• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman 1 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk di Kabupaten ………... 15 2 Jenis Penggunaan Tanah ………... 16 3 Tingkatan Umur Monyet ... 26 4 Persentase Penggunaan Stratum Vegetasi pada Lokasi Penelitian

(Tangkobange, Lowo dan Matandau) ... 31 5 Sumber Pakan Bange ... 34 6 Karakteristik Kelompok pada Lokasi Penelitian ... 38 7 Perbedaan Bagian Tulang Tengkorak ……… 42 8 Identifikasi Umur ... 49 9 Rerata Ukuran Tengkorak ... 50 10 Hasi Uji-t ... 51 11 Persamaan Ukuran dan Bentuk Tulang Tengkorak Tanpa Rahang

Bawah ... 52 12 Persamaan Linear Ukuran dan Bentuk Tengkorak Jan tan Tanpa

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Bange (Macaca tonkeana) ……….. 1

2 Kerangka Pemikiran ……… 4

3 Profil Habit at di Cagar Alam ...……… 7

4 Peta Penyebaran Monyet... 11 5 Peta Lokasi ...……… 18 6 Skema Rahang . ... 27 7 Skema pengukuran ... ... ... 27 8 Skema pengukuran ... 28 9 Skema pengukuran ... 28 10 Sketsa Penelitian ………. 29

11 Diagram Pemanfaatan Stratum Vegetasi ………... 32

12 Diagram Pemanfaatan Stratum Vegetasi ………. 33

13 Kawasan Perkebunan di Lokasi penelitian ... 35 14 Grafik Gangguan Binatang di Perkebunan ... 37 15 Bagian Depan dan Samping Tengkorak Jantan Dewasa ……... 43 16 Bagian Atas dan Bawah Tengkorak Jantan Dewasa …... 44 17 Tengkorak Bange Jantan Dewasa ... 45 18 Bagian Depan dan Samping Tengkorak Betina Dewasa ...………... 46 19 Bagian Atas dan Bawah Tengkorak Betina Dewasa ... 47 20 Tengkorak Bange Betina Dewasa ... ... 48 21 Grafik Analisis Komponen Utama pada Tengkorak tanpa Tulang

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Hasil Pengukuran Tulang Tengkorak Jantan dan Betina ... 62

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulau - pulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki tingkat endemitas yang paling tinggi di Indonesia. Menurut Whitten et al. (1987) jumlah jenis-jenis mamalia, burung dan reptil yang ada di Sulawesi adalah berturut-turut 26, 27, dan 28% yang tidak terdapat di daerah lain, untuk jenis mamalia endemik akan naik sampai 98% bila kelelawar dikeluarkan.

Sulawesi merupakan pusat keanekaragaman hayati global yang sangat penting di antara daerah-daerah yang lain, karena keunikan fauna vertebratanya. Namun, tekanan yang besar terhadap keberadaan keanekaragaman hayati menempatkan pulau Sulawesi sebagai daerah yang paling besar daftar jenis satwa yang terancam genting dalam daftar Appendix II yang dikeluarkan oleh CITES (Soehartono & Mardiastuti 2002).

Meskipun telah banyak dilakukan survei hutan dataran rendah di Sulawesi untuk evaluasi kehutanan, namun kegunaan dalam ekologi hanya terbatas pada uraian yang bersifat umum, sebab hanya mencacah pohon-pohon yang menghasilkan kayu yang menguntungkan, sehingga hanya sedikit informasi yang berguna bila dilihat dari segi ekologi mengenai komposisi hutan (Whitten 1987).

Laju kerusakan hutan di Kabupaten Morowali terbilang cukup tinggi untuk tiap tahun. Berdasarkan hasil investigasi anggota jaringan WALHI Sulteng, Yayasan Sahabat Morowali, laju penggundulan hutan mencapai angka 500 -800 ha tiap tahun. Data tentang populasi, penyebaran dan habitat Bange di Kabupaten Morowali belum pernah dilaporkan, padahal data tersebut sangat diperlukan sebagai dasar pijakan dalam menentukan kebijakan konservasi yang akan dilaksanakan oleh instansi terkait.

