• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV.3. Dampak Terbentuknya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan

1. Dampak dalam Bidang Politik

Orang-orang Tionghoa dalam perkembangan politik di Indonesia, bersikap dan bertindak dengan dasar politik “menumpangkan nasib”. Bagi mereka siapa saja yang memegang pemerintahan Indonesia, tidak menjadi soal bagi mereka. Dengan politik demikian mereka berhasil menyelamatkan kedudukannya. Pada waktu kemerdekaan ada sepenuhnya ditangan bangsa Indonesia, mereka merasa

khawatir, cemas oleh karena merasa kehilangan perlindungan dari Belanda. Itulah sebabnya mereka berusaha untuk mencari perlindungan kepada pemerintah di negeri leluhurnya (Hidayat, 1993: 110).

Pada periode banyak partai, muncul sebuah partai orang-orang Tionghoa yang berorientasi pada konsep integrasi, yaitu Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI). Akan tetapi umur partai tersebut tidak lama karena tak dapat bertahan mengahadapi tumbuhnya kecenderungan untuk berbaur di kalangan peranakan, sikapnya yang apatis terhadap masalah politik dan sosial, serta ketidakacuhan golongan totok, para penganut konsep pembauran mendorong Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa untuk bergabung dengan berbagai partai yang di dominasi pribumi dan tidak menjadi elite yang secara rasial, ekonomi, dan kultural berbeda.

Pada masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) terdapat beberapa orang Tionghoa yang menjadi anggota parlementer dan menteri, delapan orang etnis Tionghoa menjadi anggota DPRS yaitu: Siauw Giok Tjhan, Tan Boen Aan, Tan Po Gwan, Teng Tjin Leng, Tjoa Sie Hwie, Tjoeng Lin Sen (pada bulan Agustus 1954 diganti Tio Kang Soen), Tjung Tin Jan dan Yap Tjwan Bing (pada bula Agustus 1954 diganti Tony Wen alias Boen Kim To). Di dalam kabinet Ali Sastroamidjojo I Dr. Ong Eng Die ditunjuk menjadi menteri keuangan dan Lie Kiat Teng menjadi menteri kesehatan. Dalam DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1955 terpilih beberapa orang etnis Tionghoa yaitu Oei Tjeng Hien (Masjumi), Tan Oen Hong dan Tan Kim Liong (NU), Tjung Tin Jan (Partai Khatolik), Lie Po Joe (PNI), Tjoo Tik Tjoen (PKI) dan Ang Tjiang Liat (Baperki). Sedangkan di

Konstituante terpilih sebagai anggota antara lain Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Koen seng, Oei Poo Djiang semuanya dari Baperki, Tony Wen dari PNI Oei Hay Djoen dan Tan Ling Djie dari PKI.

Di masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Siauw Giok Tjhan ditunjuk menjadi anggota DPR-GR mewakili golongan fungsional. Kemudian dalam kabinet kerja ke IV, Kabinet Dwikora yang disempurnakan, Oei Tjoe Tat diangkat menjadi Menteri Negara diperbantukan kepada Presiden RI dan David Gee Cheng diangkat menjadi Menteri Ciptakarya dan Konstruksi dalam Kabinet Dwikora yangdisempurnakan.

(http://www.munindo.brd.de/artikel_04/mrt04_peranan_tionghoa_1html).

Namun, kondisi menjadi berubah dengan adanya gejala-gejala disintegrasi dalam bidang politik, sosial dan ekonomi Indonesia menjelang akhir tahun 1950-an, kemenangan-kemenangan di parlemen, kemajuan ekonomi pada umumnya, dan perpecahan yang semakin besar di antara orang-orang totok yang tidak mau berpartisipasi, golongan peranakan integrasionis, dan saingannya yakni golongan asimilasionis, bahkan ancaman hebat yang ada terhadap kehadiran orang Tionghoa di Indonesia. Seperti pengusiran orang Tionghoa dari daerah pedalaman, serta masalah-masalah lainnya yang membuat kehidupan orang Tionghoa di Indonesia tidak menentu.

Sebagai akibat dari keadaan tidak menentu tersebut, lahirlah Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang dibentuk pada tahun 1954 atas inisiatif Siauw Giok Tjhan. Organisasi tersebut terbuka untuk semua orang Indonesia, tanpa memandang ras, dan tujuannnya yaitu untuk memilih dan

mendukung calon-calon dalam partai-partai politik yang nonetnis dan non religius, serta untuk memperjuangkan perlakuan yang sama terhadap semua WNI (Greif, 1991: 14).

