• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA

Bab ini merupakan uraian analisis dari hasil penelitian, untuk menjawab permasalahan yang telah diungkapkan pada bab sebelumnya. Permasalahan tersebut adalah “Bagaimana Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia mengenai Perjanjian Dwi Kewarganegaraan terhadap Etnis Tionghoa tahun 1955- 1969”. Pokok permasalahan tersebut diuraikan dan disusun ke dalam empat bahasan utama : pertama, Kedudukan Warganegara Keturunan Etnis Tionghoa di Indonesia. Kedua, Latar Belakang Perjanjian Dwi Kewarganegaraan. Ketiga, Dampak Terbentuknya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan terhadap Kehidupan Etnis Tionghoa. Keempat, Dampak Pembatalan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan terhadap Kehidupan Etnis Tionghoa.

IV.1. Kedudukan Warganegara Keturunan Etnis Tionghoa di Indonesia IV.1.1. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia pada Zaman Kolonial

Belanda

Pemerintahan kolonial Belanda dalam menguasai daerah jajahan sering menggunakan siasat devide et impera. Siasat ini digunakan mengingat jumlah orang Belanda yang lebih sedikit dari jumlah penduduk jajahan. Seperti halnya di Indonesia, pemerintah kolonial Belanda menggunakan golongan-golongan tertentu dalam usaha mengendalikan mayoritas orang-orang pribumi untuk mempertahankan kekuasaannya.

(2)

Dalam menjalankan siasatnya ini pemerintah kolonial Belanda membagi masyarakat dalam tiga golongan. Golongan pertama yaitu orang-orang Eropa yang merupakan warganegara kelas satu, lalu golongan Timur Asing yaitu orang-orang Arab, India dan Cina serta terakhir adalah orang-orang pribumi.

Siasat devide et impera dijalankan dengan memberikan fasilitas atau kedudukan pada kelompok tertentu. Di Indonesia kelompok tersebut adalah kaum ningrat dari golongan pribumi dan orang-orang Tionghoa untuk golongan Timur Asing. Kepada kaum ningrat pemerintah kolonial Belanda memberikan jabatan seperti Pamong Praja, sedangkan untuk orang-orang Tionghoa pemerintah Belanda memberikan kedudukan sebagai Mayoor dan kapitein der Chinezen. Jabatan untuk orang-orang Tionghoa tersebut diberikan setelah pada tahun 1917 pemerintah Belanda menyamakan kedudukan hukum orang-orang Tionghoa dengan orang-orang Belanda. Dengan perubahan itu berarti status sosial orang-orang Tionghoa lebih tinggi dibanding orang-orang pribumi.

Di samping pemisahan status sosial, pemerintah Belanda juga memisahkan kehidupan orang-orang Tionghoa dari masyarakat pribumi dengan dibentuknya suatu perkampungan yang disebut kampong tjina (Chinese Wijk) (Lie Tek Tjeng, 1971: 4). Dengan pemisahan ini maka sulit terjadi asimilasi antara penduduk pribumi dengan orang-orang Tionghoa.

Dalam bidang pendidikan pemerintah kolonial Belanda memberikan kesempatan yang lebih kepada orang-orang Tionghoa dengan

(3)

didirikannya Hollandsch Chinesche School (HCS) pada tahun 1908. Kesempatan inilah yang menghasilkan lahirnya kaum intelektual di kalangan orang-orang Tionghoa. Orang-orang Tionghoa yang berpendidikan Belanda ini akhirnya menyadari akan pentingnya berpolitik dan berorganisasi. Pada tahun 1920 mereka membentuk suatu organisasi yang bertujuan mengarahkan kaum Tionghoa peranakan untuk tidak berkiblat kepada pemerintah Cina melainkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Dalam kongresnya pada tahun 1928 akhirnya organisasi ini sepakat membentuk partai politik kaum peranakan yang pertama yaitu Chung Hwa Hui (Perhimpunan Tionghoa, CHH). Dalam perkembangannya partai ini pada tahun 1939 berhasil menempatkan tiga orang wakilnya dalam Volksraad (Suryadinata, 1984: 50).

Dalam bidang ekonomi orang-orang Tionghoa memperoleh kesempatan dari pemerintah Belanda untuk terlibat sebagai pengumpul pajak (yang kemudian dimanfaatkan untuk memeras rakyat), mengusahakan pegadaian, monopoli perdagangan candu dan sebagainya, oleh karena itu banyak penduduk pribumi yang merasa benci kepada orang-orang Tionghoa. Kondisi seperti tersebut diatas secara tidak langsung telah merebut lapangan ekonomi orang-orang Arab yang merupakan saingan bagi orang Tionghoa, pengusaha-pengusaha Jawa, serta sejumlah saudagar. Bagi masyarakat pribumi tindakan ini merupakan tekanan yang kuat dari orang-orang Tionghoa di kepulauan Nusantara. Kehidupan ekonomi pribumi mulai tergeser dimana semua perekonomian mulai dikuasai atau didominasi

(4)

orang-orang Tionghoa, oleh karena itu benteng terakhir bagi orang-orang-orang-orang pribumi adalah SDI. Sebagai reaksi atas situasi ini adalah munculnya Sarekat Dagang Islam (tahun 1911) yang didirikan oleh Hadji Samanhudi di Solo. Tujuan organisasi ini adalah untuk mempertahankan dan mengimbangi para pedagang Tionghoa yang makin meluas.

Pengusaha-pengusaha Tionghoa yang mencari jalan untuk merebut sebagian dari benteng terakhir kehidupan ekonomi pribumi ditanggapi dengan aksi kekerasan oleh anggota-anggota muda SDI di Solo yang dipimpin oleh R.M. Tirtoadisuryo. Gangguan-gangguan yang bersifat rasialis ini meningkat sedemikian rupa hingga akhirnya pada 10 Agustus 1912 Residen Surakarta terpaksa mengeluarkan suatu dekrit untuk mengurangi aktivitas organisasi itu ( Niel, 1984: 120).

Sejak dibekukannya organisasi tersebut, perekonomian orang-orang Tionghoa semakin maju. Mereka tidak lagi mendapat saingan dari orang-orang pribumi. Hal ini menimbulkan rasa superioritas dan menjadikan status sosial mereka lebih tinggi dari orang-orang pribumi.

IV.1.2. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia pada Jaman Jepang Sikap pemerintah pendudukan Jepang terhadap orang-orang Tionghoa di Indonesia tidak lepas dari pengalamannya ketika berperang melawan negeri Cina. Walaupun akhirnya Jepang menang dan berhasil mendirikan pemerintahan boneka di negara Cina, namun banyak korban kerugian yang diderita oleh tentara Jepang. Orang-orang Tionghoa yang bersimpati kepada negeri leluhurnya ditawan, seperti Thio Thiam Tjong

(5)

tokoh CHH dan Ang Jan Goan salah satu pemimpin Sin Po. Surat kabar Cina diberangus, semua partai politik (baik partai pribumi, Belanda maupun Cina) dilarang, demikian pula perkumpulan-perkumpulan Cina dibubarkan dan diganti dengan perkumpulan Cina yang dibentuk dan ditunjuk pengurusnya oleh Jepang.

Salah satu organisasi sosial yang dibentuk oleh pemerintahan militer Jepang bagi orang-orang Tionghoa adalah Hua Chiao Tsung Hui (Perhimpunan Perantau Cina). Organisasi ini dipimpin oleh orang Jepang bernama Toyoshima dan bertanggungjawab kepada pimpinan militer setempat (Hidajat, 1977: 96). Organisasi ini dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan dan lebih praktis dalam mengkonsentrasikan orang-orang Tionghoa dalam kehidupan eksklusifnya. Manfaat lain dari organisasi ini adalah untuk memudahkan pemungutan pajak dan sumbangan-sumbangan untuk biaya perang.

Perlakuan yang diterima oleh orang-orang Tionghoa ini berbeda dengan yang diterima oleh orang-orang pribumi. Jepang mengharapkan kerjasama orang-orang pribumi untuk mendukung peperangan yang sedang dilaksanakannya dengan janji akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.

Kedudukan orang-orang Tionghoa pada masa ini selalu dicurigai oleh pemerintah Jepang karena mereka dianggap sebagai mata-mata Belanda. Walaupun demikian ada pula orang Tionghoa dan beberapa nasionalis Indonesia yang bekerjasama dengan Jepang, seperti Ong Siang

(6)

Tjun, Drs. Yap Tjwan Bing, Han Kang Oen, Ir. Soekarno dan Drs. M. Hatta. Dukungan tersebut diperlukan pemerintah Jepang untuk menumbuhkan semangat dan kerjasama rakyat dalam melawan sekutu.

Selama pendudukan Jepang sekolah-sekolah Belanda dilarang dibuka dan yang diizinkan hanya sekolah-sekolah berbahasa pengantar Indonesia dan Cina. Anak-anak peranakan yang sebelumnya memperoleh pendidikan Belanda dan tidak dapat berbahasa Cina diharuskan untuk belajar dalam sekolah yang berbahasa sekolah Cina. Program ini dikenal dengan “totokisasi” (pengtionghoan kembali) orang-orang Tionghoa peranakan (Suryadinata, 1988: 23). Seperti halnya pada jaman pemerintahan Hindia Belanda, perekonomian pada saat itu tetap didominasi oleh orang-orang Tionghoa yang mendapat pengawasan ketat dari pemerintah militer Jepang. Bahan mentah terutama minyak bumi, karet, kina dan gula saat itu sangat dibutuhkan oleh Jepang untuk mendukung tentaranya.

IV.1.3. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia pada Jaman Kemerdekaan

Kekalahan Jepang pada pertengahan Agustus 1945, telah dimanfaatkan oleh para pemimpin nasionalis Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Tetapi Belanda yang dibantu pasukan Inggris masuk lagi ke Indonesia guna melanjutkan pemerintahan kolonialnya. Kembalinya Belanda ini menimbulkan konflik antara kaum nasionalis Indonesia dan Belanda.

