• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman 1. Jenis parameter yang dianalisis dan metode penetapan yang

digunakan dalam penelitian ... 22 2. Peubah sifat-sifat tanah dan umur yang teruji berkorelasi dengan

peninggi hutan tanaman Acacia mangium ... 24 3. Peninggi tegakan Acacia mangium di lokasi penelitian... 25 4. Pengaruh kehilangan kalium dapat dipertukarkan oleh pencucian

dari Creedmore Lempung berpasir ... 27 5. Pertumbuhan diameter batang tegakan Acacia mangium... 32 6. Pertumbuhan tinggi total tegakan Acacia mangium ... 34 7. Riap peninggi tegakan Acacia mangium ... 36 8. Volume tegakan Acacia mangium di lokasi penelitian ... 36 9. Riap volume tegakan Acacia mangium di lokasi penelitian... 39

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka Pemikiran Penelitian ...………... 4 2. Hubungan diameter batang pohon dengan umur tegakan ... 32 3. Hubungan tinggi total dengan umur tegakan ... 33 4. Hubungan peninggi dengan umur tegakan ... 35 4. Hubungan volume pohon dengan umur tegakan ... 37

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Peta lokasi penelitian ...………... 47 2. Hasil analisis sifat fisika dan kimia tanah ...…………... 48 3. Data volume pohon per petak ukur ... 49 4. Data diameter, tinggi total, peniggi dan volume ... 50

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan dikenal sebagai sumberdaya alam yang mempunyai empat fungsi utama, yaitu sebagai penyangga tanah dan air (fungsi hidro-orologi), penyangga iklim bumi(pemanasan global), sumber keanekaragaman hayati, serta modal atau penunjang pembangunan (Soemarwoto dan Soerjani 1991). Pemanfaatan hutan terutama pemanenan kayu yang dilakukan secara agak berlebihan telah memberikan dampak berupa berkurangnya luasan kawasan hutan serta adanya kerusakan yang akhirnya dapat menurunkan fungsi hutan secara keseluruhan. Bertolak dari kenyataan tersebut, pemerintah telah mengeluarkan beberapa bentuk kebijakan di dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan, sehingga fungsi hutan dapat dipertahankan keberadaannya secara berkelanjutan.

Satu diantara sekian bentuk kebijakan dari pemerintah adalah menerapkan upaya penanaman kembali dalam bentuk Hutan Tanaman Industri (HTI). Hutan Tanaman Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan hutan yang tidak atau kurang produktif guna mencukupi kebutuhan kayu bulat sebagai bahan baku industri pengolahan kayu baik industri penggergajian, kayu lapis, mebel, pulp, kertas serta bahan industri kayu lainnya (Supriadi 1990).

Secara definitif Hutan Tanaman Industri (HTI) diartikan sebagai hutan tanaman yang dikelola dan diusahakan berdasarkan asas perusahaan dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan (Dephut 1990). Menurut Alrasjid (1984) kebijaksanaan pembangunan hutan tanaman industri umumnya diarahkan pada 4 tujuan pokok, yaitu : (1) memenuhi kebutuhan industri, antara lain untuk kayu pulp, gergajian, panel dan sebagainya; (2) memenuhi tuntutan perlindungan, antara lain untuk kebutuhan hidro-orologi; (3) memenuhi kebutuhan energi, dan (4) meningkatkan pendapatan dan kebutuhan masyarakat terutama yang ada di sekitar areal pembangunan hutan tanaman industri.

Pembangunan hutan tanaman industri (HTI) diharapkan dapat menghasilkan produk hutan berupa kayu dalam waktu yang relatif lebih cepat dengan kualitas

seragam, yaitu melalui penanaman jenis-jenis yang cepat tumbuh (fast growing species). Salah satu jenis yang termasuk dalam fast growing species ini adalah

Acacia mangium Willd, yaitu disamping pertumbuhannya cepat, jenis pohon ini tidak begitu memerlukan persyaratan tumbuh yang tinggi, cocok untuk tujuan penggunaan pulp dan kertas.

