• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meskipun demikian, ternyata pada masa itu yang lebih cenderung berasimilasi semakin meluas walaupun belum dominan. Hal tersebut nampak dari banyaknya WNI keturunan Tionghoa yang terpelajar memberikan nama Indonesia kepada anak-anak mereka yang baru dilahirkan.

IV.4. Dampak Pembatalan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan

Pada tanggal 10 April 1969, Undang-undang No.2 tahun 1958 dicabut dengan Undang-undang No.4 Tahun 1969, maka dibatalkanlah Perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara pemerintah RI dan RRC. Hal ini disebabkan karena hubungan antara Cina dan Indonesia memburuk setelah peristiwa G 30 S 1965 yang berakibat dihancurkannya PKI dan lengsernya Soekarno sebagai presiden. Berdasarkan ketentuan yang baru, mereka yang mempunyai status warga negara

Indonesia berdasarkan UU No.2 Tahun 1958 tetap menjadi WNI. Demikian juga dengan keturunannya atau mereka yang mempunyai hubungan hukum dengannya. Untuk selanjutnya mereka tunduk kepada UU No.62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan RI.

Sebagaimana diungkapkan oleh seorang pengacara peranakan, Perjanjian Dwi Kewarganegaraan tidak dapat berfungsi lagi, karena sebagian besar orang yang berkewarganegaraan ganda telah memilih warga negara Indonesia pada akhir 1961. Akan tetapi, perjanjian tersebut tetap mensyaratkan bahwa anak-anak warga negara Indonesia keturunan Tionghoa yang lahir sebelum 20 Januari 1962 harus menentukan pilihan apakah ingin menjadi warga negara Cina atau Indonesia. Tentu saja kondisi demikian akan menimbulkan status kewarganegaraan yang kabur diantara anak-anak keturunan Tionghoa, karena mereka yang ingin memilih kewarganegaraan Indonesia oleh hukum masih diminta membuat pernyataan pelepasan kewarganegaraan Cina. Persyaratan yang demikian itu juga diterapkan pada mereka yang ingin menjadi warga negara Cina. Namun pernyataan pelepasan kewarganegaraan Cina tidak berarti lagi setelah pembekuan hubungan Indonesia-Cina pada Oktober 1957 dan permohonan menjadi warga negara Indonesia-Cina menjadi tidak mungkin dilakukan, karena tidak ada badan yang mengurus hal tersebut. Oleh karena itu pemberlakuan perjanjian tersebut tidak perlu dilanjutkan lagi dilihat dari segi kepentingan nasional Indonesia.

Faktor politis menjadi suatu hal yang penting bagi pemerintah Indonesia sehingga tidak memberlakukan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan. Perjanjian tersebut memberikan kesempatan kepada anak-anak yang orang tuanya memilih

kewarganegaraan Cina, untuk menjadi WNI selama waktu kesempatan pemilihan tanpa penyaringan oleh pejabat Indonesia. Pemerintah Soeharto ingin menghentikan praktek tersebut karena curiga akan orientasi politik orang Tionghoa.

Akibat dari pembatalan perjanjian tersebut yaitu, anak-anak Tionghoa asing hanya dapat menjadi WNI melalui naturalisasi menurut UU kewarganegaraan tahun 1958. Itu berarti bahwa pemerintah Soeharto akan dapat menyaring Tionghoa asing yang ingin menjadi WNI. Mengenai orang Tionghoa yang telah mendapatkan kewarganegaraan Indonesia melalui Perjanjian Dwi Kewarganegaraan, status mereka tetap tidak berubah dan anak-anak mereka dianggap WNI. Undang-undang kewarganegaraan 1958 menentukan persyaratan bagi orang asing yang mengajukan permohonan mendapatkan kewarganegaraan Indonesia melalui naturalisasi, yaitu harus ada pernyataan penanggalan kewarganegaraannya dari kewarganegaraan negara asalnya. Namun mengingat hubungan yang memburuk antara Indonesia dan RRC, maka tidak mungkin seorang Tionghoa asing dapat memperoleh pernyataan resmi dari RRC. Pejabat Indonesia untuk itu menggunakan penafsiran bebas terhadap ketentuan tersebut, dan membatalkan persyaratan untuk menyerahkan pernyataan yang dikeluarkan oleh negara asal seseorang. Sebagai gantinya pernyataan mengenai keinginan untuk menanggalkan kewarganegaraan RRC dianggap sudah cukup.