Oleh karena itu suatu penelitian yang menyangkut Kajian Ekologi, Populasi dan Kraniometri Bange (Macaca tonkeana) di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah dianggap perlu untuk dilaksanakan. Hasil penelit ian ini diharapkan dapat melahirkan rekomendasi yang berkaitan dengan upaya konservasi Bange, agar salah satu sumber kekayaan biodiversitas Indonesia dapat dilestarikan.

Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan informasi ekologi (tipe habitat, penggunaan strata vegetasi, sumber pakan, interaksi masyarakat dengan hutan, dan interaksi masyarakat dengan Bange dalam menentukan kebijakan konservasi.

2. Mendapatkan karakteristik populasi Bange (ukuran kelompok, nisbah jantan dan betina dewasa, serta kepadatan populasi) di Kabupaten Morowali.

3. Mendapatkan informasi kraniometri tengkorak Bange (anatomi dan ukuran bagian-bagian tengkorak).

Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi ekologi, karakteristik populasi, dan kraniometri sebagai dasar pijakan dalam menentukan kebijakan konservasi.

2. Memberikan rekomendasi konservasi dalam melestarikan penyebaran Bange di Kabupaten Morowali.

Kerangka Pemikiran

Kehilangan keanekaragaman hayati, genetik, spesies merupakan kehilangan bagi semua orang, untuk sekarang dan masa yang akan datang, apabila dampak penurunan mutu ekosistem dan habitat telah melampaui batas. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka hendaknya dilakukan upaya-upaya yang mengarah pada pelestarian yang bermuatan konsevasi.

Manusia mempunyai peranan yang sangat besar terhadap timbulnya gangguan satwaliar, oleh karena itu dalam melakukan analisis terhadap rangkaian permasalahan gangguan satwaliar, seharusnya dimulai dari unsur manusia yang mempunyai kekuasaan dan kemampuan yang sangat besar dalam penurunan populasi satwaliar khususnya satwa primata di habitatnya.

Secara teoritis berbagai aktivitas manusia yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas habitat dan penurunan populasi akibat perburuan Bange di habitatnya dapat dilihat pada Gambar 2. Skema tersebut menggambarkan populasi kelompok Bange di daerah penyebarannya mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Keadaan ini terjadi tidak hanya disebabkan berkurangnya hutan sebagai habitat, tetapi juga disebabkan terjadinya perburuan. Sejalan dengan tingkat kondisi habitat dan perburuan, maka penurunan populasi akan bervariasi antar lokasi penyebaran di habitatnya. Kecenderungan manusia dalam melakukan perburuan dan penebangan liar yang berlebihan disebabkan berbagai faktor, antara lain untuk memenuhi kehidupan sehari-hari yang merupakan hasil pendapatan mereka.

Kondisi

Permasalahan

Pemecahan Masalah

Gambar 2Skema Kerangka Berpikir Penelitian Bange.

Adanya perburuan yang dilakukan oleh masyarakat, akan mengakibatkan satwa mengalami stress, sehingga mereka cenderung mencari daerah yang lebih aman untuk berlindung dan bersembunyi. Dalam kondisi habitatnya yang merosot, beberapa jenis satwa akan nekad untuk menerobos daerah pertanian atau perkebunan masyarakat, sehingga menyebabkan satwa tersebut dibunuh karena menjadi hama pertanian. Perubahan keadaan lingkungan terutama terjadi karena “illegal logging” yang kontinyu dari hutan primer. Hal ini mengakibatkan hutan primer yang merupakan habitat berbagai spesies primata semakin berkurang.

Penurunan kuantitas habitat juga diikuti penurunan kualitas habitat karena adanya penebangan liar maupun eksploitasi produk hutan lainnya. Kondisi habitat baik secara kuantitatif maupun kualitatif akan menentukan distribusi dan populasi

Ekologi Perburuan Penurunan kualitas habitat Penurunan populasi Identifikasi habitat Identifikasi vegetasi dan pakan Evaluasi populasi Identifikasi sosial ekonomi Kraniometri Rekomendasi konservasi Bange (Macaca tonkeana)

Bange

Sedikitnya informasi

Pengamatan kraniometri

satwa, sehingga perhatian yang lebih serius dari pihak pengelolah atau instansi terkait diharapkan dapat membantu untuk menjaga dampak penurunan kualitas habitat. Dengan berbagai tekanan ini, sudah bisa dipastikan bahwa suatu ketika Bange akan mengalami kepunahan . Untuk itu perlu ditempuh langkah-langkah penyelamatan, perlindungan habitat yan g utuh dalam kawasan konservasi. Agar tetap sesuai dengan keadaan aslinya, sangat dih arapkan pelestarian Bange yang ada di Kabupaten Morowali dapat dipertahan kan. Selain itu langkah -langkah yang perlu dilakukan adalah menetapkan secara definitif batas-batas kawasan konservasi yang merupakan habitat Bange oleh instansi terkait.