Kendala yang dihadapi di lapangan yaitu terjadinya kesenjangan yang besar antara kualitas tempat tumbuh (kesuburan tanah rendah) dengan tuntutan pertumbuhan tegakan untuk menghasilkan produktifitas hutan tanaman yang tinggi. Penelitian Mile (1997) menunjukkan bahwa konversi hutan alam menjadi HTI berpengaruh negatif terhadap sifat kimia tanah yaitu menurunnya kandungan hara N, P, K, Ca dan Mg.

Tujuan pembangunan HTI pada dasarnya lebih mengutamakan aspek ekonomi dan teknologi kayu. Penilaian potensi sebidang lahan untuk kepentingan pembangunan HTI mutlak dilaksanakan. Penilaian potensi ini tidak hanya terpaku pada karakteristik lahan yang berpengaruh dominan terhadap pertumbuhan tanaman, akan tetapi secara keseluruhan menilai potensinya secara ekonomis. Artinya jenis tanaman yang dikembangkan harus mampu memberikan keuntungan bagi pihak pengelola, sedangkan dari segi ekonomi nasional, tentunya hal ini diharapkan mampu memberikan peningkatan pendapatan nasional yang pada akhirnya mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Perumusan Masalah

Hutan tanaman industri merupakan penyedia bahan baku industri dan diharapkan dapat mencukupi kebutuhan kayu di Indonesia. Tetapi pada umumnya pembangunan hutan tanaman industri dilaksanakan pada lahan-lahan kritis, sehingga diperkirakan memiliki kualitas tempat tumbuh yang rendah. Akibatnya produktifitas hutan tanaman industri tidak sesuai dengan yang diinginkan.

Jenis tanah di Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung sebagian besar termasuk dalam kategori Podsolik Merah Kuning, luas penyebarannya lebih kurang 48% dari luas wilayah keseluruhan. Pada beberapa tempat ditemui jenis tanah andosol, sebaran geografinya relatif kecil. (Lakip Pemda Kab. Swl/Sjj Tahun 2004). Tanah Podsolik Merah Kuning secara alami memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Reaksi tanah (pH) umumnya masam, cadangan hara rendah, kapasitas tukar kation

rendah dan kapasitas fiksasi P tinggi. Level N, P, K, Ca dan Mg umumnya rendah sampai sangat rendah. Dengan demikian kualitas tempat tumbuh merupakan pembatas utama dalam pertumbuhan hutan tanaman Acacia mangium.

Permasalahan pokok yang ingin di dijawab pada penelitian ini adalah : sifat-sifat tanah apa yang secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan tanaman

Acacia mangium.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui produktifitas lahan hutan tanaman Acacia mangium di PT Bukit Raya Mudisa.

2. Mengetahui hubungan antara sifat-sifat tanah dengan peninggi tegakan Acacia mangium.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengelolaan hutan tanaman

Acacia mangium secara lestari dan untuk menentukan input dan teknik silvikultur untuk meningkatkan produksi guna mendukung pembangunan hutan tanaman industri secara berkelanjutan.

Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah :

1. Produktifitas lahan hutan tanaman Acacia mangium dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia tanah

2. Terdapat hubungan yang kuat antara sifat-sifat tanah dengan peninggi tegakan

Acacia mangium

Kerangka Pemikiran

Areal hutan tanaman industri (HTI) umumnya dialokasikan di luar pulau Jawa dan areal yang diperuntukan bagi pembangunan HTI adalah kawasan hutan produksi tetap atau kawasan hutan untuk penggunaan lain yang dapat ditetapkan menjadi hutan produksi tetap, yang umumnya adalah lahan kosong, padang alang- alang, semak belukar dan hutan rawang.

