyemangati dengan doa.
Dengan segala keterbatasannya, penulis menyadari karya ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik yang membangun atas karya ini akan sangat berarti. Terima kasih.
Bogor, Agustus 2010
Penulis dilahirkan di Kabupaten Gunungkidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 15 Oktober 1979 dari ayah Samidjan dan ibu Sunarsih. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Pada tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri 10 Yogyakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian, Program Studi Agronomi.
Pada tahun 2001-2004 penulis belajar secara informal kepada komunitas-komunitas gerakan organik di Jawa (khususnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta); hingga pada 2004-2008, bersama beberapa kolega, penulis memfasilitasi pelatihan –pelatihan pertanian berkelanjutan secara independen di beberapa daerah di Jawa.
Pada tahun 2006, penulis menyelesaikan studi strata satu dan pada saat yang sama penulis lolos seleksi dalam International Fellowship Program untuk melanjutkan jenjang pendidikan magister yang diselenggarakan oleh The Indonesian International Education Foundaton (IIEF) dan dibiayai oleh Ford Foundation.
Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Judul Tesis : Konflik-konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Pertambangan Pasir
Besi: Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus Di Kabupaten
Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)
Nama : Kus Sri Antoro
NIM : P052080041
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr. Ketua
Dr. Arif Satria, SP. MSi. Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Surjono H.Sutjahjo, MS.
Tanggal Ujian: 16 Agustus 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS..
v
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
DAFTAR
SINGKATAN
x
1.
PENDAHULUAN
1
1.1
Latar Belakang
1
1.2
Perumusan Masalah
4
1.3
Tujuan
5
1.4
Ruang
Lingkup
Penelitian
5
2.
TINJAUAN PUSTAKA
7
2.1.
Sejarah Ekonomi Politik Sumberdaya Alam
7
2.2.
Teori Desentralisasi
10
2.3.
Teori
Penguasaan
Sumberdaya
Alam 12
2.4.
Teori
Konflik 17
2.5.
Teori
Ekologi
Manusia
19
2.6.
Kerangka
Konseptua
l 29
3.
METODOLOGI
PENELITIAN
32
3.1.
Sifat
dan
Jenis
Penelitian
32
3.2.
Tempat
dan
Waktu
Penelitian 32
3.3.
Tahapan
Penelitian
33
3.4.
Rancangan
Penelitian 34
4.
HASIL
DAN
PEMBAHASAN
37
4.1.
Kondisi
Umum
Lokasi
Penelitian
37
4.1.1.
Profil
wilayah
37
4.1.2.
Sejarah Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta
42
4.1.3.
Kultur
Politik
49
4.1.4.
Konstelasi
Ekonomi
Politik
52
4.1.5.
Ikhtisar
53
4.2.
Struktur
Penguasaan
Sumberdaya
Alam
54
4.2.1.
Sejarah Agraria Daerah Istimewa Yogyakarta
vi
4.2.2.
Politik Agraria Daerah Istimewa Yogyakarta
61
4.2.3.
Konflik Agraria
64
4.2.4.
Ikhtisar
70
4.3.
Proses
Politik
Kebijakan
Sumberdaya
Alam 73
4.3.1.
Proses-proses di Aras Internasional
73
4.3.2.
Proses-proses di Aras Nasional dan Lokal
75
4.3.3.
Proses-proses Legalisasi Pertambangan Pasir Besi
80
4.3.4.
Ikhtisar
94
4.4.
Struktur
Konflik
Sumberdaya
Alam
100
4.4.1.
Aras Konflik
100
4.4.2.
Aktor-aktor
yang
Berkonflik
105
4.4.3.
Materi
Konflik
106
4.4.4.
Arena Konflik
108
4.4.5.
Eksistensi dan Dinamika Konflik
108
4.4.6.
Ikhtisar
110
4.5.
Relasi
Kekuasaan
atas
Sumberdaya
Alam
115
4.5.1.
Aktor-aktor
115
4.5.2.
Peran Aktor
116
4.5.3.
Sifat
Hubungan
Interaksi
116
4.5.4.
Ikhtisar
118
4.6.
Konsep Governmentality
121
4.6.1.
Pengertian Governmentality
121
4.6.2.
Perbedaan Hegemoni dan Governmentality
122
4.6.3.
Governmentality pada Struktur Penguasaan
Sumberdaya Alam di lokasi penelitian
123
vii
4.6.6.
Governmentality pada Relasi Kekuasaan
atas Sumberdaya Alam di lokasi penelitian
124
4.6.7.
Ikhtisar
124
4.7.
Keterbatasan
Penelitian
124
5.
KESIMPULAN
DAN
SARAN
127
viii
Halaman
Tabel 1. Perbedaan Theory of Property Rights dan Theory of Access
17
Tabel 2. Perbedaan antara ekologi politik dan politik ekologi
21
Tabel
3.
Batasan-batasan
ekologi
politik
24
Tabel
4.
Batas
wilayah
Kabupaten
Kulon
Progo
38
Tabel 5. Karakteristik topografi Kabupaten Kulon Progo
39
Tabel 6. Kependudukan kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo
39
Tabel 7. Identifikasi status tanah dan luasannya di kawasan pesisir
Kabupaten
Kulon
Progo
63
Tabel 8. Struktur penguasaan sumberdaya alam
di
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
72
Tabel 9. Proses politik kebijakan sumberdaya alam di lokasi penelitian
96
Tabel 10. Perbandingan materi produk hukum dan implikasinya
dalam proses politik kebijakan sumberdaya alam di lokasi penelitian
98
Tabel 11. Struktur konflik sumberdaya alam di lokasi penelitian
113
Tabel 12.Perbedaan perspektif dalam Teori
Modernisasi
Ekologi
114
Tabel 13. Relasi kekuasaan atas sumberdaya alam di lokasi
penelitian
120
ix
Halaman
Gambar 1. Struktur Penguasaan sumberdaya
empirik 10
Gambar 2. Ginealogi evolusi pengetahuan
ekologi
politik
22
Gambar
3.
Bagan
alir
kerangka
konseptual
31
Gambar
4.
Peta
Kabupaten
Kulon
Progo
38
Gambar 5. Peta rencana tata ruang wilayah
Kabupaten
Kulon
Progo
kawasan
budidaya
41
Gambar 6. Peta rencana tata ruang wilayah
Kabupaten
Kulon
Progo
kawasan
lindung 42
Gambar
7.
Wilayah
swapraja
1830
44
Gambar
8.
