• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalihan Natolu dan Nilai-Nilai Anak ni Raja Boru ni Raja pada suku Batak

DESKRIPSI LOKASI DAN INTERPRETASI DATA 4.1. Sejarah Singkat kabupaten Simalungun

4.7. PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

4.7.1 Dalihan Natolu dan Nilai-Nilai Anak ni Raja Boru ni Raja pada suku Batak

Falsafah hidup masyarakat batak adalah terlihat pada sistem kekerabatannya. Orag batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak lahir hingga mati dalam tiga posisi yang disebut Dalihan Natolu, yang mencerminkan sistem demokrasi kekerabatan orang batak. Dalihan dapat diterjemahkan sebagai “tungku” dan “sahundulan” sebagai “posisi duduk”. Keduanya mengandung arti yang sama.

Tiga (3) Posisi penting dalam sistem kekerabatan orang batak yaitu :

1. Hula-Hula yaitu kerabat marga pihak isteri. Dalam berprilaku masyarakat batak harus Somba Marhula-hula.

2. Dongan Tubu yaitu Saudara semarga kita, dari garis ayah, kakek dan anak laki-laki. Dalam berprilaku orang batak harus Manat Mardongan Tubu

3. Boru yaitu kelompok orang dari saudara perempuan, dalam berrprilaku orang batak harus Elek Marboru.

Somba Marhula-hula

Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki. Sehingga apabila perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot tumandangi sige . (artinya, dalam budaya Batak tuak merupakan minuman khas. Tuak diambil dari pohon Bagot (enau). Sumber tuak di pohon Bagot berada pada mayang muda yang di agat. Untuk sampai di mayang diperlukan tangga bambu yang disebut Sige. Sige dibawa oleh orang yang mau mengambil tuak (maragat). Itulah sebabnya, Bagot tidak bisa bergerak, yang datang adalah sige. Sehingga, perempuan yang mendatangi rumah laki-laki dianggap menyalahi adat. Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya.

Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain : Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula . Disebutkan, Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na . Gadong dalam masyarakat Batak dianggap salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo). Siraraon adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar. Seakan-akan busuk dan isisnya berair. Pernyataan itu mengandung makna, pihak yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah. Dalam adat Batak,

pihak borulah yang menghormati hula. Di dalam satu wilayah yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hulanya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hulanya. Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk diolah boru yang tidak mnghormati hula-hula (baca elek marboru ) Dalam budaya Batak, ada umpasa Litok aek ditoruan, tujulu ni jalanan. Hal ini terjadi apabila dalam suatu keluarga terdapat penderitaan atau kesusahan hidup. Ada pemikiran, semasa hidup pendahulu dari generasi yang sengsara atau menderita itu ada sikap-sikap yang tidak menghormati hula-hula, sehingga pernyataan siraraon do gadongna dianggap menjadi bala dalam kehidupannya. Untuk menghilangkan bala itu, diadakanlah upacara adat mamboan sipanganon untuk memohon ampun apabila ada kesalahan-kesalahan generasi terdahulu kepada pihak hula. Upacara mamboan sipanganon disampaikan kepada keturunan pihak hula-hula setaraf generasi terdahulu atau tingkat yang dianggap pernah terjadi kesalahan itu. Dalam berbagai agama, ibu sangat diagungkan. Bahkan ada ungkapan sorga ada ditelapak kaki ibu. Dalam agama Kristen, hukum Taurat ke V menyebutkan, hormatilah ibu-bapamu agar lanjut usiamu, di tanah yang diberikan Tuhan Allah mu kepadamu.. Tidaklah bertentangan bila falsafah dalihan na tolu somba marhula-hula diterapkan. Karena kita menghormati keluarga ibu yang kita cintai itu. Dalam agama Kristen disebutkan, kalau menghormati orang tua, akan mendapat berkat dan lanjut usia.

Manat Mardongan Tubu

Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga-marga. Namun dalam perkembangannya, marga-marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri. Misalnya Si Raja Guru Mangaloksa menjadi Hutabarat, Hutagalung,

Panggabean, dan Hutatoruan (Tobing dan Hutapea) atau Toga Sihombing yakni Lumbantoruan, Silaban, Nababan dan Hutasoit. Dongan Tubu dalam adat Batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga A yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kawin. Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah.

Angka naso manta mardongan tubu, na tajom ma adopanna. Ungkapan itu

mengingatkan, na mardongan tubu (yang semarga) potensi pada suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik .

Dalam adat Batak, ada istilah panombol atau parhata yang menetapkan perwakilan suhut (tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu adat (pesta kawin atau kematian) namardongan tubu selalu membicarakannya terlebih dahulu. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat. Umumnya, Panombol atau parhata diambil setingkat di bawah dan/atau setingkat di atas marga yang bersangkutan. Apabila dalam suatu adat Batak terdapat pelecehan atau sikap meremehkan teman semarganya, biasanya akan berakhir dengan perdebatan sengit bahkan pada perkelahian. Hal itu dapat dipahami, karena suatu keluarga yang bersaudara antara abang dan adik tidak terdapat batas-batas. Bahkan karena diikat oleh kasih sayang, dalam adat Batak , namardongan tubu dapat selalu memanggil nama, khususnya kepada tingkat di bawahnya. Misalnya panggilan “ho”, “langkam”, “amani aha”, panggilan yang sangat akrab, namun harus diingat, dalam keakraban itulah terdapat peluang-peluang sakit hati yang menimbulkan pertikaian atau perkelahian. Hal ini dapat terjadi pada tonggo raja

(perencanaan acara puncak adat) yang tidak menempatkan posisi dongan tubu sesuai dengan kepentingan adat.