(7)

Pada masa kemerdekaan ini orang-orang Tionghoa banyak yang menjadi korban baik oleh pihak Belanda maupun karena kemarahan rakyat Indonesia yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya. Timbulnya korban ini disebabkan pada masa itu orang-orang Tionghoa terbagi dalam tiga golongan (Hidayat, 1993: 95), yaitu :

a. Golongan Cina yang berada di wilayah kekuasaan Belanda.Mereka tetap pada usahanya yaitu mencari untung dalam situasi apapun yang dihadapi. Mereka berusaha melayani kebutuhan Belanda dengan sebaik-baiknya. Untuk keperluan ini Belanda mendirikan suatu organisasi semi militer Pao An Tui, yang dilatih dan dididik militer serta dipersenjatai oleh Belanda. Tujuan organisasi ini adalah untuk melindungi keselamatan orang Cina disamping Belanda sendiri mendapat tambahan pertahanan dari orang-orang Cina. Sebagai contoh adalah organisasi Chung Hua Hui wilayah Jakarta dengan tokohnya Thio Thiam Tjong cenderung membantu Belanda.

b. Golongan Cina yang berada di wilayah Republik Indonesia. Orang-orang Cina ini banyak usahanya untuk ikut membantu perjuangan menegakkan kemerdekaan Indonesia. Seperti halnya organisasi CHH di wilayah Jakarta, organisasi yang berada di wilayah kekuasaan tentara RI ini dengan pemimpinnya Ong Siang Tjoen, cenderung membantu tentara RI.

(8)

c. Golongan orang-orang Cina intelektual sebagai hasil pendidikan Belanda. Mereka ini dalam politiknya juga berpihak pada Belanda, seperti Dr. Kwa Tjoan Sioei salah seorang tokoh CHH Jakarta. Sikap orang-orang Tionghoa pada masa ini pada hakekatnya hanya mencari keselamatan pribadi dan kepentingan golongannya. Sikap inilah yang menimbulkan rasa benci masyarakat Indonesia terhadap orang-orang Tionghoa. Ditambah lagi dengan adanya gerakan Pao An Tui, yaitu organisasi orang Tionghoa yang dipersenjatai oleh Belanda, di Jakarta pada tahun 1947 yang meluas keseluruh pulau Jawa.

Keadaan kacau selama masa revolusi ini dimanfaatkan oleh pedagang Tionghoa untuk memperoleh keuntungan lebih banyak lagi. Mereka melakukan perdagangan gelap baik untuk keperluan Belanda maupun untuk keperluan pejuang Republik Indonesia. Bagi mereka politik tidaklah penting, yang penting adalah mencari keuntungan dengan berdagang.

Dalam hal pendidikan, pada masa kemerdekaan anak-anak Tionghoa mendapat perhatian pula. Setelah penyerahan kedaulatan pada bulan Desember 1949, sekolah-sekolah Belanda ditutup. Anak-anak Tionghoa peranakan yang berada di sekolah-sekolah berbahasa pengantar Belanda melanjutkan sekolahnya di sekolah berbahasa pengantar Indonesia yang dikelola oleh kelompok swasta ataupun pemerintah.

Melihat adanya kecenderungan orang-orang Tionghoa yang menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah-sekolah Tionghoa atau ke

(9)

sekolah-sekolah Katolik dan Protestan, maka pada tahun 1950 pemerintah Indonesia menghentikan subsidi terhadap sekolah-sekolah berbahasa pengantar Cina. Tindakan tersebut merupakan akibat dari sistem sikap hidup eksklusifisme pemerintah kolonial Belanda dan Jepang. Dengan penghapusan subsidi tersebut diharapkan orang-orang Tionghoa berintegrasi dengan masyarakat dan kebudayaan Indonesia.

Namun, kebanyakan orang-orang Tionghoa memperlihatkan sikap yang anti dan apatis terhadap pemerintah RI. Mereka juga lebih bersikap menutup diri dalam tradisi mereka sendiri tanpa mau menyesuaikan dan mengintegrasikan ke dalam masyarakat dan kebudayaan nasional Indonesia. Sikap eksklusifisme ini mereka pertahankan semata-mata hanya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Sikap semacam ini dikenal dengan “racial and cultural nationalits”, seperti yang diharapkan oleh pemerintah Cina komunis di negeri leluhurnya (Hidayat, 1993: 98).

IV.2. Latar Belakang Perjanjian Dwi Kewarganegaraan

Masalah hukum mengenai status sipil golongan Tionghoa di Indonesia merupakan masalah rumit yang merupakan warisan dari jaman kolonialisme Belanda. Perundang-undangan pemerintah Belanda menggolongkan mereka sama dengan “orang-orang pribumi”, setingkat lebih rendah dari orang-orang Eropa, dalam hal hukum mereka dianggap sebagai kaula negara Belanda. Namun, orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda digolongkan sebagai “orang-orang asing”, bahkan

(10)

untuk tujuan statistik mereka digolongkan sebagai “Orang Timur Asing” yang dibedakan dari “Orang-orang Eropa” dan “Bumiputera”.

Penggolongan-penggolongan tersebut sesungguhnya melukai perasaan orang-orang Tionghoa, dan pada saat rasa nasionalisme Cina tumbuh menjelang abad ke 20, maka baik orang-orang Tionghoa yang di negeri Cina maupun yang berada di Laut Cina Selatan menuntut dihapusnya penggolongan tersebut. Pemerintah Manchu pada waktu itu mulai menekan pemerintah Hindia Belanda untuk dapat menempatkan konsul-konsulnya di negeri koloni guna menghapus segala bentuk diskriminasi hukum bagi orang-orang Cina di Hindia Belanda. Melihat kondisi tersebut pemerintah Cina pada tahun 1909 mengumumkan undang-undang kewarganegaraan yang menganut asas ius sanguinis, yaitu kewarganegaraan yang ditentukan dari garis keturunan. Undang-undang tersebut yang kemudian menjadi inti pokok masalah dwi kewarganegaraan bagi orang-orang Tionghoa di perantauan.

Pemerintah Belanda pada tahun 1910 membalas dengan diberlakukannya Undang-undang Kekawulaan Negara Belanda (Wet op het Nederlandsch onderdaanschap atau WNO) yang menganut asas ius soli, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat kelahiran orang tersebut. Undang-undang Kekawulaan Negara Belanda tahun 1910 ini berisi peraturan mengenai kaula negara Belanda dari penduduk Hindia Belanda, menyatakan bahwa mereka yang lahir di Hindia Belanda dari orang tua yang bertempat tinggal disana, jika bapaknya tidak diketahui dari ibunya yang bertempat tinggal di sana dan masih ada beberapa kelompok orang yang bertautan

(11)

WET dari Belanda sekalipun mereka itu bukan orang Belanda menurut tahun 1892 (Paulus, 1983: 156). Penentuan UU 1910 tersebut mengakibatkan seorang anak dapat dipisahkan status kewarganegaraannya dari orang tuanya. Undang-undang tersebut juga masih membedakan antara “warganegara” yaitu warga dari sebuah negara dengan “kaulanegara Belanda” yaitu semua orang yang lahir di negeri jajahan Belanda seperti Suriname, Hindia Belanda dan Antillen (Paulus,1983:164).

Dengan demikian baik pemerintah Belanda maupun pemerintah Cina sama-sama memiliki hak yuridis atas orang-orang Tionghoa kelahiran Hindia Belanda. Masalah ini kemudian dibawa ke meja perundingan antara pemerintah Cina dan Belanda. Perundingan tersebut menghasilkan penandatanganan Perjanjian Konsuler tahun 1911. Hakikat perjanjian itu adalah bahwa pemerintah kekaisaran Cina mengakui bahwa orang Tionghoa yang tinggal di Hindia Belanda selama di negeri Belanda dan wilayah kekuasaannya tunduk pada undang-undang Belanda. Namun bila mereka keluar dari wilayah kekuasaan Belanda mereka bebas menentukan kebangsaannya. Sebaliknya Belanda menyetujui pembukaan konsulat Cina di Hindia Belanda yang akan bertindak sebagai perwakilan dagang. Perjanjian konsuler tersebut berlaku untuk lima tahun dan akan diperbarui setiap tahun.

Meskipun telah ada perjanjian konsuler, namun pada kenyataannya pemerintah RRC tetap melindungi keturunan Tionghoa di perantauan. Hal ini dapat diketahui dari kasus Oen Keng Hian, seorang pegawai bank Belanda di Pulau Jawa. Pada tahun 1926 Oen menggelapkan uang dalam jumlah besar dan

(12)

melarikan diri ke negeri Cina. Atas permintaan konsul Belanda, Oen ditahan di Shanghai. Kasus ini menimbulkan perselisihan antara pemerintah Belanda dan pemerintah RRC yang memasalahkan status kewarganegaraan Oen. Pemerintah Belanda beranggapan bahwa Oen adalah kawula kerajaan Belanda, maka ia harus diadili di Jawa. Namun pemerintah RRC bersikeras bahwa Oen adalah warga negara Cina yang hanya dapat diadili di Cina. Argumentasi pemerintah RRC adalah bahwa Oen belum pernah menyatakan melepas kewarganegaraan Cina-nya, maka ia tetap warga negara RRC. Akhirnya Oen diadili oleh pengadilan campuran dan dapat keluar dari tahanan dengan membayar uang tanggungan (Suryadinata, 1984: 122).

Perjanjian konsuler diatas kemudian membawa dampak pada jaman Indonesia merdeka, yaitu kewarganegaraan ganda. Timbulnya kewarganegaraan ganda ini karena perbedaan sistem penentuan kewarganegaraan yang dianut oleh pemerintah Indonesia dengan pemerintah Cina. Pemerintah Indonesia menganut sistem ius soli, sedangkan pemerintah Cina menganut sistem ius sanguinis.

