Pendahuluan
Di Indonesia, debat publik seputar ekonomi (dan politik) beras mungkin menduduki ranking yang paling tinggi karena hampir seluruh rezim yang berkuasa, pernah jatuh dan bangun karena berkait langsung dan tidak langsung dengan masalah beras dan ketahanan pangan. Eskalasi kenaikan harga beras di tingkat konsumen yang amat tidak normal terjadi bulan Januari 2002 merupakan salah satu indikasi masih tidak berkembangnya (baca: primitifnya) pasar beras di tingkat domestik dan bahkan di tingkat internasional. Berbagai macam analisis telah bermunculan, mulai dari besarnya kesenjangan (gap) antara instrumen kebijakan dan realitas yang ada, sampai pada begitu tingginya peluang kolusi harga, penimbunan beras, dan perburuan rente lain yang amat berhubungan dengan sistem politik dan kerajaan birokrasi yang amat tertutup.
Ekonomi Indonesia pun harus menanggung beban tingginya harga eceran beras tersebut – yang pernah mencapai Rp 4000 per kilogram di beberapa kota besar – setelah angka laju inflasi bulan Februari 2002 mencapai rekor tertinggi 1,5 persen. Diskusi publik yang berkembang di seputar manajemen logistik beras yang masih ditangani Badan Urusan Logistik (Bulog) seakan mendapat “bumbu penyedap”, karena skandal Buloggate 1 dan 2
yang amat menghebohkan dan melibatkan beberapa pejabat tinggi negara. Tidaklah begitu mengherankan apabila masyarakat awam masih melihat dan menganggap bahwa Bulog masih merupakan lembaga negara yang perlu memperoleh perhatian khusus, tidak hanya dalam konteks stabilitas harga dan ketahanan pangan, tetapi juga dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Ketagihan pada Impor
Bulan Maret dan April, musim panen terjadi di beberapa sentra produksi padi di tanah air. Para petani tentu saja berharap pada setiap panen agar dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya. Maksudnya, apabila terjadi penurunan harga di tingkat petani, penurunan itu tidak sampai menyebabkan harga jual gabah dan beras anjlok luar biasa. Demikian pula, bayang-bayang gagal panen karena bencana banjir yang melanda sentra produksi tersebut diharapkan tidak sampai mengganggu ketahanan pangan di tingkat lokal dan nasional. Pada saat seperti inilah, banyak kalangan berharap banyak pada mekanisme manajemen impor beras yang dilakukan pemerintah agar dapat lebih efektif dalam menjaga stabilitas harga di tingkat petani.
Sampai saat ini, kebijakan pengendalian impor beras itu masih mengikuti kebijakan lama yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 368/KMK.01/1999 tentang “Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Beras dan Gula”. Kebijakan pengendalian impor yang berlaku sejak 1 Januari 2000 itu pernah amat menghebohkan, karena pihak kreditor asing seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia tidak begitu bahagia (respect) atas tarif bea masuk beras sebesar Rp 430/kg atau sekitar 30 persen dari harga yang berlaku. Implementasi dari kebijakan pengendalian impor beras selama tiga tahun terakhir memang penuh misteri, jika tidak dikatakan mencapai anti-klimaks, karena tujuan utama kebijakan tersebut – untuk menjaga kepentingan petani dan konsumen dalam rangka
baik. Sepanjang masa pemerintahan transisi tiga presiden terakhir, harga gabah tingkat petani justru anjlok sampai hanya 50 persen di bawah harga dasar gabah (HDG) yang ditetapkan pemerintah.
Hasil pengamatan lapang Tim Indef (2002) tentang implementasi tarif bea masuk impor beras dua pintu masuk utama di Pelabuhan Belawan (Sumatra Utara) dan Tanjung Priok, Jakarta menunjukkan bahwa tarif bea masuk itu tidak efektif dilaksanakan. Benar, bahwa administrasi pengenaan tarif bea masuk impor beras di Tanjung Priok lebih baik dibandingkan administrasi di Belawan, salah satunya karena di Tanjung Priok telah memanfaatkan sistem komputerisasi dan elektronik secara lebih baik dan konsisten. Data yang dikumpulkan juga menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang amat signifikan antara pengenaan tarif bea masuk dan volume impor beras yang masuk di kedua pelabuhan tersebut. Volume impor beras tetap saja mengalir secara deras karena harga beras di tingkat internasional memang amat rendah, sekitar US $150 per ton yang jelas jauh lebih dibandingkan harga rata-rata di pasar domestik, terutama dengan referensi Pasar Induk Cipinang (PIC), Jakarta.