Selain itu, tidak berlakunya lagi Perjanjian Dwi Kewarganegaraan mengakibatkan sejumlah anak Tionghoa di bawah umur 18 tahun tidak lagi memperoleh kesempatan menjadi warga negara secara mudah. Sejak saat itu

kewarganegaraan untuk semua WNA dilakukan dengan naturalisasi. Pada mulanya sebelum tahun 1969 untuk memperoleh naturalisasi hampir tidak pernah diproses, tapi kemudian dipermudah di masa Orde Baru. Meskipun demikian, prosedurnya sangat rumit dan biayanya sangat mahal. Sebuah laporan dalam Tempo (17 Agustus 1974: 48) mengungapkan bahwa :

“Orang memerlukan sedikitnya 14 dokumen untuk mengajukan permohonan dan membayar biaya yang berkisar antara 30.000 dan 100.000 Rupiah (kira-kira US$ 75-250)”.

Sejumlah orang mengatakan bahwa biaya tersebut sekitar 500.000 dan 1 juta Rupiah. Walaupun biaya yang dikeluarkan sangat tinggi, tetap saja banyak yang mengajukan naturalisasi.

Lie Tek Tjeng mengungkapkan (Suryadinata, 1984: 130) bahwa :

“antara 75 dan 90 % dari Tionghoa yang “tidak berkewarganegaraan” tentu akan minta menjadi warga negara Indonesia kalau prosedurnya dipermudah dan biaya pemrosesan diturunkan ”.

Tetapi pemerintahan Soeharto justru memperkeras pengawasan atas permohonan tersebut. Pada bulan Juni 1973 pemerintah membentuk Badan Penyelidik Kewarganegaraan untuk melakukan penyaringan mengenai latar belakang dari setiap pemohon. Untuk itu setiap permohonan harus disetujui oleh Kejaksaan Agung di Jakarta, kejaksaan setempat hanya bertindak sebagai badan koordinator. Perubahan kebijaksanaan tersebut didasarkan atas jalan pikiran pemerintah yang mengkhawatirkan percobaan subversif yang dilakukan oleh etnis Tionghoa melalui cara menjadi WNI. Dalam hal ini Bakin (Badan Koordinasi Intelijens Negara) turut terlibat melaksanakan penyaringan permohonan tersebut, jadi sebelum lolos dari badan tersebut permohonan belum dapat diproses.

Status sebagai WNA merupakan rintangan yang sangat besar bagi kebanyakan orang. Nampaknya pemerintah Orde baru sangat berhati-hati sehingga memperlambat proses naturalisasi. Tujuannya yaitu untuk memajukan hubungan antar ras yang lebih baik melalui perubahan yang tidak mengandung resiko. Sehubungan dengan proses naturalisasi yang ketat itu pemerintah mengumumkan bahwa terdapat seribu orang imigran Tionghoa ilegal yang masuk ke Jakarta dari Hongkong. Sebagian besar mereka adalah bekas mahasiswa yang pergi ke RRC selama tahun 1960-an dan kemudian menetap di Hongkong karena kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan di daratan Cina. Pada pertengahan 1975 pemerintah mengumumkan bahwa kira-kira seribu imigran Tionghoa yang ilegal telah ditangkap, dan masih banyak lagi yang belum terjaring. Dengan melihat kondisi yang demikian, maka pejabat setempat di Jakarta dan Jawa Barat menentukan persyaratan bahwa warga negara Indonesia keturunan asing harus mendaftarkan diri kembali kalau mereka ingin memperoleh kartu penduduk yang baru (Sinar Harapan, 9 Desember 1975). Kira-kira pada waktu yang sama dilaporkan bahwa di Pontianak (Kalimantan Barat) ada 468 orang Tionghoa yang setelah mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, kewarganegaraan tersebut batal karena mereka tidak memenuhi persyaratan hukum (Sinar Harapan, 18 Desember 1975).