Adanya dua sistem tersebut menjadikan etnis Tionghoa di perantauan mendapatkan status dwi kewarganegaraan. Segala sesuatu menjadi sulit setelah pemerintah Cina Nasionalis memperlihatkan sikap mempertahankan para warganegaranya sedapat mungkin. Pemerintah Cina tetap berpegang teguh pada Undang-undang Kewarganegaraan Cina Taiwan yang ditetapkan pada tahun 1929. Dalam undang-undang tersebut tidak ada cara bagi seorang Tionghoa untuk menanggalkan kewarganegaraan Cina kecuali mendapat izin dari Menteri Dalam Negeri Cina. Menteri hanya dapat memberikan izin bila yang bersangkutan telah

(13)

menjalankan wajib militer untuk Angkatan Bersenjata Cina (Suryadinata, 1984:121).

Pada tahun 1949 situasi politik di Cina mengalami perubahan, yaitu dengan jatuhnya pemerintahan Kuo Min Tang di negeri Cina daratan yang kemudian digantikan oleh pemerintahan komunis yang dipimpin oleh Mao Zedong. Rezim Kuo Min Tang yang dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen membentuk negara sendiri yang kini dikenal dengan Cina Taiwan. Sejak saat itu orang-orang Tionghoa terbagi dalam tiga kelompok, yaitu Cina daratan dengan pusatnya di Peking yang dipimpin oleh Mao Zedong, kemudian Cina Taiwan yang dipimpin oleh Kuo Min Tang dan Cina yang dianggap berdiri sendiri berbeda dari dua kelompok terdahulu yaitu Cina Singapura dan Cina Hongkong. Kedua golongan Cina yang pertama, yaitu Peking dan Taiwan saling berebut pengaruh terhadap para Tionghoa perantauan di negara-negara Asia Tenggara. Kedua kelompok ini berusaha menggunakan para Tionghoa perantauan ini sebagai kekuatan politik di luar negerinya. Hal ini penting karena dari para perantau tersebut diperoleh uang jutaan dolar yang selalu dikirim kedaratan Cina yang sangat berpengaruh dalam memperkuat posisi devisa pemerintah Cina. Dalam usaha memperebutkan pengaruh ini pemerintah Cina daratan berusaha membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia dengan tujuan utama untuk memutuskan ikatan Cina di Asia Tenggara dengan Cina Taiwan.

Karena undang-undang kewarganegaraan Cina yang ditetapkan pada tahun 1929 ini tidak diubah pada saat orang-orang komunis Cina berkuasa di Cina, maka pemerintah Indonesia yang non komunis khawatir akan intervensi RRC melalui

(14)

warga negara Indonesia keturunan Cina. Ditambah lagi dengan politik pemerintah RRC terhadap para imigran Cina di Asia Tenggara ini juga dijadikan alat penyebaran ideologi negaranya. Pemerintah RRC tetap mengikat dan memelihara kesetiaan para warganya yang merantau untuk tetap cinta pada bangsa dan negeri leluhurnya(Hidajat, 1993: 70). Sebagai contoh adalah berdirinya organisasi kamar dagang Shiang Hwee pada tahun 1909. Organisasi dagang ini selain bertujuan untuk melindungi kepentingan dagang orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda juga sebagai wadah yang mengumpulkan dana bantuan material untuk negeri leluhurnya. Penyebaran ideologi komunis juga dilakukan oleh pemerintah Cina melalui sekolah-sekolah Tionghoa perantauan. Pemerintah komunis Mao Zedong membentuk kader-kader guru yang diambil dari Tionghoa perantauan. Mereka diberi bea siswa untuk menyelesaikan sekolahnya diperguruan-perguruan tinggi di negeri Cina. Sehingga setelah selesai studinya mereka kembali ke negara tempat mereka merantau dan bertugas sebagai guru yang juga membawa misi untuk menanamkan ajaran komunis (Hidajat, 1993: 93).

Berdasarkan hal-hal diatas, pemerintah Indonesia mengadakan pendekatan kepada pemerintah RRC untuk mencari jalan keluar bagi masalah dwi kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia. Bersamaan dengan niat pemerintah RI ini, pemerintah RRC pun ingin memainkan peranan yang besar dalam percaturan politik dengan menjalin hubungan baik dengan negara-negara tetangga yang mencurigainya. Dengan demikian kepentingan keduabelah pihak, RI dan RRC dapat dipertemukan untuk bersama-sama memecahkan masalah.

(15)

Usaha-usaha pemerintah RI untuk mewujudkan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan ini diawali pada masa kabinet Ali yang disampaikan kepada Parlemen pada tahun 1953. Pada saat itu dikemukakan usul untuk membuat untuk undang-undang kewarganegaraan yang akan membawa akibat terhadap status hukum orang-orang Tionghoa perantauan di Indonesia. Pada bulan Februari 1954 rancangan itu telah siap, namun karena belum ada pembicaraan dengan pihak RRC mengenai aspek-aspek tertentu dari undang-undang yang diusulkan tersebut, maka undang-undang yang diusulkan itu, maka undang-undang tersebut belum dapat diberlakukan.

Rancangan undang-undang tersebut timbul dari memuncaknya ketidakpuasan terhadap akibat-akibat perumusan KMB. Dalam hasil Konferensi Meja Bundar tahun 1949, dikatakan bahwa orang-orang Tionghoa yang semula kaula negara Belanda diberi kesempatan untuk memilih kewarganegaraannya. Mereka dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia secara otomatis atau memperkokoh kewarganegaraan Cina dengan penolakan secara resmi kewarganegaraan Indonesia. Kesempatan untuk memilih ini diberikan selama dua tahun dari tahun 1949 sampai dengan tahun 1951. Selama periode tersebut banyak peranakan Tionghoa yang dituntut sebagai warganegara baik oleh pemerintah Indonesia maupun RRC. Namun dalam pelaksanaannya orang-orang keturunan Tionghoa yang tidak melakukan penolakan terhadap kewarganegaraan Indonesia ternyata secara hukum tetap memiliki kewarganegaraan Cina. Hal ini berarti isi perjanjian KMB tersebut tidak menyelesaikan masalah kewarganegaraan orang-orang Tionghoa di Indonesia. Kabinet Ali berkesimpulan bahwa keadaan tersebut

(16)

harus segera diperbaiki. Sebelum kabinet Ali, tidak ada satu pemerintah pun yang siap untuk menggarap masalah tersebut.

Oleh karena itu, pemerintah RRC tetap menjalankan politik kebudayaan guna memelihara kesetiaan para emigran untuk selalu setia pada bangsa dan negeri leluhurnya. Dengan demikian keuntungan yang mereka peroleh dari berdagang di negeri orang mereka gunakan untuk membangun negeri leluhurnya. Ikatan yang erat ini oleh pemerintah RRC juga digunakan untuk menyebarkan ideologinya melalui para emigran tersebut (Hidajat, 1993: 70).

Dengan dijalankannya politik kebudayaan tersebut maka pemerintah RI menghendaki perubahan-perubahan di dalam hubungannya dengan beberapa negara Asia Tenggara sampai pada suatu tingkat yang berarti untuk dapat menekan pemerintah RRC. RRC harus mengubah masalah-masalah yang tidak berkenan bagi negara lain sehubungan dengan minoritas Tionghoa yang dapat digunakan demi keuntungannya. Apabila RRC dapat melepaskan tuntutannya terhadap kewarganegaraan Cina yang lahir di luar negeri maka hal itu merupakan suatu dorongan bagi beberapa negara Asia Tenggara untuk memajukan hubungannya dengan RRC.

Masalah di atas juga dikemukakan oleh Duta Besar Mononutu setibanya di Peking. Dalam kesempatan tersebut Dubes RI ini mengajukan pemecahan masalah kewarganegaraan orang-orang Tionghoa dan mendapat tanggapan positif dari Perdana Menteri Chou En-lai. Menurut Mononutu, pemimpin Cina itu menyatakan bahwa dengan menyetujui untuk membicarakan masalah kewarganegaraan saja sudah merupakan suatu langkah besar, karena akan

(17)

melepaskan politik tradisional Cina. Selain itu, pemerintah RRC juga mengemukakan bahwa bila perjanjian dengan Jakarta berhasil maka akan diperluas dengan negara-negara lain secara bilateral.

Sebagai tindak lanjut atas pembicaraan di atas maka pada tanggal 24 November dan 23 Desember 1954 dikirim suatu tim khusus ke Peking untuk melakukan perundingan pertama. Perundingan ini diakhiri dengan persetujuan formal mengenai Perjanjian Dwi Kewarganegaraan pada tanggal 22 April 1955 tepat pada waktu Konferensi Asia-Afrika berlangsung.

Sikap keras pemerintah Cina terhadap status dwi kewarganegaraan orang-orang Tionghoa peranakan ini berubah pada pertengahan tahun 1955 saat tukar menukar pandapat antara Chou En-lai dan Ali Sastroamidjojo. Pada kesempatan tersebut Chou menyatakan bahwa adalah merupakan hak pemerintah Indonesia untuk memutuskan siapa yang boleh menjadi warganegara Indonesia dan siapa yang tidak boleh bagi orang-orang dari golongan Cina (Suryadinata, 1984: 121).

Tukar menukar pendapat antara Chou En-lai dan Ali Sastromidjojo dilanjutkan dalam perundingan antara Jakarta dan Peking. Pada tanggal 22 April 1955, bersamaan dengan berakhirnya Konfrensi Asia-Afrika, perjanjian mengenai dwi kewarganegaraan ditandatangani. Maksud perjanjian tersebut adalah untuk memberikan pemisahan yang tegas antara warganegara Indonesia dengan warganegara RRC, sehingga dapat diambil tindakan-tindakan ke arah tercapainya suatu proses asimilasi, untuk menjadi bangsa yang homogen.

