• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu keadaan hutan yang dilanda api sehingga mengakibatkan hutan menjadi rusak. Kebakaran hutan dan lahan dapat menimbulkan berbagai kerugian baik ekonomis, ekologis maupun sosial (Sartiani, 2001). Secara ekonomis, kebakaran hutan dapat menyebabkan musnahnya aset-aset (sumberdaya alam) yang bernilai tinggi seperti musnahnya kayu, matinya satwa dan terbukanya sumber-sumber hasil hutan lainnya seperti rotan, biji-bijian, buah-buahan maupun getah. Secara ekologis, kebakaran hutan membawa dampak kerusakan lingkungan seperti hilangnya fungsi hutan sebagai penghasil oksigen dan penyerap karbon, lepasnya karbon ke udara, pencemaran udara dan hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur tata air. Dari sudut pandang sosial, asap dari kebakaran hutan dapat mengganggu aktifitas masyarakat contohnya terganggunya transportasi udara dan laut dan darat, liburnya aktifitas sekolah dan kantor serta terganggunya kesehatan masyarakat.

Brown dan Davis (1973) kebakaran hutan adalah pembakaran yang tidak tertahan dan terjadi dengan tidak sengaja atau tidak direncanakan pada areal tertentu yang menyebar secara bebas serta mengkonsumsi bahan bakar yang tersedia di hutan seperti serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, patahan kayu, tunggul, daun-daunan dan pohon-pohon yang masih hidup. Selanjutnya Brown dan Davis (1973) melukiskan suatu konsep kebakaran hutan sebagai segitiga api yang dikenal sebagai The fire Triangle. Sisi-sisi segitiga api tersebut adalah bahan bakar, oksigen dan sumber panas atau api (Gambar 1). Kebakaran akan terjadi jika terdapat ketiga komponen tersebut. Jika salah satu atau lebih dari ketiga komponen pada sisi-sisi segitiga api tersebut tidak ada maka kebakaran tidak akan pernah terjadi. Ketiga komponen yang mempengaruhi kebakaran hutan sangat tidak mungkin untuk mengatur jumlah oksigen karena oksigen selalu tersedia di alam namun bahan bakar dan sumber api dapat dikontrol, sehingga upaya pencegahan dapat dilakukan.

Gambar 1. Segitiga api

Segitiga api menggambarkan proses hubungan reaksi berantai dari pembakaran. Ketersediaan dari tiga komponen tersebut akan menyebabkan terjadinya kebakaran. Berdasarkan dari pemahaman ini maka usaha pencegahan dapat dilakukan dengan cara membatasi ketersediaan dari komponen segitiga api yaitu komponen bahan bakar dan sumber api.

Adapun proses pembakaran yang terjadi pada kebakaran hutan merupakan kebalikan dari proses fotosintesis. Fotosintesis merupakan proses kimia yang terdiri dari karbondioksida, air dan energi panas matahari sehingga menghasilkan oksigen dan senyawa lainnya. Pada proses fotosintesis, pembakaran energi akan menghasilkan panas.

Perbandingan kedua proses dituliskan dalam formula umum, yaitu:

Fotosintesis:

CO2 + H2O (C6H10O6)n + O2

Pembakaran:

(C6H10O6)n + O2 + temperatur CO2 + H2O + panas.

Faktor-Faktor Pendukung Kebakaran

Para ahli yang telah meneliti faktor-faktor pendukung kebakaran antara lain Clar dan Chattan (1954), Brown dan Davis (1973), Suratmo (1985), Sahardjo (2003), namun kesemuanya mengacu kepada komponen–komponen pada segitiga

api. Adapun komponen-komponan yang mempengaruhi kebakaran adalah sebagai berikut:

Bahan Bakar

Suratmo (1985), Brown dan Davis (1973) memaparkan karakteristik bahan bakar sebagai berikut:

Ukuran Bahan Bakar. Ukuran bahan bakar dibedakan kedalam tiga macam, yaitu bahan bakar halus, bahan bakar sedang dan bahan bakar kasar. Bahan bakar halus mudah mengering tetapi mudah pula menyerap air. Apabila terbakar akan cepat meluas, namun cepat pula padamnya. Bahan bakar halus ini terdiri dari daun, serasah, rumput dan ranting. Bahan bakar sedang meliputi tumbuhan bawah, savana dan padang alang-alang. Sedangkan bahan bakar kasar memiliki kadar air yang lebih stabil, tidak cepat mengering sehingga sulit terbakar. Apabila terbakar akan memberikan penyalaan yang lebih lama. Bahan bakar kasar ini meliputi pohon, batang kayu dan pohon-pohon mati yang belum tumbang.

