• Tidak ada hasil yang ditemukan

dapat kusebutkan satu per satu yang telah bersama-sama dalam suka dan duka dalam kebersamaan di fordas.

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Karakteristik band Landsat TM... 11 2. Perkiraan luas dan jumlah curah hujan bulan Agustus 2002 di sub

DAS Kapuas Tengah berdasarkan interpolasi data curah hujan

tahun 2002 ... 23 3. Luas areal tutupan lahan di sub DAS Kapuas Tengah... 25 4. Luas areal daerah penggunaan lahan di sub DAS Kapuas Tengah ... 25 5. Nama dan luas Kabupaten di sub DAS Kapuas Tengah ... 25 6. Nama dan luas Kecamatan di sub DAS Kapuas Tengah... 29 7. Jumlah dan kepadatan penduduk di sub DAS Kapuas Tengah... 30 8. Kisaran nilai NDVI berdasarkan kerapatan vegetasi... 33 9. Kisaran nilai NDVMI berdasarkan kelas kadar air vegetasi... 33 10. Indeks Pentingnya setiap peubah dalam mempengaruhi kebakaran hutan dan

lahan ... 46 11. Skor pengaruh setiap peubah terhadap kebakaran hutan dan lahan ... 49 12. Bobot pengaruh dari setiap peubah terhadap kebakaran hutan dan

lahan di sub DAS Kapuas Tengah berdasarkan penilaian ahli

(expert judgement) ... 50 13. Sebaran Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan Menggunakan Model TKB-MR 52 14. Skor Pengaruh pada Sebaran Nilai NDVI di Sub DAS Kapuas Tengah……... 53 15. Skor Pengaruh pada Sebaran Nilai NDVMI di Sub DAS Kapuas Tengah…….... 53 16. Skor Pengaruh pada Sebaran Nilai Curah Hujan bulan Agustus di Sub DAS

Kapuas Tengah……... 54 17. Skor Pengaruh pada Jenis Tutupan Lahan di Sub DAS Kapuas Tengah…..….... 55 18. Skor Pengaruh pada Jarak dari Sempadan Pemukiman Penduduk

di Sub DAS Kapuas Tengah ... 56 19. Skor Pengaruh pada Jarak dari Sempadan Jalan di Sub DAS

Kapuas Tengah... 56 20. Skor Pengaruh pada Jarak dari Sempadan Sungai di Sub DAS

Kapuas Tengah... 56 21. Skor Pengaruh pada Tipe Penggunaan Lahan di Sub DAS Kapuas Tengah…….. 57 22. Bobot pengaruh setiap peubah terhadap kebakaran hutan dan lahan

secara mikro dan makro pada model 1... 58 23. Sebaran Tingkat Kerawanan Kebakaran Menggunakan Model TKB I-CMA... 59

24. Bobot pengaruh setiap peubah terhadap kebakaran hutan dan lahan

secara mikro dan makro pada model 2... 60 25 Sebaran Tingkat Kerawanan Kebakaran Menggunakan Model TKB II-CMA.... 61 26. Tingkat dan Luas Kerawanan berdasarkan Model TKB II-CMA... 62 27. Luas Tingkat Kerawanan berdasarkan batas Kecamatan... 63

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Segitiga Api... 6 2. Kurva Spektral Ideal Pantulan dari Vegetasi yang Sehat... 12 3. Spektra pantulan dari sampel permukaan dari tanah mineral... 13 4. Pengaruh klorofil dan sedimen pada pantulan air... 14 5. Peta Lokasi Penelitian (Sub DAS Kapuas Tengah) ... 22 6. Pola curah hujan ... 24 7. Peta Tutupan Lahan... 27 8. Peta Penggunaan Lahan... 28 9. Peta NDVI... 34 10. Peta NDVMI... 35 11. Peta Sebaran Hotspot tahun 2002 ... 37 12. Diagram Alir Tahapan Penentuan tingkat dan zone kabakaran hutan dan lahan... 45 13. Peta Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan menggunakan CMA... 65

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Nilai Penting Setiap Peubah Dalam Mempengaruhi Kebakaran