Areal–areal ini sebagian besar tanahnya di dominasi jenis tanah mineral asam seperti podsolik, yang umumnya bersifat : pH rendah, tingkat kejenuhan kation basah rendah, defisiensi elemen makro dan mikro, KTK rendah, mudah tercuci (leaching) dan penguapan air yang tinggi (Sudrajat 1990) diacu dalam (Fauzi 2001). Sehingga kondisi ini akan menurunkan produktifitas dari lahan tersebut.

Pembangunan HTI

. Lahan kritis/marginal (vegetasi alang-alang) . Semak belukar dan hutan sekunder (hutan rawang)

Pertumbuhan Tanaman

Faktor Genetik

Pengelolaan Hutan dan Sistim Silvikultur

Peninggi Tegakan A. mangium

Diameter, Tinggi Total dan Volume

Produktifitas Lahan Hutan

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian. Kualitas Tempat Tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Tanaman Industri (HTI)

Hutan tanaman adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistim silvikultur intensif dan diharapkan sebagai salah satu solusi mengatasi deforestasi. Adapun Hutan Tanaman industri (HTI) adalah hutan tanaman yang ditujukan untuk penyedian bahan baku industri secara berkelanjutan. Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam kawasan hutan produksi, yang kegiatannya terdiri dari penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan, dengan pemilihan jenis yang disesuaikan dengan kebutuhan industri pengolahan hasil hutan kayu.

Dengan demikian Hutan Tanaman Industri merupakan hutan tanaman yang dikelola dan diusahakan berdasarkan azas manfaat yang lestari dan azas ekonomi perusahaan dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistim silvikultur intensif, dimana menurut Manan (1992) ada beberapa kemungkinan cara melaksanakan HTI di Indonesia, yaitu :

1. Melalui konversi hutan alam produksi yang berkriteria hutan rawang, yaitu hutan yang tidak produktif, berpotensi rendah dan understocked. Misalnya akibat perladangan berpindah yang memunculkan hutan sekunder dan belukar, bekas kebakaran, atau telah mengalami pembalakan berulang-ulang.

2. Membangun HTI pada tanah kosong dan yang ditumbuhi alang-alang serta semak. Secara ekologis terjadinya keadaan lahan seperti ini disebabkan hal yang sama seperti tipe pertama di atas, tetapi lebih intensif dan parah, sehingga terjadi suksesi alam yang retrogesif dan dapat melahirkan lahan kritis. Pada keadaan ini tanaman yang dipilih adalah jenis pohon pionir yang mampu tumbuh di bawah sinar matahari lansung.

3. Melalui penerapan sistim silvikultur Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB) di areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Meskipun potensi hutan tidak tergolong kriteria hutan rawang atau kurang produktif, namun karena untuk memasok kebutuhan bahan baku kayu untuk

industri dalam skala besar, maka sistim tebang habis dilaksanakan dan hutan dibangun kembali dengan jenis cepat tumbuh pada lahan bekas hutan alam tersebut.

4. Melalui konversi hutan tanaman yang telah masak tebang dan kemudian diganti dengan menanam jenis lain yang diharapkan lebih baik dan produktifitasnya lebih tinggi, namun jenis pohon semula memang jenis kayu industri juga.

Pada peraturan pemerintah No. 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahan HTI disebutkan bahwa areal hutan yang dapat diusahakan sebagai areal HTI adalah kawasan hutan produksi tetap yang tidak produktif. Sistim silvikultur yang diterapkan adalah sistim Tebang Habis Permudaan Buatan. Permudaan yang dilaksanakan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri, baik industri kayu lapis maupun industri pulp dan kertas atau industri pertukangan lainya.

Hutan tanaman merupakan sebuah sumberdaya yang tumbuh (A Growing Resource) yang tidak dapat dibiarkan tampa memeliharanya. Pemeliharaan yang sesuai pada saat yang tepat dapat mengarahkan pertumbuhan tegakan agar mendapatkan hasil akhir yang diinginkan, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya.

