• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekologi

Kawasan lahan basah di Lembah Laa terdiri atas berbagai tipe habitat, dengan tingkat variasi yang cukup tinggi yaitu bagian dari hutan dataran tinggi maupun dataran rendah. Kondisi ini sangat mendukung keanekaragaman hayati di dalamnya dan memberikan nilai yang tinggi bagi usaha konservasi.

Tipe Habitat dan Penyebaran

Dari hasil pengamatan di lokasi penelitian didapatkan tiga kelompok populasi Bange yang tersebar di tiga lokasi (Gambar 10). Adapun lokasi yang ditemukan sebagai berikut:

Gambar 10 Sketsa Peta Lokasi Penelitian.

1. Lokasi Tangkobange (LS= 02o.04i.089”, BT= 121o.16i.927”)

Topografi bervariasi tetapi kebanyakan bergunung-gunung yang tanahnya terdiri dari batuan gamping. Hutan-hutannya lebih kering dan dicirikan oleh kanopi yang bervariasi. Tinggi pohon diperkirakan 15 m dengan pohon-pohon yang lebih besar berada di atas bukit. Pada tepian sungai banyak dijumpai tegakan Casuarina dan pohon beringin (Ficus eugenia) yang menyerupai tumbuhan bakau.

Pada sekitar lokasi ini telah terjadi fragmentasi habitat yang disebabkan oleh konversi hutan menjadi daerah perkebunan masyarakat. Kawasan yang terdegradasi dicirikan oleh kanopi yang terbuka dan renggang, ditumbuhi oleh berbagai tanaman liana. Namun, pohon-pohon yang besar dengan kanopi yang mengembang cukup melimpah. Di sebelah perladangan masyarakat kawasan hutan primer memiliki poho n-pohon yang kanopinya lebih tinggi dan rapat, beberapa pohon rau (Dracontomelum dao) diameternya mencapai 3 m dengan tinggi sekitar 25 m. Jenis pohon: teo (kayu nangka), Ficus sp, cempedak hutan dan meranti.

2. Lokasi Lowo (LS= 02o.04i.369” BT= 121o.15i.670”)

Tipe habitat dicirikan oleh topografi pegunungan dan berbatu-batu yang tidak terganggu, namun dipinggir danau ada beberapa kawasan hutan terdegradasi oleh lahan pertanian. Hutan-hutannya kering yang ditandai oleh kanopi yang relatif lebih terbuka. Tinggi pohon diperkirakan sekitar 20 m. Jenis pohon disekitar kawasan Lowo didominasi oleh beringin (Ficus sp). Menurut masyarakat bahwa di lokasi ini pernah ditemukan sekitar 20 ekor bangkai Bange yang terkena racun babi yang sering dipergunakan oleh masyarakat setempat untuk menangkap babi hutan.

3. Lokasi Matandau (LS= 02o.03i.918” , BT= 121o.12i.890”)

Tipe hutan terletak di bagian atas Danau Lowo sekitar setengah hari perjalanan dari Desa Sampalowo (apabila air danau surut), topografi terdiri atas dataran rendah (lembah) dan pegunungan. Dalam kawasan hutan tersebut ada beberapa yang terdegradasi oleh lahan perkebunan masyarakat. Hutan primer

dicirikan oleh banyaknya kanopi yang tertutup dengan tinggi pohon sekitar 35 m dengan diameter pohonnya mencapai 2,5 m.

Kawasan hutan ini menjadi incaran beberapa pengusaha kayu di Kabupaten Morowali. Jenis pohon: di domin asi enau (Metroxylon sagu), beringin (Ficus sp), cempedak hutan (Morace spp), nantu (Palaquium amboinense), Umpama (kayu keras). Lokasi ini juga mempunyai kawasan hutan sagu (Metroxylon sagu). Di tengah-tengah hutan sagu terdapat beberapa jenis kayu keras.