Pemerintah Indonesia masih ragu untuk menetapkan orang Tionghoa asing sebagai WNI, karena pemerintah khawatir tidak bisa mengawasi dan menyerap mereka. Di pihak lain status quo dipertahankan, Peking diwajibkan melindungi orang-orang Tionghoa asing. Kebimbangan pemerintah akan status Tionghoa

asing ini dikembalikan pada persepsi masyarakat Indonesia terhadap kaum minoritas tersebut.

1. Dampak dalam Bidang Politik

Karakteristik dalam bidang politik dapat dikatakan bahwa orang-orang Tionghoa kurang sekali perhatiannya. Mereka bersikap hanya ke arah politik ekonomi yang menjadi pokok utama dalam usahanya. Sejarah perkembangan politik Indonesia memperlihatkan bahwa orang-orang Tionghoa pada masa perjuangan, bagi siapa saja yang berkuasa di Indonesia, mereka akan mengakuinya asalkan mereka tidak dirugikan dalam usahanya. Dengan kata lain siapa yang dapat menjamin keselamatan dan keuntungan usahanya, mereka akan membantu sepenuhnya kepada tuan pelindungnya. Oleh karena itu dalam revolusi fisik, mereka yang berada di kekuasaan RI sekuat tenaga membantu RI. Demikian juga mereka yang berada di wilayah kekuasaan Belanda akan membantu Belanda sepenuhnya.

Setelah kemerdekaan RI tercapai, mereka mengakui kedaulatan RI, akan tetapi banyak diantara mereka cenderung meminta perlindungan dari negeri leluhur mereka. Usaha ini terbukti dengan banyaknya terlibat pada waktu pemberontakan PKI (G.30.S 1965). Kenyataan bahwa etnis Tionghoa sampai sekarang masih tetap memegang peranan penting dalam kehidupan ekonomi Indonesia. Keberhasilan dalam ekonomi dan putusnya hubungan RI dan RRC, mengakibatkan banyak orang Tionghoa perantauan di Indonesia cenderung berorientasi kepada kehidupan politik “negara Cina yang ketiga” (Singapura dan Hongkong), yang bersifat liberal demokratis.

Kehidupan liberal dan kesuksesan dalam ekonomi dan tradisi kehidupan barat, menyebabkan kecenderungan untuk tetap mempertahankan pola kehidupan politik yang apatis dan eksklusif. Sifat ini dipertahankannya hanya untuk kepentingan golongan mereka sendiri. Inilah sebabnya mereka berkarakter politik yang bersifat rasial “racial and cultural nationalist” dan bukan politik yang bersifat “political nationalist” sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya (Hidayat, 1993: 115). Walaupun demikian terdapat segolongan masyarakat Tionghoa yang lebih cenderung pada pengakuan politik nasional Indonesia, akan tetapi dalam kehidupan politik ini tidak sepenuhnya yakni tidak cukup aktif dan kritis. Golongan ini hanya menerima segala ketentuan pola kehidupan pemerintah secara pasif. Perubahan sikap kehidupan politik ini hanya sebagai salah satu cara menitipkan diri dan bukan didasarkan atas kesadaran sebagaimana mestinya sebagai warga negara Indonesia yang ideal.

Dilihat dari sikap orientasi politik masyarakat Tionghoa Indonesia dapat digolongkan dalam tiga kategori (Hidayat, 1993: 115), yaitu :

1. Golongan politik yang berorientasi kepada pemerintah Republik Indonesia.

2. Golongan politik yang berorientasi kepada pemerintah negara leluhurnya RRC.

3. Golongan yang orientasi politiknya tidak jelas (tidak ke Indonesia maupun RRC), akan tetapi lebih mengarah dan menginduk kepada Singapura dan Hongkong golongan ini biasanya dikenal dengan “stateless”.