Wilayah
swapraja
1945
44
Gambar 9. Struktur penguasaan sumberdaya alam
di
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
71
Gambar 10. Lokasi konsesi pertambangan pasir besi
di
Kabupaten
Kulon
Progo
82
Gambar 11. Proses politik kebijakan sumberdaya alam
x
Halaman
Lampiran 1. Surat perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda
dan Kasultanan Yogyakarta 18 Maret 1940
137
Lampiran 2. Letter of Intent International Monetary Fund
15
Januari
1998
154
Lampiran 3. Surat kontrak politik Bupati Kulon Progo dan
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten
Kulon
Progo
tahun
2007
171
.Lampiran 4. Surat Kanjeng Gusti Paku Alam IX tahun 2003
172
Lampiran 5. Hasil perbandingan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
2009-2029
dengan Peraturan Daerah No 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2009-2029
173
Lampiran 6 Hasil Evaluasi Menteri Dalam Negeri
atas Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2009-2029
191
Lampiran 7. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
No
5
Tahun
1954 205
Lampiran 8. Keputusan Presiden Republik Indonesia
No
33
Tahun
1984
217
Lampiran 9. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
xi
ADB
Asian Development Bank
AMDAL
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
BAKESBANGPOL
Badan Kesatuan Kebangsaan Politik
BAPPEDA
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Bappedal
Badan Penanggulangan Dampak Lingkungan
BLH
Badan
Lingkungan
Hidup
BPN
Badan
Pertanahan
Nasional
DIY
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
DPR
Dewan
Perwakilan
Rakyat
DPRD
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
ESDM
Energi dan Sumber Daya Mineral
FAO
Food and Agriculture Organization
HB
Hamengku
Buwono
IMF
International Monetary Fund
JLSJ
Jalan Lintas Selatan Jawa
JORC
Joint Ore Reserves Committee
KA ANDAL
Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan
KK
Kontrak
Karya
KOMNAS HAM
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
LANTAMAL
Pangkalan Utama Angkatan Laut
LINMAS Perlindungan
Masyarakat
xii
LoI
MENDAGRI
Menteri Dalam Negeri
MoU
Memorandum of Understanding
NKRI
Negara
Kesatuan Republik Indonesia
ORBA
Orde
Baru
OTDA
Otonomi
Daerah
PAG
Paku Alamanaat Ground
PEMDA
Pemerintah
Daerah
PERDA
Peraturan
Daerah
PERDA
Peraturan
Daerah
PP
Peraturan
Pemerintah
PU
Pekerjaan
Umum
RPERDA Rancangan
Peraturan
Daerah
RTRWK
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
RTRWN
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
RTRWP
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
RUUK
Rancangan
Undang-undang
Keistimewaan
SDA
Sumberdaya
Alam
SG
Sultanaat Ground
TNC
Transnational Corporation
TNI
AL
Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Laut
UGM
Universitas
Gadjah
Mada
UNDP
United Nations Development Programme
xiii
VOC
Vereenigde Oostindische Compagnie
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses perubahan sosial telah terjadi pada masyarakat pesisir Kulon Progo
sebagai akibat dari perubahan ekosistem sejak tahun 1980. Proses perubahan
sosial tersebut terjadi secara bertahap mengikuti perkembangan pengetahuan
komunitas lokal yang didukung oleh semangat bertahan hidup secara subsisten.
Pertama, mereka memunculkan gagasan untuk mengubah lahan pasir pantai
menjadi lahan hortikultura yang produktif dengan memanfaatkan potensi air tawar
yang tersimpan pada kedalaman 3-6 m. Kedua, mereka memasuki era agribisnis
dengan didukung oleh penguatan kelembagaan setempat.
Sistem politik desentralisasi memungkinkan Pemerintah Daerah (Pemda)
untuk mengelola sumberdaya daerah secara otonom. Kawasan pesisir Kulon
Progo merupakan sumber utama mineral pasir besi di propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY). Pemda Kabupaten Kulon Progo menggulirkan kebijakan
pertambangan pasir besi di kawasan pesisir. Kebijakan tersebut tak hanya
menimbulkan konflik sumberdaya alam (SDA) antara komunitas lokal; Pemda;
dan swasta, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem dan eksistensi
komunitas lokal. Butir-butir yang menjadi isu dalam konflik tersebut antara lain:
a. Kerusakan ekosistem gumuk pasir
Kawasan pesisir di Kabupaten Kulonprogo merupakan bagian dari rantai
gumuk pasir yang memanjang dari pantai Parangtritis, Kabupaten Bantul, dan
merupakan satu dari 14 gumuk pasir pantai di dunia yang mempunyai fungsi
ekologis sebagai benteng terhadap ancaman bencana tsunami. Rencana
pertambangan pasir besi secara ekologis dikhawatirkan akan menyebabkan jasa
lingkungan kawasan itu hilang, dengan mekanisme 1) intrusi air laut ke darat, 2)
erosi benteng tsunami, dan 3) kepunahan potensi gumuk pasir yang langka
b. Penggusuran lahan hortikultura dan pemukiman
Sebagian kawasan gumuk pasir telah diubah penduduk setempat menjadi
lahan hortikultura tanpa mengurangi fungsi utamanya sebagai daerah penyangga
(Shiddieq et al., 2008). Lahan produktif ini telah memberikan keuntungan baik materi maupun non materi (jasa lingkungan, kelembagaan, evolusi pengetahuan,
dan jaringan). Rencana pertambangan pasir besi tersebut akan mengalihfungsikan
lahan secara total di kawasan seluas 22 x 1,8 km, di mana terdapat lahan dan
pemukiman (Mulyono, 2008).
c. Penghapusan lapangan kerja
Lahan produktif tersebut telah memberikan lapangan pekerjaan baik bagi
penduduk setempat maupun di luar daerah (sebagai buruh petik). Rencana
pertambangan pasir besi dikhawatirkan akan meningkatkan angka pengangguran
usia produktif, baik di kawasan pesisir maupun sekitarnya (Kompas, April 2008c). d. Gangguan bagi penyediaan kebutuhan bahan pokok
Lahan tersebut mampu menghasilkan cabai 702 ton/transaksi atau setara
17.548 ton/ bulan, sehingga menjadi penyedia kebutuhan cabai terutama di Jakarta
dan Sumatera (Shiddieq et al., 2008). Rencana pertambangan pasir besi dikhawatirkan akan berdampak bagi perekonomian riil di sektor kebutuhan pokok
harian, yaitu cabai.
e. Remarjinalisasi secara sistematis
Rencana pertambangan pasir besi dikhawatirkan akan berisiko sosial berupa
remarginalisasi kawasan baik secara sosial maupun lingkungan, karena komunitas
telah berpartisipasi dalam menggerakkan pertumbuhan tanpa merusak SDA.
Penelitian ini penting untuk dilakukan karena:
1. Pesisir Kulon Progo merupakan ekosistem unik karena mempunyai
fungsi ekologi (benteng tsunami dan cadangan air tawar) dan fungsi
sosial ekonomi (faktor bagi perubahan sosial).
2. Konflik pemanfaatan ruang dan SDA di pesisir Kulon Progo terjadi
dalam struktur sosial, politik, dan budaya yang khas dan lebih rumit
daripada daerah lain di Indonesia, sehingga hasil penelitian diharapkan
3. OTDA dan pembangunan berkelanjutan layak diuji untuk menemukan
bentuk yang adaptif terhadap kepentingan multipihak, terutama dalam hal
akses SDA sehingga keadilan lingkungan dan keadilan sosial terdekati.
4. Produksi pengetahuan tentang hubungan manusia dengan alam yang
mampu menerangkan akar dan situasi masalah—dalam hal ini adalah
konflik pemanfaatan ruang dan SDA dan relasi kekuasaan antarpihak atas
SDA, belum banyak dilakukan.
1.2 Perumusan Masalah
Konflik pemanfaatan ruang dan SDA di pesisir Kabupaten Kulon Progo
merupakan manifestasi empirik dari jejaring kekuasaan atas SDA yang dapat
diamati. Penelitian ini diawali dari dugaan bahwa kebijakan pertambangan pasir
besi hanya sebagai pemicu konflik, sedangkan akar konflik dan arena konflik
secara potensial telah ada secara laten. Akar konflik dan arena konflik berjalinan
membentuk jejaring kekuasaan yang selalu diperbaharui oleh setiap pihak yang
terlibat. Dengan demikian, penjelasan ekonomi politik atas relasi-relasi kekuasaan
atas SDA yang terbentuk di aras lokal, regional, dan nasional perlu ditemukan.
Beberapa pertanyaan pemandu untuk menemukan masalah di lokasi penelitian
adalah:
1. Apa makna ekologis, sosial, dan ekonomi politik kebijakan
pertambangan pasir besi bagi negara, rakyat, dan pasar?
2. Bagaimana situasi penguasaan SDA dari masa ke masa?
3. Bagaimana kekuasaan dioperasikan oleh kelompok dominan terhadap
kelompok subordinat untuk menciptakan hegemoni?
4. Apakah ketiga hal tersebut di atas dapat mendorong rekayasa menuju
bentuk pengelolaan SDA yang relatif adil untuk negara, rakyat, dan
pasar?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Menganalisis struktur konflik pemanfaatan ruang dan SDA
2. Menjelaskan pembentukan jejaring kekuasaan atas SDA.
3. Menganalisis hubungan konflik SDA dan krisis-krisis SDA dan sosial
politik.