Penggunaan Strata Vegetasi

Data hasil pengamatan terhadap penggunaan strata vegetasi (selang ketinggian) oleh kelompok Bange mempunyai frek uensi yang bervariasi pada setiap strata yang ditemukan, namun demikian, ketinggian yang paling banyak digunakan adalah antara 10 -15 m dan 5-10 m dari permukaan tanah. Survei yang dilakukan pada semua kawasan yang menjadi habitat dari kelompok Bange yang sedang beraktivitas dan mencari pakan di beberapa strata vegetasi, disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Penggunaan Strat a Vegetasi pada Lokasi Penelitian (Tangkobange, Lowo dan Matandau)

Stratum Selang ketinggian (m) Jumlah (pemanfaatan) Persentase (%) A 15-atas 2 25,0 B 10-15 5 62,5 C 5-10 1 12,5 D 0-5 0 0 E Lantai hutan 0 0 Total 8 100

Pada Tabel 4 menunjukkan sebagian besar pemanfaatan Strata Vegetasi berada pada bagian tengah kanopi (Stratum B) dengan ketinggian antara 10-15 m dengan frekuensi penggunaan rata-rata 62,5%. Pada selang ketinggian 15-25 m (Stratum A) didapatkan frekuensi penggunaan rata-rata 25%, dan penggunaan selang ketinggian 5-10 m dari permukaan tanah (Stratum C) frekuensi sebesar 12,5%, hal ini menunjukkan bahwa pada Stratum A, B dan C merupakan pohon

dengan kanopi yang kontinyu. Secara keseluruhan data tersebut memperlihatkan bahwa kelompok Bange lebih sering menggunakan kanopi tengah yang cenderung ke kanopi atas (Gambar 11 dan 12). Menurut Kohlhaas (1993) Macaca nigrescens menghabiskan sebagian besar waktunya pada bagian tengah dan atas kanopi (15- 30 m dari atas tanah).

Keterangan:

1) Ficus sp (beringin), 2) Metroxylon sagu (enau), 3) Pangium edule (pangi), 4) Dracontomelum dao (rau), 5 dan 6) Morace spp (cempedak hutan)

Gambar 11 Diagram Pemanfaatan Stratum Vegetasi Lokasi Matandau. Pada Stratum D dengan ketinggian 0-5 m tidak pernah dijumpai atau stratum yang paling jarang dimanfatkan kelo mpok Bange di lokasi penelitian. Hal ini disebabkan tebalnya lapisan semak, sehingga menyulitkan untuk beraktivitas dan menghindari adanya predato r, selain itu pada stratum ini ket ersedian akan pucuk daun-daun yang dapat di makan kurang, sedangkan pada Macaca fasicularis lebih banyak menghabiskan waktunya pada stratum D (Peterson 1992).

Aktivitas kelompok Bange pada Stratum E (lantai hutan) tidak dijumpai, baik itu didekat perkebunan masyarakat maupun dalam kawasan hutan karena topografi dan kemiringan tanah yang sangat curam. Demikian pula hasil penelitian Pombo (2004) Boti (Macaca tonkeana) lebih banyak memanfaatkan Stratum A, B dan C, sedangkan pada Stratum D dan E jarang dijumpai.

Keterangan:

1) Ficus sp (beringin), 2) Morace spp (cempedak hutan), 3) Dracontomelum dao (Rau), 4) Andolia (Cananga odorata) dan 5) kebun masyarakat

Gambar 12 Diagram Pemanfaatan Stratum Vegetasi Lokasi Tangkobange. Penggunaan selang ketinggian oleh satwa primata sangat tergantung dengan sumber pakan dan kesesuaian sarana dalam melakukan aktivitas. Secara umum, semua selang ketinggian mempunyai kelimpahan pakan (daun dan buah) yang dapat dimanfaatkan oleh Bange, walaupun mempunyai kelimp ahan pakan yang berbeda-beda. Faktor ini yang menjadi penyebab bervariasinya frekuensi penggunaan selang ketinggian pada kelompok Bange yang ditemukan di Stratum

Sumber Pakan

Hasil pengamatan di tiga lokasi penelitian, sumber pakan yang dimanfaatkan oleh kelompok Bange adalah Ficus sp, Dracontomelum dao serta hasil wawancara terhadap masyarakat meliputi Musa sp, Morace spp (cempedak hutan),Carica papaya (pepaya), Theobroma cacao (coklat) dan Manihot utilisim (ubi kayu) (Tabel 5).