Di masa Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin perlu dicatat peranan Baperki sebagai ormas terbesar yang mewakili etnis Tionghoa dalam memperjuangkan hak-hak dan kepentingan etnis Tionghoa, dan melawan setiap bentuk diskriminasi. Baperki secara aktif membantu orang-orang Tionghoa yang ingin memilih warga negara Indonesia. Demikian juga Baperki mendirikan sekolah-sekolah dan universitas untuk menampung anak-anak Tionghoa yang membutuhkan pendidikan terutama anak-anak Tionghoa WNI yang harus meninggalkan sekolah-sekolah berbahasa pengantar Tionghoa sesuai peraturan yang berlaku.

Pada hakikatnya Baperki itu bersifat Cina dan peranakan, untuk menggantikan PDTI yang tidak bertahan lama. Pada awalnya Baperki tidak menganut sesuatu ideologi dan pada dasarnya integrasionis, yakni menginginkan agar golongan Tionghoa menjadi sebuah suku bangsa di samping suku-suku bangsa Indonesia lainnnya yang sudah ada.

Dalam menyelesaikan masalah minoritas Tionghoa, Baperki di bawah pimpinan Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan, Oei Tjoe Tat, mengembangkan doktrin nation building dan integrasi, yaitu sebuah doktrin yang ingin membangun sebuah bangsa yang bersih dari diskriminasi rasial serta adanya kesamaan hak dan kewajiban warga negaranya tanpa mempermasalahkan asal-usulnya dan mengintegrasikan etnis Tionghoa secara utuh ke dalam tubuh bangsa Indonesia.

Secara sederhana integrasi adalah suatu proses percampuran etnis Tionghoa ke dalam bangsa Indonesia, tanpa meninggalkan budaya asalnya. Dalam pengertian yang lebih spesifik, integrasi ini lebih tepat sebagai “penggabungan” etnis Tionghoa ke dalam bangsa Indonesia, sebagai “suku baru” lengkap dengan budayannya.

Nation yang bersih dari diskriminasi hanya dapat terwujud di dalam masyarakat sosialis yang bersih dari penghisapan manusia atas manusia atau golongan mayoritas terhadap golongan minoritas dan sebaliknya. Doktrin integrasi meyakini kebenaran konsep kemajemukan atau pluralisme bangsa Indonesia seperti yang dinyatakan para founding fathers bangsa Indonesia dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Adalah suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, etnis, ras dan agama beserta budayanya masing-masing.

Pada awalnya Baperki menguntungkan, namun selanjutnya Baperki larut ke dalam kemelut politik Indonesia. Dalam perkembangannya, Baperki ternyata harus menghadapi situasi tarik menarik antara kekuatan-kekuatan politik kiri dan kanan. Untuk mengatasinya Baperki dengan doktrin integrasinya tidak memiliki pilihan lain, selain berdiri di belakang Presiden Soekarno yang sedang dengan gencar melaksanakan konsep Manipol-Usdek dan persatuan Nasakom. Karena mendukung politik Presiden Soekarno, tentunya Baperki berada dalam satu barisan bersama seluruh kekuatan revolusi pada masa itu, seperti PNI, PKI, Partindo, Partai Khatolik, NU, PSII dsb. Dalam rangka perjuangan mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia yang bersih dari penghisapan manusia atas manusia.

Kondisi ini menyebabkan Baperki lebih dekat dengan PKI, PNI, Partindo serta kekuatan-kekuatan pendukung Soekarno lainnya. Terutama dengan PKI yang selalu mendukung Baperki dalam perjuangannya menentang diskriminasi rasial, baik di DPR maupun di forum-forum lainnya dan di media massa Harian Rakyat, atau di lapangan seperti apa yang dilakukan PKI dalam menentang peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung dan kota-kota lainnya di Jawa Barat. Hal tersebut menyebabkan banyaknya etnis Tionghoa, khususnya anggota dan simpatisan Baperki yang bersimpati kepada PKI, Partindo dan ormas-ormasnya, selanjutnya turut bergabung di dalamnya.

