• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Kekeringan

Dalam dokumen FORMASI MAKRO-MIKRO EKONOMI INDONESIA (Halaman 160-165)

Secara makro, salah satu dampak terburuk dari bencana kekeringan tahun ini adalah melesetnya angka ramalan (aram) II Badan Pusat Statistik (BPS) per Juni 2002 tentang produksi padi sebesar 50,84 juta ton pada tahun ini, yang belum mengakomodasi beberapa fenomena terakhir dari perubahan iklim dan cuaca. Bahkan tidak mustahil, produksi tahun ini dapat berada di bawah angka 50 juta ton karena faktor iklim dan cuaca yang amat mempengaruhi pola tanam bahan pangan di Indonesia, yang tentu saja harus ditutup dengan impor beras sekitar 1,5 juta ton atau lebih. Beberapa estimasi memang membenarkan bahwa efek perubahan suhu permukaan laut secara anomali (panas disebut El- Nino dan dingin disebut La-Nina) dan tekanan ketinggian laut (Osilasi Selatan) di Daerah Pasifik tidak akan separah seperti pada tahun 1997/1998 yang lalu. Namun, karena tingkat keganasan musim kering dan dampak sosial-ekonomi yang mungkin lebih buruk, ancaman kekeringan tahun ini tidaklah boleh dianggap ringan, apalagi jika pemerintah tidak melakukan tindakan apa-apa. Misalnya, sampai saat ini tidak ada satu pun pihak yang

memberikan peringatan dini (early warning) kepada masyarakat dan petani tentang ancaman kekeringan ini. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa sistem dan jaringan penyuluhan pertanian yang pernah amat rapi beberapa tahun lalu, dan menjadi salah satu kontributor utama pada keberhasilan kebijakan pangan, kini nyaris mati total karena hal-hal yang tidak prinsip, seperti pertentangan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah kadang terlalu resisten untuk mempersiapkan dan mengantisipasi segala sesuatu yang belum terjadi. Pemerintah umumnya baru bertindak setelah bencana benar-benar menjadi kenyataan dan masyarakat pun sibuk saling tuding antara satu dengan lainnya, seperti pada kasus banjir awal tahun ini.

Suatu studi amat lengkap tentang “data klimat El- Nino/Osilasi Selatan dan produksi pangan di Indonesia” yang dilakukan Rosamond Naylor, Walter Falcon dkk (2002) dari Stanford University (USA) perlu dijadikan rujukan. Mereka menggunakan Indeks ENSO (El-Nino Southern Oscillation Index) yang tidak terlalu ekstrim, yang dikenal dengan Nino 3.4 SSTA (sea-surface temperature anomaly atau anomali suhu permukaan laut) dengan rentang minus sampai plus 4 derajat Celcius. Perubahan iklim yang demikian ekstrim tersebut amat berpengaruh terhadap masa tanam (dan pola tanam) bahan pangan. Kekeringan atau curah hujan rendah pada bulan September-Desember akan memperlambat masa tanam, menurunkan areal panen pada Januari-April, dan tentu saja mempengaruhi produksi pangan, terutama padi (lihat Tabel 16.1).

Tabel 16.1 Areal Tanam Padi di Jawa pada Masa El-Nino dan La-Nina (ribu hektar)

Tahun September Oktober November Kumulatif

El-Nino 1982 65 55 232 352 1994 67 83 510 660 1997 68 81 338 487 La-Nina 1992 114 558 1050 1722 1996 98 458 1070 1626 1998 233 523 1065 1821

Sumber: BPS, dikutip Naylor, dkk (2002)

Dengan data areal panen dan pola produksi selama tiga dekade terakhir, studi itu menemukan bahwa musim kemarau atau anomali iklmi pada El-Nino tersebut dapat mengurangi produksi padi sampai 4,8 juta ton gabah atau setara 3 juta ton beras. Tim Peneliti dari Stanford tersebut sampai pada kesimpulan bahwa setiap satu derajat Celcius kenaikan suhu anomali itu akan menyebabkan penurunan produksi gabah di Indonesia sampai 1,4 juta ton. Namun untuk jagung, Naylor dkk tidak menemukan pola yang relatif jelas tentang dampak kekeringan terhadap produksi jagung. Mungkin karena karakter jagung yang relatif lebih tahan terhadap perubahan iklim – bahkan menjadi komoditas substitusi padi pada musim kering – pola tanam yang tidak seragam, mayoritas jagung yang lebih banyak ditanam di Jawa Timur, sehingga aggregasi cukup sulit dilakukan secara baik.

