• Tidak ada hasil yang ditemukan

MONOPOLI STRUKTURAL DAN KORUPSI SISTEMIK

Dalam dokumen FORMASI MAKRO-MIKRO EKONOMI INDONESIA (Halaman 126-133)

Pendahuluan

Ketika raksasa komputer dunia Microsoft mulai terseret ke pengadilan Amerika Serikat (AS) karena didakwa telah melanggar undang-undang anti-monopoli (anti-trust law) AS, diskusi publik juga merambah ke dunia akademik. Argumen yang mendukung menyakini bahwa monopoli memang menimbulkan distorsi ekonomi dan keresahan sosial, karena sebagai produsen tunggal yang sukar tersaingi, perusahaan memiliki kekuatan besar dan dapat secara leluasa menentukan harga jual dan jumlah produk yang harus dilempar ke pasaran. Masyarakat konsumen harus membayar harga produk yang jauh lebih mahal dari harga pasar yang sebenarnya.

Namun demikian, tidak sedikit argumen yang mentolerir suatu kekuatan monopoli tersebut, asalkan masih natural (alamiah) dan tidak terlalu eksesif. Maksudnya, suatu perusahaan yang dikelola secara baik dan profesional dan kemudian tumbuh besar karena daya inovasi dan kreativitasnya, sudah selayaknya memperoleh penghargaan dari masyarakat, berupa pembayaran harga produk yang lebih tinggi. Suatu perusahaan tidak serta merta dapat dipersalahkan hanya karena keunggulannya berinovasi dan menemukan terobosan teknologi baru yang mengarah pada tingkat efisiensi tinggi yang amat diharapkan oleh suatu perekonomian.

Sampai saat ini, persidangan kasus Microsoft itu masih terus berlangsung dengan berbagai anak-kasus yang semakin

Kabarnya, banyak profesor di jurusan bisnis, ekonomi, dan hukum bisnis dan hukum perdata lain di beberapa universitas AS mengharuskan mahasiswanya mengikuti lebih seksama setiap sidang yang sering ditayngkan live jaringan televisi setempat dan mengharuskan membuat resensi dan komentar terhadap perkara praktik persaingan usaha tersebut.

Praktik Monopoli di Indonesia

Gejala monopoli dan praktik persaingan tidak sehat yang terjadi di Indonesia amat jarang yang murni berbasis inovasi, kreativitas dan pengembangan teknologi baru semata. Struktur monopoli tidak jarang disertai suatu proses penumpukan aset, perluasan skala usaha karena konglomerasi saja, doing all things about everything, yang terfasilitasi oleh pusat-pusat kekuasaan. Domain bisnis dicampur-aduk dengan domain publik, karena praktik monopoli yang dibungkus proses konglomerasi itu menjanjikan suatu rente ekonomi bagi birokrasi dan akses politik bagi sektor swasta itu sendiri. Lebih mengenaskan lagi, publik pun harus menanggung seluruh dampak distorsi ekonomi dan inefisiensi yang ditimbulkan karena sebagian besar aset-aset produktif dikuasai oleh segelintir orang atau kelompok elit ekonomi-politik yang sering menempel pada pusat birokrasi dan kekuasaan.

Tidaklah terlalu mengherankan apabila ada perusahaan atau kelompok usaha mampu menguasai jaringan produksi, distribusi, pengolahan lanjutan menjadi produk turunan sampai lebih dari 90 persen. Sang kelompok usaha juga mampu membuat sekian lapis pasar menjadi ter-integrasi secara vertikal dan horizontal, sehingga kelompok produsen bahan baku dan kelompok konsumen produk akhir dibuatnya amat tergantung baik secara ekonomis maupun secara bisnis. Tentu saja mudah diduga bahwa hampir semua nilai tambah di hulu dan di hilir jatuh dan dinikmati kelompok usaha tersebut. Fenomena seperti inilah yang dikenal sebagai monopoli struktural, yang jauh lebih buruk dari sekedar gejala monopoli usaha seperti dijelaskan sebelumnya.