Mengingat tujuan yang penting, yaitu untuk dapat memproduksi kayu bagi penyediaan bahan baku industri perkayuan secara teratur dan berkesinambungan, maka perlu dipertimbangkan dalam pemilihan jenis-jenis pohon yang dipilih untuk pembangunan HTI ini terdiri dari :

1. Untuk kayu pertukangan : Shorea stenoptera, Switenia marcophylla, Pareserianthes falcataria, Pinus mercusii, Eucalyptus spp, Shorea leprosula, Dipterocarpus spp, Agathis boornensis.

2. Untuk pulp dan kertas : Pinus merkusii, Eucalyptus spp, Anthocephalus cadamba, Acacia mangium, Pareserianthes falcataria, Leucaena leucocephala, Aleurites moluccana.

3. Untuk kayu bakar/energi : Acacia auriculiformis, Leucaena leucocephala, Eucalyptus spp, Acacia mangium.

Sifat Botanis dan Penyebaran Tegakan Acacia mangium Sifat botanis

Acacia mangium termasuk Sub famili Mimosoidea, Famili Leguminose, sebelumnya nama species ini adalah Mangium Montanum Rumph yang kemudian diganti oleh C.L.Willdenow (Pinyopusarerk 1993). Secara umum jenis ini dikenal dengan nama mangium, brown salwood, hickory wattle dan sabah salwood

(National Academy of Science 1983), diacu dalam (Wasis 2006). Sedangkan di Ambon nama asli jenis ini dikenal dengan nama Mangi-mangi.

Acacia mangium termasuk jenis pohon, tingginya dapat mencapai 30 m dan diameternya bisa mencapai 90 cm atau lebih. Ranting kuat berbentuk segitiga tajam, yang disebut daun pada dasarnya bukanlah daun tetapi tangkai daun yang melebar dan berfungsi sebagai daun, disebut Phyllodia. Daun yang sudah dewasa sangat besar dengan lebar 5 sampai 10 cm dan panjang 25 cm, berwarna hijau tua terdapat 4 atau kadang-kadang 3 buah tulang daun utama. Tulang daun utama berbentuk memanjang dan menyolok yang muncul pada ujung daun dan menyatu kembali pada pangkal daun, sedang tulang daun sekunder berbentuk jala tetapi tidak tampak jelas (National Academy of Science (1983) diacu dalam Wasis (2006). Buah berbentuk polong kering merekah yang melingkar ketika masak, agak keras, panjang 7-8 cm, lebar 3-5 mm. Benih mengkilap, lonjong 3-5 x 2-3 mm, dengan ari (funicle) kuning cerah atau orange yang terkait dengan benih. Terdapat 66.000 - 120.000 benih/kg. Umumnya kulit batang bagian bawah beralur longitudinal berwama coklat terang sampai coklat tua (Davidson 1982 diacu dalam Wasis 2006).

Riap rata-rata tahunan adalah 20-46 m3 per hektar per tahun dengan daur 8-10 tahun. Pada lahan yang terganggu seperti bekas kebakaran, tanah lempung yang sudah kurus dengan dasar batuan vulkanis, tanah gersang bekas perladangan liar, lereng terjal, lahan alang-alang, jenis ini dapat memproduksi kayu rata-rata 20 m3/ha/tahun (National Academy of Science 1983 diacu dalam Wasis 2006). Jenis Acacia mangium secara umum pembiakannya dilakukan dengan menggunakan biji atau benih, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis ini dapat dilakukan pengembangbiakan secara vegetatif yaitu melalui Kultur jaringan (Hakim 1999).

Penyebaran

Acacia mangium secara alami tersebar di daerah Australia bagian utara, Irian jaya(Papua) bagian selatan (Fak-fak, Manokwari, Sedai, sepanjang sungai Digul dan Merauke), di kepulauan Aru (Pulau Tragan dan kepulauan Ngaibar) dan Maluku (pulau Sulau, Taliabu, Teje dan Seram). Sedangkan menurut Nicholson (1981) jenis ini tumbuh secara alami di Australia timur laut, Papua Nugini dan Indonesia bagian timur (Maluku dan Irian Jaya) dan menyebar dari batas Irian Jaya (0 – 50o LS) sampai bagian selatan Queensland, Australia (sekitar 19o LS).