TINJAUAN PUSTAKA

Ekologi Habitat

Habitat adalah suatu tempat bagi organisme atau individu biasanya ditemukan. Habitat merupakan hasil interaksi berbagai komponen yaitu komponen fisik yang terdiri dari air, tanah, topografi dan iklim (makro dan mikro) serta komponen biologis yang terdiri dari manusia, vegetasi dan satwa (Smiet 1986). Lebih lanjut menurut Yoakum (1971) dalam Alikodra (1980) menyatakan bahwa komponen habitat terpenting untuk kehidupan satwa liar terdiri dari makanan, air dan “cover”. “Cover” adalah setiap struktur dari sumberdaya lingkungan yang mempertinggi reproduksi dan atau kelangsungan hidup satwa serta melengkapi setiap fungsi alami satwa tersebut (Bailey 1984).

Habitat Macaca tonkeana hampir sama dengan Monyet Hitam Sulawesi lain yaitu hidup pada hutan dataran rendah, hutan sekunder dan hutan dataran tinggi hingga ketinggian 1.300 meter dpl. Selain itu, satwa ini juga mendiami daerah sekitar perladangan, perkebunan dan pesisir (Supriatna 2000).

Sutisna dan Soeyatman (1983) menyatakan bahwa tipe-tipe komposisi jenis pohon yang terdapat di daerah hutan hujan dataran rendah maupun tipe-tipe hutan lainnya diperlukan pada pengelolaan hutan terutama dalam usaha pemulihan mutu tegakan pada hutan bekas tebangan. Struktur vegetasi menyangkut susunan bentuk (life form) dari suatu vegetasi yang merupakan karakteristik vegetasi yang kompleks yang dapat dipakai dalam menentukan stratifikasi baik vertikal maupun horizontal yang menjadi dasar untuk melihat jenis -jenis pohon yang dominan, kedominan dan tertekan (Richard 1964; Cain dan Castro 1971; Soerianegara dan Indrawan 1988; Ewusie 1990).

Menurut laporan World Wildlife Fund (WWF) (1980) bahwa vegetasi hutan dataran Morowali (hutan daratan aluvial) merupakan daerah endapan alluvial yang sangat kompleks dan spesifik di Sulawesi Tengah. Daerah Morowali kaya akan tipe-tipe hutan dan keanekaragaman geologisnya mulai dari basa dan ultrabasa di daerah sebelah barat hingga batu kapur di bagian timur yang mengakibatkan variasi vegetasinya sesuai dengan tipe tanahnya (Gambar 3).

endapan alluvial Gambar 3 Profil Habitat 2x30 m Lahan Ultrabasic di Cagar Alam Morowali,

Horisontal dan Vertic al Pada Area yang sama (Whitten 1987).

Makanan

Menurut Wheatley (1980) dari suatu pengamatan yang terbatas terdapat kesan bahwa monyet memilih buah berdasarkan kematangannya. Penyebaran buah-buahan dalam hutan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku pergerakan monyet.

Lebih lanjut Supriatna (2000) Bange mengkonsumsi berbagai bagian tumbuhan. Komposisi makanan satwa ini antara lain buah 57%, daun 17%, serangga 8%, bunga 4%, tunas pohon 2% dan sisanya berupa rumput, jamur, moluska, tanah dan berbagai jenis vertebrata kecil lainnya. Makanan Bange yang utama berupa buah ara (Ficus sp) yang merupakan porsi terbesar dalam makanannya. Buah lainnya yang dimakan meliputi Myristica sp, Eugenia sp, Arenga pinnata, Garcinia celebica, Pangium edule, Mangifera indica . Selain itu kelompok ini juga memakan daun muda, bunga-bungaan serta tanaman budidaya (Whitten et al. 1987). Selain makan tumbuhan, monyet juga memakan tanah walaupun sedikit. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan

mineral tertentu. Untuk memenuhi kebutuhan protein dan vitamin B kompleks, monyet juga memakan serangga (Jolly 1980 dalam Baihaki et al. 1989).