4. Merumuskan sintesis sebagai alternatif pengelolaan SDA.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Perubahan ekosistem, dalam konteks ekologi manusia, lebih disebabkan
oleh keputusan-keputusan politik daripada proses-proses alami. Kekuasaan baik
itu dalam struktur maupun jejaring kekuasaan atas SDA menjadi faktor yang
menentukan arah perubahan ekosistem. Struktur kekuasaan atas SDA tampak
sebagai struktur penguasaan SDA dan sistem politik (dalam penelitian ini,
penggunaan istilah SDA dan Agraria mengacu pada maksud yang sama, yaitu
sumberdaya berbasis tanah, istilah SDA dipilih semata-mata untuk menjaga
konsistensi penulisan). Jejaring kekuasaan atas SDA tampak sebagai proses
politik kebijakan dan relasi kekuasaan dalam mengatur pemanfaatan SDA.
Konflik-konflik SDA di kawasan pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon
Progo akan dibatasi dengan mengkaji:
1. Struktur penguasaan SDA.
2. Proses politik kebijakan SDA.
3. Struktur konflik pemanfaatan SDA.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Ekonomi Politik SDA
Struktur penguasaan SDA tidak terlepas dari struktur ekonomi politik di
setiap level. Secara konseptual, negara, swasta, dan masyarakat merupakan
aktor-aktor yang terlibat dalam pembentukan struktur penguasaan SDA (Sitorus dan
Wiradi, 1999).
Dihubungkan dengan teori tindakan komunikasi Habermas (Hardiman,
1993), ketiga aktor tersebut berelasi secara produksi (dengan SDA) dan interaksi
(dengan aktor yang lain). Hubungan produksi dapat dilihat sebagai pola
penguasaan SDA, dan hubungan interaksi dapat dilihat sebagai sifat hubungan
karena kepentingan (mutualistik atau konflik).
Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami
perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari masa ke masa. Pada
masa-masa awal kerajaan di Jawa, tanah berfungsi sebagai alat kontrol kekuasaan
pusat (Raja) terhadap rakyat melalui pejabat-pejabat yang ditunjuknya untuk
mengelola SDA (Peluso, 2006 dan Wiradi, 2000). Pada masa kolonial, pasca
kebangkrutan VOC, struktur penguasaan SDA dibentuk melalui penertiban
administrasi oleh pemerintah kolonial untuk menjamin kelangsungan
perekonomiannya, relasi kekuasaan dengan elit politik feodal diselenggarakan
dalam kontrak politik1, terjadi juga pencampuran sistem feodal dan kolonial dalam
pembentukkan struktur penguasaan SDA2 (Luthfi et al., 2009, Wiradi, 2000). Pada masa kemerdekaan, struktur penguasaan SDA dibentuk dengan semangat
1 Pada masa kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda muncul istilah-istilah legal yang mengacu
pada bentuk penguasaan sumber agraria seperti Domein Verklaring (Bl) yaitu klausul peraturan agraria yang menyatakan bahwa tanah-tanah tanpa bukti hak eigendom mutlak menjadi milik negara, Eigendom (Bl) yaituhak milik pribadi yang diberikan oleh pemerintah kolonial, Erfpacht (Bl) yaitu hak pemanfaatan tanah yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada perusahaan perkebunan tertentu selama 75 tahun, Apanage(Bl) yaitu nama untuk suatu persil tanah yang diberikan kepada para pejabat pemegang jabatan bekel di Jawa, dan Culturstelsel (Bl) yaitu kebijakan pemerintah pada masa Gubernur Jenderal Van Den Bosh yang memaksa petani untuk menanami seperlima tanahnya dengan tanaman ekonomis yang ditentukan oleh pemerintah, yang hasilnya diserahkan kepada pemerintah kolonial.
2 Rijksblad Kasultanan No 16/1918 dan Rijksblad Paku Alaman No 18/1918 menyatakan,
sosialisme melalui nasionalisasi aset dengan penghapusan segala bentuk
penghisapan baik warisan kolonial maupun feodal, tonggak ini ditandai dengan
kelahiran Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960. Pasca
Gerakan 30 September 1965, UUPA dibekukan oleh Rezim Orde Baru (ORBA)
melalui stigmatisasi ideologis yang beroposisi terhadap negara (Tjondronegoro,
1999). Pada masa ORBA struktur penguasaan SDA dibentuk untuk kepentingan
ekonomi politik global melalui industrialisasi-modernisasi dengan negara sebagai
pusat kekuasaan (Wiradi, 2000 dan Tjondronegoro, 1999). Pada masa reformasi,
seiring pemberlakuan desentralisasi dan penguatan isu demokratisasi, UUPA
sebagai produk hukum yang mengatur struktur penguasaan SDA berada di
persimpangan kepentingan populisme dan neoliberalisme, keduanya berebut
wacana dan praktik dalam menentukan arah ekonomi politik (Ya’kub, 2004 dan
Setiawan, 2004).
Otonomi Daerah (OTDA) mengubah sistem tata pengaturan dan
pemerintahan di Indonesia secara mendasar. UU No 32 Tahun 2004 merupakan
produk hukum yang membuka kesempatan pada penegakan kedaulatan lokal,
keberdayaan dan kemandirian lokal, kesejahteraan sosial, partisipasi masyarakat
dan demokrasi dalam pengelolaan administrasi dan pembangunan, sekaligus
penetrasi kapital dari aktor ekonomi global ke aktor lokal secara langsung melalui
sistem politik yang mengondisikan ekslpoitasi SDA.
Di satu sisi, pembangunan berkelanjutan merupakan paradigma, narasi, dan
strategi baru untuk menciptakan pertumbuhan yang lestari. Kelestarian
pertumbuhan memerlukan prasyarat berupa kelestarian daya dukung lingkungan
dan sosial. Prasyarat tersebut terpenuhi dengan cara pengelolaan SDA yang
berefisiensi tinggi. Efisiensi ini diharapkan dapat terwujud melalui OTDA karena
OTDA mendekatkan akses para aktor pembangunan daerah terhadap potensi
daerahnya. Dengan demikian, OTDA secara teoritis merupakan sistem politik
yang sejalan dengan cita-cita pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan yang merupakan paradigma baru dalam
menciptakan pertumbuhan berada dalam setting ekonomi politik pasar
kualitas daya dukung lingkungan menjadi corak pelaksanaan OTDA di Indonesia
(Kompas, 2009abc). Menurut Kartodiharjo (2006), masalah-masalah mendasar ekonomi politik SDA di Indonesia sejak pemberlakuan OTDA adalah:
1) Keterbukaan pasar dan permintaan SDA yang tinggi tanpa kepastian hak
atas tanah dan SDA lain.
2) Substansi peraturan perundang-undangan cenderung bersifat eksploitatif
terhadap SDA.
3) Tindakan eksploitasi SDA secara illegal menjadi instrumen pembenaran bagi pemerataan pemanfaatan SDA oleh masyarakat di kawasan SDA
yang dimaksud.
4) Proses-proses politik, terutama di lembaga legislatif baik pusat maupun
daerah, cenderung mengarah pada eksploitasi SDA.
Kawasan pesisir Kulon Progo merupakan sumber utama mineral pasir besi
di propinsi DIY. Pemerintah melaporkan, cadangan total pasir besi di kawasan
pesisir Kulon Progo sebesar 605 juta ton dengan kandungan Fe sekitar 10.8% dan
proporsi tertinggi cadangan pasir besi sampai pada kedalaman 6-14 meter dari
permukaan dengan total cadangan sekitar 273 juta ton dengan kandungan Fe
(mineral biji besi) sekitar 14.2% (Mulyono, 2008)3. Impor pig iron untuk bahan baku pembuatan baja Indonesia diperkirakan 4 juta ton/tahun4. Potensi pasir besi
di pesisir Kulon Progo diharapkan oleh pelaku industri dapat mengurangi
ketergantungan bahan baku baja nasional (Anonim, 2008). Pertambangan ini akan
dijalankan pada lahan dengan luas konsesi 3000 ha, 929 titik lokasi, dan dengan
investasi US $ 600 juta untuk pertambangan dan US $ 1,1 M untuk infrastruktur5.