Menurut responden kelompok Bange biasanya mengambil hasil perkebunan (pisang, pepaya, ubi kayu dan coklat) sebagai sumber pakan, hal ini mungkin disebabkan sumber makanan dalam hutan sudah berkurang. Rosenbaum et al. (1998) menyatakan perkebunan yang terletak di pinggir hutan merupakan lokasi yang paling disukai oleh satwa primata untuk dikunjungi dalam pemenuhan sumber pakan.

Tabel 5 Sumber Pakan Bange di Lokasi Penelitian Bagian yang di makan

Lokasi Jenis tanaman

Buah Daun Pucuk

Ficus sp x x x Morace spp x Dracontomelum dao x x Musa sp x Carica papaya x Tangkobange Theobroma cacao x Ficus sp x x x Manihot utilisim x Carica papaya x Lowo Musa sp x Ficus sp x x x Dracontomelum dao x x Theobroma cacao x Matandau Morace spp x

Interaksi Masyarakat dengan Hutan

Satwa primata merupakan salah satu satwa penghuni hutan yang memiliki arti penting dalam kehidupan di alam. Keberadaan satwa primata (Macaca tonkeana) memiliki arti penting dalam regenerasi hutan tropik, sebagian besar mereka memakan buah dan biji sehingga mereka berperan penting dalam

penyebaran biji-bijian. Selain itu juga, satwa primata dapat dijadikan maskot dalam pengembangan ekoturisme.

Perusakan habitat merupakan salah satu faktor serius bagi kelangsungan hidup Bange (Macaca tonkeana) di Kabupaten Morowali. Kesulitan ekonomi merupakan salah satu faktor yang memaksa masyarakat melakukan penebangan hutan, sehingga masyarakat cenderung membuka daerah hutan untuk dijadikan daerah perkebunan yang akan mempersempit habitat kelompok Bange (Gambar 13). Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden (n=40) masyarakat yang sering melakukan aktivitas penebangan di hutan sebesar 40% dan tidak melakukan penebangan 60%, karena dipergunakan untuk keperluan sendiri (pembangunan rumah) dan didukung oleh aturan adat setempat.

Gambar 13 Kawasan Perkebunan di Lokasi penelitian.

Luas perkebunan masyarakat bervariasi berkisar 0,5-1,5 ha (87,5%), 2-7 ha (10%) dan 30 ha (2,5%). Adanya pembukaan lahan perkebunan ini membawa dampak terhadap populasi Bange di alam. Aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat dalam kawasan hutan secara langsung mengakibatkan penurunan kondisi hutan dan bermuara terhadap kualitas habitat satwaliar. Menurut Supriatna (2000) perubahan habitat berkaitan dengan perluasan areal perkebunan dan pemukiman masyarakat akibat pertambahan jumlah penduduk.

Mittermeier (1994) mengemukakan bahwa ancaman utama terhadap kelestarian satwa primata adalah bersumber dari manusia; tidak hanya karena terjadinya destruksi habitat tetapi juga karena tingginya tingkat perburuan. Oleh karena itu, pengawasan hutan dari konversi hutan menjadi daerah perkebunan sangat perlu ditingkatkan, mengingat kawasan tersebut merupakan salah satu daerah ekosistim perairan tawar (Weatland) di Sulawesi Tengah dan merupakan daerah paling potensial sebagai lokasi pelestarian satwa primata di Kabupaten Morowali dalam jangka panjang.

Meningkatnya laju deforestasi hutan di wilayah Kabupaten Morowali sepanjang satu tahun terakhir ini karena kegagalan aparat Dinas Kehutanan Kabupaten Morowali dalam menangani permasalahan ini. Hal ini diperparah dengan meningkatnya erosi dan banjir di wilayah ini. Perubahan kondisi habitat oleh manusia akan merupakan faktor utama yang mempengaruhi keadaan populasi hidupan satwa liar (Alikodra 1990).