Adaptasi

Kemampuan hidup dari berbagai spesies primata pada habitat hutan terganggu (disturbed forest) d ipengaruhi oleh faktor yang sangat kompleks (Johns dan Skorupa 1987). Setiap faktor lingkungan yang ada saling terkait dan berinteraksi satu sama lain, sehingga terbentuk suatu keadaan lingkungan tertentu yang akan berpengaruh terhadap kehidupan primata.

Perubahan salah satu faktor lingkungan tidak saja hanya berpengaruh secara langsung terhadap hewan primata, tetapi juga dapat berpengaruh secara tidak langsung karena berinteraksinya faktor tersebut dengan faktor lingkungan lainnya. Perubahan lingkungan mempunyai pengaruh relatif berbeda terhadap spesies hewan. Respon terhadap perubahan lingkungan tidak hanya bervariasi antar spesies, tetapi juga di antara individu-individu dalam speseis yang sama (Clark 1991).

Perubahan keadaan lingkungan terutama terjadi karena konversi lahan yang kontinyu dari hutan primer menjadi peruntukan lain, yang merupakan konsekuensi dari tekanan pertumbuhan populasi penduduk yang cepat (Heywood dan Stuart 1992).

Penurunan kualitas hutan disebabkan karena adanya penebangan liar dan konversi lahan menjadi daerah perkebunan. Alikodra (1990) menjelaskan bahwa perubahan habitat yang disebabkan oleh kegiatan manusia dapat men yebabkan terjadinya perubahan-perubahan pokok dalam populasi dan bahkan dapat menghancurkan suatu populasi yang tidak dapat beradaptasi. Selanjutnya Vancatova (1994) juga mengemukakan bahwa perubahan kualitas lingkungan akan menyebabkan peningkatan agresi, sebaliknya peningkatan kualitas lingkungan akan menurunkan agresi pada Macaca. Kemampuan adaptasi Bange telah menjadikannya sebagai hama yang memakan berbagai jenis tanaman pertanian. Spesies-spesies primata yang menjadi hama perkebunan. Menurut Else (1991) umumnya adalah yang bersifat teresterial (yang mampu bergerak di lantai

hutan) dan bersifat omnivora seperti spesies -spesies yang tergolong dalam genus Macaca, Papio dan Cercopithecus.

Interaksi Masyarakat dengan Hutan

Interaksi diartikan sebagai suatu hubungan antara dua faktor atau lebih yang saling mempengaruhi atau saling memberi aksi dan reaksi (Moen 1973 dalam Sulistiadi 1986). Interaksi sosial pengertiannya menunjuk pada hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan di antara orang per orang, antara perorangan dengan kelompok manusia, maupun antara kelompok manusia yang satu dengan kelompok manusia lain.

Berdasarkan pengertian interaksi sosial di atas, dapat dipahami betapa pentingnya peranan interaksi sosial dalam kehidupan manusia, disadari ataupun tidak semua aktivitas manusia berlangsung atas dasar interaksi sosial sebagai faktor utamanya. Pada umumnya masyarakat sekitar kawasan hutan secara umum hidupnya tergantung pada hasil hutan, usaha tani dan sebagian diantara mereka juga memanfaatk an hasil hutan seperti pengumpulan kayu, kulit kayu, daun, rotan dan sebagainya.

Faktor-faktor pembatas dalam usaha tani yang berkaitan dengan meningkatnya jumlah penduduk yang lebih besar terhadap ketergantungan hutan dan hasil hutan. Contoh konkrit interaksi sistem sosial tersebut dapat dilihat dari ketergantungan masyarakat desa di sekitar hutan akan sumber-sumber bahan kehidupan dasar seperti air, kayu dan bahan makanan dari hutan (Susetiyaningsi 1992).

