• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP WALI DALAM HUKUM ISLAM

B. Dasar Hukum Perwalian

2. Dalil Hadits-Hadits

Umat Islam sepakat bahwa perkataan, perbuatan atau taqrīr Rasulullah saw., dan itu dimaksud sebagai pembentukan hukum-hukum Islam dan sebagai tuntutan, serta diriwayatkan dengan sanad yang sahih yang menunjukkan kepastian atau dugaan kuat tentang kebenarannya, maka ia menjadi hujah atas kaum muslimin, dan sebagai sumber hukum syarak, yang mana para mujtahid mengistinbatkan berbagai hukum syarak daripadanya berkenaan dengan perbuatan orang-orang

mukallaf. Maksudnya, bahwa hukum-hukum yang terdapat dalam sunah-sunah ini, bersama dengan hukum-hukum yang terdapat dalam Alquran membentuk suatu Undang-undang yang wajib diikuti.87

Dalam hal perwalian terhadap harta anak yatim mendapat perhatian penting dalam Hadis Nabi Muhammad saw. Bahkan dalam ketentuan Hadis tersebut sangat melarang seseorang menggabungkan antara harta kekayaan pribadinya dengan harta anak yatim yang berada di bawah perwaliannya.

Di samping itu, dalam Hadis juga sangat dilarang menguasai harta anak yatim dengan tujuan untuk menjadikannya sebagai harta pribadi. Meskipun demikian, wali juga mendapatkan sebagian dari harta anak yatim dengan syarat bahwa wali yang mengelola dan memelihara anak yatim tersebut berstatus sebagai fakir. Dalil Hadis yang menerangkan mengenai persoalan perwalian terhadap harta anak yatim dapat dilihat sebagai berikut:

a. Hadits larangan menguasai harta anak yatim:

لوسر يل لاق : ًرذ يبا نع اي ؟مّلسو هيلع الله ىّلص الله

،اًفْيعض كارأ يّنا ! ّرذ ابأ ،يسفنل ّبحأ ام كل ّبحأ يّناو

زميتي لام ىلع ّنيّلوت لاو ،نينثا ىلع ّنرّمأت لا

Dari Abū Dhar, ia berkata: Rasululullah saw. Bersabda kepadaku, “Wahai Abu Dhar! Sesungguhnya aku melihatmu lemah, dan sungguh aku mencintaimu sebagaimana aku mencintai diriku. Janganlah engkau sesekali memerintah atas dua orang, dan jangalah sesekali menguasai harta anak yatim.” (HR. Sunan al-Nasā’ī).88

87 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, cet. I (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 42.

88 Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih Sunan an-Nasa’i, terj. Fathurrahman (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hlm. 895.

b. Wali mendapatkan hak dari harta anak:

هلوق يف اهنع الله يضر ةشء اع نع ناك نمو( لاعت

اهّنآ )فورعملاب لكآيلف اريقف ناك نمو ففعتسيلف اّينغ ناكم هنم لكآي هّنآ اريقف ناك اذا ميتيلا ّيلو يف تلزن ميتيلا ىلاو ىف تلزنآ اضفل يفو فورعملاب هيلع همايق هنم لكأاريقف ناك نا هلام حلصيو هيلع موقي يذّلا امهاجرخأ .فورعملاب

Bersumber dari Aisyah ra., mengomentari firman Allah Taala: “Dan barang siapa (di antara yang mengurusi anak yatim itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri. Dan barang siapa yang miskin, dia boleh makan harta itu dengan cara yang ma’ruf (patut).” Sesungguhnya firman Allah Taala tersebut diturunkan menyinggung tentang orang yang mengurusi anak yatim apabila miskin, maka dia boleh memakan daripadanya sebagai imbalan jerih payah mengurusinya dengan cara yang patut.”89 (HR. al-Bukhārī dan Muslim).

ملاسو هيلع الله ىلص ّيبّنلا ىتأ لاجر ّنأ ،رمع نبا نع لام لك :لاق ،ميتي يلو ،ءىيش يل سيل ،ريقف يّنا :لاقف لثاتم لاو ،رذبم لاو ،فرسم ريغ كميتي .

Dari Ibn ‘Amr bahwasanya ada seseorang yang menemui Nabi saw. Dan berkata: “Sesungguhnya aku orang fakir yang tidak memiliki apapun, dan aku mengasuh anak yatim.”Beliau bersabda: “Makanlah dari harta anak yatimmu dengan tidak berlebih-lebihan, tidak tabdzir (boros) dan tidak menghimpunnya.”90 (H.R. al-Nasā’ī).

89 Al-Syaukani, Nayl al-Autār…, jld. V, hlm. 697-698.

90 al-Albani, Shahih Sunan an-Nasa’i, hlm. 895.

Dari Hadis di atas yang secara kualitasnya sanadnya sangat kuat seperti diungkapkan oleh al-Hāfiz Ibn Hajar dalam kitabnya Fath al-Bārī, memberi petunjuk bahwa wali diperbolehkan memakan harta anak yatim dengan syarat wali tersebut berasal dari kalangan fakir. Wali yang fakir dapat mengambil dari harta anak yatim dengan cara makruf. Artinya, jumlah pengambilan tersebut harus disesuaikan dengan kondisi di mana anak itu berada. Sebaliknya, wali yang memiliki kekayaan yang cukup tidak diperbolehkan mengambil harta anak yatim yang berada di bawah perwaliannya.91

Para ulama berbeda pendapat terhadap kebolehan wali mengambilan harta anak yatim. Menurut Hadis yang diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa sesungguhnya seorang wali diperbolehkan mengambil harta anak yatim seperlunya sesuai dengan jasanya dalam mengurus dan memelihara anak.