Sebenarnya, sang kelompok usaha terkenal itu tidak dapat dipersalahkan begitu saja karena sebelum tahun 1999, Indonesia belum pernah memiliki perangkat hukum atau aransemen kelembagaan yang mengatur persaingan usaha dan pembatasan monopoli tersebut. Dengan kata lain, segala macam bentuk monopoli yang terjadi sebelum 1999 dapat disebut legal karena tidak ada suatu perundangan yang dilanggar secara eksplisit oleh praktik persaingan tidak sehat.

Di atas kertas, dengan diberlakukannya aransemen kelembagaan untuk kerangka langkah afirmatif terhadap Undang- Undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Sehat, gejala konglomerasi dan ekpansi usaha yang mengarah pada monopoli – apalagi bentuk monopoli struktural – seperti masa lalu diharapkan tidak boleh terulang lagi. Tentu saja, implementasi dan enforcement dari aransemen kelembagaan itu tidak segampang yang diduga, karena persoalan ekonomi dan kebijakan yang terlihat telah berubah menjadi suatu persoalan legal-formal yang masih tergantung pada berbagai faktor, dari aparat penegak hukum, sampai pada perangkat pendukung lain seperti jaringan keterbukaan informasi yang dibutuhkan.

Akhirnya, seluruh langkah tentang penegakan aransemen kelembagaan itu tergantung pada sepak terjang Komisi Pemantau Persaingan Usaha (KPPU) yang terbentuk sehubungan dengan UU tersebut. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu bahu- membahu menegakkan landasan hukum dan aransemen kelembagaan atau UU paling vital bagi terciptanya iklim usaha persaingan yang sehat dan terhindarnya praktik monolopli yang amat meresahkan perekonomian.

Perumisasi Bulog: Kembali Monopoli?

Perumisasi atau rencana perubahan status Badan Urusan Logistik (Bulog) dari lembaga non-departemen biasa menjadi

menghilang dua tahun. Perdebatan kali ini seakan lebih seru dan mendebarkan, mungkin karena menyangkut lembaga Bulog itu sendiri, atau karena substansi Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) yang dikhawatirkan dapat menimbulkan distorsi, atau karena dianggap terdapat muatan politis yang sarat dengan berbagai kepentigan jangka pendek.

Sebenarnya tidak ada yang perlu dipermasalahkan apabila Bulog akan diubah menjadi suatu Perum yang lebih berorientasi mengejar keuntungan. Saat ini Bulog tidak lagi memperoleh berbagai fasilitas seperti Kredit Likuiditas Bank Indonesia (BI), jaminan buga rendah, otoritas komando yang begitu kuat dari pusat pemerintahan untuk berkoordinasi dengan instansi lain, termasuk sektor perbankan. Untuk melakukan pengadaan dan distribusi pangan saja, konon Bulog harus menggunakan dana pinjaman senilai Rp 6 triliun dengan suku buga komersial 19 persen. Lagi pula, pencampuradukan antara fungsi bisnis (seperti pengadaan dan impor beras itu) dengan fungsi publik (seperti stabilisasi harga beras, operasi pasar dan penyaluran beras untuk orang miskin) tidak akan dapat bertahan lama. Fenomena perburuan rente (rent-seeking) di sekitar birokrasi cukup sukar untuk diberantas dalam waktu singkat karena masih primitifnya institusi pasar untuk komoditas yang amat strategis tersebut, sekedar tidak menyebut aspek moral.

Namun, karena cakupan bidang pangan yang diusulkan oleh Perum LPN nyaris tidak terbatas, skeptisme yang muncul di masyarakat adalah bahwa seluruh komoditas strategis selain beras seperti terigu, gula pasir, minyak goreng, kedelai, bawang putih akan berada dalam rengkuhan Perum baru tersebut. Masyarakat sebenarnya juga amat letih untuk menyaksikan praktik monopoli yang cenderung tidak beradab seperti masa lalu karena tidak terbatasnya akses dan penguasaan pangsa pasar.