Tegakan sisa yang cukup luas di temui di daerah Daintre River (11o LS), Heatlands (11o LS), daerah Champ China (16o LS) dan Wenlock Nugini. Sedangkan menurut Awang dan Taylor (1993) diacu dalam Wasis (2006), penyebaran Acacia mangium di Papua Nugini tersebar merata di daerah dataran rendah dari propinsi bagian barat Papua Nugini, mulai dari daerah selatan danau Murray sampai ke pantai dan dari batas Irian Jaya sampai ke Fly River di daerah Balimo.

Persyaratan Tumbuh Acacia mangium Tanah

Acacia mangium merupakan tanaman yang sangat sensitif terhadap kondisi tanah. Tanaman ini sangat baik tumbuh pada tanah yang subur dengan drainase yang baik (tetapi drainase tanah tidak sangat cepat). Tanaman ini dapat tumbuh baik pada tanah terkikis, ataupun tanah miskin mineral dan juga pada tanah Entisol (Dulsalam 1987). Ditambahkan oleh Retnowati (1988), Acacia mangium

dapat tumbuh pada lahan bekas kebakaran, pada tanah Ultisol dari batuan vulkanis. Acacia mangium mampu tumbuh pada tanah-tanah masam dengan pH serendah 4,2. Hal ini merupakan keistimewaan yang membedakannya dengan tanaman leguminosa lainnya.

Acacia mangium tidak membutuhkan persyaratan tumbuh yang tinggi. Dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang miskin hara dan tidak subur, padang alang- alang, bekas tebangan dan mudah beradaptasi. Pada tanah yang jelek masih dapat tumbuh lebih baik dari jenis pohon cepat tumbuh lainnya (Siregar et al. 1991; Susanto et al. 1997).

Di Sabah Acacia mangium dikembangkan pada lahan dengan pH 4,5 dan jenis tanahnya Entisol dan Ultisol. Adaptasinya terhadap berbagai tipe lingkungan merupakan keistimewaan dari jenis ini, sehingga patut diperhatikan pengembangannya dalam hutan tanaman industri (Rahayu et al. 1991). Tanaman ini merupakan tumpuan dan harapan untuk perjuangan melawan kerusakan lahan dan hutan di daerah tropik (Soerjono 1989).

Nicholson (1981) diacu dalam Fauzi (2001) menyatakan bahwa Acacia mangium dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah tetapi jarang tumbuh pada tanah- tanah yang mempunyai lapisan padas, tumbuh baik pada tanah yang mempunyai batuan metamorfik dan granitik serta tanah datar jenis coastal dimana umumnya merupakan jenis batuan alluvium quartener. Menurut National Academy of Science (1983), diacu dalam Wasis (2006) jenis ini tumbuh dengan baik pada tanah tererosi, tanah mineral dan tanah alluvial. Di pulau Seram tumbuh pada tanah Podsolik Merah Kuning, sedang di Sabah telah ditanam pada tanah Entisol dan Ultisol yang bersifat asam. Adaptasi dan perkembangan tanaman Acacia mangium pada lahan reklamasi bekas tambang batubara yang mempunyai sifat fisika dan kimia tanah yang marginal sampai umur 4 tahun 4 bulan menunjukkan pertumbuhan cukup baik (Tampubolon et al. 1996).

Iklim

Acacia mangium adalah jenis pohon yang memerlukan tempat tumbuh yang basah (Dulsalam 1987). Pada tempat tumbuh daerah asalnya, curah hujan tahunan bervariasi antara 1000 mm sampai lebih 4500 mm per tahun.

