0
1
Pengantar Penerbit
Berbagai kalangan menilai, Mohammad Natsir adalah seorang politisi, budayawan, negarawan, intelektual, dan lain-lain. Semuanya itu tidaklah keliru, selain karena menilainya dari sudut pandang yang berbeda-beda, Natsir juga memang sosok yang multidimensi. Tetapi ada satu hal yang perlu dicatat, Natsir adalah seorang da’i, da’wah adalah satu prioritas bagi Natsir. Ini dapat dilihat ketika ia tidak lagi dapat terjun ke dalam kancah politik, langkah tegas yang ia lakukan adalah mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII).
Karena bagi Natsir, politik hanyalah alat da’wah untuk memperjuangkan hak-hak ummat. Maka jika aktifitas politik itu sudah terhenti, da’wah harus terus berjalan.
Melalui Dewan Da’wah, karya Natsir bisa dibilang Sangat signifikan. Ratusan masjid telah dibangun, dan ribuan ustadz telah ia kader. Semangatnya hanya satu, api Islam tak boleh padam. Di mana dan kapan pun, seorang muslim mesti bermanfaat untuk lingkungannya. Dan sejak itu pula, Natsir berkiprah dalam dunia da’wah Internasional. Ia menjabat Wakil Presiden Muktamar Alam Islami yang bermarkas di Karachi, Pakistan, anggota Liga Muslim Dunia bermarkas di Makkah, Saudi Arabia dan Majlis Ta’sisi Rabithah Alam Islami. Lalu sejak 1972, ia menjabat sebagai anggota Majlis A'la al-Alamy lil Masâjid, Makkah, Saudi Arabia. Tidak mengherankan bila banyak penghargaan yang diperoleh sepanjang hayatnya. Satu diantaranya adalah ‘Faisal Award’ dari King Faisal, Saudi Arabia, suatu Penghargaan atas pengabdian Natsir pada Islam. Sampai akhir hayatnya, di sinilah ia menjalankan kiprah pengabdian untuk ummat dan bangsanya.
2
Jika ditelusuri, ada satu rahasia yang menyebabkan Natsir berpengaruh besar dalam dunia da’wah. Rahasia itu adalah metode da’wahnya yang terbilang unik. Di antaranya, ia sanggup merangkul berbagai kalangan, ia dapat diterima dalam berbagai golongan, karenanya ada yang menjulukinya dengan ‘dzu wujuh’, mempunyai banyak wajah – dalam arti baik. Untuk itu, perlu rasanya kita menggali kembali metode da’wah M. Natsir yang dapat kita lacak dalam bukunya, Fiqhud Da’wah. Dalam buku ini, Natsir memberikan berbagai teorinya sebagai bekal bagi para da’i untuk melaksanakan misi da’wah.
Buku Fiqh Da’wah karya Natsir ini dapat dikatakan cukup representatif untuk menjadi panduan da’wah bagi para da’i. Kontennya cukup komprehensif dalam menyajikan teori-teori da’wah. Dalam setiap argumentasi yang dikemukakan, ia selalu menyertakan dengan dalil- dalil normatif dan praktis. Ia juga senantiasa bercermin pada aktifitas da’wah Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang olehnya disebut dengan ‘da’wah bi al-tharîqah al- Qur’ân’.
Selain itu, tulisannya juga dapat menggugah hati para pembacanya. Bahasa kalimatnya yang puitis dan metaforis mempunyai daya tarik tersendiri, apalagi ketika membicarakan pembahasan da’wah yang tidak akan ditemukan dalam buku-buku da’wah yang lain. Maka dari itu, wajar saja jika Natsir mendapatkan gelar doktor di bidang sastra dari salah satu Universitas di Malaysia.
Namun yang terpenting adalah banyak pelajaran yang kita dapatkan dalam buku Intisari Fiqh Da’wah ini, terutama bagi pembaca yang belum sempat membaca buku Pak Natsir itu secara lengkap.
***
3
Daftar Isi
Pengantar Penerbit………1 Bab I
Islam; Agama Risalah dan Da’wah………4 Bab II
Persiapan Mental Da’i………..9 Bab III
Kaifiyat dan Adab Da’wah Dalam Pandangan M. Natsir…..13 Bab IV
Bagaimana Sikap Da’i dalam Menghadapi Ikhtilaf…………..23 Bab V
Teguh Hati dalam Menghadapi Ujian………..27
4
Bab I
Islam; Agama Risalah Dan Da’wah
Natsir dan Buku Fiqhud Da’wah Pada bagian awal dari buku Fiqhud Da’wah, Natsir mengemukakan bahwa Islam adalah agama risalah dan da’wah. Rasulullah SAW sebagai pembawa risalah diutus untuk seluruh ummat manusia (QS. Saba’: 28). Risalah yang berupa wahyu hendak memanggil fitrah, sedangkan fitrah menghajatkan wahyu. Untuk dapat menuntun fitrah ke arah yang baik, maka tiada lain hanya dengan Islam. Yakni agama yang diberikan Sang Khalik, cocok, muthabiq, sesuai dengan fitrah kejadian manusia dan dengan undang- undang Ilahi yang berlaku pada dirinya (Qs. Ar-Rum: 30).
Lalu Natsir mengingatkan, al-Qur’an adalah himpunan dari wahyu yang merupakan tuntunan yang dihajatkan oleh fitrah manusia itu. Tugas Risalah para Rasul –dan kemudian tugas da’wah para muballigh/da’i–
adalah mempertemukan fitrah manusia dengan wahyu ilahi.
Selanjutnya Natsir mengatakan bahwa adanya risalah adalah untuk membina pribadi dan ummat. Dan tempat bertolaknya adalah tauhid dan ibadah. Bagi Natsir, pembinaan pribadi itu harus tegak di atasnya, yakni memusatkan penyembahan dan pembaktian semata-mata kepada Allah yang Satu; membulatkan segala kepatuhan kepada yang diridhai Allah. Sehingga risalah itu melahirkan pribadi-pribadi yang tangguh, shaleh dan penuh dengan pancaran iman. Selain pribadi, Natsir juga tidak mengabaikan pentingnya keluarga. Keluarga merupakan satu kesatuan (unit) yang terkecil dari masyarakat. Ia
5
merupakan batu sendi, tempat membangun hidup bermasyarakat dan bernegara. Mutu suatu masyarakat (ummat) ditentukan oleh mutu dari kesatuan primer itu.
Adapun yang paling pokok adalah jama’ah, karena jama’ah merupakan teras masyarakat. Maka untuk dapat menyusun jama’ah sebagai teras masyarakat, menurut Natsir, masjid adalah satu institusi yang mempunyai peranan utama. Dapat dimengerti bila pertama kali yang dibangun Rasulullah sesampainya di Madinah ialah Masjid.