Hutan Lahan Berdasarkan Penilaian Ahli... 69 2. Data Jumlah Curah Hujan Bulanan Tahun 2002 di Kab. Sanggau,

Ketapang dan Sintang... 70 3. Grafik Jumlah Curah Hujan Bulanan di Kab. Sanggau, Sintang

dan Ketapang... 71 4. Matriks korelasi antar peubah yang mempengaruhi kebakaran

hutan dan lahan... 72 5. Nilai Skor Berdasarkan Formulasi Logis dari Sub Peubah Dalam

Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan di Sub DAS Kapuas

Tengah ... 73 6. Bobot Pengaruh Setiap Peubah Terhadap Kebakaran Hutan dan

Lahan di Sub DAS Kapuas Tengah Berdasarkan Penilaian Ahli

(expert judgement)... 74 7. Konfusi Matrik Model Kerawanan Menggunakan Metode

Ranking dengan Kepadatan Titik Panas (hotspot) ... 74 8. Skor NDVI Berdasarkan Luas Wilayah dan Rasio Jumlah Titik

Panas Aktual dengan Jumlah Titik Panas Yang Diharapkan Ada .. 75 9. Skor NDVMI Berdasarkan Luas Wilayah dan Rasio Jumlah Titik

Panas Aktual Dengan Titik Panas yang Diharapkan Ada. ... 75 10. Grafik Hubungan Antara Curah Hujan dengan Jumlah Hotspot 11.

Peta Sebaran Hotspot tahun 2002 ... 76 11. Skor Tutupan Lahan Berdasarkan Luas Wilayah dan Rasio Jumlah

Titik Panas Aktual dengan Titik Panas yang Diharapkan Ada. ... 77 12. Skor Curah Hujan Berdasarkan Luas Wilayah dan Rasio antara

Jumlah Titik Panas Aktual dengan Jumlah Titik Panas yang

Diharapkan Ada. ... 78 13. Skor Jarak dari Sempadan Pemukiman Penduduk Berdasarkan

Luas Wilayah dan Rasio Jumlah Titik Panas Aktual dengan

Jumlah Titik Panas yang Diharapkan Ada... 79 14. Skor jarak dari sempadan jalan berdasarkan luas wilayah dan rasio

jumlah titik panas aktual dengan jumlah titik panas yang

diharapkan ada ... 79 15. Skor Jarak dari Sempadan Sungai Berdasarkan Luas Wilayah dan

Rasio Jumlah Titik Panas Aktual dengan Jumlah Titik Panas

yang Diharapkan Ada. ... 80 16. Skor Tipe Penggunaan Lahan berdasarkan luas berdasarkan luas

wilayah dan rasio jumlah titik panas aktual dengan jumlah titik

panas yang diharapkan ada ... 80 17. Bobot mikro pengaruh aktifitas manusia dan alam model 1

kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan. ... 81 18. Bobot makro pengaruh aktifitas manusia dan biofisik model 1

berdasarkan rerata rasio perbandingan Jumlah titik panas aktual

dengan jumlah titik panas yang diharapkan ada. ... 81 19. Bobot Mikro Pengaruh Aktifitas Manusia dan Biofisik model 2. .. 82 20. Bobot Mikro Pengaruh Aktifitas Manusia dan Biofisik model 2. .. 82 21. Konfusi Matrik Model Kerawanan Menggunakan Metode CMA

(TKB I-CMA) dengan Kepadatan Titik Panas (hotspot)... 83 22. Konfusi Matrik Model Kerawanan Menggunakan Metode CMA

PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

Kalimantan adalah pulau yang memiliki hutan terbesar di Indonesia yaitu 92.4 juta ha atau 85% dari luas hutan di Indonesia. Luas ini telah mengalami kerusakan sebesar 18.7 juta ha dalam kurun waktu 15 tahun yaitu tahun 1 983 ∼ 1 998 (Dephut, 1998). Salah satu penyebab kerusakan hutan ini adalah kebakaran. Kebakaran tersebut telah menimbulkan kerusakan ekologis, ekonomi dan sosial pada tingkat regional dan asap tebal yang ditimbulkan dari peristiwa kebakaran juga dirasakan oleh negara tetangga seperti Malaysia, Brunai dan Singapura.