Peran serta masyarakat merupakan faktor terpenting dalam upaya perlindungan dan penyelamatan satwa primata. Untuk mendorong keterlibatan masyarakat, penyediaan informasi yang mudah dimengerti tentang kehidupan satwa primata sangat diperlukan.

Dengan demikian, peran Dinas Kehutanan Kabupaten Morowali sangat penting untuk melakukan patroli dan peningkatan kesadaran baik di tingkat masyarakat ataupun di tingkat pengusaha mengenai penegakkan aturan yang ada untuk menunjang keberhasilan usaha konservasi.

Interaksi Masyarakat dengan Bange (Macaca tonkeana)

Gangguan diperkebunan yang paling tinggi disebabkan oleh tikus hutan (famili Muridae) 44,8%, kelompok Bange (Macaca tonkeana) 29,9%, babi hutan (Sus celebensis) (22,3%) serta ada pula yang menyatakan tidak ada gangguan sebanyak 3,0%. Selain tikus hutan, kelompok Bange juga mendatangi kebun masyarakat untuk mencari pakan (Gambar 14). Biasanya kelompok tikus tersebut menyerang tanaman coklat yang siap panen, sehingga mengakibatkan kerugian di tingkat petani. Tingginya tingkat gangguan diperkebunan, menyebabkan

masyarakat memasang racun babi di sekitar area perkebunan maupun dalam kawasan hutan.

Tingginya gangguan tikus hutan terhadap perkebunan masyarakat sudah dilaporkan pada hasil penelitian Riley (2004) di Desa Tomado dalam Taman Nasional Lore Lindu bahwa gangguan hewan diperkebunan kakao terutama oleh tikus hutan (Muridae).

44,80% 29,90% 22,30% 3,00% 0,0% 5,0% 10,0% 15,0% 20,0% 25,0% 30,0% 35,0% 40,0% 45,0% Jumlah Responden (%) Tikus Monyet Babi Tidak ada

Gambar 14 Gangguan binatang terhadap perkebunan masyarakat.

Responden 72,5% menganggap Bange (Macaca tonkeana) bukan sebagai hama utama perkebunan, sementara yang menyatakan merusak/merugikan sebesar 27,5%. Hal ini menunjukkan kerusakan yang diakibatkan oleh Bange pada perkebunan tidak berdampak pada pendapatan petani karena masyarakat menganggap Bange adalah mahluk hidup yang berhak hidup di hutan. Hal demikian sudah menjadi tradisi masyarakat setempat terhadap kelompok Bange, tradisi terseb ut sudah sejak lama (turun temurun) di pegang oleh masyarakat setempat. Pandangan masyarakat tersebut sangat mendukung program konservasi Bange.

Perburuan

Hasil survei menunjukkan 95% responden tidak melakukan perburuan, yang melakukan perburuan hanya 5%. Hal ini disebabkan masyarakat setempat

hanya melakukan perburuan babi hutan. Masyarakat Mori tidak mengkonsumsi daging Bange, berbeda dengan masyarakat suku Wana yang hampir seluruhnya mendiami pegunungan di bagian dalam kawasan Cagar Alam Morowali. Oleh karena ada masyarakat yang mengkonsumsi daging Bange, mengakibatkan populasi Bange dalam kawasan konservasi tersebut mengalami penurunan yang sangat besar.

Hasil wawancara hanya 5% masyarakat yang mengetahui monyet dilindungi berdasarkan Undang-undang dan peraturan pemerintah, sementara 95% belum mengetahui. Hal ini menunjukkan bahwa presepsi masyarakat terhadap pelestarian Bange masih rendah dan belum mengetahui peraturan perlindungan satwa liar. Dengan demikian, diharapkan instansi terkait (Dinas Kehutanan) dapat melakukan sosialisai mengenai peraturan perlindungan satwa liar di Tingkat Desa agar populasi Bange di Kabupaten Morowali dapat dipertahankan dari ancaman kepunahan.