Masjid adalah lembaga risalah, lembaga penyusunan jama’ah mukminin, tempat mencetak ummat yang beriman; beribadah menghubungkan jiwa dengan khaliq;
ummat yang beramal shaleh dalam kehidupan masyarakat;
ummat yang berwatak, berakhlak teguh. Menarik apa yang diungkapkan Natsir, “Masjid tempat shalat berjama’ah, dan masjid adalah pusat pembinaan jama’ah” (h. 87).
Dalam pembahasan da’wah secara khusus dan menukik, Natsir membaginya dalam empat bab, yaitu (1) wajib da’wah, (2) fiqhud da’wah, (3) kaifiyat dan adab da’wah, (4) akhlak tiang da’wah. Dalam bab “Wajib Da’wah”, Mohammad Natsir ingin mengingatkan kepada kaum muslimin bahwa da’wah adalah kewajiban yang harus dipikul oleh tiap-tiap muslim dan muslimah. Da’wah dalam arti amar ma’ruf nahi munkar adalah syarat mutlak bagi kesempurnaan dan keselamatan hidup masyarakat. Ini adalah kewajiban sebagai pembawa fitrah manusia selaku
“social being” (makhluk sosial); dan kewajiban yang ditegaskan oleh risalah, yaitu kitabullah dan sunnah Rasul.
Maka dari itu, Natsir mengatakan bahwa Islam tidak bisa berdiri tegak tanpa jama’ah, dan jama’ah tak bisa pula dibangun tanpa da’wah.
Sedangkan dalam kajian “fiqhud da’wah”, Natsir mengemukakan tentang pentingnya kemerdekaan i’tiqad
6
dalam berda’wah. Ia mengutip dua ayat al-Qur’an, yaitu surah al-Baqarah ayat 256 dan Qaf ayat 45, yang berbunyi:
Artinya: “Tidak ada paksaan tentang agama;
sesungguhnya sudah nyata mana yang benar, mana yang salah………….” (QS. Al-Baqarah: 256).
Artinya: “………….dan bukanlah engkau seorang pemaksa yang berkuasa atas mereka; maka ingatkanlah dengan al-Qur’an barangsiapa yang takut pada ancamanku”
(QS. Qaf: 45).
Mengenai dua ayat di atas, menurut Natsir, apabila kita perhatikan isi susunan, nada dan irama dari wahyu ilahi yang memanggil panca indera supaya melihat, mendengar dan sadar –lalu menggugah akal, memanggil rasa, dan mengerjakan dlamir supaya tafakkur dan tadabbur, dan dengan demikian, sampai kepada keimanan yang menggerakkan anggota supaya beramal, dapatlah kita simpulkan bahwa itulah cara untuk menumbuhkan iman menurut thariqâh al-Qur’ân. Iman seseorang hanya dapat ditumbuhkan dalam suasana bebas, sunyi dari pada tekanan dan paksaan. Memang sudah begitu pembawaan fitrah manusia, ‘hati bila dipaksa jadi buta’. Paksaan dan ancaman guna menegakkan suatu i’tiqad atau doktrin, paling banyak bisa menghasilkan pengakuan palsu, kata Natsir, dan menambah banyak ‘pemain-pemain sandiwara’, yang bersedia membeo untuk mengemudikan sang pemaksa, guna keselamatan diri. Pemaksaan hanya dapat menghasilkan nifaq, dan munâfiqin yang –ibarat pucuk aru– bisa menurutkan kemana saja angin yang kebetulan sedang bertiup. Tapi bukan iman, bukan akidah, bukan jama’ah mu’minin yang berjiwa sehat dan kuat, sanggup menahan badai dan taufan (h. 123-124).
Dari ungkapan itu, setidaknya Natsir ingin mengatakan bahwa faktor kebebasan seseorang, dalam arti tidak memaksakan suatu doktrin adalah faktor penting
7
dalam aktifitas da’wah. Pemaksaan, menurutnya hanya akan menghasilkan pengakuan palsu atau nifaq yang akan menghasilkan para munâfiqin, sama sekali bukan akan melahirkan iman dan akidah. Untuk itu, Natsir mengatakan perlu adanya ‘kemerdekaan i’tiqad’ dalam melaksanakan kegiatan da’wah.
Natsir mengumpamakan seorang muballigh atau da’i dengan seorang petani, maka bidangnya ialah menabur bibit, mengolah tanah, memberi pupuk, air, menjaga supaya bibit itu cukup mendapat udara, dan sinar matahari melindungi dari hama dan lain-lain. Adapun menumbuhkan bibit menjadi benih yang hidup, adalah penciptaan yang terletak dalam kekuasaan khaliq semata- mata, di luar kemampuan dan bidang usaha seorang petani.
Demikianlah hidayah yang mencetuskan sinar iman, adalah semata-mata karunia langsung dari Allah SWT, letaknya di luar jangkauan seorang pemaksa atas mereka. Tugasnya pembawa da’wah ialah mengingatkan, “inzar bi al-Qur’ân”, mengingatkan dengan al-Qur’an. Dengan apa yang terkandung dalam al-Qur’an dan dengan cara-cara yang ditunjukkan al-Qur’an, bi al-Qur’ân wa bi al-tharîqatihi! (h.
132).
Menurut Natsir, da’wah yang sesuai dengan tharîqah al-Qur’an, harus dilakukan dalam rangka menghormati kaidah kemerdekaan berfikir dan ber-i’tiqad itu. Seorang da’i berhadapan dengan dua hal: pertama, ada wajib da’wah yang harus ditunaikan, dan kedua, ada kemerdekaan ber-i’tiqad yang harus dihormati. “Teranglah, bahwa bukan pada alat-alat pemaksa dan teknik-teknik mempesona, seorang muballigh harus mencari kekuatannya.” Ia menegaskan bahwa kekuatannya terletak semata-semata pada ‘kekuatan da’wahnya’. Kemudian Natsir menyimpulkan bahwa kekuatan da’wah seorang muballigh (da’i) tergantung pada kekuatan hujjah-nya,
8
yang diterima oleh akal yang sehat, dan daya panggilnya yang dapat menjemput jiwa dan rasa. Kedua-duanya bergantung kepada: 1) persiapan mentalnya, 2) persiapan ilmiyahnya, 3) kaifiat dan adab da’wahnya.