Masalah kewarganegaraan bukan semata-mata masalah hukum, melainkan mencakup soal yang lebih kompleks, seperti loyalitas dan arti memiliki negara. Oleh karena itu dengan didirikannya organisasi di kalangan orang Tionghoa yakni Baperki,diharapkan dapat memecahkan masalah tersebut. Awalnya organisasi ini tujuan utamanya adalah membantu pemecahan masalah dwi kewarganegaraan. Akan tetapi organisasi tersebut cenderung berfungsi sebagai partai politik. Baperki ikut serta dalam Pemilihan Umum tahun 1955. Setelah Pemilihan Umum tahun 1955 dan krisis tahun 1957-1959, di bawah ketuanya Siauw Giok Tjhan yang pro komunis, organisasi tersebut beralih ke kiri. Hal tersebut menyebabkan reputasi Baperki menurun di mata publik. Setelah PKI mengejutkan dengan meraih sukses dalam pemilu tahun 1955 dan sikap simpatinya terhadap orang-orang keturunan Tionghoa yang dinyatakan secara terang-terangan., membuat aktivitas Baperki menjadi sejajar dengan aktivitas PKI, sebagai akibatnya

sentimen kaum pribumi yang anti komunis dan anti Cina makin besar. Mulai saat itu komunisme diasosiasikan dengan Cina.

Meskipun Baperki berhasil melindungi kepentingan bisnis orang Tionghoa, namun banyak kaum peranakan yang merasa kecewa pada Baperki yang berpindah haluan ke kiri dan mengeluarkan pernyataan yang kurang baik bahwa pembauran itu salah dan orang Tionghoa harus hanya berkeinginan untuk menjadi salah satu suku bangsa Indonesia. Karena itu Baperki dituduh berusaha untuk melestarikan sikap ekslusif orang Tionghoa.

Sementara itu sekelompok peranakan Tionghoa yang kebanyakan berpendidikan Belanda eks Chung Hwa Hui yang tidak setuju dengan doktrin integrasi, mengembangkan doktrin asimilasi total. Untuk itu pada tanggal 24 Maret 1960 di Jakarta dikeluarkan “Statement Asimilasi” yang dengan tegas berpendirian bahwa masalah minoritas hanya dapat diselesaikan dengan jalan asimilasi dalam segala lapangan secara aktif dan bebas. Para penanda tangan statement tersebut adalah sepuluh orang tokoh peranakan Tionghoa yang beberapa orang di antaranya ikut mendirikan Baperki, namun telah meninggalkannya pada tahun 1955. Di antara penanda tangan tersebut antara lain Mr. Tjung Tin Jan, Injo Beng Goat, Drs. Lo Siang Hien, Ong Hok Ham, Drs. Lauwchuantho (H.Junus Jahya) dan Mr. Auwjong Peng Koen (P.K.Ojong). Selanjutnya pada tanggal 13-15 Januari 1961, di Bandungan (Ambarawa) diselenggarakan Seminar Kesadaran Nasional yang menghasilkan “Piagam Asimilasi”. Di antara 30 penanda tangan piagam tersebut adalah Ong Hok Ham, Lauwchuantho dan Kwik Hway Gwan. (http://www.munindo.brd.de/artikel_04/mrt04_peranan_tionghoa_1html).

Dalam rangka melaksanakan doktrin asimilasi total dan menandingi serta mengahambat pengaruh Baperki, maka pada tahun 1963 dibentuk sebuah organisasi bernama Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) dengan ketuanya Ong Tjong Hai SH alias Kristoforus Sindhunatha, seorang Letnan Angkatan Laut dan mendapatkan dukungan penuh dari pimpinan Angkatan Darat dan tokoh-tokoh politik seperti Letkol Harsono, Mayor Ismail Hambali, Prof. Sunario SH., Drs. Radius Prawiro, Drs. Frans Seda, Roeslan Abdulgani, Harry Tjan, Djoko Sukarjo, dllnya. Para pemimpin organisasi tersebut terdiri dari orang-orang muda yang terpelajar dan bersikap agresif dalam mengejar tujuan pembaurannya banyak dari mereka yang telah mengganti namanya dengan nama Indonesia dan menganjurkan agar semua orang Tionghoa melakukannya. Bagi organisasi tersebut hanya ada dua kategori orang Indonesia yaitu WNI dan WNA, tanpa adanya perbedaan ras. LPKB dan kaum penganut pembauran muncul pada saat yang tepat, yaitu ketika kaum totok telah berkurang jumlahnya dengan terusirnya 100 ribu orang Tionghoa pada tahun 1959. Perjanjian Dwi Kewarganegaraan dengan RRC telah meningkatkan jumlah orang Tionghoa WNI yang memutuskan semua hubungan dengan Cina.