Di mata sebagian besar pemimpin pribumi, orang Tionghoa di Indonesia membentuk sebuah kelompok eksklusif tetapi juga mempunyai hubungan dengan Cina. Dengan demikian kesetiaan mereka lebih tertuju kepada Cina daripada ke Indonesia. Sebagian besar pemimpin pribumi berpendapat bahwa pada masa lalu

orang Tionghoa melayani kepentingan para penguasa kolonial (Belanda dan Jepang) dan oleh sebab itu tidak dapat dipercaya. Karena ketidakpercayaan dan iri hati kaum pribumi kepada etnis Tionghoa, politik dalam negeri Indonesia selalu berupaya mengurangi apa yang dianggap sebagai kekuatan ekonomis, politis, dan budaya para Tionghoa lokal.

Sebelum Soeharto berkuasa, pemerintah Indonesia mentolelir adanya organisasi sosio-politik etnis Tionghoa. Baperki yang didirikan pada tahun 1954, berusaha untuk mendapatkan persamaan antara sesama warga negara Indonesia, tanpa memandang latar belakang rasnya. Menurut Baperki bahwa orang Tionghoa merupakan satu bagian dari suku bangsa Indonesia. Jadi, orang Tionghoa kedudukannya sama dengan suku bangsa Indonesia seperti Jawa, Sunda, dan Minang. Dengan begitu orang Tionghoa tidak perlu meleburkan diri ke dalam masyarakat pribumi. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Baperki berkembang menjadi organisasi massa. Tujuannya menitikberatkan pada integrasi politik, bukan asimilasi dikalangan orang Tionghoa. Organisasi tersebut makin condong ke kiri dan mendekati Soekarno untuk mendapat perlindungan. Politik kiri inilah yang akhirnya membuat Baperki dibubarkan setelah terjadinya G 30 S tahun1965.

Dengan dilarangnya Baperki dan perkumpulan-perkumpulan Tionghoa lainnya, pemerintah Orde Baru mulai menyokong LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa) yang ditugaskan untuk mengatasi masalah Tionghoa. Tujuan LPKB yaitu agar orang Tionghoa di Indonesia berasimilasi total ke dalam masyarakat pribumi, hal ini dianggap sebagai solusi masalah Tionghoa. Namun, kemudian LPKB dibubarkan dan badan ini diambil alih oleh pemerintah Orde

Baru dan diganti namanya menjadi Badan Komunikasi Pembinaan Kesatuan Bangsa (Bakom-PKB) atau Badan Kontak pada tahun 1977 di bawah naungan Departemen Dalam Negeri. Bakom berfungsi sebagai penghubung antara pemerintah dan masyarakat Tionghoa. Bakom terus menekankan asimilasi orang Tionghoa ke dalam masyarakat pribumi. Akan tetapi sejak tahun 1987, dalam publikasi Bakom terdapat unsur integrasi nasional, bukan asimilasi.

Setelah jatuhnya Soekarno pemerintah Soeharto melarang semua organisasi sosio-politik kiri Baperki. Organisasi Tionghoa ini dianggap eksklusif dan berharap orang Tionghoa itu bergabung dalam organisasi massa yang didominasi oleh pribumi. Jadi bagi orang Tionghoa yang menaruh minat dalam politik yaitu menggabungkan diri dalam organisasi asimilatif seperti Golkar, partai pemerintah atau organisasi yang berafiliasi dengan Golkar. Jusuf wanandi (Liem Bian Kie), Harry Tjan Silalahi adalah dua tokoh dari kelompok ini. Sedangkan anggota DPR yang mewakili Golkar, hanya terdapat Djoko Sujatmiko (Lie Giok Hauw), Budi Dipojuwono (Lie Po Yoe) mewakili PNI (1971-1977).

Sejak tahun 1966, tidak ada seorang pun Tionghoa yang diangkat menjadi menteri kabinet, kecuali dalam kabinet Soeharto yang terakhir (Maret 1998), yang hanya betahan satu bulan menteri Tionghoa itu adalah Mohammad Bob Hasan (The Kian Seng). Sebenarnya pada masa Soekarno, terdapat tiga orang menteri kabinet Tionghoa yaitu Tan Kiem Liong (Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan, anggota NU), Oei Tjoe Tat (Menteri Negara, anggota Partindo) dan David G. Cheng (Menteri Cipta Karya dan Konstruksi). Pada masa Demokrasi Liberal, terdapat dua orang menteri Tionghoa yaitu Ong

Eng Die (Menteri Keuangan, anggota PNI) dan Lie Kiat Teng (Menteri Kesehatan, anggota PSII) (Suryadinata, 2002:83).