Besarnya tarif bea masuk impor beras sebesar Rp 430/kg umumnya bukan merupakan penghalang yang serius dalam melakukan kegiatan impor, karena para importir akan membebankannya kepada pedagang grosir dan pengecer lainnya, sekaligus tentu saja kepada konsumen beras. Beras impor yang masuk melalui pelabuhan Belawan dan Tanjung Priok saat ini sebagian besar adalah beras dari Thailand dan terdapat sebagian kecil dari Vietnam. Para importir umumnya lebih menyukai satu patokan tarif impor seperti yang berlaku sekarang, bukan tarif impor variabel yang pernah menjadi wacana publik beberapa waktu lalu, yang justru lebih menyulitkan pada perhitungan cash flow dan business plan dan kegiatan usaha lainnya.
Namun demukian, gejala rendahnya pelaporan impor beras (under-reporting) dapat dengan mudah dijumpai di lapangan, yang amat berpengaruh pada rendahnya penerimaan negara dari sektor pajak impor ini dan pada efektivitas bea masuk impor beras secara umum. Beberapa faktor yang amat signifikan terhadap
tidak-efektifnya pajak impor tersebut antara lain: pertama, buruknya administrasi tentang identitas importir, sehingga beberapa importir tidak resmi amat leluasa beroperasi; kedua, adanya kartel perdagangan yang mengarah kepada mafia impor beras, bahkan satu-dua orang importir “menguasai” sekian banyak daftar importir yang tersebar di beberapa tempat; ketiga, kuatnya indikasi penyelundupan impor beras, terutama ke beberapa daerah “terbuka” seperti di Batam dan Dumai, karena terdapat disparitas harga yang amat besar (harga beras domestik yang berasal dari daerah sentra produksi di sekitarnya sangat tinggi, sedangkan harga beras impor dari Thailand dan Vietnam terkesan murah).
Tidaklah terlalu mengherankan apabila Departemen Keuangan (melalui Direktorat Bea dan Cukai) hanya mampu mengumpulkan penerimaan negara sebesar Rp 53,55 milyar pada tahun 2000 (April-Desember) atau hanya 18 persen yang seharusnya dapat dikumpulkan. Pada semester pertama tahun 2001, angka penerimaan negara dari impor beras mencapai Rp 96.65 milyar pada tahun 2001 (Januari-Juni) atau sekitar 62 persen dari yang seharusnya (data Bank Dunia, 2001). Tabel 1 berikut menampilkan data volume impor beras bulanan yang amat bervariasi menurut instansi (versi Bulog, Bea Cukai dan The Rice Trader) yang juga memberikan indikasi kuat telah terjadi fenomena under-reporting yang meresahkan. Semakin besar perbedaan antara volume impor beras yang dilaporkan dengan total impor beras yang sebenarnya, maka semakin besar pula kerugian yang diderita negara dan semakin jauh upaya penigkatan kesejahteraan petani melalui pengelolaan impor beras ini.