Salah satu program LPKB adalah pelaksanaan asimilasi di segala bidang kehidupan dengan menitikberatkan pada asimilasi sosial. Asimilasi dilaksanakan dalam lima bidang kehidupan yakni, asimilasi politik, asimilasi ekonomi, asimilasi kultural, dan asimilasi sosial. Semuanya harus dilaksanakan dengan seimbang dan sebaik-baiknya.

Setelah meletusnya peristiwa G 30 S tahun 1965, maka PKI dan Baperki dibubarkan, dan LPKB muncul untuk membuktikan bahwa tidak semua orang Tionghoa pro komunis. Memang ada perasaan anti Cina pada tahun 1965-1967 dan beberapa tindak kekerasan yang ditujukan terhadap mereka, terutama di Kalimantan pada tahun 1967, namun golongan Tionghoa berhasil menyelamatkan diri dan mendapat kesempatan dan arahan baru di bawah pemerintahan baru Jenderal Soeharto. Berbagai langkah dijalankan untuk membaurkan semua golongan Tionghoa di Indonesia. Semua sekolah berbahasa Cina ditutup, termasuk sekolah-sekolah Baperki, dan diubah menjadi sekolah-sekolah negeri. Semua surat kabar dan majalah Cina dilarang, kecuali satu koran yang bernama Yindunixiya Ribao atau Harian Indonesia, sebuah harian pemerintah yang terbit di Jakarta. Semua WNI keturunan Tionghoa dianjurkan untuk mengganti nama dan harus konsisten dengan kebangsaan yang mereka pilih.

Suara LPKB didengar dikalangan pemerintah baru yang para pemimpinnya menganggap betapa pentingnya proses pembauran. Dalam hal ini LPKB memainkan peranan penting dalam mengeliminasi budaya, tradisi, agama, dan bahasa Tionghoa seperti yang dituangkan dalam berbagai kebijaksanaan dan peraturan rezim Orde Baru. Adanya segi positif dari LPKB, dengan diprakarsai Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1974 dibentuk badan baru yang dinamakan Badan Pembina Kesatuan Bangsa DKI yang mirip dengan LPKB. Diantara 14 orang pengurusnya, empat diantaranya adalah orang Tionghoa yang salah satunya bekas pemimpin LPKB. Badan ini kemudian diambil alih pula oleh

pemerintah Orde baru dan diganti namanya menjadi Badan Komunikasi Pembinaan Kesatuan Bangsa (Bakom-PKB).

Dalam pandangan LPKB, untuk menjadi orang Indonesia, orang Tionghoa dianjurkan melebur kedalam penduduk Indonesia asli sehingga kaum minoritas Tionghoa tidak lagi akan menjadi suatu kelompok tersendiri. Paham asimilasi ini kemudian diambil alih oleh pemerintah Orde Baru untuk kepentingan politiknya, dan telah menyimpang dari tujuan semula. Salah satunya adalah anjuran untuk berganti nama yang cenderung dipaksakan. Para pencetus paham asimilasi kemudian satu persatu mengundurkan diri dari LPKB, dan akhirnya LPKB dibubarkan pemerintah.

Dengan munculnya dua kelompok atau paham besar pembauran yaitu kelompok integrasi yang bernama Baperki dan kelompok asimilasi yang bernama LPKB. Sejak terbentuknya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan, maka peran Baperki sebagai kelompok atau paham besar pembauran berusaha untuk mewujudkan integrasi serta menghilangkan diskriminasi di kalangan WNI keturunan Tionghoa. Namun demikian organisasi tersebut cenderung berfungsi sebagai partai politik. Sehingga tujuan utamanya yaitu membantu pemecahan masalah dwi kewarganegaraan menjadi terabaikan. Akan tetapi bila dilihat dari sisi lain, orang-orang Tionghoa WNI telah mampu turut serta secara efektif di dalam kelompok-kelompok politik yang anggota-anggotanya sebagian besar terdiri dari WNI asli. Pada pemilihan umum tahun 1955 dan 1957, calon-calon dari golongan Tionghoa WNI telah diajukan oleh beberapa partai politik. Terutama di dalam dua partai Kristen dan dalam PKI. Dari hal tersebut nampak adanya suatu kerjasama antara

Tionghoa WNI dengan WNI asli, maka arah untuk menuju pada asimilasi dalam bidang politik mulai terbuka.

Dokumen terkait