Selain Kalimantan Timur yang telah mengalami kerusakan hebat sebesar 3.6 juta hektar akibat kebakaran yang terjadi pada tahun 1983 di Bukit Soeharto, kebakaran hebat juga terjadi di Kalimantan Barat pada bulan Agustus tahun 1 997 yang merusak sekitar 18 ribu hektar hutan. Bila dikaitkan dengan pengamatan titik panas (hotspot) dalam 5 tahun terakhir (2 000 ∼ 2 004), Kalimantan Barat adalah wilayah yang memiliki kepadatan titik panas yang tinggi dan cenderung meningkat intensitasnya setiap tahun. Tahun 2 000 terdeteksi titik panas sebanyak 2 589 titik meningkat menjadi 4 989 titik pada tahun 2 001 dan 7 061 titik pada tahun 2 002, 6 322 titik di tahun 2 003 dan 7 000 titik di tahun 2 004. Sebaran jumlah titik panas tersebut umumnya terjadi pada bulan Agustus. Kondisi yang hampir sama juga terjadi pada daerah sub DAS Kapuas Tengah yang mengalami peningkatan jumlah titik panas setiap tahun yaitu dari 495 titik pada tahun 2000 hingga 1 760 titik pada tahun 2 002 dengan kejadian tertinggi pada bulan Agustus. Hal ini menunjukkan bahwa kebakaran tersebut terjadi pada bulan-bulan kering setiap tahunnya. Pada waktu tersebut, aktivitas manusia cenderung tinggi sehingga dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan.

Penyebab kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh faktor biofisik dan faktor aktifitas manusia. Meskipun hingga saat ini informasi tentang seberapa besar pengaruh faktor biofisik dan faktor aktifitas manusia yang dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan di sub DAS Kapuas Tengah belum diketahui namun menurut Suratmo (2003) penyebab utama kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatra dipengaruhi oleh faktor manusia

baik dikarenakan kelalaian maupun kesengajaan (pembukaan lahan/slash and burning) dan kecil kemungkinannya oleh faktor alamiah seperti penomena iklim, areal gambut, areal batubara, petir, gesekan kayu dan benturan batu. Berdasarkan hal itu, diperlukan solusi yang tepat dan upaya yang serius dalam penanganan masalah kebakaran ini perlu dicari. Solusi yang telah diambil selama ini lebih difokuskan pada teknis memadamkan kebakaran hutan, sehingga tidak efektif untuk usaha pencegahan.

Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui pemantauan wilayah rawan secara kontinyu. Salah satu upaya untuk memudahkan pemantauan resiko kebakaran hutan dan lahan pada suatu daerah adalah melalui penyediaan informasi tingkat bahaya kebakaran.

Informasi tingkat dan zona kebakaran hutan dan lahan dapat diwujudkan dalam bentuk peta berwarna. Setiap warna melambangkan penilaian secara kualitatif yang ditentukan berdasarkan tingkat resiko rendah, tinggi dan sangat tinggi. Tersedianya informasi tentang tingkat dan zona kerawanan kebakaran hutan dan lahan akan memberikan informasi penting sebagai sistem peringatan dini (early warning system), melalui informasi ini maka zona yang memiliki tingkat kerawanan tinggi (sangat tinggi) harus diprioritaskan untuk diberi tindakan pencegahan.

Pemetaan tingkat dan zona kerawanan kebakaran hutan dan lahan ini dapat dibangun menggunakan teknologi SIG (Sistem Informasi Geografis) dan penginderaan Jauh (remote sensing). Teknik SIG ini mampu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan spasial secara cepat dan konsisten, sedangkan penginderaan jauh mampu memberikan data yang up-to-date, handal dan akurat.