Studi-studi sejenis tentang dampak kekeringan terhadap perekonomian rakyat sebenarnya telah banyak dilakukan. Pada kesempatan lain, penulis pernah melakukan estimasi dampak kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan 1997/1998 yang kebetulan bersamaan dengan puncak krisis ekonomi (Arifin,

2000). Dengan fokus lokasi di Sumatra dan Kalimantan, hasil studi menyimpulkan bahwa ledakan pengangguran yang terjadi bersamaan dengan gejala pemiskinan masyarakat karena hilangnya aset-aset produktif yang dimilikinya dikhawatirkan dapat menimbulkan suasana sosiologis dan psikologis yang tidak kondusif pada sistem perekonomian rakyat secara keseluruhan. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa multiplier effects dari fenomena kekeringan (El-Nino) tersebut turut berkontribusi pada beberapa peristiwa "social unrest" yang telah mengganggu stabilitas sosial-politik negara yang tengah tertimpa kesulitan multi-dimensi ini.

Persoalannya kini terletak pada “kelapangan dada” para perumus kebijakan di negeri ini untuk mau belajar, mendengar dan menggunakan hasil penelitian tersebut – yang kadang memang terlalu akademik – untuk melakukan antisipasi bencana kekeringan bagi agenda pemulihan ekonomi dan perencanaan pembangunan secara umum. Semakin diam pemerintah, semakin parahlah penderitaan masyarakat karena kekeringan. Bulan Agustus, yang sering dianggap sebagai puncak musim kemarau, sebentar lagi datang. Sungguh amat ironi, apabila pada masa-masa peringatan Hari Kemerdekaan, bangsa Indonesia justru harus bergulat berjuang keras mengatasi dampak kekeringan sendirian.

Penutup: Langkah Antisipatif

Langkah antisipatif yang perlu dilakukan pemerintah dan para elit sebenarnya relatif sederhana. Dalam jangka pendek, upaya-upaya konkrit seperti penyiapan dan pemberian bantuan darurat bahan pangan dan air minum/air bersih harus menjadi prioritas pemerintah, tanpa harus menunggu komando dan perdebatan tentang definisi bencana kekeringan itu sendiri. Di sinilah test-case paling krusial terhadap langkah preventif terhadap Tim Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana tanpa, harus menunggu suatu bencana sampai benar-benar datang, seperti dilakukan selama ini.

Dalam jangka menengah, pemerintah wajib memiliki suatu panduan umum tentang langkah kebijakan dan program aksi yang terintegrasi dalam rencana program tahunan yang tidak perlu menyimpang dari Program Pembangunan Nasional dan Daerah (Propenas dan Propeda) dan tentu saja wajib muncul dalam anggaran pusat dan anggaran daerah. Rencana kredit pedesaan untuk menyediakan aktivitas ekonomi dan alternatif lapangan kerja non-pertanian di pedesaan wajib pula direalisasikan, tanpa harus menterjemahkan menjadi isu-isu dangkal seperti perebutan proyek dan pengaruh politik dalam memikat hati para konstituen. Upaya dialog pusat-daerah tentang masa depan penyuluhan pertanian dan pendidikan kejuruan lain wajib ditindaklanjuti secara arif dan lebih produktif, bukan sekedar berkumpul beradu argumen tanpa hasil yang lebih konkrit. Akhirnya, masyarakat masih mempersilakan para elit menggunakan isu-isu lain dalam perdebatan politik untuk dan atas nama demokrasi, tapi tidak menggunakan bencana kekeringan 2002 ini sebagai amunisi politik.

Tabel 16.2 Produksi, Konsumsi dan Impor Beras, 1998-2001

Uraian 1998 1999 2000 2001

Produksi gabah kering (juta ton) 49.237 50.866 51.899 49.590 Produksi setara beras (juta ton) 28.006 28.933 29.520 28.207 Jumlah penduduk (juta jiwa) 204.392 207.437 210.485 213.537 Konsumsi beras per kapita (kg) 133.470 133.470 133.470 133.470 Total konsumsi beras (juta ton) 27.280 27.687 28.501 28.908 Total Impor beras

Data resmi BPS (juta ton) 2.90 4.75 1.80 0.64 Data versi Bulog (juta ton) 7.10 5.04 1.87 0.68 Data versi Rice Trader (juta ton) 6.08 4.18 1.51 1.50 Data versi FAO (juta ton) 2.96 4.20 2.00 1.40 Data versi USDA (juta ton) 5.77 3.73 1.50 1.30 Catatan:

Faktor konversi gabah menjadi beras adalah 63.2%, dikurangi susut dan benih 10% Data jumlah penduduk berdasarkan SUPAS (Survai Penduduk Antar Sensus) 1995 Data konsumsi beras berasal dari SUSENAS (Survai Sosial Ekonomi Nasional) 1996

BAB 17

PEMBANGUNAN DAERAH

Dalam dokumen FORMASI MAKRO-MIKRO EKONOMI INDONESIA (Halaman 160-165)