Perjanjian tersebut memuat ketentuan untuk memilih salah satu di antara dua kewarganegaraan dalam waktu dua tahun setelah perjanjian itu mulai berlaku.

(18)

Ketentuan ini dikenakan bagi mereka yang sudah dewasa, yaitu telah berusia 18 tahun atau sudah (pernah) kawin. Bagi anak yang belum dewasa kewarganegaraan mereka ditentukan oleh kedua orang tuanya. Untuk seorang warganegara RI yang kawin dengan warganegara RRC, maka masing-masing tetap memiliki kewarganegaraan yang dimilikinya ketika sebelum kawin, kecuali bila salah satu dari mereka dengan kehendak sendiri memohon dan memperoleh kewarganegaraan yang lain.

Selain itu perjanjian tersebut juga menggunakan sistem aktif untuk pelaksanaan pemilihan kewarganegaraan. Dalam sistem ini seseorang dalam menentukan pilihannya harus menyatakan menerima kewarganegaraan yang satu dan melepas kewarganegaraan yang lain dihadapan petugas negara yang kewarganegaraannya dipilih.

Pada awalnya pemerintah Cina menghendaki digunakannya sistem pasif, yaitu penerimaan kewarganegaraan secara otomatis tanpa adanya pernyataan di depan pengadilan, seperti yang sudah berjalan sampai saat itu, tetapi pemerintah Indonesia menolaknya dan menghendaki sistem aktif. Sistem aktif, yaitu penerimaan atau pelepasan suatu kewarganegaraan yang harus dilakukan dengan membuat pernyataan di depan pengadilan, dikehendaki oleh pemerintah Indonesia karena berkaitan dengan ketidak percayaan pemerintah kepada kelompok minoritas Tionghoa yang tidak hanya secara ekonomi kuat, melainkan juga tak dapat berasimilasi. Di samping sistem aktif ini untuk menunjukkan kesetiaan dan kesungguhan mereka kepada pemerintah juga dimaksudkan untuk membatasi kewarganegaraan orang-orang Tionghoa di Indonesia (Suryadinata, 1984: 118).

(19)

Menanggapi keinginan pemerintah Indonesia yang menghendaki digunakannya sistem aktif, akhirnya pemerintah Cina menyetujui hampir semua usul pemerintah Indonesia. Menurut pemerintah RRC pada dasarnya sistem pasif yang telah dilaksanakan selama ini sebenarnya juga akan memberikan hasil yang kurang lebih sama dengan sistem aktif. Kesediaan pemerintah Cina untuk menggunakan sistem aktif tidak lepas dari masalah-masalah etnis Tionghoa di luar negeri yang sejak pemerintahan Cina terdahulu tidak pernah diselesaikan secara tuntas. Maka perjanjian dengan pemerintah Indonesia ini merupakan salah satu kesempatan bagi pemerintah RRC untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan cepat.

Ketentuan-ketentuan yang tercantum di atas dimuat dalam Undang-undang No. 2 Tahun 1958 dan peraturan-peraturan pelaksanaan (PP No.20 Tahun 1959 jo PP No. 5 Tahun 1961) (Paulus, 1983: 299). Undang-undang dwi kewarganegaraan mensyaratkan bahwa penolakan kewarganegaraan Cina harus dilakukan di Pengadilan Negeri di Indonesia, atau di kedutaan-kedutaan atau di konsulat-konsulat Indonesia untuk orang Tionghoa di luar negeri. Setiap orang yang mempunyai kewarganegaraan ganda harus menolak kewarganegaraan Cina dalam periode antara 20 Januari 1960 sampai dengan 20 Januari 1962. Di luar periode itu dengan sendirinya akan kehilangan kewarganegaraan Indonesia (Siong, 1958:170).

Usaha-usaha dari RI dan RRC dalam mewujudkan perjanjian ini yaitu pertukaran nota Perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara Perdana Menteri kedua negara pada tanggal 3 Juni 1955 di Peking. Nota tersebut mengatur tentang

(20)

kewarganegaraan rangkap yang harus dipilih salah satu. Dalam pidatonya Menlu RRC Tjen Ji mengatakan bahwa upacara penandatanganan mengenai pertukaran piagam ratifikasi perjanjian Cina-Indonesia telah disahkan oleh kedua pihak menurut prosedur Undang-Undang Dasar masing-masing. Hal ini dilakukan mengingat perantau Tionghoa mempunyai dwi kewarganegaraan adalah tidak wajar. Status tersebut bukan hanya merugikan perantau Cina tetapi ada kemungkinan dapat dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan yang memusuhi persahabatan kedua negara untuk mengadu domba. Oleh karena itu pemerintah Tiongkok senantiasa bersikap aktif dan secara sungguh-sungguh berusaha untuk bersama-sama menyelesaikan masalah tersebut (Warta Bandung, 1959: II).

Untuk melaksanakan perjanjian tersebut pemerintah Indonesia membentuk suatu panitia yang dilantik pada tanggal 25 Januari 1960 oleh Menteri Luar Negeri Subandrio. Panitia ini dibentuk untuk menyelesaikan masalah dwi kewarganegaraan dengan bijaksana agar perjanjian tersebut dapat dilaksanakan dengan lancar.

Perjanjian Dwi Kewarganegaraan tersebut diratifikasi dalam undang-undang No. 2 Tahun 1958 dan disahkan di Jakarta pada 11 Januari 1958. Undang-undang No. 2 Tahun 1958 ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah kewarganegaraan yang ada pada waktu itu dan mencegah timbulnya dwi-kewarganegaraan di kemudian hari. Masalah dwi-dwi-kewarganegaraan diselesaikan dengan cara menghilangkan salah satu kewarganegaraan yang serempak dimiliki seseorang. Pada hakikatnya dalam perjanjian tersebut diatur dan ditentukan siapa saja orang Tionghoa di Indonesia yang diakui berstatus WNI dan siapa saja yang

(21)

berstatus warga negara RRC. Untuk itu kedua belah pihak menyepakati hal-hal berikut ini :

1. Suatu golongan yang mempunyai dwi kewarganegaraan dianggap tidak mempunyai kewarganegaraan rangkap lagi, karena menurut pendapat Pemerintah Indonesia kedudukan sosial politik mereka membuktikan bahwa mereka dengan sendirinya telah melepaskan kewarganegaraan RRC- nya.

2. Mereka yang berkewarganegaraan rangkap selain butir a, harus memilih dengan kehendak sendiri salah satu kewarganegaraan yang akan mereka pertahankan. Dengan ketentuan bahwa mereka yang tidak menyatakan pilihannya menjadi warga negara asing. Suami/ istri yang berkewarganegaraan rangkap menentukan pilihannya masing-masing. Dan selama anak belum dewasa, mengikuti pilihan bapak/ ibunya. Dan jika telah dewasa anak tersebut harus memilih salah satu kewarganegaraan.

Pasal X Perjanjian Dwi Kewarganegaraan menentukan bahwa apabila seorang warga negara Indonesia kawin dengan seorang warga negara RRC, masing-masing tetap memiliki kewarganegaraan asal, kecuali apabila salah satu dari mereka dengan kehendak sendiri memohon dan memperoleh kewarganegaraan dari partnernya. Apabila ia memperoleh kewarganegaraan partnernya, dengan sendirinya akan kehilangan kewarganegaraan asalnya. Dari sudut ketentuan Indonesia, ketentuan tersebut merupakan ketentuan khusus dari ketentuan umum yang diatur dalam Undang-Undang No. 68 Tahun 1958.

(22)

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1959 merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958. peraturan tersebut antara lain menjelaskan bahwa mereka yang melepas kewarganegaraan RRC, harus membuat pernyataan, baik secara lisan maupun tertulis. Mereka yang menyatakan penolakan secara tertulis akan diberi ”surat pernyataan melepaskan kewarganegaraan RRC untuk tetap menjadi warga negara RI”. Sedangkan mereka yang membuat pernyataan lisan akan diberi ”Surat catatan pernyataan keterangan melepaskan kewarganegaraan RRC untuk tetap menjadi warga negara Indonesia”. Selanjutnya diatur siapa saja orang Tionghoa yang terkena dan dianggap mempunyai dwi kewarganegaraan dan mereka diharuskan membuat pernyataan melepaskan diri dari warga negara RRC.

Dalam Pasal 12 Bab II Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1959 disebutkan bahwa ada berbagai kelompok Warga Negara Indonesia yang dikelompokkan sebagai Warga Negara Indonesia tunggal atau mereka yang tidak diperkenankan untuk memilih kewarganegaraan RI-RRC dan tetap menjadi Warga Negara Indonesia, yaitu mereka yang berstatus tentara, veteran, pegawai pemerintah, mereka yang pernah membela nama Republik Indonesia di dunia Internasional, petani, bahkan secara implisit mereka yang sudah mengikuti Pemilu 1955. Namun peraturan ini tidak pernah dilaksanakan sehingga pemilihan kewarganegaraan RI atau RRC tetap diterapkan kepada mereka.