***
9
Bab II
Persiapan Mental Da’i
“Da’wah adalah konfrontasi”. Demikianlah ungkapan Natsir tentang pentingnya pembinaan mental bagi seorang da’i. Dalam da’wah tidak ada jalan satu jurusan, ia mengibaratkannya seperti jalan air dalam pembuluh. Sebagaimana seorang muballigh menghadapi orang banyak, orang banyak itu pun menghadapinya, dengan bermacam cara dan gayanya pula. Terutama pada permulaan konfrontasi itu, dia akan sering mengalami pengalaman-pengalaman yang pahit. Maka untuk dapat melakukan tugasnya secara kontinu, seorang muballigh harus mampu memelihara ketenangan dan keseimbangan jiwa dan sanggup pula memulihkan keseimbangan itu, bila mana terganggu di tengah-tengah perbalasan aksi dan reaksi timbal balik. (h. 133-134).
Satu hal yang mengganggu keseimbangan jiwa menurut Natsir adalah ‘hawa’, yakni hawa ananiyah, egocentrisme, nafsu ‘aku’. Penyakit ananiyah ini menjadikan kesenangan diri pribadi sebagai pangkas dari segala langkah dan tindakan. Sekurang-kurangnya ananiyah itu mencampuri masuk ke dalam niat tempat bertolak, berupa keinginan hendak memenuhi kepuasan
‘aku’, keinginan hendak memenuhi selera orang banyak, yang ujungnya kembali juga untuk kepuasan ‘aku’, dan lain- lain keinginan ‘aku’ lagi. Natsir merinci di antara bentuk- bentuk ananiyah yang bisa mengganggu pekerjaan seorang muballigh selain putus asa dan takabbur adalah hubb al- mâl (ingin kaya), hubb al-jah (ingin pangkat dan kedudukan), riya’ dan ujub (ingin dilihat dan dipuji orang banyak). Semuanya bersumber kepada keinginan
10
memperoleh balas jasa dalam arti lahir maupun batin.
Maka dari itu, ia memperingatkan bahwa lawan pertama yang harus dihadapi oleh seorang da’i, tempatnya dekat sekali, benihnya mungkin bersarang dalam dirinya, walaupun ia tidak sadari. Musuh inilah yang tak dapat tidak harus diberantas sampai ke akar-akarnya bila berjumpa (h.
140).
Peringatan M. Natsir di atas perlu kita renungkan, terutama bagi para da’i yang telah terkena imbas popularitas. Karena jika hal ini menimpa para da’i, selain akan menghilangkan nilai keikhlasan sebagai substansi da’wah, aktifitas da’wah pun tidak akan menuju ke arah yang benar. Ummat pun akan terabaikan, sebab yang dikejar adalah ketenaran, kekayaan dan kedudukan.
Da’wah hanya akan menjadi alat, bukan tujuan. Maka dari itu, peringatan Natsir untuk memberantasnya sampai ke akar-akarnya harus diindahkan oleh para da’i ilallah.
Persiapan Ilmiah (tafaqquh fî al-dîn dan tafaqquh fî al- nâs)
Mengenai hal ini, kembali Natsir menggunakan perumpamaan, ia mencontohkan seorang petani turun ke sawah, dengan pengharapan bahwa tanamannya akan menjadi, dan garapannya akan berhasil sebagaimana yang diidam-idamkannya. Untuk ini ia harus mengetahui cara bercocok tanam; tahu jenis dan sifat benih yang akan ditebarkan; bagaimana keadaan tanah tempat persemaian;
keadaan iklim dan pertukaran musim, apa pantangan- pantangan yang harus dihindarkan; macam hama apa yang suka mengganggu tanaman dan bagaimana memberantasnya. Adapun bagi seorang da’i, ia harus membawakan da’wah dengan tujuan membina pribadi dan membangun ummat, sehingga pribadi dan ummat itu berkembang maju sesuai dengan tujuan hidup manusia
11
yang diridha-i oleh Sang Khaliq. Untuk itu, Natsir mengemukakan bahwa seorang muballigh (da’i) harus memahami benar-benar risalah yang hendak diteruskan:
mengetahui isi dan bidangnya; memahami sari pati dan jiwanya, merasakan dinamika yang terkandung dalamnya, maka risalah itu benar-benar memberi hidup dan menghidupkan (lima yuhyîkum). Ringkasnya, Natsir berpesan bahwa seorang da’i harus tafaqquh fî al-dîn sebagai modal pertama baginya (h. 148).
Selain tafaqquh fî al-dîn, Natsir juga mengisyaratkan kepada seorang da’i untuk tafaqquh fî al-nâs. Oleh karena risalah itu untuk manusia, adalah logis bila seorang da’i harus pula memahami unsur fitrah manusia, sifat-sifatnya, tingkah-tingkah lakunya, alam fikiran dan alam perasaan masyarakat yang dihadapinya. Ia mencontohkan pentingnya ilmu jiwa (psikologi) dan peri kehidupan manusia; sebagai perseorangan dan sebagai makhluk ijtimâ’i (social being) akan banyak sekali dapat menolong untuk menangkap sari pati dan risalah sendiri, yang memang dijadikan oleh ilahi, sesuai (muthabaqah), bersahut-sahutan dengan fitrah manusia. Berbagai faktor dari luar, keadaan tempat dan suasana (hai’ah), adat istiadat yang sedang berlaku sebagai tradisi, taraf penghidupan, tingkat kecerdasan, semua itu, tidak dapat tidak, mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menerima dan mencernakan isi da’wah. Jika hal itu tidak dilakukan, Natsir mengingatkan akan sulit bagi seseorang da’i merencanakan isi dan cara berda’wah yang tepat, apabila ia tidak lebih dulu mengetahui corak, sifat-sifat tingkat kecerdasan, kepercayaan-kepercayaan yang tradisional, maupun aliran-aliran dari luar yang sedang mempengaruhi masyarakat yang dihadapinya (h. 149).
Dalam hal ini, bisa dibilang Natsir memandang da’wah dalam paradigma modern. Untuk dapat membina
12
ummat, kita tidak hanya capable dalam bidang syari’ah, setidaknya seorang da’i harus pula mengetahui ilmu-ilmu untuk memahami karakter manusia, seperti psikologi atau pun sosiologi. Psikologi penting untuk dapat mengetahui tingkah laku, sifat, alam pikiran dan perasaan mad’u (objek da’wah). Adapun sosiologi, ia dapat bermanfaat untuk dapat mengetahui tempat, suasana dan adat istiadat suatu masyarakat. Dengan ilmu ini, dapat pula diketahui taraf perekonomian dan taraf kecerdasan suatu masyarakat.
Semuanya itu adalah satu langkah untuk dapat memahami sebuah objek da’wah, dan kemudian seorang da’i dapat menyikapinya dengan tepat, strategis dan bijaksana.