Susunan Bahan Bakar. Susunan bahan bakar terbagi kedalam susunan vertikal dan susunan horisontal. Susunan vertikal merupakan bahan bakar yang bertingkat dan berkesinambungan ke arah atas. Susunan ini memungkinkan api mencapai tajuk dalam waktu singkat. Sedangkan susunan horisontal merupakan bahan bakar yang menyebar dan berkesinambungan secara mendatar di lantai hutan yang mempengaruhi penjalaran kebakaran.

Jumlah Bahan Bakar. Jumlah bahan bakar menunjukkan banyaknya bahan bakar yang tersedia dalam hutan. Yaitu dapat berupa luasan hamparan bahan bakar, volume bahan bakar dan berat bahan bakar. Bahan bakar dalam jumlah besar menjadikan api lebih besar dan temperatur tinggi, hal ini menyebabkan kebakaran sulit dipadamkan.

Jenis Bahan Bakar. Jenis bahan bakar digolongkan kedalam pohon, semak dan anakan, tumbuhan penutup tanah (tumbuhan setahun dan tahunan), serasah dan lapisan humus yang belum hancur, cabang-cabang pohon yang mati dan pohon yang masih berdiri di hutan dan sisa penebangan.

Kondisi Bahan Bakar. Kondisi bahan bakar dapat dilihat dari kadar air bahan bakar dan jumlah bahan bakar di hutan. Meskipun bahan bakar tertumpuk banyak, api tidak mudah menyala jika kadar airnya tinggi. Kelembaban < 30% mendukung terjadinya kebakaran.

Kerapatan Bahan Bakar. Kerapatan bahan bakar berhubungan dengan jarak antar partikel dalam bahan bakar. Kerapatan berpengaruh pada persediaan udara dan pemindahan panas. Kerapatan partikel tinggi menjadikan tumpukan log kayu terbakar dengan baik dalam waktu lama. Kebakaran akan berhenti jika kerapatan partikelnya rendah.

Lokasi Bahan Bakar. Menurut Brown dan Davis (1973), bahan bakar dapat diklasifikasikan menurut lokasinya, yaitu: (1) Bahan bakar bawah (ground fuels), yaitu terdiri dari serasah yang berada di bawah permukaan tanah, akar pohon, bahan organik yang membusuk, gambut dan batu bara; (2) Bahan bakar permukaan (surface fuels), yaitu bahan bakar yang berada di lantai hutan, antara lain serasah, log sisa tebangan, tunggak pohon dan tumbuhan bawah lainnya; (3) Bahan bakar atas (aerial fuels), yaitu bahan bakar yang berada diantara tajuk tumbuhan tingkat bawah dan tajuk tumbuhan tingkat tinggi, seperti cabang pohon, daun dan semak serta pohon mati yang masih berdiri.

Iklim Mikro dalam Hutan

Iklim akan mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan karena temperatur udara, kelembaban relatif, kecepatan angin dan curah hujan serta kelembaban vegetasi (wetness) dapat mempengaruhi kondisi bahan bakar, bahan bakar yang kering akan mudah terbakar (Suratmo, 2003).

Topografi

Kemiringan lereng dan ketinggian lokasi di atas permukaan laut menentukan cepat lambatnya api bereaksi, yaitu berpengaruh pada penjalaran dan kecepatan pembakaran. Pada lereng yang curam, api membakar dan menghabiskan dengan cepat tumbuhan yang dilaluinya dan api akan menjalar lebih cepat ke arah menaiki lereng. Sebaliknya api yang menjalar ke bawah lereng

akan padam jika melalui daerah lembab yang memiliki kadar air tinggi (Clar dan Chatten, 1954). Brown dan Davis (1973) juga mengatakan bahwa kemiringan berperan dalam penyebaran api.