Bagi mereka yang berkewarganegaraan ganda disediakan sejumlah formulir pernyataan. Terdapat enam jenis formulir bagi orang-orang Tionghoa yang dianggap mempunyai dwi kewarganegaraan. Lima dari enam jenis formulir

(23)

tersebut dituangkan padaa PP No. 20 Tahun 1959 (formulir I-V), sedangkan satu jenis formulir lainnya (formulir VI) adalah perwujudan dari PP No. 5 Tahun 1961. Masing-masing formulir tersebut yang menunjukkan latar belakang pemohon dan merupakan indikator penting untuk menelusuri keabsahan keterangan kewarganegaraan RI, khususnya dalam rangka menentukan status kewarganegaraan para keturunan mereka di kemudian hari (Poerwanto, 2005: 241). Surat pernyataan keterangan ini merupakan surat bukti langsung tentang kewarganegaraan Republik Indonesia bagi orang yang menyatakan keterangan tersebut dan bagi anak-anak yang belum dewasa yang disebut di dalam surat itu selama anak-anak tersebut belum dewasa. Perjanjian Dwi Kewarganegaraan RI-RRC yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958 pada tanggal 11 Januari 1958 dan diimplementasikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1959 dengan masa opsi mulai tanggal 20 Januari 1960 sampai 20 Januari 1962 telah menyelesaikan permasalahan dwi kewarganegaraan RI-RRC.

Pada tanggal 10 April 1969, Undang-Undang No.2 Tahun 1958 dicabut dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1969. Pencabutan ini dilakukan karena menurut Titi Sumbung (Suryadinata, 1984: 128-129):

”perjanjian tersebut, sebagaimana diuraikan oleh seorang pengacara peranakan, tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana yang dimaksudkan karena sebagian besar orang yang berkewarganegaraan ganda telah memilih warga negara Indonesia pada akhir 1961”.

Berdasarkan ketentuan yang baru, mereka yang memiliki status warga negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1958 tetap menjadi warga negara Indonesia. Demikian juga dengan keturunannya atau mereka yang mempunyai hubungan hukum dengannya. Untuk selanjutnya mereka tunduk

(24)

kepada Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 mengenai kewarganegaraan Republik Indonesia.

Sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1969, Menteri Kehakiman mengeluarkan Surat Edaran No. DTB/16/4 tentang Penyelesaian Pernyataan Memilih Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958 yang menentukan bahwa semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958 tidak dapat dipergunakan lagi mulai tanggal 10 April 1969. Surat Edaran tersebut kemudian diikuti oleh Surat Edaran Menteri Kehakiman No. DTC/9/11, tanggal 1 Juli 1969, yang ditujukan kepada semua ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Surat Edaran ini memberikan pedoman kerja, salah satunya adalah Pengadilan Negeri dapat mengeluarkan Surat Keterangan Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKKRI) bagi orang-orang yang mempunyai kewarganegaraan Republik Indonesia menurut Pasal 7 ayat (2), Pasal 9, dan Pasal 13 Undang no. 62 Tahun 1958.

Dengan demikian, setelah Perjanjian Dwi Kewarganegaraan tersebut dibatalkan pada 10 April 1969 dengan UU No 4/1969, permasalahan status WNI Tionghoa sudah terselesaikan dan anak-anak WNI Tionghoa yang lahir setelah tanggal 20 Januari 1962 sudah menjadi WNI tunggal, yang setelah dewasa tidak diperbolehkan lagi untuk memilih kewarganegaraan lain, selain kewarganegaraan Indonesia (Penjelasan Umum UU No 4/1969) dan tidak perlu lagi membuktikan kewarganegaraan dengan SBKRI.

(25)

IV.3. Dampak Terbentuknya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan

Pada tanggal 22 April 1955 telah tercapai perjanjian antara pemerintah RI dan RRC mengenai masalah dwi kewarganegaraan, dan perjanjian tersebut telah diundangkan pada tanggal 27 Januari 1958 (Lembaran Negara No.5 Tahun 1958). Dengan dilaksanakannya perjanjian tersebut dalam waktu dua tahun, secara yuridis formal orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia yang memilih dan menentukan kewarganegaraannya sesuai dengan perjanjian tersebut. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa perjanjian tersebut tidak menyelesaikan persoalan dwi kewarganegaraan, karena pada saat itu masih terdapat kekaburan kewarganegaraan diantara orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia. Sebagaimana Titi Sumbung mengungkapkan masalah-masalah yang dihadapi tentang pelaksanaan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan (Sinar Harapan, 26 dan 28 Februari 1969) yaitu :

1. Sebagian besar dari mereka telah memilih kewarganegaraan RI dan melepaskan kewarganegaraan RRT.

2. Banyak diantara mereka juga dengan perjanjian ini seruan RRT atau tidak menggunakan kesempatan yang diberikan oleh perjanjian tersebut. Sehingga secara yuridis formal mereka warga neagra RRT. Tetapi secara sosial-psikologis mereka acuh tak acuh dengan kewarganegaraan RRT-nya sebab mereka merasa tidak ada pilihan lain dengan tidak diakuiRRT-nya Republik Cina Taiwan oleh pemerintah Indonesia pada saat itu. Orang yang berstatus demikian ini lebih banyak lagi jumlahnya sekarang. Dengan dibekukannya hubungan diplomatik RI-RRT dan dibukanya hubungan Indonesia-Taiwan, meskipun secara tidak resmi, sehingga banyak diantara mereka yang tidak memilih berdasarkan perjanjian tersebut, atas permintaan sendiri minta “pasport Stateless” dan menjadi tanpa kewarganegaraan.

3. Kepada anak-anak yang belum dewasa, setelah mereka dewasa 18 tahun diharuskan memilih kewarganegaraan meskipun orang tuanya berdasarkan perjanjian ini sudah menjadi orang Indonesia. Keadaan juga demikian ini akan berlaku terus, juga kepada anak-anak yang dilahirkan setelah perjanjian tersebut selesai dilaksanakan (1961) karena dalam pasal XIV dari perjanjian tersebut ditetapkan bahwa perjanjian ini

(26)

berlaku untuk 20 tahun dan sesudah 20 tahun akan terus berlaku, kecuali salah satu pihak hendak memutuskannya.

Dengan demikian terus menerus status kewarganegaraan anak-anak keturunan Tionghoa masih belum jelas, yaitu masih berstatus sementara, begitu ia sudah berumur 18 tahun, dalam waktu satu tahun ia harus memilih warga negara RI ataukah RRC, jika ia memilih kewarganegaraan RI maka ia harus menyatakan melepaskan kewarganegaraan RRC, demikian juga sebaliknya. Dengan dibekukannya hubungan diplomatik antara RI-RRC, pernyataan melepaskan kewarganegaraan RRC sudah tidak mempunyai arti lagi, sedangkan bagi mereka yang mau memilih kewarganegaraan RRC, praktis sudah tidak ada yang menampung lagi dengan kenyataan-kenyataan tersebut sudah jelas bahwa perjanjian tersebut tidak mampu menyelesaikan persoalan, yang ada justru merugikan kepentingan-kepentingan nasional bangsa Indonesia (Sinar Harapan, 28 Februari 1969).

Selain berdampak kepada kepentingan nasional bangsa Indonesia, terbentuknya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan pada tahun 1955, tentunya menimbulkan dampak bagi kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia. Baik dampak dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial-budaya.

1. Dampak dalam Bidang Politik

Orang-orang Tionghoa dalam perkembangan politik di Indonesia, bersikap dan bertindak dengan dasar politik “menumpangkan nasib”. Bagi mereka siapa saja yang memegang pemerintahan Indonesia, tidak menjadi soal bagi mereka. Dengan politik demikian mereka berhasil menyelamatkan kedudukannya. Pada waktu kemerdekaan ada sepenuhnya ditangan bangsa Indonesia, mereka merasa

(27)

khawatir, cemas oleh karena merasa kehilangan perlindungan dari Belanda. Itulah sebabnya mereka berusaha untuk mencari perlindungan kepada pemerintah di negeri leluhurnya (Hidayat, 1993: 110).

Pada periode banyak partai, muncul sebuah partai orang-orang Tionghoa yang berorientasi pada konsep integrasi, yaitu Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI). Akan tetapi umur partai tersebut tidak lama karena tak dapat bertahan mengahadapi tumbuhnya kecenderungan untuk berbaur di kalangan peranakan, sikapnya yang apatis terhadap masalah politik dan sosial, serta ketidakacuhan golongan totok, para penganut konsep pembauran mendorong Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa untuk bergabung dengan berbagai partai yang di dominasi pribumi dan tidak menjadi elite yang secara rasial, ekonomi, dan kultural berbeda.

Pada masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) terdapat beberapa orang Tionghoa yang menjadi anggota parlementer dan menteri, delapan orang etnis Tionghoa menjadi anggota DPRS yaitu: Siauw Giok Tjhan, Tan Boen Aan, Tan Po Gwan, Teng Tjin Leng, Tjoa Sie Hwie, Tjoeng Lin Sen (pada bulan Agustus 1954 diganti Tio Kang Soen), Tjung Tin Jan dan Yap Tjwan Bing (pada bula Agustus 1954 diganti Tony Wen alias Boen Kim To). Di dalam kabinet Ali Sastroamidjojo I Dr. Ong Eng Die ditunjuk menjadi menteri keuangan dan Lie Kiat Teng menjadi menteri kesehatan. Dalam DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1955 terpilih beberapa orang etnis Tionghoa yaitu Oei Tjeng Hien (Masjumi), Tan Oen Hong dan Tan Kim Liong (NU), Tjung Tin Jan (Partai Khatolik), Lie Po Joe (PNI), Tjoo Tik Tjoen (PKI) dan Ang Tjiang Liat (Baperki). Sedangkan di

(28)

Konstituante terpilih sebagai anggota antara lain Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Koen seng, Oei Poo Djiang semuanya dari Baperki, Tony Wen dari PNI Oei Hay Djoen dan Tan Ling Djie dari PKI.

Di masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Siauw Giok Tjhan ditunjuk menjadi anggota DPR-GR mewakili golongan fungsional. Kemudian dalam kabinet kerja ke IV, Kabinet Dwikora yang disempurnakan, Oei Tjoe Tat diangkat menjadi Menteri Negara diperbantukan kepada Presiden RI dan David Gee Cheng diangkat menjadi Menteri Ciptakarya dan Konstruksi dalam Kabinet Dwikora yangdisempurnakan.