Relasi kekuasaan di masa OTDA secara teoritis membuka kesempatan
kepada negara, pasar, dan masyarakat untuk berposisi relatif setara satu sama lain.
Akan tetapi, relasi kekuasaan yang setara tersebut tidak pernah terjadi, yang
muncul justru penguatan watak hubungan mutualistik antara negara dan pasar
3 Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan Pasir Besi di Kulon Progo. Diskusi Publik:”Pertambangan Pasir Besi Kulon Progo dan Masa Depan Aset Bangsa”, di PTS Yogyakarta Sabtu, 28 Juni 2008 Yogyakarta.
4 Proyek Pertambangan Pasir Besi, PT JM, 2008
5 Perjanjian di dalam kontrak karya menyebutkan: Sebesar 1,5 % dari penjualan per tahun pada 10
sebagai agen kapitalisme (negara-kapitalis), sejalan dengan marjinalisasi
masyarakat (Gambar 1). Meskipun struktur penguasaan SDA empiris mengarah
pada hegemoni negara-kapitalis (kelompok dominan) kepada rakyat, namun
sesungguhnya kekuasaan tidaklah dimiliki oleh kelompok dominan secara mutlak,
kekuasaan tidak terpusat melainkan tersebar. Hal ini tampak sebagai
bentuk-bentuk perlawanan rakyat pada kebijakan pertambangan pasir besi itu dengan
membentuk organisasi akar rumput (Grass Root Organization, GRO) dengan agenda politis.
Gambar 1. Struktur Penguasaan SDA Empiris (sumber Sitorus dan Wiradi, 1999)
Keterangan:
Hubungan interaksi Negara dengan Pasar yang mutualistik.
Hubungan interaksi Negara-kapitalis dengan Masyarakat
yang bersifat hegemonik, melalui marjinalisasi.
Hubungan produksi Negara-kapitalis dengan SDA yang
berorientasi pasar.
Hubungan produksi Masyarakat dengan SDA yang melemah.
2.2 Teori Desentralisasi
Friedman membatasi desentralisasi6 sebagai pembagian kewenangan;
tanggungjawab; atau fungsi oleh pemerintah di level lebih tinggi (pusat) kepada
6 Desentralisasi dibedakan dengan devolusi (desentralisasi politik) dan dekonsentrasi
(desentralisasi administrasi) dalam hal sifat otonomi dari daerah otonom secara politik dan administrasi. Devolusi menuntut pelimpahan otoritas politik secara penuh, sedangkan dekonsentrasi pelimpahan administrasi tanpa otoritas politik. Desentralisasi di Indonesia berada di antara kedua kutub kepentingan devolusi dan dekonsentrasi, sehingga ada pembatasan otoritas daerah secara politik maupun administrasi (Imawan, 2005: 41-43). Pemilihan bentuk pemerintahan
Negara Pasar
pemerintah di level lebih rendah (daerah)7 (Imawan, 2005: 40). Definisi serupa
dikemukakan oleh Litvack dan Seddon8 serta Rondinelli dengan penekanan pada
pengalihan kekuasaan politik (transfer of political power), sehingga desentralisasi bertujuan politik sebagai bagian dari demokratisasi untuk pencapaian efisiensi dan
efektivitas secara administratif (Wasistiono, 2005: 61).
Demokratisasi dibatasi sebagai proses perubahan struktur politik otoriter
menjadi struktur politik yang memungkinkan diversifikasi kekuasaan (Imawan,
2005:43). Demokratisasi muncul sebagai reaksi atas kesenjangan kekuasaan
dalam tata negara, yang ditandai dengan penyempitan partisipasi rakyat oleh
pemerintah9. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, bentuk demokratisasi muncul
sebagai gagasan good governance10.
Good governance dipopulerkan secara efektif oleh oleh World Bank dalam Sub-Saharan Africa: from Crisis to Sustainable Growth (1989) (Pratikno, 2005). Governance dibatasi oleh World Bank sebagai cara pemerintah (the act of government) menggunakan kekuasaan untuk mengelola sumberdaya dalam pembangunan11, dan oleh UNDP sebagai penggerakan kewenangan politik,
ekonomi, dan administrasi untuk mengelola urusan negara pada semua level12.
Konsekuensi dari penerimaan gagasan governance ini adalah 1) ruang pemerintahan tidak didominasi oleh pemerintah, tetapi membuka keterlibatan civil sebagai Daerah Otonom dalam Negara Kesatuan, bukan Negara Federal, merupakan bukti pemaknaan desentralisasi di Indonesia yang berbeda dengan konsep devolusi dan dekonsentrasi. 7…a ‘superior’ government assigns responsibility, authority, or function to ‘lower’ government unit that is assumed to have some degree of authority (Freidman dalam Shabbir 1983:35 cit. Imawan, 2005:40).
8 The transfer of authority and responsibility for public from the central government to subordinate or quasi-independent government organization, or the private sector (Litvack dan Seddon, 1992: 2 cit. Wasistiono, 2005:61).
9 Laporan Johannen dan Gomez (Democratic Transition in Asia, 2001) mengenai demokratisasi di Asia, dan Gunther et al. (The Politics of Democratic Consolidation, 1995) mengenai demokratisasi di Eropa Selatan menunjukkan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi nasional untuk menampung aktor-aktor baru (non pemerintah) dalam politik menjadi awal gelombang demokratisasi (Imawan, 2005: 44).
10 Pemahaman atas good governance dimudahkan oleh Thompson dengan menghadirkan istilah kebalikannya, yaitu bad governance yang dicirikan dengan 1) ketiadaan batas yang tegas antara sumber-sumber milik rakyat dan milik pribadi, 2) ketiadaan aturan hukum yang jelas dan sikap pemerintah yang kondusif bagi pembangunan,3) regulasi yang berisiko pada ekonomi berbiaya tinggi, 4) ketiadaan prioritas pembangunan yang konsisten, dan 5) ketiadaan transparansi dalam pengambilan keputusan (Ibid: 46).
11 The way state power is used in managing economic and social resources for development society (Wasistiono,2005: 54).
society dan private sector, 2) peran negara tidak lagi regulatif, melainkan fasilitatif, 3) pembangunan berkelanjutan dilaksanakan atas prasyarat legitimasi
politik dan konsensus, dan 4) perampingan birokrasi. Dengan demikian,
desentralisasi merupakan sistem politik yang kondusif bagi terselenggaranya
governance menurut definisi World Bank maupun UNDP. Pelibatan sektor swasta dan masyarakat sipil dibangun atas asumsi bahwa pemerintah merupakan sumber
kegagalan pembangunan, sehingga pemerintahan yang baik (good governance)13 adalah yang less government14(Praktikno, 2005).
Pemaknaan good governance oleh World Bank sebagai sound development management dirumusan melalui Washington Consensus15 yang memengaruhi kebijakan pembangunan Indonesia di akhir 1990an. Good governance versi sound development management dikatakan oleh Peters (2001:21) cit. Praktino (2005) sebagai pemerintahan model deregulasi (deregulated government) atau pemerintahan model pasar (market government). Demokratisasi dijalankan dengan memaksa negara untuk berbagi kekuasaan dengan aktor-aktor non negara.