Waktu Harian.

Syaufina (1988) menyatakan bahwa hampir setiap kasus kebakaran nasional terjadi pada musim kemarau. Berdasarkan waktu dalam selang bulanan adalah pada bulan Agustus dan September. Sedangkan berdasarkan selang waktu dalam sehari, saat yang paling peka terhadap kebakaran hutan adalah antara jam 12.00 ∼ 15.00 dan antara jam 09.00 ∼ 12.00. Umumnya, kebakaran hutan terjadi pada bulan kering dengan curah hujan < 60 mm, temperatur udara berkisar 26 ∼ 300C dengan frekuensi terbesar pada suhu 280C dan kelembaban relatif berkisar antara 60 ∼ 70%.

Ada 3 (tiga) macam bentuk kebakaran hutan berdasarkan model penyebaran dan karakteristik dari masing-masing kebakaran (Sahardjo, 2003), yaitu:

Kebakaran Tajuk (crown fire)

Api membakar tajuk dan pohon belukar. Api berawal dari serasah (kebakaran permukaan) yang kemudian merambat ke tajuk pohon. Pohon akan mati terbakar.

Kebakaran Permukaan (surface fire)

Kebakaran terjadi pada permukaan tanah dan hanya membakar serasah, semak-semak dan anakan pohon. Kebakaran ini dapat menjalar pada vegetasi yang lebih tinggi hingga mencapai tajuk pohon.

Kebakaran Bawah (ground fire)

Api membakar serasah, kemudian api membakar bahan organik pada lapisan di bawahnya. Biasanya terjadi pada hutan bertanah gambut dan yang mengandung batu bara. Kebakaran ini sangat sulit dideteksi. Bara menjalar perlahan beberapa kaki di bawah permukaan tanah, tanpa ada nyala, hanya sedikit asap. Kebakaran

ini akan diikuti oleh kebakaran permukaan jika kelembaban bahan bakar permukaan memungkinkan.

Peran Teknologi Penginderaan Jauh NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration)

Saat ini satelit NOAA AVHRR telah dijadikan sebagai alat untuk mendeteksi kejadian kebakaran hutan. Pendugaan bahaya kebakaran yang terjadi di hutan dan lahan dapat dilakukan dengan memanfaatkan band-band thermal dari citra NOAA untuk mendeteksi jumlah titik panas.

Data satelit NOAA AVHRR merupakan sarana potensial untuk mendeteksi dan memantau terjadinya kebakaran hutan dan lahan karena selain memiliki sensor yang peka terhadap panas obyek, juga dapat meliput daerah yang sangat luas (2 600 x 1 500 km2), dengan frekwensi perekaman mencapai dua kali dalam sehari (Dephut, 1989).

Satelit NOAA dibuat dan diluncurkan oleh NASA (National Aeronautics And Space Administration – USA) yang bertujuan untuk pemantauan iklim dan cuaca serta untuk pendeteksian kebakaran yang terjadi. Satelit yang beroperasi (NOAA 12, 16 dan 17) mengunjungi tempat yang sama sebanyak dua kali dalam sehari yaitu siang dan malam. Dengan demikian data yang dihasilkan cukup aktual (near real time) dan sangat bermanfaat bagi tim pemadam kebakaran untuk mengetahui informasi lokasi kebakaran sehingga tindakan pemadaman dapat dilakukan dengan tepat dan segera (Solichin, 2004).

Dalam kenyataannya tidak semua hotspot diindikasikan sebagai titik api kebakaran. Istilah hotspot lebih tepat disebut sebagai titik panas (Anderson, Imanda dan Muhnandar, 1999). Meskipun secara teoritis resolusi spasial citra NOAA adalah 1 km x 1 km atau luas 1 pixel NOAA setara dengan 100 ha, yang berarti bahwa 1 titik panas (hotspot) akan mewakili luasan 100 ha. Akan tetapi mengingat yang di tangkap sensor adalah suhu rata-rata titik dan daerah sekitarnya maka meskipun luasan yang terbakar relatif kecil dari resolusi spasial namun bila suhunya telah melewati ambang batas piksel kebakaran (310oK ∼ 320oK) akan terdeteksi sebagai satu titik panas.