***
13
Bab III
Kaifiyat dan Adab Da’wah Dalam Pandangan M. Natsir
Mengenai kaifiyat dan adab da’wah, M. Natsir membaginya ke dalam dua bagian, yaitu hikmah dan mawaddah fî al-qurba. Tentang hikmah, sebagaimana lazimnya buku-buku da’wah, ia mengutip terlebih dahulu surat an-Nahl ayat 125:
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan nasehat-nasehat yang baik-baik, dan bertukar fikiranlah dengan cara yang lebih baik, sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan dialah yang mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl: 125).
Hikmah menurut pandangan Natsir memiliki beberapa kategori. Pertama, hikmah dalam arti ‘mengenal golongan’, yaitu bagaimana seorang da’i menyikapi corak manusia yang akan dijumpainya. Masing-masing golongan manusia harus dihadapi oleh yang sepadan dengan tingkat kecerdasan, sepadan dengan alam fikiran dan perasaan serta tabiat masing-masing. Ayat di atas mengandung petunjuk pokok bagi Rasul dan para muballighin tentang bagaimana cara menyampaikan da’wah kepada manusia yang berbagai jenis itu. M. Natsir menukil pendapat Syaikh Muhammad Abduh yang membagi hikmah dalam tiga golongan:
a) ada golongan cerdik cendekiawan yang cinta kebenaran, dan dapat berfikir secara kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan. Mereka ini harus dipanggil dengan hikmah, yakni dengan alasan-alasan, dengan dalil
14
dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuasaan akal mereka.
b) Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berfikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian yang tinggi-tinggi. Mereka ini dipanggil dengan mau’idzah al-hasanah, dengan anjuran dan didikan, yang baik-baik, dengan ajaran-ajaran yang mudah difaham.
c) Ada golongan yang tingkat kecerdasannya di antara kedua golongan tersebut, belum dapat dapat dicapai dengan hikmah, akan tetapi tidak sesuai pula , bila dilayani seperti golongan awam; mereka suka membahas sesuatu, tetapi tidak hanya dalam batas yang tertentu, tidak sanggup mendalam benar. Mereka ini dipanggil dengan mujadalah bi al-lati hiya ahsân, yakni dengan bertukar fikiran, guna mendorong supaya berfikir secara sehat, dan satu dan lainnya dengan cara yang lebih baik.
M. Natsir menyimpulkan pendapat Syaikh Muhammad Abduh di atas dengan menukil sebuah hadits,
“Berbicaralah kepada manusia menurut kadar akal (kecerdasan) mereka masig-masing” (HR. Muslim).
Golongan macam mana pun yang akan dihadapi, bagi Natsir, masing-masing menghendaki cara yang mengandung kemudahan dan kesulitannya sendiri. Pokok persoalan bagi seorang pembawa da’wah adalah bagaimana menentukan cara yang tepat dan efektif dalam menghadapi suatu golongan tertentu dalam suatu keadaan dan suasana yang tertentu.
Adapun mau’idzah al-hasanah dan mujadalah bi al- lati hiya ahsân, kedua hal ini menurut Natsir lebih banyak mengenai bentuk da’wah, yang juga dapat dipakai dalam menghadapi semua golongan menurut keadaan, ruang dan waktu. Bentuk mujadalah, bertukar fikiran berupa debat, bisa dan tepat juga dipakai dalam menghadapi golongan
15
cerdik pandai; bertukar fikiran berupa soal jawab yang mudah dapat dipakai juga dalam menghadapi golongan awam. Semua golongan ini memiliki unsur akal dan unsur rasa. Yang berbeda-beda ialah saat, keadaan dan suasana.
Dari berbagai bentuk hikmah itu, dalam hal praktis da’wahnya, Natsir memberikan satu contoh tepat, yakni memperhatikan jejak Rasulullah SAW beserta sahabat, dan dari al-Qur’an sendiri. “Dimana lagi sebaik-baik tempat mencari ma’na dari da’wah bi al-hikmah itu, selain dari pada dalam al-Qur’anil Hakiem, yang keseluruhannya adalah da’wah, dan keseluruhannya penuh dengan hikmah;
dan dari sunnah Rasul serta khittah para shahabat yang langsung yang telah mendapat bimbingan dari Rasulullah SAW sendiri, dalam menyelenggarakan “da’wah bith- thariqatil-Qur’an itu”, Natsir menegaskan (h. 166).
Kedua, hikmah dalam arti kemampuan memilih saat kapan harus bicara, kapan harus diam. Natsir mencontohkan sebuah kisah yang dialami Rasulullah ketika pertama kali berda’wah kepada keluarganya. Pada waktu itu beliau mengundang para keluarga dekatnya untuk makan bersama di rumahnya sebagai satu cara untuk dapat menyampaikan Islam. Yang hadir kira-kira ada 40 orang, di antaranya adalah paman beliau, Abu Lahab.
Setelah selesai makan, Rasulullah SAW bersiap-siap hendak menyampaikan risalahnya. Akan tetapi Abu Lahab dengan nafsu amarah berapi-api segera memotong perkataan Rasululah. Di depan para keluarganya, ia mengancam Rasulullah dengan kata-kata kasar agar jangan sekali-kali mengubah agama nenek moyang bangsa Arab. Bagai seorang yang diadili di depan pengadilan, beliau diperingatkan Abu Lahab untuk kembali kepada keyakinan nenek moyang mereka. Jika tidak, Abu Lahab mengancam bahwa bangsa Arab akan menerkamnya dan membunuhnya. Intinya pada waktu itu Abu Lahab
16
berbicara kepada Rasulullah dengan nada sinis dan kasar di depan para keluarganya.
Dalam peristiwa itu, Rasulullah hanya diam dan tidak berkata apapun. Hal ini menurut Natsir adalah tindakan tepat. Orang yang meradang-radang tak karuan seperti itu tak perlu dijawab. Beliau diam, diam itulah jawabnya. Para keluarganya pun belum tentu setuju dengan kata-kata Abu Lahab yang kasar itu. Setidaknya Rasulullah memperoleh kemenangan moril atas pamannya itu. Bahkan dengan ketenangan Rasulullah, kemampuannya mengendalikan diri serta menjaga martabatnya sebagai tuan rumah, menimbulkan rasa simpati di antara sebagian yang hadir terhadap beliau.