Di Indonesia Acacia mangium berhasil baik tumbuh pada lokasi yang menerima curah hujan 1500 mm sampai 3100 mm per tahun (Retnowati, 1988). Suhu udara maksimum berkisar antara 31o C – 34o C, sedangkan suhu udara minimum berkisar antara 22o C – 25o C. Kelembaban tanah yang tinggi sepanjang tahun biasanya sangat diperlukan.

Menurut Dulsalam (1987), seperti kebanyakan spesies pionir, Acacia mangium tumbuh lebih baik pada sinar matahari penuh, karena kondisi demikian akan sangat berpengaruh terhadap proses fisiologis tanaman.

Produktifitas Lahan Hutan

Porduktifitas lahan hutan adalah potensi tegakan yang dihasilkan oleh lahan tersebut dalam jangka waktu tertentu. Davis dan Johnson (1987), diacu dalam Suhendang (1990) menamakan dimensi tegakan dengan istilah ciri tegakan yang dapat berbentuk fisik (volume, luas bidang dasar, dll) atau nilai tegakan yang dinyatakan dalam uang.

Tingkat produktifitas lahan dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu faktor adalah jenis penggunaan lahan. Masing-masing jenis penggunaan lahan menyebabkan tingkat produktifitas yang berbeda. Keragaman tingkat produktifitas lahan tersebut disebabkan kemampuan lahan, jenis tanaman yang diusahakan, tingkat teknologi yang digunakan serta faktor pembatas lainnya (Direktorat Tata Guna Tanah 1984 diacu dalam Kusdiantoro 1998).

Kemampuan tanah menyediakan unsur hara bagi tanaman merupakan persoalan utama dalam produksi tanaman. Tanaman dapat tumbuh serta memberikan hasil yang baik jika tumbuh pada tanah yang cukup kuat menunjang tegaknya tanaman, tidak mempunyai lapisan penghambat perkembangan akar, beraerasi baik, tingkat kemasaman sekitar netral, tingkat kelarutan garam yang rendah serta cukup tersedia unsur hara dan air yang berada dalam kondisi seimbang. Tanah yang subur ditunjukan oleh kemampuannya dalam menyediakan unsur hara dalam jumlah yang cukup serta dalam keseimbangan yang tepat dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan suatu species tanaman (Islami dan Utomo 1995).

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tegakan

Hubungan kualitas tempat tumbuh dengan pertumbuhan Acacia mangium

Kualitas tempat tumbuh merupakan penjumlahan banyak faktor lingkungan: kedalaman tanah, karakteristik propil, komposisi mineral, kecuraman lereng, arah lereng, iklim mikro, jenis tanah dan lain-lain. Faktor-faktor ini berturut-turut merupakan fungsi sejarah geologis, fisiografis, iklim mikro dan perkembangan suksesi (Daniel et al. 1987). Sedangkan faktor tempat tumbuh tegakan adalah totalitas dari peubah keadaaan tempat tegakan, mencakup bentuk lapangan, sifat- sifat tanah dan iklim yang memiliki tingkat keeratan hubungan yang cukup tinggi

dengan dimensi tegakan. Peubah-peubah ini tidak perlu berupa faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan tegakan (Suhendang 1990).

Wilde (1958) diacu dalam Wasis (2006) menyatakan bahwa pada dasarnya produktivitas tanah hutan dipengaruhi oleh faktor-faktor primer dan sekunder. Faktor-faktor primer ini terdiri atas kondisi umum iklim, topografi, drainase, batuan asal, tekstur tanah, profil tanah dan lain lain ciri tanah. Sedangkan faktor- faktor sekunder antara lain serasah, simbiosis organisme, iklim mikro dan spesies tumbuhan. Pertumbuhan pohon sangat ditentukan oleh interaksi antara tiga faktor yaitu keturunan, lingkungan dan teknik pembudidayaan (silvikultur) (Kramer dan Kozlowski 1960) diacu dalam Wasis (2006).