Fenomena-fenomena yang mempunyai hubungan keterkaitan masyarakat desa di sekitar hutan meliputi masalah kemiskinan, pelestarian hutan dan pemeratan nilai manfaat hutan. Kurangnya pemerataan nilai manfaat hutan dapat membawa kepada kondisi masyarakat yang miskin, sebaliknya, degradasi hutan juga dapat menimbulkan kemiskinan sehingga pertumbuhan dan pemeratan kesejateraan akan sulit untuk diwujudkan (Departemen Kehutanan 1994).

Klasifikasi

Menurut Fooden (1969) Bange diklasifikasikan kedalam Ordo Primata, Subordo Antropoidae, Superfamili Cercopithecoidae, Famili Cercipithecidae, Genus Macaca, Spesies Macaca tonkeana. Nama lokal (mori): Bange atau Monyet Hitam Sulawesi. Napier dan Napier (1985) menyebutkan bahwa Bange merupakan spesies quadrupedal dan diurnal dalam beraktivitas. Bange berukuran sedang dengan panjang dari kepala sampai badan sekitar 50 cm dan memiliki kantung pipi. Bobot badan jantan dan betina dewasa sekitar 6,60 -10,40 kg, lama kebuntingan 175 hari dan jumlah anak satu setiap kali melahirkan.

Menurut Supriatna (2000) bahwa panjang tubuh Bange berkisar 500-700 mm dengan panjang ekor 30-70 mm. Tubuh bagian dorsal dan anggota badan seluruhnya berwarna hitam mengkilap dengan rambut bagian kepala berwarna coklat hingga coklat gelap. Eimerl et al. (1978) menyatakan bahwa terdapat penebalan serta pengerasan kulit di bagian pantat yang disebut “ischial callosities” yang berguna sebagai bantalan pada waktu duduk di pohon atau tempat-tempat yang keras lainnya.

Populasi dan Penyebaran

Populasi satwaliar berfluktuasi dari waktu ke waktu sesuai dengan fluktuasi keadaan lingkungannya. Menurut Alikodra (2002) populasi sat waliar dapat berkembang, stabil ataupun menurun sesuai dengan kondisi perubahan - perubahan komponen lingkungannya.

Anderson (1985) dalam Alikodra (2002) menyatakan bahwa populasi adalah kelompok organisme yang terdiri atas individu satu spesies yang saling berinteraksi dan melakukan perkembangbiakan pada suatu tempat dan waktu tertentu. Alikodra (1990) menyempurnakan batasan populasi dari Anderson (1985) yaitu kelompok organisme yang terdiri atas individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Anggota kelompok ini jarang melakukan hubungan dengan spesies yang sama dari kelompok lain.

Menurut Supriatna (2000) Bange hidup pada hutan primer dataran rendah , hutan sekunder dan hutan dataran tinggi hingga ketinggian 1.300 m dpl. Selain itu, dapat juga mendiami daerah sekitar perladangan, perkebunan dan pesisir.

MacKinnon (1986) dan Whitten et al. (1987) menyatakan bahwa kelompok Macaca dapat ditemukan di dataran rendah dan dataran tinggi sampai ketinggian 2.000 m. Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) (1998) menambahkan bahwa pada umumnya kelompok Bange banyak dan mudah dijumpai di pinggir kawasan hutan, terutama yang berdekatan dengan kebun dan ladang masyarakat.

Populasi Bange menyebar pada seluruh kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) dengan penyebaran tidak merata karena habitatnya merupakan perpaduan antara tipe ekosistem hutan dataran rendah, dataran tinggi, padang alang-alang atau kebun/ladang pada ketinggian antara 650-1.000 m dpl. Satwa ini dapat ditemukan mulai bagian utara sampai ke selatan dan sebelah utara. Penyebarannya dibatasi oleh dataran rendah Siweli-Kasimbar (0-050 LS), sebelah barat daya oleh penyempitan Danau Tempe (40 LS) dan sebelah tenggara oleh Danau Matano dan Danau Towuti (20 301 LS) (Gambar 4).

Ukuran Kelompok

Ukuran kelompok tergantung pada bentuk kelompok yang merupakan ciri kehidupan sosial primata. Supriatna et al. (1992) menyatakan bahwa ukuran kelompok Bange 10-30 ekor/kelompok. Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA 1998) menyatakan bahwa pada musim buah di hutan, kelompok tersebut akan dijumpai dalam jumlah yang besar antara 60-80 ekor dan dipimpin oleh satu individu jantan yang besar.