Dari perspektif teori ekonomi politik, unsur monopoli itulah yang merupakan sinyal awal atau komponen terpenting dari prilaku, budaya dan penyakit korupsi yang diderita bangsa Indonesia. Pada kesempatan lain, penulis pernah membuat model sederhana tentang korupsi yang terbangun dari monopoli,

ditambah diskrepansi, dikurangi transparansi (K=M+D-T). Model itu sekedar untuk mengkuantifikasi dampak sosial ekonomi korupsi, yang tentu membawa distrosi ekonomi, merusak sistem insentif yang dibangun melalui mekanisme pasar, serta menjadi sumber ekonomi biaya tinggi, yang menyebabkan inflasi tinggi, menurunkan daya beli masyarakat yang sedang tertimpa krisis ini (Arifin, 2002).

Masih segar dalam ingatan masyarakat, bahwa Bulog yang pernah amat “berjaya” pada masa lalu ternyata menjadi sumber inefisiensi sampai mencapai Rp 6,7 triliun sebagaimana dilaporkan hasil audit lembaga terkemuka Arthur Andersen. Apalagi, skandal demi skandal yang melibatkan pejabat tinggi negara karean dana non-budgeter yang bersumber dari Bulog juga telah menguras energi bangsa yang sedang tertatih-tatih mencoba bangkit dari krisis. Maksudnya, tidaklah pada tempatnya untuk beromantisasi menghidupkan kembali praktik-praktik menjalankan bisnis secara monopoli yang hampir pasti berujung pada korupsi, baik dalam domain publik maupun pasar.

Dalam hal urusan pangan ini, amanat yang diembankan rakyat melalui Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) kepada pemerintah sebenarnya relatif “sederhana”, yaitu tercapainya suatu tingkat ketahanan pangan (food security) dan kesejahteraan petani dan anggoata masyarakat lainnya. Memang, ketahanan pangan dapat memiliki perspektif mikro tentang kecukupan pangan dan gizi bagi seluruh lapisan masyarakat, tapi dapat juga bermakna sangat makro tentang ketersediaan dan keterjangkauan bahan pangan dalam konteks pasar nasional, regional dan pasar lokal.

Oleh karena itu, pembahasan dan wadah aransemen kelembagaan yang meng-govern Perum Logistik Pangan itu lebih tepat apabila berada pada level undang-undang karena cakupannya begitu luas. Pembahasan yang berlangsung dapat lebih terbuka dan terpantau, minimal melibatkan para wakil rakyat yang terhormat di Senayan. Karena persoalan ketahanan pangan tidak hanya menyangkut aspek pengadaan dan distribusi semata, pemerintah wajib menunjuk suatu lembaga otoritas pangan yang

mampu menjalankan fungsi-fungsi ketahanan pangan dalam perspektif makro dan mikro di atas.

Misalnya, rusaknya areal persawahan dan pusat-pusat produksi padi di seluruh Indonesia karena bencana banjir, tentu saja tidak akan dapat hanya dengan solusi impor beras saja, yang amat berdimensi makro dan nasional. Inilah esensi sebenarnya peran yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat dari suatu pemerintahan daerah yang otonom tersebut. Bagaimana pemerintah pusat mampu mendorong desentralisasi kebijakan rehabilitasi sentra-sentra produksi itu di tingkat daerah, dengan orkestrasi kebijakan yang tidak harus tersentralistis dari pusat, tapi memiliki visi ketahanan pangan di tingkat nasional. Mungkin, wacana pelibatan peran serta sektor swasta dan masyarakat madani yang lebih terbuka perlu lebih didorong kuat, terutama dalam kerangka public-private partnership yang lebih beradab, yang sekaligus dapat meningkatkan governance, transparansi serta akuntabilitas publik.

BAB 14

RESTRUKTURISASI KORPORASI

Dalam dokumen FORMASI MAKRO-MIKRO EKONOMI INDONESIA (Halaman 126-133)