Barulah pada hari-hari selanjutnya, beliau menjawab serangan-serangan Abu Lahab. Beliau kembali mengundang para keluarga dekatnya untuk makan bersama di rumahnya, termasuk Abu Lahab. Kali ini peristiwanya berbeda, baru saja mereka selesai makan, Rasulullah SAW tidak memberi peluang lagi kepada Abu Lahab. Beliau segera bangun dan angkat bicara. Beliau menantang ancaman-ancaman Abu Lahab dan membantah semua tuduhan Abu Lahab. Da’wah yang disampaikan Rasulullah kepada kaum kerabatnya ini ringkas sekali, sebagaimana pula galibnya khutbah Rasulullah SAW yang padat dan penuh hikmah. Natsir mengumpamakan perkataan Rasululllah sebagai bangunan yang amat rapi.
Ibarat seorang membangun rumah, menyusun batu perumahan, lapisan demi lapisan, sampai menjadi bangunan yang kuat, efektif dan indah. Tapi hikmah yang utama dalam peristiwa ini yang menjadi landasan ialah kemampuan beliau memilih saat yang tepat, kapan harus diam dan kapan harus berbicara, sehingga sampai mencapai hasil yang sebaik-baiknya. Kesemuanya ini penting sekali dalam usaha da’wah.
17
Ketiga, hikmah dalam mengadakan kontak pemikiran dan mencari titik pertemuan, sebagai sarana untuk maju secara sistematis. Dalam hal ini, Natsir mengajukan sebuah kaifiyat da’wah dengan mencari titik pertemuan dengan objek da’wah. Ia memberi contoh dari surat-surat Rasulullah saw kepada raja-raja, seperti Najasyi, Hieraklius, Muqaiqis dan lain-lain. Rasul memanggil Muqaiqis (raja yang beragama Nasrani) dengan gelar Ahl al-Kitâb (yang sama-sama mempunyai kitab suci), kemudian mengajaknya untuk menuju kalimatun sawa’
(kalimat yang sama), yaitu ‘janganlah menyembah melainkan Allah’.
Hal inilah yang perlu dilakukan oleh para da’i, yaitu mencari kalimatun sawa, kemudian mengajaknya kepada Islam. Kemungkinan besar, hal inilah yang menyebabkan Natsir dapat diterima di berbagai golongan. Ia bukan saja mampu merangkul banyak kelompok Islam, tapi juga bisa bergaul dengan baik dengan orang-orang non muslim.
Ketika menjadi ketua umum Partai Masyumi, ia dapat menyatukan seluruh elemen masyarakat dan kelompok Islam dalam satu wadah untuk dapat memperjuangkan aspirasi ummat melalui jalur politik. Begitu pula, ketika memimpin Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), hubungannya dengan kelompok Islam lain dapat dikatakan sangat baik dan akrab. Demikianlah yang sepatutnya perlu diteladani oleh kelompok-kelompok da’wah sekarang, menonjolkan titik pertemuan atau persamaan adalah satu hal penting untuk dapat menyatukan barisan dalam membina dan membentengi ummat.
Namun dalam mencari suatu pertemuan itu, menurut Natsir ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Mencari titik pertemuan berbeda dengan menyesuaikan diri, seperti menyesuaikan diri dengan apa yang kebetulan sedang disenangi orang, sehingga isi atau zat da’wah
18
sendiri berubah lantarannya; atau menyesuaikan diri menyembunyikan sebagian dari apa yang harus disampaikan, yakni biasa disebut kitman. Natsir mengingatkan bahwa hal ini bukanlah hikmah, bukan kebijaksanaan. Ini adalah menurutkan kemauan orang yang secara tegas dilarang dalam al-Qur’an (QS. Al- Baqarah: 120). Cara semacam ini sebenarnya timbul dari keinginan yang tersembunyi, disadari atau tidak, hendak mengelakkan konfrontasi. Bagaimanapun, taktik semacam ini dapat menghasilkan ‘agama gado-gado’, kombinasi berbagai kepercayaan dan pemikiran yang bercampur aduk. Dalam istilah al-Qur’an disebut talbisû al-hâq bi al- bâthil” (percampuradukan yang haq dengan yang bathil).
Selain itu, Natsir juga memberi catatan bahwa kebijaksanaan mencari titik pertemuan tidak boleh merosot menjadi tasyabbuh, yakni menyerupai pendirian dengan pendirian orang yang dihadapi, walaupun pada hakekatnya tidak serupa. Akibat dari tasyabbuh ini adalah akidah dan kaidah menjadi kabur dan samar-samar, dan akhirnya sampai juga kepada talbis. Tasyabbuh juga menyebabkan hilangnya shibghah, yakni corak kepribadian Islam dalam da’wah, serta shibghah dalam arti martabat pribadi (izzah al-nafs) dari pembawa da’wah sendiri, adalah soal yang vital, tak boleh dilepaskan. Ia merupakan bagian penting pula dari apa yang disebut hikmah, kebijaksanaan berda’wah itu sendiri. Coba perhatikan QS.
Ali Imran: 64, sehalus-halus susunan kalimat dan setinggi- tinggi nilai budi adalah apa yang terkandung dan diserukan oleh Rasulullah kepada Ahli kitab agar sama-sama berhimpun dalam satu kalimatun sawa, ayat itu ditutup dengan: “Dan apabila mereka berpaling, maka katakanlah olehmu: saksikanlah, bahwa kami ini adalah orang-orang Islam”.
19
Artinya: Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah".
jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka:
"Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang Islam”
(QS. Al-Imran: 64).
Jika dikaitkan dengan konteks sekarang, nasehat Natsir ini perlu kita perhatikan. Banyak para da’i yang terpeleset dalam berda’wah. Ada beberapa golongan yang metode da’wahnya terkesan terlalu keras, sehingga yang terjadi adalah menghujat dan memvonis yang membuat objek da’wah semakin menjauh. Ada pula golongan yang da’wahnya terlalu longgar, sehingga identitas keislamannya terkontaminasi oleh unsur lain. Dan sudah barang tentu, hal ini dapat mengaburkan Islam itu sendiri, bahkan dapat pula menodainya. Dan hal inilah yang dikhawatirkan oleh Natsir terhadap para da’i.
Keempat, tidak melepaskan shibghah. Menurut Natsir, ada bermacam-macam cara yang bisa menimbulkan talbis.
Adakalanya para pendukung da’wah Islam menemui satu atau lebih kepercayaan dalam suatu masyarakat, bersama-sama dengan para penganut kepercayaan lain saling menghindari konfrontasi, bahkan dalam soal pokok yang essensial, seperti arkân al-iman dan arkân al-islam – satu dan lainnya atas nama toleransi. Hasilnya seperti yang dikenal di negeri kita ini, sebagai agama ‘kejawen’; Hindu tidak, Budha tidak, Islam pun bukan. Tetapi dari ketiga- tiganya bercampur aduklah ajaran-ajaran tersebut dalam jiwa penganutnya, sedang unsur yang satu saling menetralisir unsur yang lain. Di samping itu, di antara penganutnya ada yang mengaku Islam atau beragama
20
Kristen. Bila dahulu Natsir mencontohkan agama Kejawen, maka kini kita mengenal paham Pluralisme Agama.
