KONSEP WALI DALAM HUKUM ISLAM
B. Dasar Hukum Perwalian
4. Ijtihad ulama
Ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fikih atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syarak. Hal ini menunjukkan bahwa ijtihad bertujuan untuk mengeluarkan (istinbat) hukum syarak, dengan demikian ijtihad tidak berlaku dalam bidang teologi dan akhlak. Ijtihad dalam istilah ushul fiqh inilah yang banyak dikenal dalam masyarakat.98
Para ulama sepakat bahwa harta benda milik anak kecil tidak boleh diserahkan kepadanya sampai ia mencapai usia balig dan rusyd (memiliki kedewasaan dan kemampuan dalam mengelola dan membelanjakan harta dengan baik). Karena Allah menggantungkan penyerahan harta miliknya setelah memenuhi dua syarat yaitu bulūgh dan rusyd (kedewasaan dan kemampuan mengelola harta dengan baik dan benar). Allah Swt. berfirman yang artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya.” Suatu hukum
97 Abī Hasan ‘Alī ibn Muhammad ibn Habīb al-Mawardī al-Basrī, al-Hāwī al-Kabīr, jld. VIII (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Ilmiyyah, tt.), hlm. 14.
98 Amir Mu’allim Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 12.
yang digantungkan kepada syarat tidak bisa ditetapkan tanpa terpenuhinya kedua syarat tersebut.99
Setelah anak mencapai usia balig, ada dua kemungkinan yang akan terjadi, yaitu adakalanya ia pada saat mencapai usia balig dalam keadaan rusyd atau tidak. Apabila ia pada saat mencapai usia balig dalam keadaan rusyd, maka hartanya diserahkan langsung kepadanya dan hukum al-hajr dicabut darinya.100 Artinya pelarangan penggunaan harta (hajr) yang sebelumnya berlaku kepada anak kecil, setelah balig larangan tersebut menjadi hilang. Karena anak sudah cakap melakukan perbuatan hukum dengan sendirinya.
Larangan anak untuk menggunakan harta menjadi hilang didasarkan pada firman Allah Swt.: “Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.”
Dalam Sunan Abū Dāwd diriwayatkan: “Tidak ada status yatim setelah mimpi basah (balig).” Di sini proses penyerahan harta hendaklah dipersaksikan berdasarkan ayat: “Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka , maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka.”
Para ulama mazhab sepakat bahwa anak yang kecil dilarang menggunakan hartanya. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang pembelanjaan yang dilakukan oleh anak pandai (as-sabī al-mumayyiz). Maksud dari anak yang telah pandai adalah seorang anak yang telah pandai membedakan mana yang berbahaya dan mana pula yang bermanfaat dalam
99 Al-Zuhaylī, al-Fiqh Islāmī…,, jld. X, hlm. 7330.
100 Ibid.
pengertian umum, mana yang disebut jual beli dan mana pula sewa menyewa, dan mana yang menguntungkan dan mana pula yang merugikan.101
Menurut ulama Hanafī, anak kecil yang sudah pandai menggunakan hartanya, maka ia sah mempergunakannya tanpa persetujuan walinya. Syarat yang digunakan oleh Hanafī terhadap anak yang pandai tersebut adalah penggunaan hartanya selama mendatangkan manfaat bagi dirinya seperti menerima hibah dan wasiat, wakaf tanpa penggantian dan lain-lain. Berbeda halnya dalam hal-hal yang menggandung resiko untung rugi seperti jual beli, gadai, sewa menyewa dan peminjaman barang, di mana anak tersebut tidak dapat menggunakan hartanya tanpa se-izin walinya. Begitu juga dengan orang yang belum pandai, di mana seluruh tindakannya dalam bentuk apapun, dianggap tidak sah, baik memiliki izin dari walinya maupun tidak, dalam urusan penting atau tidak.
Berbeda dengan Hanafī, Hanbalī membolehkan tindakan anak kecil yang pandai dengan syarat harus memperoleh izin dari walinya, sedangkan tindakan anak kecil yang belum pandai dinyatakan sah bila dalam hal-hal kecil, sekalipun tidak memperoleh izin dari walinya. Imam al-Syāfi‘ī memiliki pandangan yang berbeda dengan Hanafī dan Hanbalī.
Menurutnya, semua bentuk muamalah anak kecil secara keseluruhan tidak disyariatkan, baik hal itu melalui wakalah (perwalian) atau secara langsung, dalam bentuk penyerahan atau penerimaan, urusan penting atau remeh, berupa nazar atau kenyataan, baik dia belum pandai maupun sudah pandai. Dasar
101 Muhammad Jawad al-Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, terj. Masykur A.B, Afif Muhammad, (Jakarta: Lentera, 2004), hlm. 685.
tidak diterimanya tindakan anak kecil adalah ijmak, yang didukung oleh kemasyhuran yang sangat, dan yang dipegangi dalam hal ini adalah kemasyhuran.102
Para ulama mazhab sepakat bahwa, adanya sifat mengerti diketahui dengan sedikit ujian, berdasar firman Allah:
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur….
.Kemudian jika menurutmu mereka telah mengerti (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” Para ulama mazhab menyebutkan beberapa contoh cara-cara untuk menguji yang bertujuan untuk mengetahui bahwa anak sudah mengerti terhadap pengelolaan hartanya yaitu dengan cara memberi tugas kepada seorang anak untuk mengelola harta miliknya, atau dengan cara menyuruhnya membeli atau menjual sesuatu barang kebutuhan. Dari cara tersebut bila diketahui si anak telah dapat melakukannya tanpa melibatkan orang lain, maka ia dianggap telah mengerti.
Dengan kata lain si anak dapat mengatur dan memanfaatkan harta yang dimilikinya untuk kepentingan pribadinya.
Sementara proses pengujian yang diberikan kepada anak perempuan berbeda dengan laki-laki. Bagi anak perempuan, cara pengujian yang digunakan adalah dengan cara menyuruhnya mengurus rumah.103
Menurut Wahbah al-Zuhaylī, bentuk pengujian kepada anak disesuaikan dengan status dan kondisi anak semisalnya.
Jika ia termasuk anak seorang pedagang, maka ia diuji untuk melakukan penawaran dalam jual beli, jika ia seorang petani, maka ia diuji dengan aktifitas yang berkaitan dengan pertanian.
Apabila ia termasuk anak seorang pengrajin, maka ia diuji
102 Al-Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab…, hlm. 685.
103 Al-Mughniyat, Fiqh Lima Mazhab…, hlm. 692.
dengan aktifitas kerajinan yang digeluti oleh orang tuanya.
Berbeda halnya dengan perempuan, maka ia diuji dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan rumah seperti menenun, memasak makanan, menyimpan makanan, membeli berbagai perabotan dan kebutuhan rumah dan lain sebagainya.104