Akhirnya kerjasama dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk pengelolaan kawasan yang berbasis masyarakat lokal, menegakan peraturan yang ada dan didukung oleh pemerintah Kabupaten Morowali dalam melestarikan salah satu Macaca Sulawesi dari ambang kepunahan.

Karakteristik Populasi Ukuran Kelompok

Hasil pengamatan karakteristik populasi di Desa Sampalowo ditiga lokasi transek ditemukan 39,82 ekor, lokasi Tangkobange 10,82 ekor, Lowo 13 ekor dan Matandau 16 ekor (Tabel 6).

Tabel 6 Karakteristik Kelompok pada Lokasi Penelitian (ekor) Komposisi umur Lokasi Jantan dewasa Betina dewasa Remaja Anak Total Nisbah kelamin dewasa Kepadatan populasi (per km2) Tangkobange 1,66 3,33 4,50 1,33 10,82 1:2,00 0,67 Lowo 4,00 6,00 3,00 0,00 13,00 1:1,50 0,48 Matandau 3,00 5,00 4,50 3,50 16,00 1:1,60 1,00 Jumlah 8,66 14,33 12,00 4,83 39,82 Rerata 2,88 3,55 4,00 1,61 13,27 1:1,65 0,71

Ukuran kelompok Bange bervariasi dari 10,82-16 ekor/kelompok dengan rerata 13,27 ekor/kelompok. Ukuran kelompok yang paling sering ditemukan di lokasi Tangkobange 10,82 ekor/kelompok. Hal ini disebabkan banyaknya sumber pakan seperti Ficus sp, Morace spp dan Dracontomelum dao, disamping itu juga kawasan tersebut berdekatan dengan perkebunan masyarakat yang bertanaman Musa sp, Carica papaya dan Theobroma cacao. Pendapat ini sesuai yang dikemukak an oleh Jolly (1985); Napier dan Napier (1985) bahwa jumlah individu dalam setiap kelompok (ukuran kelompok) pada suatu spesies primata dipengaruhi oleh kelimpahan pakan.

Di lokasi Matandau ditemukan 16 ekor/kelompok. Hal ini disebabkan kawasan ini di dominasi oleh sagu (Metroxylon sagu), walaupun masih banyak dijumpai buah Ficus sp dan rau (Dracontomelum dao) di sekitar kawasan tersebut. Menurut hasil penelitian Firman (1995) dalam Kwarnas (2005) bahwa Fonti (Macaca togeans) tidak pernah memanfaatkan habitat hutan bakau dan sagu.

Pada lokasi Lowo merupakan kelompok yang kecil hanya 13 ekor/kelompok, hal ini disebabkan kawasan hutan agak terbuka dan terjal dengan kemiringan 750 sehingga tidak memungkinkan untuk beraktivitas dan areal perkebunan masyarakat juga tidak banyak.

Menurut Kilner (2001) kelompok monyet Sulawesi dibedakan menjadi kelompok besar dengan ukuran lebih dari 30 ekor dan kelompok kecil dengan ukuran kurang dari 30 ekor. Supriatna et al. (1992) menyatakan bahwa ukuran kelompok Bange 10-30 ekor/kelompok. Riley et al. (2001) melaporkan bahwa ukuran kelompok berkisar 2-9 ekor/kelompok di Taman Nasional Lore Lindu. Selanjutnya Pombo (2004) melaporkan di Desa Wuasa Kecamatan Lore Utara dalam Kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) ukuran kelomp ok berkisar 14-25 ekor/kelompok.

Ukuran kelompok Macaca brunescens sebesar 30 ekor (Whitten et al. 1987), Macaca nigrescens dan Macaca ochreata sebesar 16-18 ekor, Macaca hecki sebesar 10-15 ekor dan Macaca maura sebesar 20-30 ekor (Matsumura 1998). Deng an demikian, bila hasil penelitian ini dibandingkan hasil penelitian lainnya, ukuran kelompok Bange yang ditemukan dilokasi penelitian masih sesuai dengan yang dilaporkan sebelumnya.