Substansi Pluralisme Agama tidak jauh beda dengan agama Kejawen.
Kelima, memilih dan menyusun kata yang tepat.
Dalam hal ini Natsir mengambil istilah al-Qur’an, yaitu qaulan sadîd (QS. al-Ahzab: 70). Dalam menafsirkan istilah ini, ia mengutip pendapat seorang mufassir, al-Qasyani yang mengatakan bahwa qaulan sadîd adalah kata yang lurus (qawiman); kata yang benar (haqqan); kata yang betul dan tepat (shawaban). Adapun dalam bidang da’wah, Natsir menyimpulkan, qaulan sadîd adalah kata yang lurus (tidak berbelit-belit), kata yang benar, keluar dari hati suci bersih, dan diucapkan dengan cara demikian rupa, sehingga tepat mengenai sasaran yang dituju, yakni panggilan da’wah sampai mengetok pintu akal dan kalbu mereka yang dihadapi (hal. 190).
Selain qaulan sadîd, menurut Natsir, ada pula qaulan layyin. Qaulan layyin adalah kata yang tepat dan tajam tikamannya, tetapi halus dan bersih, keluar dari kalbu yang bersih. Bersih dari suara nafsu kasar yang hanya bisa menyalakan nafsu yang kasar pula pada pihak yang dihadapi. Oleh karena itu Natsir memperingatkan,
“memang maki-makian dan main cap-capan bukanlah alat yang wajar bagi seorang pembawa da’wah. Tugas muballigh (da’i) ialah tabligh, menyampaikan. Bukan tanfîr, menghalau orang, sehingga mereka lari.”
Keenam, hikmah dalam cara perpisahan. Kata perpisahan harus qaulan balîgh, kata yang sampai;
menjangkau ke lubuk hati mereka. Jangan kata yang meninggalkan rasa pahit atau jengkel, sehingga hubungan putus, berkerat rotan. Meskipun tidak mencapai titik pertemuan dalam berda’wah, maka kita harus tegas, bersikap teguh dan konsekuen. Jangan membiarkan diri
21
sampai diombang-ambingkan oleh hawa nafsu dan tipu daya mereka. Natsir mencontohkan satu peristiwa yang dialami Rasulullah, dimana ketika beliau diajak untuk berkompromi, maka Rasulullah dengan tegas menyatakan,
‘qul yâ ayyuhâ al-kâfirûn, lâ a’bud mâ ta’budûn…..’.
Ketujuh; hikmah dengan arti uswah al-hasanah dan lisân al-hal. Natsir mengatakan bahwa ada satu alat menyampaikan da’wah, selain daripada lisan dan tulisan.
Yaitu uswah al-hasanah (contoh tauladan yang baik) dan lisân al-hal (bahasa keadaan), tanpa suara. Sebenarnya bahasa ini adalah yang paling asli dan sederhana, sudah lebih dulu dipergunakan sebagai alat penghubung, sebelum manusia bisa menggunakan bahasa dengan kata-kata.
Tetapi apabila dipergunakan pada saat dan dengan cara yang tepat, maka kekuatannya sama, malah kadang-kadang lebih kuat daripada kata-kata. Dan uswah al-hasanah adalah langkah pertama yang dilakukan Rasulullah SAW.
Kekuatan uswah al-hasanah sungguh luar biasa.
Natsir mencontohkan sebuah peristiwa perjanjian Hudaibiyah, dimana pada waktu itu terjadi gencatan senjata antara kaum muslimin dengan kaum musyrikîn Mekkah. Ketika itu, para sahabat banyak yang menyesalkan terhadap tindakan Rasulullah itu. Sehingga tatkala Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk menyembelih hewan kurban dan bercukur, mereka enggan untuk melaksanakannya. Melihat kejadian itu, Rasulullah pergi menemui istrinya, Ummu Salamah dan menceritakan hal itu. Kemudian Ummu Salamah menyarankan supaya Rasulullah pergi keluar ke tengah-tengah para sahabat dengan tidak berbicara apa-apa, hanya menyembelih ternak kurbannya sendiri, bercukur dan membuka pakaian ihramnya. Waktu itu, banyak orang termangu-mangu melihat Rasulullah berbuat demikian, maka seorang demi seorang, sekelompok demi sekelompok menyembelih
22
ternak kurban mereka, bercukur dan membuka pakaian ihram tanpa diperintah sama sekali.
Demikian besarnya kekuatan uswah al-hasanah. Hal yang dilakukan pun cukup sederhana dan tidak terlalu menguras tenaga dengan banyak bicara. Intinya, dalam berbagai hal, seorang da’i dapat memberikan contoh sebaik mungkin. Setiap ia bicara, ia akan mengimplementasikannya dalam tindakan nyata. Dengan itu, mad’u pun akan melakukan suatu perbuatan baik, tanpa diperintah, apalagi dipaksa. Mereka akan melaksanakannya dengan suka rela dan senang hati, karena sang da’i tidak sekedar berbicara, tetapi mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Selain hikmah, ada satu hal lagi yang patut diperhatikan seorang da’i, Natsir menyebutnya dengan mawaddah fi al-qurb (jembatan rasa). Ia terletak di luar bidang rasio, dan tidak dapat dicapai oleh semata-mata ilmu. Menurut Natsir, mawaddah fî al-qurb merupakan pancaran kalbu, bukan pancaran otak. Semahir-mahir seorang muballigh (da’i) bertukar hujjah dan argumentasi, dia tetap menghajatkan hubungan rasa itu, dan dia tidak boleh mengabaikannya. Oleh karena itu, ada dua alat penghubung antara seorang pembawa da’wah dengan mereka yang sedang dipanggilnya. Pertama, pengetahuannya tentang sifat-sifat, tabiat, tingkat kecerdasan mereka; kedua, rasa mawaddahnya yang ikhlas –bukan sandiwara– terhadap ummat yang mereka panggil kepada kebenaran itu. Yang pertama menunjukkan cara dan taktik, sedangkan yang kedua memanggil rasa dengan rasa. Secara mudahnya, pintu hanya dapat diketuk dengan hati pula.
***
23
Bab IV
Bagaimana Sikap Da’i dalam Menghadapi Ikhtilaf ?