Dalam kasus lain, manat mardongan tubu sangat perlu diingat dalam masalah harta warisan atau masalah kepemilikan. Karena dalam kenyataannya, masalah warisanlah penyebab terbesar pertikaian di kalangan namardongan tubu. Hal itu terbukti pula na mardongan tubu bertikai akibat harta warisan (terutama tanah) sering membawa korban jiwa. Pertikaian akibat harta warisan antara boru ke hula-hula sangat jarang sekali. Dalam ungkapan (umpasa) batak ada istilah jolo diseat hata asa di seat raut. Artinya, sebaiknya segala sesuatu itu dimusyawarahkan dulu sebaik-baiknya, barulah dilaksanakan. Umunya umpasa itu disampaikan dalam rangka pembagian jambar, yang diatur oleh pihak-pihak namardongan tubu. Itulah sebabnya ada ungkapan marpanungkun (konsultasi).

Patutak Pande Bosi, soban bulu panggorgorina. Marpukpak angka na

marhahamaranggi (na mardongan tubu) angka boru ma pangolanina. Pandai Besi

(pande bosi) biasanya dalam membentuk tempahannya sangat riuh bunyi peralayannya. Namun untuk menjadikan tempahan itu, harus ada kayu atau arang yang membakarnya supaya jadi baik. Demikian diumpamakan, kalau pihak hula-hula namardongan tubu bertikai karena sesuatu hal, agar tercapai kebaikan, pihak boru berperan sebagai penengah, bukan terlihat dalam pertikaian itu.

Elek Marboru

Elek MarboruBoru ialah kelompok orang dari saudara perempuan kita, dan pihak marga suaminya atau keluarga perempuan dari marga kita. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah elek marboru yang artinya agar saling mengasihi supaya mendapat berkat yangb melimpah (pasu-pasu).

Istilah Boru dalam adat Batak tidak memandang status, jabatan, kekayaan oleh sebab itu mungkin saja seorang pejabat sibuk dalam pesta adat batak karena posisinya saat ituadalah boru..

Setiap orang Batak adalah Raja. Raja disini tidak ada kaitannya dengan kerajaan, hanya secara umum dipakai dalam acara adat dan kehidupan sehari-hari orang Batak. Raja bagi suku batak bukan merupakan pucuk kepemimpinan atau kekuasaan pada suatu wilayah, dan seorang raja batak bukan dipilih akan tetapi setiap keturunan batak sudah menjadi anak niraja dan boru ni raja (putra-putri raja) sejak lahir . Anak ni raja dan boru ni raja berarti setiap keturunan orang batak harus mengikuti nilai yang terdapat pada Dalihan Natolu seperti Somba marhula-hula, Manat Mardongan Tubu dan Elek Marboru.

Dalam menjalankan komponen Dalihan Natolu, kharisma seorang raja harus dimiliki oleh putra-putri batak. Seorang raja harus memiliki wibawa, santun berbicara, sopan dalam bertingkah laku serta berbicara, hormat kepada orang tua, berpakaian sopan, rajin bekerja, aktif dalam kegiatan sosial, menghargai orang lain,dan gigih bekerja, dan menunjukkan wibawa supaya dikenel orang sebagai anak ni raja dan boru ni raja dalam ungkapan batak disebut Asa Tanda Anak Ni Raja.

Sosialisasi nilai-nilai anak ni raja boru ni raja pada setiap keturunan batak dimulaisejak lahir, hal ini terbukti dari setiap aktifitas dan kegiatan orang batak seperti pembabtisan, naik sidi, pernikahan, sampai kematian harus mengikuti prosesi adat serta komponen Dalihan Natoluterlihat jelas dan lengkap pada acara adapt tersebut..

Dalam ikatan Dalihan Natolu yang lazim digambarkan dengan bentuk segitiga sama sisi, masing-masing disebut juga:Raja ni Boru berperan sebagai pembenah dalam persiapan adat agar prosesi adat berjalan lancar, Raja ni Hula-hula (Tulang) secara umum digambarkan sebagai pemberi pasu-pasu (berkat dan doa) pada pihak yang

berpesta, dan Dongan Tubu atau Raja ni Boru semarga dan Raja ni Huta yaitu teman sekampung yang menemani dan mendukung pihak pelaksana pesta pada prosesi adat.

Setiap orang batak batak pasti memiliki dan berada di salah satu posisi itu. Jadi Dalihan Natolu bukanlah kasta, ada saatnya menjadi Hula-hula / Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu dan ada saatnya menjadi Boru. Dengan Dalihan Natolu adat Batak tidak memandang pangkat, harta, atau status seseorang karena berpegang kepada Dalihan Na Tolu. Bisa saja terjadi seorang Jenderal dalam acara adat harus menyingsingkan lengan bajunya dan wajib bekerja melayani seluruh keluarga dari pihak isteri yang kebetulan berpangkat Sersan. Situasi seperti ini mungkin saja membuat seorang Sersan harus harus bekerja (marhobas), namun itulah realita dalam kehidupan kekerabatan Batak. Dari fenomena ini dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Batak umumnya tidaktawar-menawar, siap bekerja sama dan mau mengalah dan bersikap kesatria.

Sosialisasi nilai-nilai anak ni raja boru ni raja pada setiap keturunan batak dimulaisejak lahir, hal ini terbukti dari setiap aktifitas dan kegiatan orang batak seperti pembabtisan, naik sidi, pernikahan, sampai kematian harus mengikuti prosesi adat serta komponen Dalihan Natolu harus lengkap.