Nisbah Jantan dan Betina Dewasa

Berdasarkan Tabel 6 komposisi umur dan jenis kelamin di lokasi Tangkobange dan Matandau mempunyai struktur dan kelas individu lengkap yang terdiri atas jantan dewasa, betina dewasa, remaja dan anak. Komposisi umur kedua kelompok tersebut mempunyai struktur umur yang lengkap terdiri atas jantan dan betina dewasa, remaja dan anak. Dengan demikian kelompok tersebut akan berkembang baik (regenerasi) dengan perbandingan nisbah kelamin antar dua kelompok adalah 1:2,0 dan 1:1,6. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Napier dan Napier (1985) yang membentuk kelompok sosial (banyak jantan - banyak betina) dengan nisbah kelamin umumnya 1:2

Pada lokasi Lowo komposisi umur tidak lengkap (tidak dijumpai anak), sehingga untuk jangka pendek diprediksi kelompok tersebut tidak akan berkembang dengan baik (tidak adanya regenerasi), meskipun kelompok terdiri atas 13 ekor/kelompok. Jumlah ini menunjukan kelompok yang kecil, namun apabila tidak ada gangguan pada masa yang akan datang dapat berkembang menjadi kelompok yang besar dengan melihat perbandingan nisbah kelamin 1:1,5. Lebih lanjut menurut Riley et al. (2001) penyebab terjadinya komposisi umur tidak lengkap pada suatu kelompok adalah terjadinya perburuan dan penengkapan. Perbandingan umur antara kelompok pada setiap lokasi adalah dewasa 57,54%, remaja 30,61% dan anak 12,85%. Hal ini menunjukkan bahwa komposisi kelompok pada lokasi penelitian mengalami gangguan. Sesuai yang dikemukakan Supriatna et al. (1994) bahwa indikator kestabilan kelompok monyet berdasarkan segi komposisi umur adalah jumlah anak dan bayi dalam satu kelompok 20-40%. Secara umum perbandingan nisbah kelamin antara jumlah jantan dan betina dewasa dalam setiap kelompok, ditemukan lebih banyak betina dibanding dengan jumlah jantan. Kondisi demikian merupakan karakter umum pada satwa primata yang hidup dengan sistem sosial (“multi male-multi female”) banyak jantan banyak betina dalam kelompok beserta turunannya (Rowe 1996).

Kepadatan Populasi

Kepadatan populasi di kawasan hutan Desa Sampalowo bervariasi di setiap lokasi, hal ini mengindikasikan bahwa faktor musim tanam juga

mempengaruhi keberadaan kelompok Bange, disamping faktor kualitas habitat. Pengaruh kondisi habitat dapat mempengaruhi terjadinya penurunan populasi kelompok Bange, namun belum mengakibatkan terjadinya kepunahan lokal. Keadaan ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Alikodra (1990) terjadinya perubahan kualitas hutan sebagai habitat satwaliar dapat menjadi penyebab perubahan beberapa parameter populasi.

Rerata kepadatan populasi Bange pada tiga lokasi penelitian adalah 0,71 ekor/km2. Selanjutnya Alvard dan Winarni (1999) menyatakan kepadatan populasi Bange (Macaca tonkeana) di Cagar Alam Morowali sebesar 2,2 individu per/km2. Dengan demikian, secara umum dalam kurun waktu lima tahun telah terjadi penurunan populasi.

Karakteristik Kraniometri

Pencirian karakteristik tengkorak dapat dilakukan dengan cara kualitatif dan kuantitatif. Menurut Ehlinger (1991) menyatakan variasi morfologi terutama terhadap ukuran tubuh (size) dipengaruhi oleh faktor lingkungan (misalnya ketersediaan makanan dan umur) sedangkan perbedaan dalam bentuk (shape) lebih berhubungan dengan faktor genetik.

Tengkorak tersusun atas berbagai macam tulang-tulang yang saling menyambung atau berkaitan satu dengan yang lain menjadi satu kesatuan yang utuh. Tulang-tulang penyusun tengkorak antara lain tulang dahi, tulang ubun- ubun, tulang pelipis, tulang kepala belakang, tulang baji, tulang rahang atas, tulang rahang bawah dan tulang pipi.