Dalam melaksanakan aktifitas da’wah, seorang da’i tidak dapat terhindarkan dari ikhtilaf (perbedaan pendapat di kalangan ummat Islam). Da’i sebagai tempat orang bertanya, menurut Natsir, tidak boleh kitman, menyembunyikan kebenaran yang sudah dia ketahui. Tidak ada gunanya bersikap pura-pura tidak tahu. Dan tidak selaras juga bila ia mencoba-coba menutup rapat semua jalan bagi perbedaan faham itu sama sekali, dengan alasan, supaya semuanya hidup rukun, damai dan tenang. Karena hal ini akan bertentangan dengan risalah yang mewajibkan tafakkur, tadabbur, tafaqquh fî al-dîn, dan membukakan pintu ijtihad atas garis-garis tertentu.
Tafaqquh fî al-dîn dan ijtihad lazim menghasilkan pendapat yang berbeda-beda atau ikhtilaf. Bagi Natsir, bukanlah hikmah seorang da’i yang sedang berda’wah bila hendak menghilangkan ikhtilaf itu. Tidak ada larangan agama terhadap ikhtilaf yang dihasilkan oleh tafaqquh fî al-dîn dan ijtihad. Adapun yang merusak keutuhan ummat, dan itu terlarang, adalah jumud dan tafarruq (beku dan berpecah belah). Adanya ikhtilaf tidak otomatis mengakibatkan tafarruq, sebab di jaman sahabat pun juga terdapat ikhtilaf, seperti perbedaan faham tentang masalah-masalah fiqh, tetapi mereka tidak pecah belah lantarannya. Mereka berpegang kepada petunjuk risalah sendiri, bagaimana cara menghadapi sesuatu perbedaan pendapat. Allah SWT berfirman:
Artinya: Jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
24
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS. An-Nisa’:
59).
Di antara para imam mujtahid pun ada ikhtilaf, beberapa pendapat Imam Syafi’i berbeda dengan pendapat gurunya, Imam Malik. Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah pun berlainan pendapatnya pula. Akan tetapi, mereka semua menegaskan kepada para murid dan pengikut- pengikut mereka agar jangan sekali-kali menganggap fatwa mereka tidak ada bandingannya. Apabila ada nash al- Qur’an dan Sunnah Rasul yang berlawanan dengan fatwa mereka, maka yang dipegang adalah nash itu, lalu fatwa merekalah yang gugur. Ruju’, kembali kepada kebenaran, bila ternyata keliru, mereka anggap suatu kewajiban, suatu tindakan yang mulia, bukan satu keaiban. Imam Ahmad meriwayatkan satu pesan Imam Syafi’i, “Telah berkata Syafi’i kepadaku: Bila kau mengetahui suatu hadits yang shahih, sampaikanlah kepadaku, supaya kujadikan dasar bagi fatwaku” (al-Manar: IV/694).
Natsir mengingatkan, baik para sahabat atau pun para imam mujtahid sama sekali tidak mengusahakan adanya pembekuan, sedangkan ikhtilaf di antara mereka tidak mengakibatkan tararruq. Bagi Natsir, kebekuan dan perpecahan bisa disingkirkan dengan da’wah bi al-hikmah, mau’idzah hasanah, dan mujadalah bi al-lati hiya ahsân, dan dengan sama-sama ber-tahkim kepada Allah dan Rasul (h. 250). Namun demikian, para da’i tidak usah terlalu banyak berbincang tentang ikhtilaf ini, terutama bagi orang awam. Menukil perkataan Imam Ghazali, “ajaklah mereka dahulu untuk mengamalkan ketentuan-ketentuan yang sudah disepakati, seperti perintah taqwa, membersihkan rohani dari tingkah laku yang mungkar, mencari nafkah yang halal, dilarang mencuri, namimah (menceritakan
25
keburukan orang lain), berkhianat, dan lain-lain”. Hal-hal itulah yang seharusnya menjadi prioritas bagi aktifitas da’wah.
Persoalannya adalah, mengapa di kalangan ummat Islam kerap kali terjadi tafarruq? Menurut Natsir, kalau kita mau mencari sumbernya secara jujur, nyatalah bahwa timbulnya tafarruq bukan saja karena tidak adanya hikmah dalam da’wah, tetapi karena luputnya ikhlas, datangnya ananiyah (egoisme) yang menggantikan ikhlas. Apabila sudah datang ananiyah mencampuri usaha da’wah, maka hinggaplah riya’ pada diri pembawa da’wah, dan ta’assub pada lingkungan pengikutnya. Penyakit riya’ di satu pihak dan ta’asub di lain pihak, kedua-duanya menghalang- halangi seseorang muballigh (da’i) untuk ruju’ dari kekeliruan bila ada; kedua-duanya mendorongnya supaya mempertahankan prestise diri dan golongannya.
Jika demikian adanya, M. Natsir mengatakan bahwa hal itu bukanlah ikhtilaf lagi, bukan pula da’wah. Yang macam ini tidak ada sangkut pautnya dengan da’wah ilallah, sebagai kelanjutan risalah Muhammad SAW. Adanya tafarruq bukan lantaran adanya ikhtilaf, bukan pula lantaran adanya da’wah. tetapi akibat dari turut campurnya hawa nafsu dalam da’wah, akibat menyelinapnya sifat ananiyah. Lalu ia menukil sebuah ayat:
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka.
Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat (QS. Al-An’am:
159).
26
Akhlak Tiang Da’wah
Ibarat tarikan magnet (besi berani), kata Natsir, yang dapat menarik terhadap apa saja yang bersifat logam, yang bermutu tinggi atau yang tidak. Sumber tenaga bagi daya tarik itu tidak lagi terletak pada ilmu, dan tidak pada hikmah. Ilmu dan hikmah hanya pembuka jalan. Sumber tenaganya sendiri terletak pada akhlak pribadi dari pembawa da’wah sendiri. Baik atau buruknya amal perbuatan yang terbit secara spontan itu, tergantung pada baik atau buruknya akhlak pribadi yang bersangkutan.
Lisân al-hal yang baik dan uswah al-hasanah yang menarik hanya bisa terbit dari akhlak yang baik dan mulia, akhlaq al-karîmah. Begitu pula sebaliknya. Natsir juga mengatakan bahwa penilaian orang terhadap akhlak pribadi pembawa da’wah itu sebagian besar mempengaruhi, malah bisa menentukan, akan terbukakah pintu bagi isi da’wah yang hendak disampaikannya ataukah tidak (h. 239-240).
Oleh karena itu, menurut Natsir, akhlaq al-karîmah adalah tiang tengahnya da’wah, tidaklah pula suatu masyarakat itu menuntut supaya muballigh-nya harus seperti seorang malaikat. Mereka pun maklum, bahwa muballigh mereka bukan seorang Nabi yang ma’sum. Yang diharapkan oleh masyarakat adalah agar muballigh memelopori mereka dalam perbuatan, untuk menegakkan amal ma’ruf, mendahului mereka dalam menjauhkan diri dari kemungkaran yang disuruh dijauhinya; mendahului mereka dalam menegakkan akhlak dan moral tinggi.