Di lihat dari jumlah individu dan komposisi kelompok, maka kelompok Macaca spp. digolongkan dalam bentuk “multi male group” yaitu banyak jantan dewasa dalam satu kelompok. Hampir semua jenis monyet yang termasuk Cercopithecidae adalah monyet yang sistem perkawinannya bersifat poligami. Bentuk kelompok Bange yaitu “multi male-multi female”, satu kelompok biasanya terdiri atas banyak jantan dan banyak betina dewasa.

Kepadatan Populasi

Kepadatan populasi adalah besaran populasi dalam suatu unit ruang, umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu di dalam satu unit luas atau tempat. Menurut MacKinnon (1987) bahwa populasi Bange diperkirakan kurang dari 10.000 ekor dari habitat yang tersisa sekitar 10% dengan penyebaran yang sangat terbatas.

Supriatna (2000) menyatakan bahwa Bange telah kehilangan 33% dari habitatnya, kini mereka hanya menempati daerah seluas 1.055 km yang berada dalam kawasan konservasi. Hasil penelitian Alvard dan Winarni (1999) bahwa kepadatan populasi Bange di Cagar Alam Morowali hanya sebesar 2,2 individu per km.

Kraniometri Tengkorak Kepala Bange

MenurutCarol (2002) kraniometri adalah ukuran bagian-bagian tengkorak untuk mengklasifikasikan suatu ras, sifat temperamen dan kecerdasan. Secara umum, metode ini dapat menentukan ukuran-ukuran bagian tengkorak dan otak untuk menggambarkan tingkat kecerdasan, sifat kesopanan, kesusilaan dan moral.

Menurut Leach (1961) tengkorak terbagi dalam tiga tingkatan fungsi yaitu bagian atas untuk mendukung dan melindungi otak, bagian pertengahan yang mendukung proses pernapasan dan bagian bawah dapat membantu masuknya makanan. Tengkorak manusia memiliki panjang rata-rata tulang kepala belakang (Supra Occipitale) 180,50 mm, panjang tulang hidung (Nasal) 98,81mm, panjang tulang dahi (Frontale) 97,31 mm dan Zygomaticus 133,22 mm (Jackes et al. 1997).

Menurut Hamdani (2005) bahwa rerata tertinggi pada ukuran tengkorak beruk jantan yang berumur 4,5-5,5 tahun adalah panjang tulang rahang bawah sebesar 78,01±1,90 mm, sedangkan rerata terendah adalah panjang tulang baji sebesar 13,64±0,99 mm. Nilai koefisien keragaman tertinggi adalah tinggi tulang pelipis sebesar 9,92% dan nilai koefisien keragaman terendah adalah lebar tulang rahang atas sebesar 2,11%. Hasil Analisis Komponen Utama menunjukkan bahwa keragaman peubah ukuran tengkorak beruk pada sumbu komponen utama pertama memiliki akar ciri (ragam) sebesar 27,380 dengan keragaman total sebesar 58,8% dan ragam kumulatif sebesar 58,8%. Perhitungan koefisien kolerasi didapatkan bahwa peubah ukuran panjang tulang dahi (0,890), panjang tulang ubun-ubun (0,892), panjang tulang pelipis (0,936) dan tinggi tulang pelipis (0,863) berkolerasi sangat erat dengan pembentukan sumbu komponen utama pertama. Sumbu komponen utama kedua meiliki akar ciri (ragam) sebesar 8,850 dengan keragaman total sebesar 19% dan keragaman kumulatif sebesar 77,8%. Sumbu komponen utama kedua banyak dipengaruhi oleh tinggi tulang rahang bawah (0,890) dan panjang tulang rahang bawah (0,675) yang berkolerasi sangat erat dengan pembentukan sumbu komponen utama kedua.

Konservasi

Status konservasi Bange sebagai satwa yang rentan terhadap kepunahan . Bersama monyet endemik sulawesi lainnya, Boti dilindungi melalui SK Menteri Pertanian 29 Januari 1970 No. 421/Kpts/um/8/1970, SK Meteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts-II/1991 dan diperkuat dengan Undang-undang No.5 Tahun1990 (Supriatna 2000).