Selain Golkar, dua buah lembaga yang anggotanya banyak peranakannya adalah CSIS (Centre for Strategic and International Studies) dan Bakom-PKB. Baik CSIS atau Bakom-PKB bukan organisasi massa. CSIS adalah pusat studi yang dekat dengan pemerintah dan banyak tokohnya yang aktif dalam Golkar dan di pemerintahan, sedangkan Bakom berada di bawah naungan Departemen Dalam Negeri. Tokoh-tokoh CSIS yang non pri termasuk Yusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi, dan J. Panglaykim. Sedangkan tokoh-tokoh Bakom yang non pri termasuk K. Sindhunata (mantan ketua LPKB yang dibubarkan dalam tahun 1967), Junus Jahya, dan Lo SH Ginting.

Politik Tionghoa pada masa Orde Baru merupakan politik tipe “broker”. Kepentingan orang Tionghoa diwakili oleh beberapa tokoh Tionghoa yang ada hubungan dengan penguasa. Beberapa lembaga yang berhubungan dengan pemerintah atau orang pemerintah seperti Bakom dan CSIS sering digunakan untuk menyalurkan permintaan minoritas Tionghoa. Meskipun pemerintah Orde Baru menggunakan pewarganegaraan agar etnis Tionghoa bisa membaur secara politis, namun pemerintah sepertinya masih merasa keberatan untuk menonjolkan etnis Tionghoa sebagai tokoh politik. Hal ini mungkin disebabkan oleh prasangka elite pribumi terhadap orang Tionghoa. Diskriminasi dan prasangka merupakan faktor yang dapat menghambat terciptanya asimilasi dalam hubungan mayoritas-minoritas. Schermerhorn (Poerwanto, 2005 : 10) mengemukakan bahwa:

“prasangka merupakan jawaban yang muncul dari berbagai situasi, yaitu situasi sejarah, ekonomi atau politik”.

Tidak dapat disangkal bahwa kebijaksanaan pemerintahan Soeharto terhadap golongan etnis Tionghoa itu mengandung unsur asimilatif, namun unsur-unsur lain yang bertentangan juga hadir. Pembedaan antara pribumi dan nonpribumi dalam bidang ekonomi dan politik masih tetap dipertahankan.

2. Dampak dalam Bidang Ekonomi

Memburuknya kondisi perekonomian Indonesia dimana tingkat inflasi mencapai 650 % merupakan faktor yang mendorong lengsernya pemerintah Soekarno pada tahun 1965. Tentunya penguasa baru dalam hal ini Orde Baru berusaha memperbaiki kondisi perekonomian, baik dalam menurunkan laju inflasi maupun untuk menaikkan taraf hidup bangsa Indonesia.

Sekitar tahun 1965-1968 pasca terjadinya peristiwa G 30 S, merupakan masa yang sangat mencekam bagi para Tionghoa perantauan, karena dianggap bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Perasaan anti Cina sangat tinggi dan orang Tionghoa mengalami kondisi yang sulit. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan pribumisme dalam bidang ekonomi untuk melemahkan kedudukan ekonomi orang Tionghoa dan membantu pedagang pribumi, seperti adanya Sistem Benteng pada awal tahun 1950-an dan PP No.10 pada tahun 1959. namun, perlindungan terhadap pedagang pribumi dan pemaksaan pedagang kecil Tionghoa keluar dari pedesaan tidak berhasil menekan peran orang Tionghoa dalam bidang ekonomi Indonesia. Kemudian pemerintah Indonesia harus membekukan pelaksanaan PP-10 untuk mengelakkan kehancuran ekonomi dan ketidakstabilan politik.