(http://www.munindo.brd.de/artikel_04/mrt04_peranan_tionghoa_1html).

Namun, kondisi menjadi berubah dengan adanya gejala-gejala disintegrasi dalam bidang politik, sosial dan ekonomi Indonesia menjelang akhir tahun 1950-an, kemenangan-kemenangan di parlemen, kemajuan ekonomi pada umumnya, dan perpecahan yang semakin besar di antara orang-orang totok yang tidak mau berpartisipasi, golongan peranakan integrasionis, dan saingannya yakni golongan asimilasionis, bahkan ancaman hebat yang ada terhadap kehadiran orang Tionghoa di Indonesia. Seperti pengusiran orang Tionghoa dari daerah pedalaman, serta masalah-masalah lainnya yang membuat kehidupan orang Tionghoa di Indonesia tidak menentu.

Sebagai akibat dari keadaan tidak menentu tersebut, lahirlah Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang dibentuk pada tahun 1954 atas inisiatif Siauw Giok Tjhan. Organisasi tersebut terbuka untuk semua orang Indonesia, tanpa memandang ras, dan tujuannnya yaitu untuk memilih dan

(29)

mendukung calon-calon dalam partai-partai politik yang nonetnis dan non religius, serta untuk memperjuangkan perlakuan yang sama terhadap semua WNI (Greif, 1991: 14).

Di masa Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin perlu dicatat peranan Baperki sebagai ormas terbesar yang mewakili etnis Tionghoa dalam memperjuangkan hak-hak dan kepentingan etnis Tionghoa, dan melawan setiap bentuk diskriminasi. Baperki secara aktif membantu orang-orang Tionghoa yang ingin memilih warga negara Indonesia. Demikian juga Baperki mendirikan sekolah-sekolah dan universitas untuk menampung anak-anak Tionghoa yang membutuhkan pendidikan terutama anak-anak Tionghoa WNI yang harus meninggalkan sekolah-sekolah berbahasa pengantar Tionghoa sesuai peraturan yang berlaku.

Pada hakikatnya Baperki itu bersifat Cina dan peranakan, untuk menggantikan PDTI yang tidak bertahan lama. Pada awalnya Baperki tidak menganut sesuatu ideologi dan pada dasarnya integrasionis, yakni menginginkan agar golongan Tionghoa menjadi sebuah suku bangsa di samping suku-suku bangsa Indonesia lainnnya yang sudah ada.

Dalam menyelesaikan masalah minoritas Tionghoa, Baperki di bawah pimpinan Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan, Oei Tjoe Tat, mengembangkan doktrin nation building dan integrasi, yaitu sebuah doktrin yang ingin membangun sebuah bangsa yang bersih dari diskriminasi rasial serta adanya kesamaan hak dan kewajiban warga negaranya tanpa mempermasalahkan asal-usulnya dan mengintegrasikan etnis Tionghoa secara utuh ke dalam tubuh bangsa Indonesia.

(30)

Secara sederhana integrasi adalah suatu proses percampuran etnis Tionghoa ke dalam bangsa Indonesia, tanpa meninggalkan budaya asalnya. Dalam pengertian yang lebih spesifik, integrasi ini lebih tepat sebagai “penggabungan” etnis Tionghoa ke dalam bangsa Indonesia, sebagai “suku baru” lengkap dengan budayannya.

Nation yang bersih dari diskriminasi hanya dapat terwujud di dalam masyarakat sosialis yang bersih dari penghisapan manusia atas manusia atau golongan mayoritas terhadap golongan minoritas dan sebaliknya. Doktrin integrasi meyakini kebenaran konsep kemajemukan atau pluralisme bangsa Indonesia seperti yang dinyatakan para founding fathers bangsa Indonesia dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Adalah suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, etnis, ras dan agama beserta budayanya masing-masing.

Pada awalnya Baperki menguntungkan, namun selanjutnya Baperki larut ke dalam kemelut politik Indonesia. Dalam perkembangannya, Baperki ternyata harus menghadapi situasi tarik menarik antara kekuatan-kekuatan politik kiri dan kanan. Untuk mengatasinya Baperki dengan doktrin integrasinya tidak memiliki pilihan lain, selain berdiri di belakang Presiden Soekarno yang sedang dengan gencar melaksanakan konsep Manipol-Usdek dan persatuan Nasakom. Karena mendukung politik Presiden Soekarno, tentunya Baperki berada dalam satu barisan bersama seluruh kekuatan revolusi pada masa itu, seperti PNI, PKI, Partindo, Partai Khatolik, NU, PSII dsb. Dalam rangka perjuangan mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia yang bersih dari penghisapan manusia atas manusia.

(31)

Kondisi ini menyebabkan Baperki lebih dekat dengan PKI, PNI, Partindo serta kekuatan-kekuatan pendukung Soekarno lainnya. Terutama dengan PKI yang selalu mendukung Baperki dalam perjuangannya menentang diskriminasi rasial, baik di DPR maupun di forum-forum lainnya dan di media massa Harian Rakyat, atau di lapangan seperti apa yang dilakukan PKI dalam menentang peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung dan kota-kota lainnya di Jawa Barat. Hal tersebut menyebabkan banyaknya etnis Tionghoa, khususnya anggota dan simpatisan Baperki yang bersimpati kepada PKI, Partindo dan ormas-ormasnya, selanjutnya turut bergabung di dalamnya.

Masalah kewarganegaraan bukan semata-mata masalah hukum, melainkan mencakup soal yang lebih kompleks, seperti loyalitas dan arti memiliki negara. Oleh karena itu dengan didirikannya organisasi di kalangan orang Tionghoa yakni Baperki,diharapkan dapat memecahkan masalah tersebut. Awalnya organisasi ini tujuan utamanya adalah membantu pemecahan masalah dwi kewarganegaraan. Akan tetapi organisasi tersebut cenderung berfungsi sebagai partai politik. Baperki ikut serta dalam Pemilihan Umum tahun 1955. Setelah Pemilihan Umum tahun 1955 dan krisis tahun 1957-1959, di bawah ketuanya Siauw Giok Tjhan yang pro komunis, organisasi tersebut beralih ke kiri. Hal tersebut menyebabkan reputasi Baperki menurun di mata publik. Setelah PKI mengejutkan dengan meraih sukses dalam pemilu tahun 1955 dan sikap simpatinya terhadap orang-orang keturunan Tionghoa yang dinyatakan secara terang-terangan., membuat aktivitas Baperki menjadi sejajar dengan aktivitas PKI, sebagai akibatnya

(32)

sentimen kaum pribumi yang anti komunis dan anti Cina makin besar. Mulai saat itu komunisme diasosiasikan dengan Cina.

Meskipun Baperki berhasil melindungi kepentingan bisnis orang Tionghoa, namun banyak kaum peranakan yang merasa kecewa pada Baperki yang berpindah haluan ke kiri dan mengeluarkan pernyataan yang kurang baik bahwa pembauran itu salah dan orang Tionghoa harus hanya berkeinginan untuk menjadi salah satu suku bangsa Indonesia. Karena itu Baperki dituduh berusaha untuk melestarikan sikap ekslusif orang Tionghoa.

Sementara itu sekelompok peranakan Tionghoa yang kebanyakan berpendidikan Belanda eks Chung Hwa Hui yang tidak setuju dengan doktrin integrasi, mengembangkan doktrin asimilasi total. Untuk itu pada tanggal 24 Maret 1960 di Jakarta dikeluarkan “Statement Asimilasi” yang dengan tegas berpendirian bahwa masalah minoritas hanya dapat diselesaikan dengan jalan asimilasi dalam segala lapangan secara aktif dan bebas. Para penanda tangan statement tersebut adalah sepuluh orang tokoh peranakan Tionghoa yang beberapa orang di antaranya ikut mendirikan Baperki, namun telah meninggalkannya pada tahun 1955. Di antara penanda tangan tersebut antara lain Mr. Tjung Tin Jan, Injo Beng Goat, Drs. Lo Siang Hien, Ong Hok Ham, Drs. Lauwchuantho (H.Junus Jahya) dan Mr. Auwjong Peng Koen (P.K.Ojong). Selanjutnya pada tanggal 13-15 Januari 1961, di Bandungan (Ambarawa) diselenggarakan Seminar Kesadaran Nasional yang menghasilkan “Piagam Asimilasi”. Di antara 30 penanda tangan piagam tersebut adalah Ong Hok Ham, Lauwchuantho dan Kwik Hway Gwan. (http://www.munindo.brd.de/artikel_04/mrt04_peranan_tionghoa_1html).

(33)

Dalam rangka melaksanakan doktrin asimilasi total dan menandingi serta mengahambat pengaruh Baperki, maka pada tahun 1963 dibentuk sebuah organisasi bernama Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) dengan ketuanya Ong Tjong Hai SH alias Kristoforus Sindhunatha, seorang Letnan Angkatan Laut dan mendapatkan dukungan penuh dari pimpinan Angkatan Darat dan tokoh-tokoh politik seperti Letkol Harsono, Mayor Ismail Hambali, Prof. Sunario SH., Drs. Radius Prawiro, Drs. Frans Seda, Roeslan Abdulgani, Harry Tjan, Djoko Sukarjo, dllnya. Para pemimpin organisasi tersebut terdiri dari orang-orang muda yang terpelajar dan bersikap agresif dalam mengejar tujuan pembaurannya banyak dari mereka yang telah mengganti namanya dengan nama Indonesia dan menganjurkan agar semua orang Tionghoa melakukannya. Bagi organisasi tersebut hanya ada dua kategori orang Indonesia yaitu WNI dan WNA, tanpa adanya perbedaan ras. LPKB dan kaum penganut pembauran muncul pada saat yang tepat, yaitu ketika kaum totok telah berkurang jumlahnya dengan terusirnya 100 ribu orang Tionghoa pada tahun 1959. Perjanjian Dwi Kewarganegaraan dengan RRC telah meningkatkan jumlah orang Tionghoa WNI yang memutuskan semua hubungan dengan Cina.