2.3 Teori Penguasaan SDA (Land Tenure)
Jaminan atas hak kepemilikan (property rights) menjadi salah satu butir dalam good governance. Locke memandang kepemilikan sebagai klaim moral
13 UNDP mengajukan 9 kriteria good governance sebagai berikut: 1) partisipasi (participation), 2) penegakan hukum (rule of law), 3) transparansi (transparency), 4) daya tanggap (responsiveness), 5) berorientasi pada consensus (consensus orientation), 6) kesetaraan (equity), 7) keefektifan dan efisiensi (effectiveness and efficiency), 8) akuntabilitas (accountability), dan 9) visi strategis (strategic vision).
14 Pemerintahan yang besar (big government) akan menjadi sumber bagi kepemerintahan yang buruk (bad governance) karena dalam operasionalisasi World Bank tidak representatif dan merupakan sistem non pasar yang tidak efisien (Weiss, 2000:801 cit. Pratikno, 2005: 235).
atas hak-hak yang muncul dari pencampuran buruh dan tanah16, sedangkan
pendapat oposannya, Marx17, memandang bahwa kepemilikan adalah pemberian.
Berbeda dengan Locke dan Marx, Proudhon (1849)18 dan MacPherson (1978)19
memandang kepemilikan bukan sesuatu yang alami (natural), melainkan klaim yang memperoleh legitimasi sosial. Maine (1917) cit. Peluso dan Ribot (2003) mengemukakan bahwa hak kepemilikan dikendalikan oleh sekelompok hak (a bundle of rights), yang dicirikan dengan penguasaan si pemilik hak untuk memiliki, menggunakan, mewariskan, dan memindahkan penguasaannya kepada
pihak lain. Schlager dan Ostrom (1992) membuat uraian atas a bundle of rights itu sebagai berikut:
1. Hak atas akses (rights of access), yaitu hak untuk memasuki wilayah tertentu, berlaku bagi pemanfaat yang diijinkan (authorized users), pemakai atau penyewa (claimant), kepunyaan (propeitors), dan pemilik (owners).
2. Hak pemanfaatan (rights of withdrawal), yaitu hak untuk mengambil manfaat atas sesuatu dari suatu tempat, berlaku bagi pemakai dan
penyewa, kepunyaan, dan pemilik.
3. Hak pengelolaan (rights of management), yaitu hak untuk mengatur pola pemanfaatan dan mengubah sumberdaya yang ada untuk tujuan tertentu,
berlaku bagi pemakai atau penyewa, kepunyaan, dan pemilik.
4. Hak pembatasan (rights of exclusion), yaitu hak untuk membatasi akses pihak lain terhadap sesuatu dan membuat aturan pemindahan hak ini,
berlaku bagi kepunyaan dan pemilik.
5. Hak pelepasan (rights of alienation), yaitu hak untuk melepaskan penguasaan atas sesuatu, berlaku bagi pemilik saja. Hak pelepasan
16 …property as the moral claim to rights arising from mixing of labor with land (Peluso dan Ribot, 2003:156).
17 Property is appropriation, thus the rights that derived from combining labor and land or resource use were superceded by state backed institutions of property, causing him (Marx) to regard property as theft (Ibid: 156-157)
18One author teaches that property is a civil rights, based on occupation and sanctioned by law; another holds that it is a natural rights, arising from labor, and these doctrines, though they seem opposed, are both encouraged and applauded. I (Proudhon) contende that neither occupation nor labor nor law can create property, which is rather an effect without cause (Ibid:155).
merupakan hak tertinggi karena pemilik mampu berbuat apa saja atas
sesuatu yang diklaim sebagai miliknya.
Menurut sifat kepemilikan dan aktornya, FAO (2002) membagi kepemilikan
SDA menjadi empat kategori, yaitu:
1. Kepemilikan privat
Hak atas sesuatu yang melekat pada seseorang, sekelompok orang, atau
badan hukum, pemilik dapat mengambil manfaat sepenuhnya atas apa yang
dimilikinya. Contoh: pekarangan yang dimilki oleh sebuah rumah tangga.
2. Kepemilikan komunal
Hak atas sesuatu melekat pada sekelompok masyarakat tertentu di suatu
kawasan secara bersama-sama, anggota masyarakat lain dapat turut mengambil
menfaat jika diijinkan oleh masyarakat yang terlekati hak tersebut. Contoh: hutan
adat suatu kelompok masyarakat.
3. Kepemilikan negara
Hak atas sesuatu yang melekat pada negara dan pertanggungjawabannya
diserahkan pada aparat negara sektoral. Kewenangan negara dalam mengakses
sesuatu mengatasi kewenangan pribadi atau komunal. Contoh: hutan negara.
4. Open acces
Hak atas sesuatu melekat pada siapa saja, sehingga siapapun dapat
mengambil manfaat atas sesuatu itu. Contoh: udara.
Ellsworth (2002) memberi istilah yang lebih luas bagi hak kepemilikan
(property rights) dengan istilah kepastian tenurial (tenure security)20. Selanjutnya Ellsworth memetakan ada empat aliran pemikiran yang membentuk kepastian
tenurial, yaitu:
a. Aliran Property Rights
Aliran ini menempatkan kepemilikan privat sebagai hubungan penguasaan
yang terkuat, sehingga pencapaian status pemilik individu perlu diupayakan
secara legal. Asumsi dasar yang dibangun dari aliran pemikiran ini adalah:
1) Tujuan utama dari property adalah produksi dan akumulasi kapital. 2) Mekanisme pasar adalah transaksi yang paling efisien dalam peralihan
hak kepemilikan.
3) Ketimpangan kepemilikan tidak akan terjadi sejauh dilakukan
kompensasi pada pihak yang terlepaskan hak kepemilikannya.
4) Sumberdaya menjadi jaminan dalam akses modal, sehingga formalisasi
atas hubungan subyek dengan sumberdaya sangat penting untuk
dilakukan.
Aliran pemikiran ini digerakkan oleh ekonomi pasar bebas dan banyak
dianut oleh pakar hukum dan ekonomi di Indonesia.
b. Aliran Agrarian Structure Tradition
Aliran ini menekankan pada kemerataan distribusi sumberdaya daripada
status kepemilikannya, upaya formalisasi sumberdaya secara individu tidak serta
merta meningkatkan efisiensi. Kepastian tenure terletak pada kemauan politik pemerintah untuk menjamin distribusi penguasaan sumberdaya yang merata. Land reform adalah upaya yang sesuai untuk mencapai tujuan itu. Undang-undang No 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria menganut aliran pemikiran ini.
c. Aliran Common Property Advocates
Aliran ini menekankan pada akses terbatas atas suatu sumberdaya bersama
tanpa kepemilikan yang bersifat privat. Aliran ini membedakan dirinya dengan
open acces dengan keberadaan pertanggungjawaban bersama para pengguna. Aliran ini berasumsi bahwa :
1) Efisiensi terletak pada pengelolaan bukan pada status kepemilikan.
2) Kepemilikan yang bersifat privat tidak dapat diterapkan pada
3) Masyarakat adat mempunyai mekanisme yang lebih efisien dalam
mengelola keberlanjutan fungsi sumberdaya meskipun tanpa dukungan
hukum positif.
4) Manfaat dari nilai-nilai sosial lebih diutamakan daripada manfaat
ekonomi.
Pengelolaan secara adat/berbasis masyarakat atas suatu sumberdaya adalah
contoh dari penganutan aliran ini, misalnya sasi.
d. Aliran Institutionalist
Aliran ini menekankan perhatiannya pada pengaruh ekonomi politik makro
pada rejim-rejim penguasaan sumberdaya. Pengamatan terhadap politik akses dan
kontrol atas suatu sumberdaya oleh beragam aktor sosial menjadi titik tolak aliran
pemikiran ini. Kekuasaan dan distribusi menjadi konsep kunci untuk memahami
bentuk rejim penguasaan sumberdaya, daripada tipe property. Menurut aliran ini, kepastian tenurial berasal dari kemampuan untuk memobilisasi kekuatan untuk
menegakkan dan mempertahankan klaim. Rejim Agrarian Structure Tradition dan Common Property Advocates pun tidak kebal atas segala bentuk privatisasi, transaksi ekonomi bukan hanya terjadi melalui mekanisme pasar tetapi juga pada
ranah politik (kebijakan) dan budaya (penyewaan tradisi). Aliran ini lebih tepat
berbentuk sebagai kerangka pemikiran daripada rejim penguasaan.