1. Faktor genetik pada hutan tanaman Acacia mangium

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan perlu dipahami sehingga kita dapat melakukan manipulasi pertumbuhan tanaman agar dapat diperoleh hasil produksi yang menguntungkan. Adapun faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman yang dapat dimanipulasi yaitu faktor genetik dan faktor tanah. Keragaman pertumbuhan akibat keragaman genetis diduga sangat kecil apabila biji yang ditanam berasal dari sumber biji yang sama.

2. Sifat-sifat tanah

Faktor lingkungan adalah faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan tegakan hutan yaitu iklim, bentuk lahan, ketinggian tempat dan topografi, dimana secara umum sangat sulit untuk dikendalikan atau dikelola. Upaya yang dilakukan pada kegiatan budidaya tanaman yaitu melalui pendekatan kepada kesesuaian lahan. Peningkatan pertumbuhan pohon atau tanaman dapat dilakukan melalui perbaikan kesuburan tanah.

Tanah merupakan faktor edafis yang penting bagi pertumbuhan perakaran pohon dan perkembangannya. Kegiatan kehutanan dan pertanian memerlukan tanah yang subur untuk berhasilnya usaha penanaman. Kesuburan tanah diartikan sebagai kesuburan kimiawi dan fisika, yang memungkinkan pohon tumbuh dengan baik dan menghasilkan kayu produk lainnya. Kesuburan tanah ditentukan oleh sifat kimia, fisika dan biologis tanah. Kesuburan tanah merupakan kekuatan di dalam budidaya hutan tanaman, tanah yang subur akan memberikan peluang keuntungan yang besar dalam pengusahaan hutan tanaman (Tobing 1995).

a. Sifat kimia tanah

Tanah merupakan perantara penyedia faktor-faktor suhu, udara, air dan unsur hara yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, terutama unsur-unsur hara esensial. Unsur hara esensial dapat berasal dari udara, air dan tanah.

Penelitian hubungan kualitas tempat tumbuh dengan peninggi tegakan

Acacia mangium menunjukkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi peninggi yaitu umur dan kandungan K (Chaerudy 1994). Sedangkan menurut Rukmini (1996) faktor yang mempengaruhi adalah umur, kandungan P, C organik, pH dan tebal lapisan A. Hasil penelitian Kusnadi (1998) diacu dalam Wasis (2006), pada hutan tanaman Acacia mangium secara tegas mendiagnosis unsur hara K dan P masing-masing sebagai hara yang paling defisien urutan pertama dan kedua sehingga direkomendasikan untuk memberi input baik berupa pupuk maupun pengapuran.

Tanaman cepat tumbuh diduga memerlukan unsur hara yang banyak untuk pertumbuhannya sehingga menyebabkan unsur hara dari tanah akan cepat terkuras. Pemberian pupuk fosfat (TSP) terbukti berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan biomassa anakan Acacia mangium dan telah menyebabkan terjadinya peningkatan pertumbuhan biomassa sebesar 34,2% pada dosis 300 ppm (Kusumawati 1998).

b. Sifat fisika tanah

Sifat fisika tanah terutama penting dalam hubungannya dengan kandungan air, aerasi, drainase dan kandungan hara. Pada tanah yang padat aerasi menjadi buruk. Dalam kondisi demikian pengambilan oksigen dan pembuangan karbondioksida tidak berjalan dengan baik. Keadaan sifat fisika tanah sangat mempengaruhi kesuburan tanah terutama dalam perbaikan tekstur dan struktur tanah. Penelitian Soedomo (1984) menunjukkan bahwa sifat fisika tanah merupakan komponen yang sangat penting dalam menunjang pertumbuhan tegakan hutan dan diyakini bahwa sifat fisika tanah lebih penting pengaruhnya dibandingkan dengan sifat kimia dan biologi tanah.

Penelitian di lahan kritis Padang Lawas menunjukkan bahwa sifat fisika tanah yaitu tekstur tanah dan pengolahan tanah dibandingkan sifat kimia lebih

Dokumen terkait