Tengkorak Bange (Macaca tonkeana) mempunyai warna putih kecoklatan, dengan bentuk muka agak lebar, mulut moncong dan bagian dalam panjang, di bagian tulang dahi mempunyai torus supraorbitale besar dan lebar yang berbeda dengan tengkorak satwa primata pada umumnya serta mempunyai gigi taring yang besar dan tajam. Selanjutnya pada tulang pipi agak lebar dan besar hingga mencapai tulang pelipis. Pada tengkorak yang masih berumur muda, terdapat sekat pemisah di bagian tulang kepala belakang. Selanjutnya pada tengkorak yang berumur dewasa tulang kepala belakang tidak terdapat sekat pemisah dan sudah bersatu dengan bagian bawah tengkorak.

Tengkorak jantan dewasa bagian torus supraorbitale menonjol dan menebal karena adanya penyempitan pada bagian tulang dahi. Pada tulang rahang atas terdapat suatu jembatan penghubung (arcus) yang melingkar sangat menonjol serta lebar hingga menghubungkan antara tulang pelipis. Pada tengkorak satwa primata umumnya torus supraorbitale dan arcus zygomaticus tidak menonjol dan agak kecil (Tabel 7).

Tabel 7 Perbedaan Bagian Tulang Tengkorak Jantan dan Betina Dewasa Jenis Kelamin

Bagian Tulang

Jantan dewasa Betina dewasa

Os Frontalis mengecil lebar

Torus supraorbitale besar dan menonjol sedang

Os Supra occipitalis bersatu bersatu

Arcus Zygomatycus lebar dan memanjang sedang

Pada tengkorak betina dewasa torus supraorbitale datar dan sedang, tidak terdapat penyempitan diantara tulang dahi. Jembatan penghubung (arcus) antara tulang kepala belakang dan tulang pipi tidak memanjang.

Pada tulang tengkorak jantan dewasa tampak susunan gigi sempurna dengan jumlah 32 buah yang terdiri atas gigi seri, gigi taring yang besar dan memanjang dengan susunan premolar dan molar lengkap. Pada tulang tengkorak betina dewasa susunan gigi belum sempurna dengan jumlah gigi 28 buah, hal ini disebabkan pada gigi molar belum sempurna.

Bagian-bagian tulang tengkorak Bange (Macaca tonkeana) jantan dan betina dewasa berdasarkan tingkatan umur (Gambar 15, 16, 17, 18, 19 dan 20).

Keterangan: 1) tulang dahi, 2) linea temporalis, 3) torus supraorbitale, 4) tulang pipi, 5) tulang rahang atas, 6) Canin, 7) Incisor, 8) tulang baji, 9) tulang pelipis dan 10) tulang rahang bawah Gambar 15 Bagian Depan dan Samping Tulang Tengkorak Jantan Dewasa. 1 2 3 4 5 7 6 10 9 8

Keterangan:1) tulang pipi, 2) tulang ubun- ubun, 3) linea temporalis, 4) Incisor, 5) Canin , 6 dan 7) Premolar, 8, 9 dan 10) Molar, 11) tulang kepala belakang

Gambar 16 Bagian Atas dan Bawah Tulang Tengkorak Jantan Dewasa. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Keterangan: 1) torus supraorbitale, 2) tulang ubun-ubun, 3), tulang pelipis, 4) tulang kepala belakang, 5) tulang baji, 6) tulang pipi, 7) tulang rahang atas, 8)

Incisor, 9) Canin, 10 dan 11) Premolar, 12, 13, 14) Molar

Gambar 17 Tengkorak Bange Jantan Dewasa. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 14 13 12 11 10 9

Keterangan: 1) tulang dahi, 2) torus supraorbitale, 3) tulang pipi, 4) tulang rahang atas, 5) Canin, 6) Incisor, 7) tulang baji, 8) tulang pelipis

Gambar 18 Bagian Depan dan Samping Tulang Tengkorak Betina Dewasa. 1 2 3 4 5 6 7 8