Kerangka Pemikiran

Kebakaran hutan dan lahan dapat terjadi bila terdapat bahan bakar, oksigen dan sumber api. Bahan bakar berkaitan dengan kondisi biofisik yang terdapat di suatu wilayah sedangkan sumber api berkaitan dengan aktifitas masyarakat dalam penggunaan api untuk penyiapan lahan.

Peubah yang merupakan faktor biofisik yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan, antara lain adalah curah hujan, indeks kerapatan vegetasi (NDVI), indeks kadar air vegetasi (wetness index), tutupan lahan (landcover) dan peubah yang merupakan faktor aktifitas manusia menekankan pada perilaku masyarakat disekitar hutan yang menggunakan api untuk penyiapan lahan meliputi: jarak akses sungai, jalan menuju lokasi hutan dan jarak dari dari pemukiman penduduk tersebut dari lokasi hutan serta daerah yang di gunakan sebagai hutan tanaman industri, transmigrasi, perkebunan, HPH dan penggunaan areal lainnya.

Peubah curah hujan mempengaruhi kerawanan kebakaran disuatu wilayah karena semakin banyak jumlah curah hujan maka semakin tidak rawan dan sebaliknya semakin sedikit jumlah curah hujan disuatu wilayah maka semakin rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan.

Peubah indeks kerapatan vegetasi (NDVI) menunjukkan kerapatan dari suatu vegetasi yang diketahui berdasarkan tingkat kehijauan vegetasi, semakin hijau menunjukkan semakin rapat suatu vegetasi. Semakin rapat vegetasi maka semakin cepat pemasokan oksigen untuk reaksi pembakaran maka pemindahan panas berlangsung cepat sehingga mempengaruhi laju penjalaran api. Oleh sebab itu maka semakin rapat vegetasi maka semakin rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan.

Peubah indeks kadar air vegetasi (NDVMI) menunjukkan kadar air dari vegetasi. Semakin kecil kadar air vegetasi maka semakin mudah penyalaan api sehingga menjadi rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan karena dan semakin banyak kadar air vegetasi maka semakin tidak rawan.

Kerawanan kebakaran hutan dan lahan sangat di pengaruhi oleh jenis tutupan lahan di suatu wilayah. Tutupan lahan yang bervegetasi dan terdapat kontak ekologis yang besar antara manusia dan lingkungannya akan memiliki kerawanan yang tinggi terhadap kebakaran hutan dan lahan. Semakin bervegetasi suatu tutupan lahan dan semakin banyak aktifitas manusia dalam pemanfaatan hutan dan lahan maka semakin rawan terhadap kebakaran.

Peubah tipe penggunaan lahan mempengaruhi kerawanan kebakaran hutan dan lahan karena kebakaran hutan dan lahan biasanya terjadi akibat penggunaan

api dalam penyiapan lahan, maka semakin tinggi aktifitas masyarakat dalam penyiapan lahan maka semakin rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan.

Jarak dari jaringan jalan, pemukiman penduduk mempengaruhi kerawanan kebakaran hutan dan lahan karena berkaitan dengan aktifitas manusia di sekitar hutan. Semakin jauh lokasi hutan terhadap pemukiman penduduk, jalan dan sungai maka hutan semakin terhindar dari kebakaran.

Kombinasi secara keseluruhan peubah-peubah tersebut maka penentuan tingkat dan zona kerawanan kebakaran di suatu wilayah dapat di prediksi.

Pembuatan model kerawanan tingkat dan zona kerawanan kebakaran hutan dan lahan sebagai usaha pencegahan agar tidak terjadi lagi kabut asap yang dapat merugikan kesehatan dan kerusakan hutan akibat kebakaran dapat teratasi.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah dan kerangka berfikir tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi tingkat pengaruh dari setiap penyebab kebakaran hutan dan lahan, (2) membangun model kerawanan kebakaran hutan dan lahan, (3) memetakan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan di wilayah studi.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat dan zona kerawanan kebakaran hutan kepada pemerintah daerah dan masyarakat umum. Tersedianya informasi ini diharapkan kegiatan yang akan dilakukan pada kawasan tersebut menjadi lebih terencana dan terkendali, terutama dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