Berbeda dengan era Soekarno yang menjalankan kebijakan berdikari dan melalaikan perkembangan ekonomi, maka era Soeharto berorientasi pada perkembangan ekonomi (pembangunan). Pemerintah Soeharto berhasil dalam mengurangi laju inflasi dari 650% menjadi 15 % per tahun. Meskipun demikian Indonesia masih kekurangan modal asing untuk itu pintu Indonesia dibuka lebar dan penanaman modal asing digalakkan. Etnis Tionghoa, baik WNI maupun asing dikerahkan untuk mensukseskan program ekonomi Orde Baru.

Pada masa Orde Baru kebijakan terhadap etnis Tionghoa melalui dua cara. Pertama, secara sosial politik diarahkan ke asimilasi yang intinya menghilangkan identitas “kecinaan” dan pemisahan antara etnis Tionghoa WNA dan WNI. Kedua, secara ekonomi kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa Indonesia diarahkan ke akumulasi dan pendayagunaan modal milik etnis Tionghoa.

Bagi etnis Tionghoa yang merasa keamanannya terancam di tengah maraknya anti Cina di awal 1966, maka untuk kepentingan keamanan mereka segera mengikuti kebijakan pemerintah tersebut. Etnis Tionghoa WNA segera mengganti nama dan menempuh proses naturalisasi sebagai WNI. Secara ekonomis, pengusaha etnis Tionghoa Indonesia yang tersisa juga memberikan sisa modal atau membantu pemerintah menggalang modal seperti keterlibatan beberapa pengusaha di dalam IBC dan NDC.

Indonesian Business Centre (IBC) didirikan pada 6 Juni 1968 di Jakarta. Mayjen Suhardiman sebagai ketuanya direktur Perusahaan Negara Berdikari. Organisasi tersebut melibatkan pejabat tinggi pemerintah dan kelompok Tionghoa swasta. Tujuannya adalah membantu kabinet yang baru dalam melaksanakan

Repelita Pertama (1969-1974) melalui pengembangan kerjasama antara sektor negara dan sektor swasta. Kemudian Suhardiman membentuk National Development Corporation (NDC) untuk memobilisasi modal domestik sehingga dapat digunakan untuk pembangunan. Ong Ah Lok, seorang bankir sebagai ketuanya. Namun, pada kenyataannya NDC dan IBC dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan tujuannya. Suryadinata mengungkapkan (1984: 146) bahwa:

“NDC menjadi suatu organisasi perusahaan dari para Tionghoa lokal yang bertujuan mengkoordinasi berbagai kegiatan ekonomi dari kaum Tionghoa lokal termasuk impor-ekspor, industri, pertambangan, kehutanan, perikanan, dan usaha lainnya. Program organisasi itu sangat ambisius, dan orang yang terlibat di dalamnya terbatas pada pengusaha yang pro-Taiwan. Pengusaha yang pro-RRC atau “netral” tidak termasuk. Juga patut dicatat bahwa kebanyakan orang yang giat dalam IBC dan NDC hanya mereka yang dikenal oleh kalangan yang terbatas dan hampir tidak ada yang pernah diketahui menjadi pemimpin tertinggi baik di kalangan masyarakat totok maupun peranakan Tionghoa. Tidak mengherankan jika organisasi tersebut tidak efektif”.

Disinilah dua kepentingan bertemu terutama antara tahun 1966 hingga awal tahun 1970-an, kepentingan etnis Tionghoa Indonesia untuk mendapatkan jaminan keamanan dari pemerintah yang memang didominasi militer dan adanya larangan serta pembatasan dari pihak penguasa untuk mengekspresikan dan mengorganisir diri sebagai kelompok etnis akhrinya membawa mereka untuk mendukung dan membantu pemerintah dalam usaha penggalangan dana. Di sisi lain pemerintah mendapatkan dukungan sumber daya atau dana terutama bagi pemenuhan kebutuhan pokok dan juga dukungan dana bagi konsolidasi kekuasaan di awal masa Orde Baru. Dan inilah dasar tumbuhnya kembali kekuatan ekonomi etnis Tionghoa Indonesia (Wibowo, 1999: 71).