Tabel 1. Perkembangan Volume Impor Beras, 2000–2001 (dalam ton)
Bulan Total Impor
(Bulog) Total Impor (Bea Cukai) (The Rice TraderTotal Impor )
2000 531.140 897.655 1.511.611 Januari 118.080 53.957 186.163 Februari 194.650 44.107 217.826 Maret 51.510 8.691 118.225 April 98.850 285.286 181.300 Mei 8.800 210.981 102.407 Juni 0 46.047 105.667 Juli 13.000 90.457 124.380 Agustus 17.250 35.676 134.872 September 20.000 39.382 110.659 Oktober 9.000 43.490 100.922 November 0 14.959 75.729 Desember 0 24.622 53.461 2001 286.481 838.459 Januari 0 120.546 98.319 Februari 0 29.666 89.041 Maret 0 71.951 90.041 April 0 14.073 67.530 Mei 0 47.595 54.139 Juni 0 2.650 73.837 Juli 0 ta 61.720 Agustus 0 ta 136.582 September 0 ta 167.250 Oktober 0 ta ta November 0 ta ta Desember 85.000 ta ta
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain dalam jangka pendek, agar pada musim panen bulan Maret dan April tidak menjadi petaka bagi petani dan ketahanan pangan nasional, pengendalian terhadap impor beras ini harus diperbaiki dan ditingkatkan efektivitasnya. Di tengah perdebatan seru dengan pihak kreditor asing seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang selalu menganjurkan liberalisasi dan penurunan tarif bea masuk, perbaikan kapasitas kelembagaan dan aransemen institusi untuk mendukung upaya pembelaan dan perlindungan terhadap petani harus terus diupayakan.
Persoalan bea masuk impor beras menjadi semakin pelik ketika angka ramalan impor beras pada tahun 2002 ini diperkirakan melebihi angka impor tahun 2001 yang “hanya” tercatat 1,4 juta ton. Apakah tarif bea masuk impor beras sebesar Rp 430/kg (atau sekitar 30 persen) tersebut terlalu rendah atau terlalu tinggi dalam upaya memberikan perlindugan kepada petani pada saat musim panen bulan Maret-April 2002 ini? Jawaban atas pertanyaan ini harus dipikirkan secara matang dan hati-hati, dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sekedar pelajaran berharga dari penetapan tarif bea masuk impor beras tahun 2001 lalu, kegagalan memperjuangkan tarif bea masuk impor beras variabel (65 persen pada musim panen dan 30 persen pada musim paceklik) mungkin saja amat berhubungan dengan lemahnya kapasitas institusi yang tidak mampu melaksanakan fungsinya dengan baik untuk hanya jenis instrumen tarif impor sederhana sebesar Rp 430/kg atau sekitar 30 persen tersebut.
Penutup: Pilihan Kebijakan
Sebagai penutup, pilihan untuk berubah dari rezim kebijakan “liberal” ke arah yang lebih “protektif” dengan bea masuk impor beras jelas tidak sederhana yang diperkirakan. Apabila pemerintah akan terus menerapkan bea masuk, atau justru meningkatkannya dari sekedar 30 persen seperti sekarang, tidak ada jalan lain kecuali meningkatkan perangkat dan aransemen kelembagaan, termasuk pengawasan dan penegakan hukum yang sangat berhubungan dengan kebijakan tersebut. Kebijakan kompelemen dan kebijakan pendukung di bidang produksi dan distribusi atau perdagangan haruslah kompatibel dengan strategi ekonomi perberasan secara umum. Hal yang perlu dicatata adalah bahwa biaya transaksi untuk suatu rezim perdagangan ini jelas sangat besar, karena hal itu sangat berhubungan dengan kemampuan atau fungsi birokrasi dan administrasi kebijakan publik yang menyertainya. Dengan kata lain, seluruh komponen dan pelaku ekonomi, serta masyarakat harus siap menanggungnya.
Demikian pula, apabila pemerintah akan mereview atau meninjau ulang kebijakan pengenaan tarif bea masuk, pilihan yang harus diambil hanya dua, yaitu menegakkan mekanisme pasar atau memperbaiki kebijakan “standar” harga dasar dan operasi pasar dan operasi pasar khusus. Implikasinya, keputusan politik untuk meningkatkan kesejahteraan pelaku ekonomi perberasan, terutama petani dan konsumen miskin, haruslah didukung oleh technical analysis yang memadai dan mempertimbangkan tegaknya mekanisme pasar dan bekerjanya sistem kelembagaan. Mengingat begitu strategisnya komoditas beras ini, baik secara politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain, langkah ke depan sebaiknya diarahkan pada penajaman target kebijakan, terutama akan menerapkan segmentasi pasar untuk kelompok sasaran berbeda.