Jika hak kepemilikan dikendalikan oleh sekelompok hak (a bundle of rights), maka akses dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan (a bundle of powers) (Peluso dan Ribot, 2003). Kekuasaan lebih berperan daripada klaim dalam pengambilan manfaat atas suatu sumberdaya. Sekelompok orang mungkin
tidak mempunyai hak menurut hukum yang berlaku, namun kekuasaan yang
melekat padanya memungkinkannya untuk mengakses sumberdaya, bahkan
membuat klaim kepemilikan atau menentukan struktur penguasaan atas
sumberdaya. Kekuasaan kemudian menjadi konsep penting untuk menelaah
struktur penguasaan sumberdaya dalam perspektif kelas, ranah di mana konflik
2.4 Teori Konflik
Kekuasaan dan konflik SDA dijelaskan oleh Teori Konflik Dahrendorf yang
menyatakan bahwa konflik bersumber dari ketimpangan distribusi kekuasaan
(Vago, 1989). Kekuasaan tidak tercermin pada pemilikan alat produksi semata,
tetapi jauh lebih luas yaitu kontestasi aktor sosial dalam kontrol perilaku dan
wacana pembentuk kesadaran aktor sosial yang lain, sehingga tujuan utama yaitu
akses sumberdaya tercapai dengan pembenaran (legitimate).
Menurut Dahrendorf, masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan
konsensus. Konflik tidak akan lahir tanpa ada konsensus sebelumnya. Konsep
konsensus menurut teori konflik merupakan ketidakbebasan yang dipaksakan,
bukan hasrat untuk stabil sebagaimana menurut teori fungsionalisme. Dengan
demikian, posisi sekelompok orang dalam struktur sosial menentukan otoritas
terhadap kelompok lainnya (otoritas berada di dalam posisi). Otoritas tidak
bersifat stabil, hal ini karena masyarakat adalah asosiasi yang dikoordinasikan
secara imperative (mutlak), masyarakat tampak sebagai asosiasi yang dikendalikan oleh hirarki posisi otoritas. Suatu ketika seseorang berada pada
posisi superordinat, di suatu ketika yang lain ia berada di posisi subordinat.
Kepentingan menjadi konsep kunci untuk memahami posisi aktor sosial dan
berikut otoritasnya. Kepentingan dikategorikan oleh Dahrendorf menjadi
kepentingan tersembunyi dan kepentingan nyata (kepentingan tersembunyi yang
telah disadari). Berdasarkan kesamaan kepentingannya, Dahrendorf membagi
kelompok menjadi 1) kelompok semu (quasi group), yaitu sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan sama, 2) kelompok kepentingan, yaitu agen riil dari
konflik kelompok, dan 3) kelompok konflik, yaitu kelompok yang terlibat dalam
konflik aktual (Ritzer dan Goodman, 2003). Kategorisasi kelompok ini berguna
untuk memetakan aktor berdasarkan kepentingannya, terutama pada konflik di
berbagai aras (multilevel conflict), baik pada ranah material maupun ranah proses kebijakan.
Dahrendorf mengemukakan bahwa konflik juga menyebabkan perubahan
dan perkembangan, akan tetapi penjelasan yang cukup baik mengenai fungsi
terstruktur secara longgar, 2) konflik dapat membantu dalam pembangunan kohesi
sosial melalui aliansi, 3) konflik dapat meningkatkan peran individu yang semula
terisolasi, dan 4) konflik dapat membantu fungsi komunikasi pihak yang
berkonflik demi suatu solusi.
Kelemahan metodologis Teori Konflik Dahrendorf adalah bersifat
makroskopik, sehingga konflik-konflik di tingkat individu atau yang bersifat
internal terabaikan. Randall Collins, dalam Conflict Sociology (1975), mencoba membangun teori konflik yang lebih sintesis dan integratif dengan mengamati
tingkat mikro karena menurutnya stratifikasi dan organisasi didasarkan atas
hubungan timbal balik dari hidup keseharian21. Berdasarkan pemikiran Marx
mengenai keterlibatan kondisi material dalam pencarian nafkah masyarakat
modern, Collins berpendapat bahwa 1) aktor yang mempunyai kontrol atas
sumberdaya akan lebih mampu menafkahi hidupnya secara lebih memuaskan
daripada aktor yang tidak memiliki kontrol sehingga ia menjual tenaganya untuk
dapat mengakses alat produksi, 2) kelas sosial dominan lebih mampu
mengembangkan kelompok sosial ketimbang kelas sosial subordinat, dan 3) kelas
dominan lebih mampu mengembangkan simbol dan sistem ideologi yang
dipaksakan kepada kelas subordinat.
Menilik kembali bagian sebelumnya tentang pembentukan struktur
penguasaan SDA, kekuasaan (otoritas), posisi, dan kepentingan sebagai
konsep-konsep kunci dalam Teori Konflik Dahrendorf digunakan untuk memahami
hubungan interaksi aktor-aktor sosial dalam struktur penguasan sumber-sumber
agraria. Sedangkan dalam perspektif Marxian, hubungan aktor-aktor sosial
(material forces of production: capital, technology, human) dengan sumber agraria tersebut berupa hubungan produksi (relations of productions) yang dapat membentuk kerangka kesadaran sosial (superstructures and the ideas). Di dalam kerangka pemikiran seperti apakah hubungan manusia-alam itu terbentuk berikut
sifatnya, diuraikan lebih lanjut dalam Teori Ekologi Manusia.
21 Kontribusi utama untuk teori konflik adalah menambah analisis tingkat mikro terhadap teori
2.5 Teori Ekologi Manusia
A.Sejarah Disiplin Ekologi Politik
Ekologi dibatasi sebagai ilmu yang mempelajari rumah tangga lingkungan
(Odum, 1971). Ekosistem, istilah yang mengacu ruang interaksi
komponen-komponen penyusun lingkungan, dikonseptualisasi oleh berbagai disiplin ilmu
menurut kepentingannya, ekonomi menyebutnya SDA, biologi menyebutnya
lingkungan hidup, studi pembangunan dan kependudukan menyebutnya daya
dukung, ilmu sosial menyebutnya sumber-sumber agraria dan ilmu politik
menyebutnya ruang fisik di mana berbagai kepentingan bertemu. Teori Ekologi
Manusia kemudian muncul untuk menjembatani ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu
sosial, menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungan terkait dengan
perubahan lingkungan akibat aktivitas manusia. Krisis ekologi yang mengacu
pada metafisik dibedakan dengan krisis lingkungan yang bersifat fisik22.
Ketidakseimbangan hubungan manusia dengan alam sebagai penyebab
krisis ekologi membuka relung-relung kajian baru mengenai bagaimana hubungan
tersebut diperbaiki. Antropologi ekologi mempelajari interaksi manusia dengan
lingkungannya dalam membentuk kebudayaan suatu masyarakat, dan sebaliknya
pemaknaan dan tindakan manusia terhadap alam mengubah karakteristik suatu
lingkungan (Moran, 2006)23. Catton dan Dunlap memperkenalkan sosiologi
lingkungan sebagai disiplin yang mempertautkan sistem ekologi dengan sistem
sosial—pengetahuan, nilai-nilai, ideologi, komunitas dan identitas, kelas,
teknologi, nutrisi, organisasi sosial, pola penatatagunaan sumber-sumber agraria,
konflik pemanfaatan SDA, gerakan, dan perubahan sosial (Sumarti, 2007).