Keterangan:1) torus supraorbitale, 2) tulang dahi, 3) tulang pipi, 4) sutura, 5) tulang ubun- ubun, 6) tulang kepala belakang, 7) Incisor, 8) Canin, 9 dan 10) Premolar, 11, 12 dan 13) Molar 11) tulang kepala belakang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Keterangan: 1) torus supraorbitale, 2) tulang ubun-ubun, 3), tulang pelipis, 4) tulang kepala belakang, 5) tulang baji, 6) tulang pipi, 7) tulang rahang atas, 8) Incisor, 9) Canin, 10 dan 11) Premolar, 12, 13, 14) Molar

Gambar 20 Tengkorak Bange Betina Dewasa. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Identifikasi Umur Tengkorak Bange

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap tulang tengkorak (n=9), mempunyai umur yang bervariasi yaitu mulai dari jantan dan betina dewasa serta remaja dengan kisaran umur yang bervariasi (Tabel 8).

Tabel 8 Identifikasi Umur Tengkorak Bange yang Diteliti

Umur (tahun) Jenis kelamin Jumlah Gigi Rumus Gigi

2 - 2,5 Betina muda 24 I1i2CP1P2M1 I1I2CP1P2M1 4,5 – 5,5 Betina 28 I1I2CP1P2M1M2 I1I2CP1P2M1M2 4,5 – 5,5 Betina 28 I1I2CP1P2M1M2 I1I2CP1P2M1M2 4,5 - 5,5 Betina 28 I1I2CP1P2M1M2 I1I2CP1P2M1M2 >7,7 Jantan 32 I1I2CP1P2M1M2 I1I2CP1P2M1M2M3 >7,7 Jantan 32 I1I2CP1P2M1M2 I1I2CP1P2M1M2M3 >7,7 Jantan 32 I1I2CP1P2M1M2 I1I2CP1P2M1M2M3* >7,7 Jantan 32 I1I2CP1P2M1M2 I1I2CP1P2M1M2M3* >7,7 Jantan 32 I1I2CP1P2M1M2 I1I2CP1P2M1M2M3*

Keterangan: I,i = Incisor, C,c = Canin, P,p = Premollar, M,m = Mollar * = gigi tampak aus

Pada pengamatan tengkorak jantan dewasa terdapat perbedaan jumlah gigi pada rahang atas (bagian kiri berjumlah 6 dan pada bagian kanan berjumlah 5 buah). Sementara pada tengkorak betina remaja kondisi gigi belum menunjukkan adanya tingkat kehausan, ini disebabkan tengkorak tersebut berada pada umur dewasa muda. Menurut Bennet et al. (1995) umur 4,5-5,5 tahun pada primata digolongkan dalam ketegori umur dewasa usia muda yang ditandai dengan kematangan seksual lebih dahulu, diikuti dengan kematangan gigi dan kematangan tulang, kemudian diakhiri dengan kematangan morfologi.

Pada tengkorak dewasa berumur enam hingga tujuh tahun keatas , ditandai gigi geraham sudah menunjukkan adanya tingkat kehausan. Hal ini menunjukkan

dikemukakan oleh Swindler (1998) bahwa fase usia dewasa penuh dicapai pada umur sekitar tujuh tahun dan pada umumnya ukuran dan pertumbuhan monyet sudah berakhir dan mencapai tingkat maksimum.

Ukuran Tengkorak Bange (Macaca tonkeana)

Rata-rata, simpangan baku dan koefisien keragaman ukuran tulang tengkorak jantan dan betina dewasa disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Rerata, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman Ukuran Tengkorak Jantan dan Betina

Peubah Jantan Betina

Rerata (mm) KK (%) rerata (mm) KK (%) Pjg. Tlg Dahi 62,74±6,80 (5) 10,84 58,10±2,07 (4) 3,56 Pjg. Tlg Ubun-Ubun 66,46±3,94 (5) 5,93 63,52±1,77 (4) 2,79 Tgg. Tlg Ubun-ubun 58,08±5,82 (5) 10,01 53,95±2,39 (4) 4,43 Pjg. Tlg Pelipis 52,94±6,94 (5) 13,01 42,85±2,18 (4) 9,75

Dokumen terkait