Satu hal yang tidak kalah penting dalam aktifitas da’wah, menurut Natsir adalah teguh hati atau sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan. Karena ujian dan cobaan merupakan sesuatu yang mesti menimpa para da’i, bahkan para nabi dan rasul sekalipun. Allah SWT befirman, Artinya: “Berteguh hatilah kamu sebagaimana berteguh hatinya ahli-ahli keteguhan hati dari para rasul” (QS. Al-Ahqaf: 35).
Artinya: Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS.
Lukman: 17).
M. Natsir mengatakan, ujian dan cobaan itu datangnya dari berbagai segi. Ada yang dari luar, dari pihak lawan, bahkan dari kawan dan kerabat, malah mungkin pula dari dalam rumah tangga sendiri. Ada yang datang berupa penderitaan, lahir atau pun batin, ada yang berupa kesenangan hidup. Kesemuanya itu tetap merupakan ujian dan cobaan bagi si pembawa da’wah. Mengenai ujian dari luar, Natsir mengingatkan bahwa ujian itu ada yang berbentuk kasar, ada pula yang bersifat halus. Ujian yang bersifat kasar dapat berupa penyiksaan atau pun pengusiran. Sementara ujian yang bersifat halus adalah berupa berkompromi pada soal-soal yang prinsipil. Seperti yang dialami Rasulullah kala diajak kaum Quraisy untuk saling menyembah Tuhan masing-masing. Kaum Quraisy
28
akan menyembah Tuhan Rasulullah jika beliau pun menyembah Tuhan mereka. Kompromi yang halus tapi menyesatkan ini langsung ditolak dengan tegas oleh Rasulullah SAW dengan firman Allah SWT:
Artinya: (1) Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, (2) aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, (3) dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, (4) dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (5) dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, (6) untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. Al-Kafirun: 1-6).
Adapun ujian dari dalam yang biasa dialami para da’i adalah ujian finansial. Dalam menghadapi ujian ini, Natsir memberikan satu motivasi bahwa para da’i tidak perlu mengkhawatirkan permasalahan seperti ini.
“Bukankah dia (da’i) itu bekerja untuk Allah?”, atau
“tidaklah pula sampai kita mendengar bahwa ada muballigh (da’i) yang meninggal dunia lantaran kelaparan di tengah-tengah ummat yang sedang dituntun dan dibimbingnya? Malah sebaliknya, seringkali kita melihat, ummat itu kehilangan penuntun ruhani, lantaran dia ini direnggutkan dari tengah-tengah mereka oleh tarikan pangkat dan kedudukan, atau lantaran sang muballigh (da’i) terseret oleh isapan arus perlombaan mengejar benda-benda yang bertebaran” (h. 270).
Selain derita hidup, ada pula ujian yang disadari atau tidak, hal itu adalah ujian juga. Ujian itu bukan berupa kesulitan atau pun rintangan. Natsir mencontohkan ujian itu berupa ‘pengaruh kuat’ yang dimiliki oleh seorang da’i.
‘Pengaruh’ itu bagaikan pedang bermata dua, bila pemegangnya tidak awas, pedang bisa makan tuan. Yakni bila kecintaan para pengikut kepada seorang da’i berubah menjadi fanatisme buta. Mungkin da’i itu awalnya memiliki niat yang suci dan ikhlas. Tetapi di tengah jalan, disadari
29
atau tidak “da’wah ilallah” berubah menjadi “da’watun ilayya ana”. Maka hal ini dapat dikatakan bahwa da’i itu telah mengalami penyakit riya’. Mengenai hal ini M. Natsir mengingatkan, “satu kali qalbu dihinggapi oleh penyakit hati, seperti riya’ atau yang lebih berat dari itu, maka itu langsung membekas kepada pekerjaan da’wahnya sendiri.
Katanya akan didengarkan orang juga. Berapa banyak juga ilmunya, akan dapat disalin orang, tapi panggilannya, tidak akan bersahut. Kelincahan lidah dan kata-kata dapat mencapai telinga orang banyak. Paling banyak kata dan gaya dapat memukau dan mempesona si pendengar sebentar waktu. Akan tetapi hati hanya dapat dipanggil dengan hati”.
Sumber Kekuatan
Setelah berbagai ujian telah kita urai, maka kita akan mencari sumber kekuatannya untuk menaklukkan ujian atau pun cobaan itu. Sumber kekuatan itu bagi M.
Natsir dapat kita dapatkan pada sumber segala kekuatan itu, yaitu Allah SWT Yang Maha Kuat dan Maha Kuasa. Allah SWT menerangkan dalam surah al-Muzammil bahwa Shalat malam memiliki hikmah besar bagi siapa yang hendak menyampaikan risalah. Ia adalah satu resep tepat untuk membersihkan jiwa dan menumbuhkan kekuatan baru.
Allah SWT berfirman:
Artinya: (1) Hai orang yang berselimut (Muhammad), (2) bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (3) (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, (4) atau lebih dari seperdua itu. dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan, (5) Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu Perkataan yang berat, (6) Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih besar bekasnya (atas jiwamu) dan bacaan di waktu itu lebih
30
berkesan (QS. Al-Muzammil: 1-6).
Dalam ayat 7-11, Allah SWT mengingatkan kepada para pembawa risalah dan da’wah untuk mendekat dan selalu mengingat-Nya. Allah SWT berfirman:
Artinya: (7) Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak), (8) sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan, (9) (Dia-lah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Maka ambillah Dia sebagai Pelindung, (10) dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik, (11) dan biarkanlah aku (saja) bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang yang mempunyai kemewahan dan beri tangguhlah mereka barang sebentar (QS. Al-Muzammil: 7-11).
Demikianlah sumber kekuatan yang sesungguhnya, berbagai ujian dan cobaan dapat kita taklukkan manakala kita yakin akan kebesaran dan keagungan Allah SWT.
Sebagaimana yang Natsir katakan, “bukankah seorang da’i bekerja untuk Allah?”. Segala ujian dan cobaan itu datangnya dari Allah, maka tiada cara lain selain pertolongan itu akan datang dari Allah pula. Keyakinan seperti ini harus diyakini sebenar-benarnya, karena Allah akan selalu menyertai kita. Sebab jika sudah demikian, adanya ujian dan cobaan itu akan menjadi pemacu untuk terus menyampaikan risalah mulia ini.
***