***
27
Bab IV Teguh Hati
dalam Menghadapi Ujian
Satu hal yang tidak kalah penting dalam aktifitas da’wah, menurut Natsir adalah teguh hati atau sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan. Karena ujian dan cobaan merupakan sesuatu yang mesti menimpa para da’i, bahkan para nabi dan rasul sekalipun. Allah SWT befirman, Artinya: “Berteguh hatilah kamu sebagaimana berteguh hatinya ahli-ahli keteguhan hati dari para rasul” (QS. Al- Ahqaf: 35).
Artinya: Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS.
Lukman: 17).
M. Natsir mengatakan, ujian dan cobaan itu datangnya dari berbagai segi. Ada yang dari luar, dari pihak lawan, bahkan dari kawan dan kerabat, malah mungkin pula dari dalam rumah tangga sendiri. Ada yang datang berupa penderitaan, lahir atau pun batin, ada yang berupa kesenangan hidup. Kesemuanya itu tetap merupakan ujian dan cobaan bagi si pembawa da’wah. Mengenai ujian dari luar, Natsir mengingatkan bahwa ujian itu ada yang berbentuk kasar, ada pula yang bersifat halus. Ujian yang bersifat kasar dapat berupa penyiksaan atau pun pengusiran. Sementara ujian yang bersifat halus adalah berupa berkompromi pada soal-soal yang prinsipil. Seperti yang dialami Rasulullah kala diajak kaum Quraisy untuk saling menyembah Tuhan masing-masing. Kaum Quraisy
28
akan menyembah Tuhan Rasulullah jika beliau pun menyembah Tuhan mereka. Kompromi yang halus tapi menyesatkan ini langsung ditolak dengan tegas oleh Rasulullah SAW dengan firman Allah SWT:
Artinya: (1) Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, (2) aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, (3) dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, (4) dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (5) dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, (6) untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. Al-Kafirun: 1-6).
Adapun ujian dari dalam yang biasa dialami para da’i adalah ujian finansial. Dalam menghadapi ujian ini, Natsir memberikan satu motivasi bahwa para da’i tidak perlu mengkhawatirkan permasalahan seperti ini.
“Bukankah dia (da’i) itu bekerja untuk Allah?”, atau
“tidaklah pula sampai kita mendengar bahwa ada muballigh (da’i) yang meninggal dunia lantaran kelaparan di tengah-tengah ummat yang sedang dituntun dan dibimbingnya? Malah sebaliknya, seringkali kita melihat, ummat itu kehilangan penuntun ruhani, lantaran dia ini direnggutkan dari tengah-tengah mereka oleh tarikan pangkat dan kedudukan, atau lantaran sang muballigh (da’i) terseret oleh isapan arus perlombaan mengejar benda-benda yang bertebaran” (h. 270).
Selain derita hidup, ada pula ujian yang disadari atau tidak, hal itu adalah ujian juga. Ujian itu bukan berupa kesulitan atau pun rintangan. Natsir mencontohkan ujian itu berupa ‘pengaruh kuat’ yang dimiliki oleh seorang da’i.
‘Pengaruh’ itu bagaikan pedang bermata dua, bila pemegangnya tidak awas, pedang bisa makan tuan. Yakni bila kecintaan para pengikut kepada seorang da’i berubah menjadi fanatisme buta. Mungkin da’i itu awalnya memiliki niat yang suci dan ikhlas. Tetapi di tengah jalan, disadari
29
atau tidak “da’wah ilallah” berubah menjadi “da’watun ilayya ana”. Maka hal ini dapat dikatakan bahwa da’i itu telah mengalami penyakit riya’. Mengenai hal ini M. Natsir mengingatkan, “satu kali qalbu dihinggapi oleh penyakit hati, seperti riya’ atau yang lebih berat dari itu, maka itu langsung membekas kepada pekerjaan da’wahnya sendiri.
Katanya akan didengarkan orang juga. Berapa banyak juga ilmunya, akan dapat disalin orang, tapi panggilannya, tidak akan bersahut. Kelincahan lidah dan kata-kata dapat mencapai telinga orang banyak. Paling banyak kata dan gaya dapat memukau dan mempesona si pendengar sebentar waktu. Akan tetapi hati hanya dapat dipanggil dengan hati”.
Sumber Kekuatan
Setelah berbagai ujian telah kita urai, maka kita akan mencari sumber kekuatannya untuk menaklukkan ujian atau pun cobaan itu. Sumber kekuatan itu bagi M.
Natsir dapat kita dapatkan pada sumber segala kekuatan itu, yaitu Allah SWT Yang Maha Kuat dan Maha Kuasa. Allah SWT menerangkan dalam surah al-Muzammil bahwa Shalat malam memiliki hikmah besar bagi siapa yang hendak menyampaikan risalah. Ia adalah satu resep tepat untuk membersihkan jiwa dan menumbuhkan kekuatan baru.
Allah SWT berfirman:
Artinya: (1) Hai orang yang berselimut (Muhammad), (2) bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (3) (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, (4) atau lebih dari seperdua itu. dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan, (5) Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu Perkataan yang berat, (6) Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih besar bekasnya (atas jiwamu) dan bacaan di waktu itu lebih
30
berkesan (QS. Al-Muzammil: 1-6).
Dalam ayat 7-11, Allah SWT mengingatkan kepada para pembawa risalah dan da’wah untuk mendekat dan selalu mengingat-Nya. Allah SWT berfirman:
Artinya: (7) Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak), (8) sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan, (9) (Dia-lah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Maka ambillah Dia sebagai Pelindung, (10) dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik, (11) dan biarkanlah aku (saja) bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang yang mempunyai kemewahan dan beri tangguhlah mereka barang sebentar (QS. Al-Muzammil: 7-11).
Demikianlah sumber kekuatan yang sesungguhnya, berbagai ujian dan cobaan dapat kita taklukkan manakala kita yakin akan kebesaran dan keagungan Allah SWT.
Sebagaimana yang Natsir katakan, “bukankah seorang da’i bekerja untuk Allah?”. Segala ujian dan cobaan itu datangnya dari Allah, maka tiada cara lain selain pertolongan itu akan datang dari Allah pula. Keyakinan seperti ini harus diyakini sebenar-benarnya, karena Allah akan selalu menyertai kita. Sebab jika sudah demikian, adanya ujian dan cobaan itu akan menjadi pemacu untuk terus menyampaikan risalah mulia ini.
***