Jadi pendeteksian satu titik panas oleh NOAA tergantung pada suhu yang tinggi dari suhu sekitarnya. Contohnya pada fase bara pembakaran (suhu sekitar 400oK ∼ 500oK) luasan yang hanya 1/1 000 dari ukuran piksel atau setara dengan luasan 400 m2 dapat terdeteksi sebagai titik panas. Sedangkan pada fase api pembakaran (suhu sekitar 800 ∼ 1 200oK), kebakaran yang luasnya hanya 1/10 000 dari ukuran piksel yaitu sekitar 11 m x 11 m dapat terdeteksi sebagai satu hotspot.

Hotspot juga merupakan indikasi awal terjadinya kebakaran hutan dan lahan dapat diketahui melalui titik panas yang terdeteksi di suatu lokasi tertentu pada saat tertentu dengan memanfaatkan satelit NOAA yang memiliki teknologi AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer).

Secara sederhana satelit NOAA akan mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Suhu yang terdeteksi berkisar antara 37°C untuk siang hari dan 42°C untuk malam hari. Titik panas tersebut akan diproyeksikan menjadi suatu pixel pada sebuah peta yang juga menunjukkan koordinat yang sama. Titik panas baru dikatakan sebagai lokasi kebakaran bila dideteksi pada koordinat yang sama selama 3 hari.

Jumlah titik panas bervariasi dari setiap pengukuran tergantung pada waktu pengukuran pada hari itu (aktifitas api berkurang pada malam hari dan tertinggi pada sore hari), cuaca (sensor tidak dapat menembus awan dan asap) dan organisasi apa yang memberikan data tersebut (tidak terdapat standar ambang batas temperatur/suhu untuk mendefinisikan titik panas menjelaskan bahwa data hotspot dapat dikelola dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (Jaya, 2002).

Landsat ETM+

Dalam beberapa hal, Landsat-7 ETM+ memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan citra NOAA AVHRR. Selain memiliki resolusi spasial yang lebih bagus (30 m x 30 m), TM juga memiliki resolusi spektral yang lebih baik yang mencakup semua gelombang pendek (visible light) dan infra merah (NIR, MIR, dan TIR), selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik band Landsat 7ETM+ Band Panjang Gelombang

(µm) Karakteristik

1 0.45 ~ 0.52 Penetrasi tubuh air, pemetaan pantai, pembeda vegetasi-tanah dan analisis penggunaan lahan.

2 0.52 ~ 0.60 Mengukur puncak pantulan hijau vegetasi untuk membedakan vegetasi dan penilaian kesuburan

3 0.63 ~ 0.69

Untuk penyerapan klorofil, memperkuat kontras antara kenampakan vegetasi dan bukan vegetasi dan membantu dalam penentuan spesies tumbuhan

4 0.76 ~ 0.90

Berguna untuk menentukan tipe vegetasi, dan biomassa vegetasi, dan memperkuat kontras anara tanaman tanah dan tubuh air dan pembeda kelembaban tanah

5 1.55 ~ 1.75 Untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air vegetasi dan kondisi kelembaban tanah.

6 10.4 ~ 12.5

Sensitif terhadap gangguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah dan untuk klasifikasi vegetasi serta untuk gejala lain yang berhubungan dengan panas. 7 2.08 ~ 2.35 Sangat berguna sebagai pembeda tipe mineral dan

batuan. Sumber: Lillesand-Kiefer, 1990

Aplikasi citra satelit banyak digunakan di bidang kehutanan khususnya yang berhubungan dengan sifat-sifat vegetasi. Karakteristik pantulan dari vegetasi sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat daun, termasuk orientasi dan struktur dari kanopi daun. Proporsi dari radiasi yang dipantulkan pada bagian spektrum yang berbeda tergantung pada pigmentasi daun, ketebalan daun dan kompisisi (struktur sel) dan kandungan air pada jaringan daun (Parkinson, 1997) (Gambar 2).