Penjelasan ekonomi politik dari krisis ekologi terdapat pada ekologi politik, yang
merupakan perkembangan dari ekologi budaya dan sosiologi lingkungan
(Dharmawan, 2007), yang menekankan pada ekonomi politik SDA dan
hubungan-
22 Hutan gundul, tanah longsor, sungai tercemar,udara terpolusi merupakan contoh-contoh krisis
lingkungan penyebabnya fisik mekanistik. Pencemaran air; tanah; udara, penggundulan hutan, erosi genetik, merupakan contoh-contoh krisis ekologi yang bersumber pada bentuk kesadaran dan tindakan manusia yang mewujud sebagai tatanan sosial, ekonomi, budaya, politik bahkan ideologi suatu masyarakat. Krisis lingkungan mungkin selesai dengan pemecahan teknis, namun penyelesaian krisis ekologi menuntut perubahan cara pandang manusia terhadap alam dan relasi kekuasaan atas SDA, kemutakhiran teknologi dalam memanipulasi proses-proses kimiawi polutan tidak dapat mengubah cara hidup manusia.
hubungan kekuasaan atas SDA (Blaikie, 1985; Bryant, 1998; Forsyth, 2003; dan
Peluso, 2006). Ginealogi evolusi pengetahuan yang melahirkan ekologi politik
tersaji pada Gambar 2.
Ekologi politik (political ecology) berbeda secara mendasar dengan politik lingkungan (environmental politics) dalam hal sejarah; tujuan; landasan teori; dan metodologi24. Ekologi politik mampu menerangkan kondisi empirik penguasaan
SDA yang sistemik (Bryant dan Bailey, 2000), sedangkan politik ekologi mampu
menjelaskan berbagai alternatif pengelolaan kondisi sistemik tersebut demi
kepastian hukum (Garner, 1999). Perbedaan utama antara ekologi politik (political ecology) dan politik ekologi (ecological politics/environmental politics) adalah sebagai berikut:
[image:41.612.88.521.88.758.2]
Tabel 1. Perbedaan antara Ekologi Politik dan Politik Ekologi
Pembeda Ekologi Politik
Politik Ekologi
Tema sentral Ekologi Politik
Ranah kajian dominan Ilmu
Lingkungan dan
pembangunan,
geografi, sosiologi
Ilmu politik
Fokus Manajemen
kekuasaan atas SDA
Manajemen
SDA
Hasil Kelembagaan
SDA
Kebijakan
SDA
[image:42.612.98.501.78.699.2]
Keterangan: interaksi, hasil, cabang
Gambar 2. Ginealogi Evolusi Pengetahuan Ekologi Politik
Biologi‐Kimia‐Fisika
Antropologi Ekologi
Antropologi Ekologi Sosiologi
Sosiologi Lingkungan
Ekologi Politik
(Political Ecology)
Ekonomi Politik
Politik
Politik Lingkungan
(Environmental Politics)
B.Definisi Ekologi Politik
Batasan ekologi politik mengacu pada tujuan pengkajian obyek formal.
Forsyth (2003) mencatat ada beberapa pengertian yang merujuk pada kajian
ekologi politik, Blaikie dan Brookfield (1987) misalnya menitikberatkan pada
interaksi antara ekologi dan ekonomi politik25, Russet (1967) memberi batasan
ekologi politik sebagai hubungan-hubungan antara sistem politik, sosial, dan
lingkungan fisik26, Lipietz (2000) membatasinya dalam perdebatan Marxian
mengenai keadilan, materialisme, dan alam dalam masyarakat kapitalis, dengan
pencermatan pada keadilan distribusi hak dan sumberdaya27. Beberapa batasan
ekologi politik berikut tujuannya disajikan dalam Tabel 2. Penelitian ini merujuk
pada batasan yang dikemukakan oleh Watts (2000) dalam Robbins (2004) yaitu
ekologi politik sebagai pendekatan untuk memahami hubungan-hubungan yang
kompleks antara alam (nature) dan masyarakat (society) melalui analisis yang cermat mengenai bentuk-bentuk akses dan penguasaan sumberdaya dan
implikasinya bagi kesehatan lingkungan (environmental health) dan keberlanjutan matapencaharian.
25 The phrase “political ecology” combines the concerns of ecology and a broadly defined political economy. Together this encompasses the constantly shifting dialectic between society and land based resources, and also within classes and groups within society itself (Forsyth, 2003:3 ). 26As ecology is defined as the relation of organisms or groups of organisms to their environment, I have attempted to explore some of the relations between political systems and their social and physical environment (Ibid:3).
Tabel 2. Batasan-batasan Ekologi Politik
Sumber Batasan Tujuan
Blaikie dan Brookfield (1987) dalam Dharmawan (2007)
Combines the concerns of ecology and a broadly defined political
economy.
Explain environmental change in terms of constrained local and regional production choices within global political economic forces largely within a third world and rural context.
Watts (2000) dalam
Robbins (2004)
An approach to
understand the complex relations between nature and society through a careful analysis of what one might call the forms of access and control over resources and their implications for
environmental health and sustainable livelihoods
Explain environmental conflict especially in terms of struggles over
“knowledge, power, and practice” and “politics, justice, and governance”.
Bryant dan Bailey
(1997) dalam Forsyth
(2003)
A debate focuses on interactions between the state, non state aktors, and the physical environment.
C.Pendekatan-pendekatan Ekologi Politik
Bryant (1998) membagi perkembangan pendekatan-pendekatan ekologi
politik dalam tiga fase, yaitu 1) fase pertama, yaitu pendekatan struktural yang
menempatkan struktur ekonomi politik sebagai basis analisis bagi krisis ekologi
sehingga melahirkan rantai penjelasan (Neomarxian)28, 2) fase kedua, yaitu
pendekatan aktor yang menempatkan relasi-relasi kekuasaan sebagai analisis
dengan menekankan pada bentuk-bentuk perlawanan29 sehingga melahirkan
jaringan-jaringan relasi kekuasaan atas SDA (Neoweberian), 3) fase ketiga ialah
pendekatan post-strukturalis30 yang mengangkat teori wacana, pengetahuan, dan
kekuasaan sebagai analisis dengan menekankan jalinan kuasa dan pengetahuan
dalam menentukan arah dan peta perubahan lingkungan (Foucauldian)31.
Ketiganya tidak meninggalkan relasi ekonomi politik dan proses-proses ekologis.
Lebih lanjut, Bryant menganjurkan perluasan bidang garapan ekologi politik pada
masalah-masalah perairan (non tanah), kesehatan masyarakat, kependudukan, dan
keadilan sosial. Forsyth (2008) mengemukakan, pertemuan karya-karya Blaikie
28 Contoh yang paling tampak adalah The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countries karya Blaikie (1985)
29 Contoh yang baik adalah Hutan Kaya Rakyat Melarat Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa karya Peluso (2006).
30 Post-strukturalisme sebagai bagian dari Postmodernisme memfokuskan diri dalam kerja pewacanaan pola linguistik yang memproduksi subjektivitas dan identitas. Bahasa atau narasi sebagai pintu masuk sistem pengetahuan, selanjutnya sistem pengetahuan membentuk kesadaran (kerangka pemikiran, paradigma, ideologi). Sistem pengetahuan terkait dengan kekuasaan. Struktur bahasa tertentu merefleksikan struktur kekuasaan tertentu, misalnya dalam struktur Bahasa Jawa ada hirarki Kromo Inggil, Kromo Madya, dan Ngoko yang digunakan oleh pengguna dari struktur sosial yang berbeda-beda. Kromo Inggil digunakan oleh bawahan kepada majikan, atau kepada orang yang dituakan atau dihormati, Kromo Madya digunakan dalam relasi yang lebih setara, dan Ngoko digunakan oleh majikan kepada bawahan, atau sesama bawahan sebagai ciri bahasa kelas rendah. Kosakata dalam Kromo Inggil tidak menyediakan kata-kata umpatan, sedangkan dalam Ngoko kata-kata itu tersedia, sehingga seorang bawahan tidak dapat melakukan protes secara lugas atau mengemukakan kekecewaannya kepada majikan. Perbedaan Postmodernisme dan Post-strukturalisme adalah Postmodernisme berorientasi pada kritik kebudayaan, sedangkan Post-strukturalisme berkonsentrasi pada metodologi dan epistemologinya, dapat berupa dekonstruksi, penggalian makna dan simbol/narasi, atau analisis wacana (discourse analysis). Post-strukturalisme merupakan kritik sekaligus lanjutan dari Strukturalisme (dalam kerangka menemukan struktur). Strukturalisme membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan secara oposisi (oposisi biner, seperti: borjuis-proletar, penindas-tertindas, manusia-non manusia, lelaki-perempuan). Kritik utama Post-strukturalisme terhadap Strukturalisme 1) tentang makna adalah bahwa makna tidaklah bersifat stabil, melainkan dalam proses, 2) tentang kebenaran bahwa setiap masyarakat mempunyai rezim kebenaran yang direproduksi melalui a) wacana yang diterima, b) mekanisme penyalahan, dan c) alat sanksi, dan d) dialektika yang mengukuhkan rezim dengan proses-proses pendisiplinan atau rutinisasi.