Salah satu program LPKB adalah pelaksanaan asimilasi di segala bidang kehidupan dengan menitikberatkan pada asimilasi sosial. Asimilasi dilaksanakan dalam lima bidang kehidupan yakni, asimilasi politik, asimilasi ekonomi, asimilasi kultural, dan asimilasi sosial. Semuanya harus dilaksanakan dengan seimbang dan sebaik-baiknya.

(34)

Setelah meletusnya peristiwa G 30 S tahun 1965, maka PKI dan Baperki dibubarkan, dan LPKB muncul untuk membuktikan bahwa tidak semua orang Tionghoa pro komunis. Memang ada perasaan anti Cina pada tahun 1965-1967 dan beberapa tindak kekerasan yang ditujukan terhadap mereka, terutama di Kalimantan pada tahun 1967, namun golongan Tionghoa berhasil menyelamatkan diri dan mendapat kesempatan dan arahan baru di bawah pemerintahan baru Jenderal Soeharto. Berbagai langkah dijalankan untuk membaurkan semua golongan Tionghoa di Indonesia. Semua sekolah berbahasa Cina ditutup, termasuk sekolah-sekolah Baperki, dan diubah menjadi sekolah-sekolah negeri. Semua surat kabar dan majalah Cina dilarang, kecuali satu koran yang bernama Yindunixiya Ribao atau Harian Indonesia, sebuah harian pemerintah yang terbit di Jakarta. Semua WNI keturunan Tionghoa dianjurkan untuk mengganti nama dan harus konsisten dengan kebangsaan yang mereka pilih.

Suara LPKB didengar dikalangan pemerintah baru yang para pemimpinnya menganggap betapa pentingnya proses pembauran. Dalam hal ini LPKB memainkan peranan penting dalam mengeliminasi budaya, tradisi, agama, dan bahasa Tionghoa seperti yang dituangkan dalam berbagai kebijaksanaan dan peraturan rezim Orde Baru. Adanya segi positif dari LPKB, dengan diprakarsai Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1974 dibentuk badan baru yang dinamakan Badan Pembina Kesatuan Bangsa DKI yang mirip dengan LPKB. Diantara 14 orang pengurusnya, empat diantaranya adalah orang Tionghoa yang salah satunya bekas pemimpin LPKB. Badan ini kemudian diambil alih pula oleh

(35)

pemerintah Orde baru dan diganti namanya menjadi Badan Komunikasi Pembinaan Kesatuan Bangsa (Bakom-PKB).

Dalam pandangan LPKB, untuk menjadi orang Indonesia, orang Tionghoa dianjurkan melebur kedalam penduduk Indonesia asli sehingga kaum minoritas Tionghoa tidak lagi akan menjadi suatu kelompok tersendiri. Paham asimilasi ini kemudian diambil alih oleh pemerintah Orde Baru untuk kepentingan politiknya, dan telah menyimpang dari tujuan semula. Salah satunya adalah anjuran untuk berganti nama yang cenderung dipaksakan. Para pencetus paham asimilasi kemudian satu persatu mengundurkan diri dari LPKB, dan akhirnya LPKB dibubarkan pemerintah.

Dengan munculnya dua kelompok atau paham besar pembauran yaitu kelompok integrasi yang bernama Baperki dan kelompok asimilasi yang bernama LPKB. Sejak terbentuknya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan, maka peran Baperki sebagai kelompok atau paham besar pembauran berusaha untuk mewujudkan integrasi serta menghilangkan diskriminasi di kalangan WNI keturunan Tionghoa. Namun demikian organisasi tersebut cenderung berfungsi sebagai partai politik. Sehingga tujuan utamanya yaitu membantu pemecahan masalah dwi kewarganegaraan menjadi terabaikan. Akan tetapi bila dilihat dari sisi lain, orang-orang Tionghoa WNI telah mampu turut serta secara efektif di dalam kelompok-kelompok politik yang anggota-anggotanya sebagian besar terdiri dari WNI asli. Pada pemilihan umum tahun 1955 dan 1957, calon-calon dari golongan Tionghoa WNI telah diajukan oleh beberapa partai politik. Terutama di dalam dua partai Kristen dan dalam PKI. Dari hal tersebut nampak adanya suatu kerjasama antara

(36)

Tionghoa WNI dengan WNI asli, maka arah untuk menuju pada asimilasi dalam bidang politik mulai terbuka.

2. Dampak dalam Bidang Ekonomi

Di tengah-tengah proses pematangan penyelesaian masalah dwi kewarganegaraan antara pemerintah RI dan RRC, meletuslah kerusuhan sosial. Kerusuhan tersebut muncul setelah diterbitkannya Penetapan Presiden No.10 Tahun 1959 tertanggal 16 November 1959 mengenai larangan bagi usaha perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing di luar Ibu Kota Daerah Swatantra Tingkat I dan II serta Keresidenan (Poerwanto, 2005: 248). Penetapan presiden tersebut bertujuan mempercepat perkembangan para pedagang kecil nasional. Namun setelah peraturan tersebut diterbitkan, terjadilah pengusiran terhadap orang asing yang bertempat tinggal di pedesaan. Benny G. Setiono (2002:710) mengungkapkan bahwa:

“salah satu kebijakan pemerintah yang bersifat rasialis pada masa Demokrasi Terpimpin terhadap keberadaan etnis Tionghoa, baik totok maupun peranakan di Indonesia ialah keluarnya peraturan PP No. 10/1959 yang dikeluarkan pada tahun 1959. Peraturan ini berisi larangan bagi orang-orang asing (terutama ditujukan kepada orang-orang Tionghoa) unuk berdagang eceran di daerah-daerah pedalaman, yaitu di luar ibu kota daerah tingkat I dan tingkat II yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1960”. Sebagian besar orang asing yang bertempat tinggal di luar daerah tingkat I dan II adalah orang Tionghoa, maka merekalah yang terkena langsung penetapan presiden tersebut.

Dengan dilaksanakannya PP-10, puluhan ribu orang Tionghoa terpaksa harus meninggalkan tempat usaha dan kediamannya. Peraturan yang sebenarnya hanya melarang berdagang eceran tetapi dalam pelaksanaannya juga melarang

(37)

bertempat tinggal (Setiono, 2002: 711). Telah lama diketahui bahwa potensi orang Tionghoa menonjol di sektor perekonomian maka penetapan presiden itu juga berdampak menimbulkan rasa kurang puas kaum pribumi terhadap peran mereka. Menurut Sa’dun (1999: 35-36) faktor yang menunjukkan sukses golongan etnis Tionghoa dalam kegiatan bisnis dan perekonomian, yaitu:

1. Faktor kebijakan pemerintah sendiri yaitu yang pada dasarnya membatasi kegiatan mereka di bidang-bidang yang berada di luar jalur ekonomi dan bisnis. Sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa sukar bagi seorang yang punya latar belakang etnik Cina untuk menjadi pegawai negeri (kecuali pengajar universitas), ABRI (kecuali untuk bidang-bidang tertentu yang memerlukan keahlian khusus) atau jabatan-jabatan strategis lainnya. Oleh karena berbisnis atau menjadi profesional merupakan bidang yang terbuka luas untuk golongan ini, maka mereka melakukannya dengan tekun dan serius yang pada akhirnya dapat mencapai kesuksesan.

2. Ada juga pengaruh budaya kapitalis yang memang sudah mendarah daging dalam tubuh mereka dan itulah yang menjadi pendorong mereka untuk bekerja keras dan mencapai sukses. Ada ahli yang berteori bahwa Konfusianisme sebagai kunci keberhasilan golongan etnik Cina dalam bidang perdagangan. Tapi teori tersebut masih merupakan asumsi saja karena pada dasarnya ajaran Konghucu sendiri tidak memandang kegiatan jual beli sebagai aktivitas terhormat. Faktor positif ajaran Konfusius yang selalu diajukan sebagai argumentasi penyebab sukses orang Cina dalam perdagangan adalah patuh pada penguasa, menghormati orang tua, kerja keras dan lain-lain yang sebenarnya juga hadir dalam kebudayaan Asia non-Cina.

3. Penjelasan lain adalah yang melihat fenomena keberhasilan golongan etnik Cina dari kacamata antropologi/sosiologi. Itu ditandai dengan dimilikinya sifat fleksibel, ulet dan tidak segan bekerja keras, “tahan banting”, dan punya rasa solidaritas tinggi. Di samping itu pula adanya budaya nepotis yang membekali sebagian besar masyarakat etnis Cina, telah menjadikan kalangan ini menjadi cenderung eksklusif. Dari keadaan ini pula akhirnya tercipta suatu jaringan bisnis di kalangan mereka yang tidak dimiliki oleh etnik lain yang non-Cina.

4. Posisi sebagai golongan minoritas menyebabkan mereka cenderung dekat dengan kekuasaan karena mereka memerlukan perlindungan, kepastian hukum, dan kesinambungan kebijakan. Kedekatan ini kemudian dimanfaatkan dengan memberikan fasilitas-fasilitas yang akhirnya menimbulkan kecemburuan pada golongan pri, akibat dari kecenderungan ini menyebabkan mereka selalu menjadi pelimpahan

(38)

kemarahan golongan pri pada saat ketakpuasan terhadap pemerintah timbul dalam masyarakat.

5. Kebijakan pemerintah juga banyak memegang peranan menentukan pada keberhasilan golongan nonpri. Pada masa-masa awal Orde Baru, pemerintah memberikan fasilitas dan kemudian terhadap mereka demi membangkitkan kembali perekonomian Indonesia yang mandek selama periode ekonomi terpimpin. Pemerintah melihat para pelaku bisnis etnik Cina adalah golongan yang siap pakai untuk membantu kebijakan baru pemerintah pada saat itu.