Pada bagian spektrum tampak, pantulan dari sinar biru dan merah relatif rendah karena bagian tersebut diserap oleh tanaman (terutama oleh klorofil) untuk fotosintesis dan vegetasi lebih banyak memantulkan sinar hijau (Gambar 2). Pantulan paling tinggi pada inframerah dekat tetapi jumlahnya tergantung pada perkembangan daun dan struktur sel daun. Pada infra merah tengah, pantulan terutama ditentukan oleh air bebas pada jaringan daun, semakin banyak air bebas maka akan memberikan lebih sedikit pantulan. Daun yang mengering menghasilkan pantulan lebih tinggi pada inframerah tengah, sedangkan pantulan inframerah dekat menurun.

Nilai pantulan permukaan dari tanah kosong (bare soil) tergantung pada banyak faktor, sehingga sulit memberikan satu kurva umum pantulan tanah. Namun, faktor utama yang mempengaruhi pantulan tanah adalah warna tanah, kadar kelembaban, adanya kandungan karbonat dan oksida besi (Gambar 3).

Keterangan: (a) di dominasi bahan organik, (b) sedikit berubah,

(c) berubah kadar besinya, (d) dipengaruhi bahan organik, (e) didominasi besi.

Gambar 3 Spektra pantulan dari sampel permukaan dari tanah mineral

Jika dibandingkan vegetasi dan tanah, maka air memiliki pantulan rendah. Vegetasi dapat memantulkan hingga 50%, tanah hingga 20 ~ 30% sedangkan air memantulkan maksimal 10% dari radiasi yang datang (Gambar 3). Air memantulkan energi elektromagnetik pada cahaya tampak sampai infra merah dekat, sedangkan di atas 1 200 nm semua energi diserap. Pantulan tertinggi

diberikan oleh air turbid (berlumpur) dan air yang mengandung tanaman dengan puncak pantulan klorofil pada panjang gelombang hijau. (Gambar 4).

Keterangan: (a) air lautan (b) air turbid

(c) air dengan klorofil Sumber: ITTO, 1999

Gambar 4. Reflektansi permukaan air pada berbagai kondisi

Prinsip yang harus diperhatikan dalam interpretasi citra secara manual (ITTO, 1999) adalah spektral reflektan vegetasi. Jenis dan jumlah energi radiasi yang dipantulkan atau diteruskan oleh vegetasi tergantung pada 4 faktor utama yaitu: (1) Kualitas dan kuantitas radiasi yang dipengaruhi waktu dan kandungan (polusi) atmosfir, (2) Keadaan vegetasi yang dipengaruhi perbedaan jenis pohon, tempat tumbuh, musim, hama dan penyakit tanaman, (3) Fisiologi tanaman, (4) Posisi daun-daun pada tajuknya.

Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Teknik yang digunakan untuk

menganalisis perkembangan vegetasi didasarkan pada formula indeks vegetasi (vegetation index) yang merasiokan spektrum NIR (near infra red) dengan R (red) dengan pembagian yang sederhana hingga melibatkan rumus yang kompleks (Kristijono, 1999). Selanjutnya dikatakan bahwa teknik yang paling populer dengan formula yang relatif sederhana adalah NDVI. Formula aritmatis NDVI adalah:

Angka yang didapat berkisar antara -1 (non vegetasi) hingga +1 (vegetasi dengan tingkat kehijauan tertinggi). Karena spektrum NIR merupakan wilayah berkarakteristik high reflectance dan spectrum Red adalah wilayah maksimum absorbsi (minimum reflectance) dedaunan, maka nilai NVDI vegetasi akan selalu positif dan berbanding langsung dengan biomasa daun per satuan luas. Oleh Karena itu, NDVI lazim digunakan sebagai indikator yang akurat bagi tingkat penutupan vegetasi (Soewarso 2003).