Pendapat demikian dikemukakan oleh ‘Ikrimah, al-Hasan dan yang lainnya. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa wali sama sekali tidak boleh memakan harta anak yatim kecuali jika benar-benar ada hajat yang mendesak.92 Berpegang pada pendapat yang kedua, si wali tetap dibolehkan mengambil harta anak yatim dengan syarat dalam keadaan mendesak yang mengharuskan wali untuk mengambilnya.

Kemudian para ulama juga berselisih pendapat mengenai masalah hajat itu sendiri. Menurut ‘Ubaydah ibn

‘Amir, Sa‘īd ibn Jubayr dan Mujahid, apabila seorang wali yang sedang dililit kebutuhan yang mendesak memakan harta anak yatim yang diurusnya, kemudian menjadi orang kaya, diwajibkan mengembalikan apa yang pernah ia makan. Akan

91 Al-Syaukani, Nayl al-Autār…, hlm. 698.

92 Al-Syaukani, Nayl al-Autār…, hlm. 699.

tetapi ada juga yang berpendapat bahwa wali tidak wajib mengembalikannya. Pendapat yang lain menyatakan bahwa apabila harta selain emas dan perak si wali dapat mengambilnya seperlunya saja. Pendapat demikianlah itulah yang benar menurut Ibn ‘Abbās dan al-Sya‘bī.93

c. Larangan memakan harta anak yatim:

م ّلاسو هيلع الله ّلص هلللا لوسر ّنأ ،ةريره يبأ نع ام ! الله لوسر اي :لاق ،تاقبوملا عبسلا اوبنتجا :لاق م ّرح يتّلا سفّنلا لتقو ،ّحّشلاو ،هلللاب ك ّشلا :لاق ؟يه موي يل وّتلاو ،ميتيلا لام لكأو اب ّرلا لكأو ،قحلاب ّلاا هلللا نصحلا فذقو ،فحزلا .تانمؤملا تلافاغلا تا

Dari Abū Hurayrah bahwasanya Rasulullah saw.

bersabda: “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan!”

Kemudian ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah! Apakah tujuh perkara tersebut?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah, kikir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan kebenaran, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan dan menuduh wanita mukminah baik-baik berbuat zina”. (HR. al-Nasā’ī).

d. Wali menyatukan makanan dan minuman dengan anak:

:لاق ساّبع نبا نع ّلاا ميتيلا لام اوبرقتلاو تلزن اّمل

ماعّطلا لعج ىّتح ىماتيلا لاومأ اول ّزع نسحأ يه يتّلاب مّلسو هيلع الله ىّلص ّيبّنل كلذ ركذف نتني محلاو سفي دسفملا ملعي اللهو مكناوخاف مهوطلاخت ْنِا َو( :تلزنف ىئاسّنلاو دمحأ هاور .مهوطلاخف :لاق .حلصملانم .دوادوباو

93 Al-Syaukani, Nayl al-Autār…, hlm. 700.

Bersumber dari Ibn ‘Abbās, dia berkata: “Ketika turun ayat: Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih baik, mereka (para sahabat) menjauh dari harta anak yatim sehingga makanan menjadi rusak dan daging menjadi busuk. Kemudian hal itu disampaikan kepada Nabi saw. Maka turunlah ayat: “Dan jika kamu berkumpul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan daripada yang membuat kemaslahatan.” Lalu Nabi saw. bersabda: “Maka pergauli mereka itu.” (HR. Imam Ahmad, Imam al-Nasā’ī dan Imam Abū Dāwd).

Hadis di atas juga dikeluarkan oleh Imam al-Hākim yang menganggapnya sebagai Hadis sahih. Dalam sanadnya terdapat nama ‘Atā’ ibn Sa‘īd, yang menurut Abū Ayyūb dan beberapa orang ulama lain adalah orang yang dapat dipercaya.

Menurut Ahmad, orang yang mendengar darinya lebih dahulu maka itulah yang sahih. Secara substansial Hadis di atas menjelaskan tentang menjadikan satu makanan dan mimuman antara keluarga wali dan anak yang berada di bawah perwaliannya. Maksud menjadikan satu contohnya ialah wali meminum susu milik anak yatim dan anak yatim meminum air susu milik walinya. Wali makan menggunakan piring milik anak dan sebaliknya. Sedangkan firman Allah: “Orang-orang yang membuat kerusakan” ialah orang yang dengan sengaja memakan harta anak yatim, dan arti firman Allah: “Orang yang membuat kemaslahatan,” ialah orang yang selalu berusaha menjauhi perbuatan tak terpuji.

Abū ‘Ubayd mengemukakan bahwa yang dimaksud menjadikan satu makanan dan minuman anak yatim adalah si anak yatim berada di tengah-tengah keluarga si wali yang mengurusi, sehingga sulit memisahkan makanannya. Maka dia

mengambil harta anak yatim itu menurut ukuran yang diperlukan secara wajar dan tetap berusaha untuk berhati-hati.

Akibatnya, bercampurlah menjadi satu harta anak yatim itu dengan harta yang dinafkahkan kepada keluarganya.

Mengingat hal seperti itu tidak lepas dari resiko kurang dan lebih, dan itu sangat dikhawatirkan oleh mereka, maka Allah lalu memberikan kelapangan kepada mereka.94