Oleh karena itu rasa tidak puas tersebut lalu berkembang menjadi konflik sosial-ekonomi, antara lain berupa pengusiran orang Tionghoa dari daerah pedesaan. Di Kalimantan Barat, terutama di kabupaten Sambas ungkapan ketidakpuasan itu tercermin dari “peristiwa kebakaran” di Pemangkat, ibu kota kecamatan dan pelabuhan laut utama di Kabupaten Sambas. Sebagai pintu keluar-masuknya barang-barang di Kabupaten Sambas, khususnya untuk Singkawang, kota tersebut bernilai penting dalam dunia perdagangan. Di daerah tersebut banyak toko, perusahaan dan gudang hasil bumi milik orang Tionghoa (Poerwanto, 2005: 249). Selain itu, di kota Bandung peristiwa pengusiran terhadap orang-orang Tionghoa yang dilarang berdagang di pedesaan, dan kabupaten juga ikut memberikan dampak yang besar terhadap keberadaan Tionghoa Peranakan. Wilayah-wilayah di daerah Kabupaten Bandung seperti Lembang, Cimahi, Padalarang, Soreang, dan Majalaya turut merasakan dampak dari PP-10, mengingat wilayah-wilayah tersebut sebagian besar merupakan kawasan daerah industri, pada saat itu seperti tekstil dan komoditi hasil pertanian, otomatis mengalami hambatan dalam menyalurkan pasokan barang ke Bandung yang dikuasai oleh orang-orang Tionghoa.

(39)

Pada periode tersebut sebagian besar orang Tionghoa belum jelas status kewarganegaraannya, atau sedang dalam proses mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Dengan demikian berkurangnya proporsi orang-orang Tionghoa Indonesia antara tahun 1956 dan 1961 yang tinggal di Jawa, terutama mencerminkan bahwa kenyataan orang-orang Tionghoa yang kembali ke RRC pada tahun 1960 jauh lebih banyak dari Pulau Jawa, terutama setelah Penetapan Presiden No.10 Tahun 1959 diberlakukan. Selanjutnya berlangsunglah gelombang repatriasi para perantau Cina di Indonesia. Peristiwa ini lebih disebabkan oleh peraturan presiden tersebut yang diikuti kerusuhan “anti Cina”. Hingga Desember 1960, tercatat sekitar 210.000 orang Cina berkewarganegaraan RRC yang menyatakan ingin kembali ke negeri leluhurnya (Sukisman, 1975: 69).

Gelombang repatriasi orang-orang Tionghoa pada tahun 1960 terjadi pada saat dimulainya pelaksanaan dwi kewarganegaraan. Peristiwa tersebut digunakan sebagai momentum, khususnya di kalangan orang Tionghoa untuk lebih mematangkan sikap. Haruskah mereka sebaiknya pulang ke negeri leluhur atau tetap berkewarganegaraan RRC tetapi bermukim di Indonesia, atau memilih kewarganegaraan RI dan tinggal di Indonesia. Memilih salah satu dari ketiga pilihan tersebut, tentunya mempunyai konsekuensi yang berbeda. Poerwanto (2005: 252-253) mengungkapkan konsekuensi dari alternatif pilihan tersebut antara lain sebagai berikut :

1. Mereka yang kembali ke negeri leluhurnya mempunyai berbagai motivasi. Mereka yang umumnya lahir di Indonesia dan memilih repatriasi, mungkin pilihan ini sebagai kesempatan pulang dan menetap di RRC, suatu negeri yang sebelumnya hanya pernah mereka dengar melalui cerita atau mereka lihat melalui gambar. Bermukim di negeri leluhur, dianggap akan membuat kehidupan mereka lebih baik,

(40)

lebih aman/tentram. Mereka akan terhindar dari perlakuan yang kurang enak seperti yang baru dialaminya di Indonesia. Begitulah harapan mereka akan kehidupan dan penghidupan yang lebih layak nantinya.

2. Memilih kewarganegaraan RRC seraya menolak kewarganegaraan Indonesia tetapi tetap bermukim di Indonesia, juga merupakan masalah. Lantaran status mereka adalah WNA, maka mereka tidak dapat menikmati berbagai fasilitas yang sama dengan orang Cina WNI, misalnya dalam perpajakan dan pendidikan. Mereka tetap mempertahankan kewarganegaraan RRC karena merasa aman berkat kehadiran wakil pemerintah RRC di Indonesia,yaitu Kedutaan Besar di Jakarta dan Konsulat Dagang di Pontianak. Berdirinya organisasi politik di kalangan orang Cina, yaitu Baperki dapat pula dianggap sebagai jaminan keamanan untuk tetap tinggal di Indonesia. Rasa aman tersebut juga didukung anggapan bahwa ide Perjanjian Dwi Kewarganegaraan merupakan pencerminan pemecahan persoalan secara bersama antara kedua pemerintah. Hal ini merupakan manifestasi Dasasila Bandung, yang menekankan “Hidup berdampingan secara damai yang dilandasi sikap tidak saling turut campur terhadap urusan dalam negeri masing-masing”.

3. Disisi lain, memilih kewarganegaraan Indonesia dapat pula dipandang sebagai perwujudan dari keinginan mereka untuk tetap tinggal di Indonesia. Seringkali terucap bahwa mereka lahir, mencari nafkah dan mati di bumi Indonesia. Itulah sebabnya mereka memilih status kewarganegaraan Indonesia. Bahkan ada yang berucap: “dalam mimpi pun tidak pernah melihat negeri leluhurnya”. Memilih kewarganegaraan Indonesia juga didorong berbagai motivasi,baik yang didasarkan pada latar belakang mereka maupun harapan tertentu. Terdapat pandangan umum dikalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia bahwa bermukim di negeri leluhur tidak sepenuhnya lebih baik. Pandangan tersebut sering diperkuat oleh pemberitaan yang dimuat di media massa. Terdapat indikasi bahwa mereka yang pulang ke negeri leluhur, berusaha kembali ke Indonesia secara ilegal. Jika mereka tertangkap, maka mereka dikategorikan sebagai imigran gelap. Pada waktu pemberangkatan pemerintah Indonesia hanya memberikan exit permit tanpa re-entry permit. Mereka yang ingin kembali ke Indonesia juga tidak disertai dokumen imigrasi dalam bentuk apapun dari pemerintah RRC. Kepergian mereka dari sana juga dilakukan secara ilegal.

(41)

Pada masa itu lebih dari 136.000 orang Tionghoa meninggalkan Indonesia untuk bermukim kembali di Tiongkok. Tetapi kondisi dan sistem masyarakat di tempat baru serta kebiasaan di tempat lama Indonesia, ditambah lagi kendala bahasa ternyata menimbulkan banyak kesengsaraan bagi orang-orang Tionghoa yang pindah ke Tiongkok tersebut. Pada akhirnya, banyak dari mereka yang nekat pergi ke Hongkong, Macau, Singapura. Adanya berbagai cerita yang penuh penderitaan di Tiongkok menyebabkan menurunnya minat orang Tionghoa untuk kembali ke Tiongkok sehingga pada akhir 1960, gelombang tersebut surut sama sekali (Setiono, 2002: 714).

Pelaksanaan PP-10 Tahun 1959, menimbulkan keretakan hubungan diplomatik RI-RRC. RRC menuduh pemerintah Indonesia melanggar perjanjian tentang dwi kewarganegaraan yang menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia akan melindungi kepentingan warga negara Cina. Sebagai jawabannya, pemerintah Indonesia melalui Subandrio menuduh bahwa para pedagang Tionghoa bersalah karena melakukan tindakan kapitalistis dan monopolistis, dibarengi dengan berbagai macam manipulasi dan spekulasi. Selain itu Indonesia juga menuduh RRC mencampuri urusan dalam negeri Indonesia (Suryadinata, 1984: 142). Pemerintah RRC kemudian menyampaikan protes-protesnya dan menyatakan kesediannya menampung korban PP-10, dengan mengirimkan beberapa kapalnya dan mengangkat mereka untuk ditempatkan di berbagai tempat di Tiongkok.

Selain itu pula ternyata pelaksanaan PP-10 menimbulkan dampak yang sangat negatif bagi perekonomian Indonesia. Daerah-daerah pedalaman yang

Referensi

Dokumen terkait

Presentasi diri informan sebagai mahasiswi dan ayam kampus menunjukkan hasil dimana adanya perbedaan dari masing-masing informan dalam mengelola peran dan kesan yang

Hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa dari 55 responden yang terdiri 28 responden pekerja borongan dan 27 responden pekerja harian yang diteliti dalam

Panel ini pada umumnya digunakan untuk mengkustomisasi elemen animasi yang dibuat seperti pengubahan objek grafik menjadi symbol , pengaturan frame dan

Selanjutnya kegiatan eksperimen dilakukan sebagai berikut: (a) melaksanakan pretes untuk mengetahui kemampuan awal pemahaman dan penalaran matematis sebelum diberikan

Menanamkan kecintaan terhadap prilaku hidup bersih dan lingkungan sejak dini, melalui pendekatan agama sangat diapresiasi oleh lembaga pendidikan terutama Sekolah

Dengan mengkaji dampak perubahan iklim terhadap karakteristik hujan, serta mencermati pengaruh intensitas curah hujan terhadap fenomena banjir, diharapkan

Sumber Daya Manusia Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d merupakan Pegawai Negeri sipil yang mempunyai kualifikasi dan wewenang tertentu yang bertugas

Pengurus hanya membacanya saja saat mereka berkunjung ke sekolah “ (Wawancara, 17 Maret 2016). Dari hasil pengamatan di atas dapat dianalisis bahwa peranan Komite Sekolah