Meskipun ada kemauan pemerintah untuk menggunakan modal asing domestik, perlakuan yang membeda-bedakan terhadap Tionghoa lokal dengan golongan pribumi tetap berlangsung (Suryadinata, 1984: 146). Kondisi tersebut mengakibatkan banyak orang Tionghoa yang kemudian bekerjasama dengan orang Indonesia asli yang memegang surat izin. Pedagang Tionghoa yang menjalankan bisnisnya dan membagi keuntungan dengan pribumi yang memegang surat izin. Praktek tersebut, telah ada sebelum masa Orde Baru yang dikenal sebagai sistem Ali Baba yang berkembang menjadi sistem cukong di masa Orde Baru. Cukong adalah istilah Hokkian yang artinya majikan atau bos, tetapi dalam konteks Indonesia, istilah tersebut digunakan untuk menyebut seorang pedagang Tionghoa yang bekerjasama dengan elite yang berkuasa, termasuk presiden dalam perusahaan patungan. Umumnya mitra pribumi memberikan fasilitas dan perlindungan, sedangkan orang Tionghoa memberikan modal dan menjalankan perusahaan tersebut (Suryadinata, 2002: 91)

Alasan dari kerjasama antara Tionghoa dan pemegang kekuasaan yang pribumi itu sangat kompleks. Sehubungan dengan lingkungan usaha di Indonesia ditambah dengan undang-undang dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap Tionghoa, mengakibatkan orang Tionghoa memandang bahwa kerjasama dengan orang pribumi yang berkuasa merupakan cara terbaik untuk mendapatkan perusahaan yang bisa memperoleh keuntungan. Berbeda dengan para pejabat Indonesia yang memiliki fasilitas dan uang, namun tidak memiliki pengalaman berusaha, bersedia menggunakan golongan Tionghoa untuk menjalankan

perusahaannya untuk mereka. Para pejabat Indonesia tidak suka menggunakan pengusaha pribumi. Suryadinata mengungkapkan (1984: 148) bahwa :

“Mereka tidak suka memakai pengusaha pribumi dengan status pribuminya mempunyai posisi tawar (bargaining power) yang kuat, lagipula mereka juga sering mempunyai hubungan dengan golongan politik sehingga mereka dapat merupakan ancaman bagi beberapa pejabat tertentu. Sebaliknya, kaum minoritas Tionghoa memiliki landasan politis yang lemah dan posisinya rawan. Orang Indonesia yang duduk dalam kekuasaan merasa lebih aman menggunakan orang Tionghoa daripada pengusaha pribumi. Mitra Tionghoa mereka mendapatkan perlindungan ekonomis melalui kerjasama itu, walaupun itu tidak berlaku bagi masyarakat pengusaha Tionghoa pada umumnya. Kendatipun demikian, cukong-cokong itupun masih mengalami tekanan budaya, sosial, dan politis yang sama dengan Tionghoa Indonesia yang lain”.

Adanya kerjasama antara penguasa Tionghoa dan pribumi pemegang kekuasaan menimbulkan ketidaksenangan pada sementara kaum pribumi Indonesia, terutama di kalangan pengusaha yang kurang berhasil. Selain itu penanaman modal asing ternyata lebih memberikan keuntungan kepada pengusaha nonpribumi karena para penanam modal asing lebih tertarik bekerjasama dengan pengusaha Tionghoa daripada pengusaha Indonesia, sebab Tionghoa pada umumnya lebih unggul dalam pengalaman berusaha, kepemilikan modal dan pengetahuan teknis.

Pada gilirannya hal tersebut menimbulkan kritik pedas dari pihak pribumi terhadap pemerintah Orde Baru, karena sistem cukong tersebut dianggap tidak menguntungkan pribumi. Dari sistem tersebut tidak ada pemindahan keterampilan. Selain itu, hanya orang yang berkuasa yang menikmati hasilnya. Berhubung dengan protes yang timbul di kalangan pedagang pribumi dan kerusuhan anti Tionghoa semakin sering terjadi pada tahun 70-an, pemerintah Orde Baru mulai melaksanakan politik pribumi kembali dalam bidang ekonomi.

Untuk mendapatkan bagian yang lebih besar bagi pribumi dalam bidang ekonomi,

Dokumen terkait