dengan kenyataan bahwa krisis ekologi berdampingan dengan kerentanan sosial
menjadi landasan bagi epistemologi ekologi politik yang berkeadilan sosial.
Penelitian ini secara metodologis lebih dekat pada tradisi dari fase ketiga,
dengan menekankan pada bentuk-bentuk hegemoni yang berangkat dari
penggalian makna dan narasi (tidak sampai pada analisis wacana dan
dekonstruksi). Hegemoni menurut Gramsci adalah penguasaan moral dan intelektual kelompok dominan terhadap kelompok subordinat secara konsensual, muara hegemoni adalah kontrol ideologi (Patria dan Arif, 1999; Roger, 1999; dan
Sugiono, 1999). Relasi pengetahuan dan kekuasaan dijelaskan oleh Foucault
sebagai dua sisi yang saling melengkapi32 keduanya (pengetahuan dan
kekuasaan) pada akhirnya direproduksi dalam rangka menciptakan hegemoni
namun dalam konteks post-struktural. Hegemoni dengan pendekatan Gramsci
mempunyai keterbatasan untuk diterapkan pada kekuasaan yang tersebar,
sementara gagasan knowledge/power Foucault terlampau jauh untuk mewadahi praktik-praktik yang mengarah pada hegemoni.
Transisi metodologi dari hegemoni struktural Gramsci menuju relasi
kekuasaan post-struktural Foucault diperlukan. Alur tersebut akan dibangun
melalui Teori Kelas Dahrendorf, Teori Akses Peluso, hingga kemunculan
gagasan Governmentality33.
32Knowledge linked to power, not only assumes the authority of 'the truth' but has the power to make itself true. All knowledge, once applied in the real world, has effects, and in that sense at least, 'becomes true.' Knowledge, once used to regulate the conduct of others, entails constraint, regulation and the disciplining of practice. Thus, 'There is no power relation without the correlative constitution of a field of knowledge, nor any knowledge that does not presuppose and constitute at the same time, power relations (Foucault. Discipline and Punishment, London, Tavistock, 1977, p27.)
Konflik dan perubahan sosial dalam hubungannya dengan kekuasaan cukup
memadai dijelaskan oleh Dahrendorf sebagai ketidakadilan distribusi kekuasaan
sebagai pembeda kelas sosial dan sumber konflik34, teori konflik Dahrendorf
memungkinkan perluasan kajian menuju relasi-relasi kekuasaan dibandingkan
dengan teori konflik Marx yang membatasi pada penguasaan alat produksi.
Kelembagaan SDA merupakan pengorganisasian kepentingan. Menurut
perspektif kebijakan publik, syarat utama kelembagaan adalah kepastian hukum
mengenai hak-hak atas SDA. Hak atas SDA di Indonesia mengacu pada teori
kepemilikan (the theory of property rights) yang membatasi kepentingan orang atau kelompok sosial dengan sekelompok hak (a bundle of rights). Sedangkan permasalahan utama konflik sumberdaya bukanlah hak, melainkan akses yang
menurut teori akses (theory of access) dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan (a bundle of powers)35. Peluso dan Ribot (2003) mengemukakan bahwa hak muncul sebagai klaim yang dilegitimasi oleh seperangkat pengakuan sosial yang
1) The way governments try to produce the citizen best suited to fulfill those governments' policies,
2) The organized practices (mentalities, rationalities, and techniques) through which subjects are governed
3) The "art of government" (Burchell 78), 4) "Governmental Rationality" (Gordon 1991: 1),
5) A ‘guideline’ for the analysis [Foucault] offers by way of historical reconstructions embracing a period starting from Ancient Greece (sic) through to modern neoliberalism”(Lemke 2)
6) “The Techniques and strategies by which a society is rendered governable” (Jones 174)
Li (2007) menggali makna Governmentality melalui penelusurannya atas asumsi-asumsi Foucault tentang kekuasaan, yaitu:1) Pemerintahan diterapkan pada tubuh sosial (populasi, masyarakat) dengan jalan pendisiplinan berupa pendidikan, penataan kebiasaan; aspirasi; dan kepercayaan, hal ini dikarenakan tidak mungkin mendisiplinkan tubuh sosial dengan alat-alat pendisiplinan bagi tubuh individu (sekolah, rumah sakit jiwa, dan penjara). 2) Tujuan pendisiplinan adalah agar tubuh sosial mengikuti kehendak pengendali dengan cara mengikuti kehendak diri sendiri (yang telah disesuaikan dengan kehendak penguasa). 3) Kehendak untuk memerintah (the will to govern), lebih khusus lagi kehendak untuk merekayasa (the will to improve) bersifat ekspansif. 4) Tujuan dari pemerintahan bukan tunggal dan dogmatis dan diselenggarakan dengan berbagai bentuk taktik yang melahirkan pembenaran (a way of thinking about government as the “right manner of disposing things” in pursuit not of one dogmatics goal , but “a whole series of specific finalties” to be achieved through “multiform tactics” [Foucault, 1991:95] dan 5) Pertanyaan analitis dari governmentality adalah bagaimana kekuasaan dioperasikan sehingga pengendalian berjalan tanpa ada perasaan terkendali pada yang dikendalikan.
34 Lihat Vago (1989:39)
mewujud sebagai hukum, adat kebiasaan, dan konvensi, seperangkat pengakuan
sosial ini merupakan konsensus yang menjadi titik tolak praktik-praktik hegemoni
dengan cara-cara represif dan koersif (Peluso, 2006) maupun
penundukan-penundukan secara halus (subtle ways) (Li, 2002).
Li (2003) memperkenalkan kerangka konseptual untuk membedah situasi
konflik melalui pendekatan kekuasaan (a conceptualization of power) dan penelusuran narasi (a repertoire of terms) proyek; posisi; praktik; dan proses. Konflik SDA bekerja pada dua situasi yaitu logika kapitalisme dan kekuasaan
(yang oleh Foucault dilabeli sebagai governmental)36. Proyek adalah istilah yang mengacu pada jenis kegiatan baik yang berupa proyek pemerintah, proyek
ekonomi (Swasta), maupun proyek politis (LSM). Posisi mengacu pada daya
tawar masing-masing aktor dalam suatu proyek, ini terkait dengan bagaimana
setiap aktor memosisikan dirinya di dalam arena konflik terhadap aktor lainnya.
Praktik mengacu pada bentuk konkret bagaimana suatu proyek dijalankan dan
posisi itu bekerja. Proses menekankan pada dampak-dampak tak terencana dari
proyek dan praktik melintasi ruang dan waktu.
Pasca ORBA, tidak ada lagi kekuasaan yang terpusat. Relasi kekuasaan
berbeda dengan relasi dominasi dalam hal distribusi kekuasaan. Relasi dominasi
tidak memberi kesempatan kelompok sub