TINJAUAN PUSTAKA

Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu keadaan hutan yang dilanda api sehingga mengakibatkan hutan menjadi rusak. Kebakaran hutan dan lahan dapat menimbulkan berbagai kerugian baik ekonomis, ekologis maupun sosial (Sartiani, 2001). Secara ekonomis, kebakaran hutan dapat menyebabkan musnahnya aset-aset (sumberdaya alam) yang bernilai tinggi seperti musnahnya kayu, matinya satwa dan terbukanya sumber-sumber hasil hutan lainnya seperti rotan, biji-bijian, buah-buahan maupun getah. Secara ekologis, kebakaran hutan membawa dampak kerusakan lingkungan seperti hilangnya fungsi hutan sebagai penghasil oksigen dan penyerap karbon, lepasnya karbon ke udara, pencemaran udara dan hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur tata air. Dari sudut pandang sosial, asap dari kebakaran hutan dapat mengganggu aktifitas masyarakat contohnya terganggunya transportasi udara dan laut dan darat, liburnya aktifitas sekolah dan kantor serta terganggunya kesehatan masyarakat.

Brown dan Davis (1973) kebakaran hutan adalah pembakaran yang tidak tertahan dan terjadi dengan tidak sengaja atau tidak direncanakan pada areal tertentu yang menyebar secara bebas serta mengkonsumsi bahan bakar yang tersedia di hutan seperti serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, patahan kayu, tunggul, daun-daunan dan pohon-pohon yang masih hidup. Selanjutnya Brown dan Davis (1973) melukiskan suatu konsep kebakaran hutan sebagai segitiga api yang dikenal sebagai The fire Triangle. Sisi-sisi segitiga api tersebut adalah bahan bakar, oksigen dan sumber panas atau api (Gambar 1). Kebakaran akan terjadi jika terdapat ketiga komponen tersebut. Jika salah satu atau lebih dari ketiga komponen pada sisi-sisi segitiga api tersebut tidak ada maka kebakaran tidak akan pernah terjadi. Ketiga komponen yang mempengaruhi kebakaran hutan sangat tidak mungkin untuk mengatur jumlah oksigen karena oksigen selalu tersedia di alam namun bahan bakar dan sumber api dapat dikontrol, sehingga upaya pencegahan dapat dilakukan.

Gambar 1. Segitiga api

Segitiga api menggambarkan proses hubungan reaksi berantai dari pembakaran. Ketersediaan dari tiga komponen tersebut akan menyebabkan terjadinya kebakaran. Berdasarkan dari pemahaman ini maka usaha pencegahan dapat dilakukan dengan cara membatasi ketersediaan dari komponen segitiga api yaitu komponen bahan bakar dan sumber api.

Adapun proses pembakaran yang terjadi pada kebakaran hutan merupakan kebalikan dari proses fotosintesis. Fotosintesis merupakan proses kimia yang terdiri dari karbondioksida, air dan energi panas matahari sehingga menghasilkan oksigen dan senyawa lainnya. Pada proses fotosintesis, pembakaran energi akan menghasilkan panas.

Perbandingan kedua proses dituliskan dalam formula umum, yaitu:

Fotosintesis:

CO2 + H2O (C6H10O6)n + O2

Pembakaran:

(C6H10O6)n + O2 + temperatur CO2 + H2O + panas.

Faktor-Faktor Pendukung Kebakaran

Para ahli yang telah meneliti faktor-faktor pendukung kebakaran antara lain Clar dan Chattan (1954), Brown dan Davis (1973), Suratmo (1985), Sahardjo (2003), namun kesemuanya mengacu kepada komponen–komponen pada segitiga

api. Adapun komponen-komponan yang mempengaruhi kebakaran adalah sebagai berikut:

Bahan Bakar

Suratmo (1985), Brown dan Davis (1973) memaparkan karakteristik bahan bakar sebagai berikut:

Ukuran Bahan Bakar. Ukuran bahan bakar dibedakan kedalam tiga macam, yaitu bahan bakar halus, bahan bakar sedang dan bahan bakar kasar. Bahan bakar halus mudah mengering tetapi mudah pula menyerap air. Apabila terbakar akan cepat meluas, namun cepat pula padamnya. Bahan bakar halus ini terdiri dari daun, serasah, rumput dan ranting. Bahan bakar sedang meliputi tumbuhan bawah, savana dan padang alang-alang. Sedangkan bahan bakar kasar memiliki kadar air yang lebih stabil, tidak cepat mengering sehingga sulit terbakar. Apabila terbakar akan memberikan penyalaan yang lebih lama. Bahan bakar kasar ini meliputi pohon, batang kayu dan pohon-pohon mati yang belum tumbang.

Susunan Bahan Bakar. Susunan bahan bakar terbagi kedalam susunan vertikal dan susunan horisontal. Susunan vertikal merupakan bahan bakar yang bertingkat dan berkesinambungan ke arah atas. Susunan ini memungkinkan api mencapai tajuk dalam waktu singkat. Sedangkan susunan horisontal merupakan bahan bakar yang menyebar dan berkesinambungan secara mendatar di lantai hutan yang mempengaruhi penjalaran kebakaran.

Jumlah Bahan Bakar. Jumlah bahan bakar menunjukkan banyaknya bahan bakar yang tersedia dalam hutan. Yaitu dapat berupa luasan hamparan bahan bakar, volume bahan bakar dan berat bahan bakar. Bahan bakar dalam jumlah besar menjadikan api lebih besar dan temperatur tinggi, hal ini menyebabkan kebakaran sulit dipadamkan.

Jenis Bahan Bakar. Jenis bahan bakar digolongkan kedalam pohon, semak dan anakan, tumbuhan penutup tanah (tumbuhan setahun dan tahunan), serasah dan lapisan humus yang belum hancur, cabang-cabang pohon yang mati dan pohon yang masih berdiri di hutan dan sisa penebangan.

Kondisi Bahan Bakar. Kondisi bahan bakar dapat dilihat dari kadar air bahan bakar dan jumlah bahan bakar di hutan. Meskipun bahan bakar tertumpuk banyak, api tidak mudah menyala jika kadar airnya tinggi. Kelembaban < 30% mendukung terjadinya kebakaran.

Kerapatan Bahan Bakar. Kerapatan bahan bakar berhubungan dengan jarak antar partikel dalam bahan bakar. Kerapatan berpengaruh pada persediaan udara dan pemindahan panas. Kerapatan partikel tinggi menjadikan tumpukan log kayu terbakar dengan baik dalam waktu lama. Kebakaran akan berhenti jika kerapatan partikelnya rendah.

Lokasi Bahan Bakar. Menurut Brown dan Davis (1973), bahan bakar dapat diklasifikasikan menurut lokasinya, yaitu: (1) Bahan bakar bawah (ground fuels), yaitu terdiri dari serasah yang berada di bawah permukaan tanah, akar pohon, bahan organik yang membusuk, gambut dan batu bara; (2) Bahan bakar permukaan (surface fuels), yaitu bahan bakar yang berada di lantai hutan, antara lain serasah, log sisa tebangan, tunggak pohon dan tumbuhan bawah lainnya; (3) Bahan bakar atas (aerial fuels), yaitu bahan bakar yang berada diantara tajuk tumbuhan tingkat bawah dan tajuk tumbuhan tingkat tinggi, seperti cabang pohon, daun dan semak serta pohon mati yang masih berdiri.

Iklim Mikro dalam Hutan

Iklim akan mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan karena temperatur udara, kelembaban relatif, kecepatan angin dan curah hujan serta kelembaban vegetasi (wetness) dapat mempengaruhi kondisi bahan bakar, bahan bakar yang kering akan mudah terbakar (Suratmo, 2003).