Perubahan habitat berkaitan dengan perluasan areal perkebunan dan pemukiman masyarakat sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk. Sebagai contoh dapat dilihat bahwa sebagian besar hutan yang menjadi habitat Bange telah berubah fungsi menjadi lahan perkebunan. Pertambahan luas pemukiman mempersempit ruang gerak dari satwa tersebut, sehingga sering merusak atau menjadi hama bagi tanaman perkebunan penduduk (Supriatna 2000).

Selanjutnya menurut Bismark (1984) bahwa masalah utama dalam konservasi primata di Indonesia adalah meningkatnya usaha pemanfaatan yang mengarah kepada pengurangan habitat untuk berbagai keperluan sep erti pembukaan hutan untuk pertanian, perkebunan dan pemukiman.

KARAKTERISTIK LOKASI PENELITIAN

Keadaan Fisik Wilayah

Kabupaten Morowali merupakan salah satu Daerah Tingkat II yang berada dalam wilayah Propinsi Sulawesi Tengah dan dimekarkan menurut UU No. 51 Tahun 1999.

Secara administrasif Kabupaten Morowali memiliki batas-batas wilayah (Kompas 2000) sebagai berikut:

Utara : Kabupaten Banggai dan Poso

Selatan : Propinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan

Barat : Kabupaten Poso

Timur : Perairan Teluk Tolo

Luas wilayah :15,490,12 km2 Jumlah Penduduk :154,851 jiwa

Jumlah Kecamatan :10 (Sensus Penduduk 2000)

Berdasarkan Badan Pusat Statistik Kabupaten Morowali pada tahun 2000 (sensus penduduk) luas wilayah dan jumlah penduduk menurut kepadatan per km yang terdapat di Kabupaten tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel tersebut menggambarkan secara umum mengenai k eadaan penduduk di sepuluh kecamatan dalam wilayah Kabupaten Morowali.

Tabel 1 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk di Kabupaten Morowali Penduduk No Kecamatan Luas (km2) Jumlah (orang) Kepadatan (orang/km2) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Menui Kepulauan Bungku Selatan Bahodopi Bungku Tengah Bungku barat Lembo Mori Atas Petasia Sayo Jaya Bungku Utara 223.63 1.271,19 1.080,98 1.112,80 1.783.40 1.332,84 2.557,74 1.038,75 1.202,00 3.886,79 11.519 11.845 5.349 18.097 30.794 15.352 13.683 23.198 5.379 16.635 52 12 5 16 17 12 5 22 4 4 T o t a l 15.490,12 154.851 10

Desa Sampalowo merupakan salah satu dari Desa yang berada di Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah. Secara geografis Desa Sampalowo terletak LS=020.03i.450”, BT=1210.17i.665” dengan luas wilayah 5,528 ha. Ben tuk permukaan tanah terdiri atas dataran dan pegunungan. Di sebelah utara terdapat daerah pegunungan batu kapur dan batu gamping.

Jumlah penduduk 742 jiwa (186 KK). Pekerjaan masyarakat sebagian besar petani/pekebun dan pencari ikan air tawar. Jarak tempuh dari Ibu Kota Kabupaten Morowali ke Desa Sampalowo kurang lebih 15 km dengan menggunakan kendaraan angkutan umum.

Tabel 2 Jenis Penggunaan Tanah Desa Sampalowo

No Jenis Penggunaan Tanah Jumlah

(ha) Keterangan (%) 1 2 3 4 5 6 7 8

Perumahan dan pekarangan Sawah

Perkebunan

Pertanian tanah kering, ladang Hutan Negara Danau/rawa Tanah tandus Hutan Sagu 25 117 550 125 2,631 650 100 200 1,41 6,61 31,09 7,06 0,14 36,74 5,65 11,30 Sumber: Sensus Penduduk Tahun 1997.

Keadaan Iklim

Desa Sampalowo beriklim tropik musiman dengan curah hujan rata-rata per tahun antara 3,500 -4,500 mm. Distribusi musiman curah hujan ditentukan oleh angin musim tenggara. Informasi lokal dan catatan tentang curah hujan

Dokumen terkait