Areal bervegetasi menghasilkan nilai yang tinggi karena pantulan near- infrared yang tinggi dan pantulan visible yang rendah. Sebaliknya, air, awan dan salju memiliki pantulan visible yang lebih lebar dibandingkan dengan pantulan near-infrared. Sehingga, feature tersebut menghasilkan nilai indeks negatif. Areal batuan dan bare soil (lahan kosong) memiliki pantulan yang mirip pada kedua band sehingga menghasilkan indeks vegetasi yang mendekati nol.

Biasanya nilai indeks vegetasi kurang dari -0.5 sampai -0.3 merupakan non vegetasi (air), nilai indeks lebih dari -0.3 hingga + 0.1 merupakan tanah gersang dan nilai > 0.2 hingga + 1 menunjukkan tingkat kehijauan vegetasi yang lebih besar, yang terbagi atas kelas kerapatan vegetasi rendah hingga tinggi. Nilai indeks di luar jangkauan ini lebih tidak sensitif terhadap perubahan faktor-faktor dalam lingkungan (Uni Eropa,1999)

Vegetasi hijau yang sehat merefleksikan sebagian besar near infrared dan nilai sinar merah (red) cenderung menurun seiring dengan bertambahnya vegetasi (Parkinson, 1997). Semakin tinggi nilai NDVI berarti vegetasi semakin banyak atau rapat.

Normalized Difference Vegetation Moisture Index (NDVMI). Banyak istilah

yang dipakai untuk mendefinisikan indeks kadar air vegetasi. Namun semuanya menunjukkan bahwa formulasi yang dibentuk oleh proses pengurangan dan pertambahan serta pembagian saluran (band) yang memiliki panjang gelombang yang berbeda akan menghasilkan warna yang berbeda pula. Adapun formulasi untuk indeks kadar air vegetasi adalah sebagai berikut:

MIR NIR MIR NIR NDVMI NDMSI + − = =

Nilai indeks kadar air vegetasi ini berkisar -1 hingga 1 dengan asumsi semakin tinggi nilainya atau semakin mengarah pada nilai plus maka semakin tinggi kadar air vegetasi (Jaya, 2005).

Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah kumpulan terorganisir yang terdiri dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang didesain untuk memperoleh, menyimpan memperbaiki, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi (ESRI, 1990). Lebih lanjut Aronoff (1989) juga mengatakan SIG sebagai sebuah sistem komputerisasi yang memfasilitasi fase entri data, analisis data dan presentasi data yang terutama berkenaan dengan data yang memiliki georeferensi. Burrough (1986) mengatakan bahwa SIG mempunyai tiga komponen penting, yaitu perangkat keras komputer, sekumpulan modul aplikasi perangkat lunak, dan konteks organisasi yang baik. Perangkat lunak untuk sistem informasi geografis terdiri dari lima modul teknis dasar yang disebut subsistem,yaitu: (1) input dan verifikasi data, (2) penyimpanan data dan pengelolaan basis data, (3) keluaran data dan presentasi, (4) transformasi data, (5) interaksi dengan pengguna.

Sejarah penggunaan komputer untuk pemetaan dan analisis spasial menunjukkan adanya perkembangan bersifat paralel dalam pengambilan data secara otomatis, analisis data dan presentasi pada berbagai bidang terkait, seperti pemetaan kadastral dan topografi, kartografi tematik, teknik sipil, geografi, studi matematika dari variasi spasial, ilmu tanah, survei dan fotogrametri, perencanaan pedesaan dan perkotaan, utility networks, dan penginderaan jauh serta analisis citra (Burrough, 1986).