Topografi

Kemiringan lereng dan ketinggian lokasi di atas permukaan laut menentukan cepat lambatnya api bereaksi, yaitu berpengaruh pada penjalaran dan kecepatan pembakaran. Pada lereng yang curam, api membakar dan menghabiskan dengan cepat tumbuhan yang dilaluinya dan api akan menjalar lebih cepat ke arah menaiki lereng. Sebaliknya api yang menjalar ke bawah lereng

akan padam jika melalui daerah lembab yang memiliki kadar air tinggi (Clar dan Chatten, 1954). Brown dan Davis (1973) juga mengatakan bahwa kemiringan berperan dalam penyebaran api.

Waktu Harian.

Syaufina (1988) menyatakan bahwa hampir setiap kasus kebakaran nasional terjadi pada musim kemarau. Berdasarkan waktu dalam selang bulanan adalah pada bulan Agustus dan September. Sedangkan berdasarkan selang waktu dalam sehari, saat yang paling peka terhadap kebakaran hutan adalah antara jam 12.00 ∼ 15.00 dan antara jam 09.00 ∼ 12.00. Umumnya, kebakaran hutan terjadi pada bulan kering dengan curah hujan < 60 mm, temperatur udara berkisar 26 ∼ 300C dengan frekuensi terbesar pada suhu 280C dan kelembaban relatif berkisar antara 60 ∼ 70%.

Ada 3 (tiga) macam bentuk kebakaran hutan berdasarkan model penyebaran dan karakteristik dari masing-masing kebakaran (Sahardjo, 2003), yaitu:

Kebakaran Tajuk (crown fire)

Api membakar tajuk dan pohon belukar. Api berawal dari serasah (kebakaran permukaan) yang kemudian merambat ke tajuk pohon. Pohon akan mati terbakar.

Kebakaran Permukaan (surface fire)

Kebakaran terjadi pada permukaan tanah dan hanya membakar serasah, semak-semak dan anakan pohon. Kebakaran ini dapat menjalar pada vegetasi yang lebih tinggi hingga mencapai tajuk pohon.

Kebakaran Bawah (ground fire)

Api membakar serasah, kemudian api membakar bahan organik pada lapisan di bawahnya. Biasanya terjadi pada hutan bertanah gambut dan yang mengandung batu bara. Kebakaran ini sangat sulit dideteksi. Bara menjalar perlahan beberapa kaki di bawah permukaan tanah, tanpa ada nyala, hanya sedikit asap. Kebakaran

ini akan diikuti oleh kebakaran permukaan jika kelembaban bahan bakar permukaan memungkinkan.

Peran Teknologi Penginderaan Jauh NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration)

Saat ini satelit NOAA AVHRR telah dijadikan sebagai alat untuk mendeteksi kejadian kebakaran hutan. Pendugaan bahaya kebakaran yang terjadi di hutan dan lahan dapat dilakukan dengan memanfaatkan band-band thermal dari citra NOAA untuk mendeteksi jumlah titik panas.

Data satelit NOAA AVHRR merupakan sarana potensial untuk mendeteksi dan memantau terjadinya kebakaran hutan dan lahan karena selain memiliki sensor yang peka terhadap panas obyek, juga dapat meliput daerah yang sangat luas (2 600 x 1 500 km2), dengan frekwensi perekaman mencapai dua kali dalam sehari (Dephut, 1989).

Satelit NOAA dibuat dan diluncurkan oleh NASA (National Aeronautics And Space Administration – USA) yang bertujuan untuk pemantauan iklim dan cuaca serta untuk pendeteksian kebakaran yang terjadi. Satelit yang beroperasi (NOAA 12, 16 dan 17) mengunjungi tempat yang sama sebanyak dua kali dalam sehari yaitu siang dan malam. Dengan demikian data yang dihasilkan cukup aktual (near real time) dan sangat bermanfaat bagi tim pemadam kebakaran untuk mengetahui informasi lokasi kebakaran sehingga tindakan pemadaman dapat dilakukan dengan tepat dan segera (Solichin, 2004).

Dalam kenyataannya tidak semua hotspot diindikasikan sebagai titik api kebakaran. Istilah hotspot lebih tepat disebut sebagai titik panas (Anderson, Imanda dan Muhnandar, 1999). Meskipun secara teoritis resolusi spasial citra

Dokumen terkait