SIG merupakan alat yang cocok untuk memetakan distribusi data spasial dari bahaya kebakaran hutan. GIS dapat juga memadukan secara spasial beberapa variabel bahaya, seperti vegetasi, topografi dan sejarah kebakaran menurut Chuvieco and Salas (1996). Chuevieco et al (1999) menyebutkan variabel spasial yang secara luas digunakan untuk membangun kerawanan kebakaran hutan, yaitu: (a) topografi (elevasi, slope, aspek dan iluminasi), (b) vegetasi (tipe bahan bakar,

kadar kelembaban), (c) pola cuaca (suhu, kelembaban relatif, angin dan presipitasi), (d) aksesibilitas terhadap jalan dan infrastruktur lain, (e) tipe kepemilikan lahan atau tipe penggunaan lahan, (f) jarak dari kota atau pemukiman, (g) tanah dan bahan bawah tanah, (h) sejarah kebakaran atau catatan kebakaran, (i) ketersediaan air.

Jaya (2002) menyatakan bahwa analisis spasial yang juga disebut dengan pemodelan adalah suatu proses untuk mendapatkan atau mengekstraksi dan membentuk informasi baru dari data (feature) geografis. Analisis spasial mencakup proses pemodelan, pengujian model dan interpretasi hasil model. Analisis spasial sangat bermanfaat untuk prediksi suatu kejadian melalui proses simulasi data geografis.

Penentuan Bobot

Dalam SIG, penentuan bobot dari masing-masing elemen atau peubah yang pada umumnya menggunakan 5 (lima) metoda dasar untuk menganalisis tingkat bahaya kebakaran hutan, yaitu: metode proporsi atau skala (rating method), metode berdasarkan tingkat kepentingan (ranking method), metode analisis pemetaan komposite (composite mapping analysis), analisis komponen utama, proses hirarki analisis (analytic hierarchy process /AHP) (Jaya, 2006).

Metode Proporsi atau Skala (rating method). Metode ini langsung memberikan bobot secara eksplisit pada setiap elemen keputusan dengan mengalokasikan sejumlah nilai yang jika dijumlahkan akan menjadi 100 atau 1 (penilaian dilakukan secara kualitatif).

0 < wij < 100, dan wij = 100 untuk semua i,

dimana wij adalah bobot dari indikator ke-i dan kriteria ke-j.

Metode ini menilai setiap peubah berdasarkan tingkat pengaruhnya, dan dilakukan secara coba-coba (trial and error). Bobot yang dipilih adalah bobot yang menghasilkan keakuratan penilaian yang tinggi.

Metode Ranking. Pada metode ini, setiap elemen atau setiap peubah diberi nilai berdasarkan tingkat kepentingannya yang dinyatakan dengan nilai tingkat kardinal

(cardinal rank). Besar-kecilnya bobot yang diberikan ditentukan melalui penilaian para ahli (expert panel). Bobot relatif dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

= m i n i n k rjki rjki wji

dimana wji adalah bobot dari indikator ke-i dan kriteria ke-j, rjki adalah ranking dari indikator ke-i, kriteria ke-j untuk akhli ke-k, m dan n secara berturut-turut adalah jumlah indikator dan ahli.

Suatu peubah akan diberikan nilai 1 untuk menyatakan bahwa peubah tersebut kurang penting (weakly important), 3 untuk menyatakan cukup penting (moderately important), 5 menyatakan penting (important), 7 sangat penting (very important) dan 9 dan 10 untuk menyatakan sangat penting sekali (extremely important). Nilai 2, 4, 6 dan 8 merupakan nilai antara dari nilai-nilai tersebut (Prabu dalam Pukkala, 2002).

Analisis Pemetaan Gabungan (Composite Mapping Analysis /CMA). Metode CMA ini merupakan metode yang umum digunakan untuk aplikasi di bidang lingkungan, khususnya analisis kesesuaian lahan atau dalam menilai sensitifitas lingkungan. Lowry (1995) mengunakan metode ini untuk menganalisis kepekaan terhadap kontaminan berbahaya, sedangkan Boonyanuphap (2001) menggunakan CMA untuk membuat pemodelan spasial kerawanan kebakaran hutan. CMA melakukan karakterisasi lokasi berdasarkan koinsidensi spasial dari masing- masing peubah yang relevan yang mempengaruhi aktifitas yang ada atau yang diusulkan. Oleh karena CMA berdasarkan pada koinsidensi spasial maka CMA memanfaatkan overlay poligon atau memanfaatkan kemampuan manipulasi sel

Dokumen terkait