• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN LITERATUR

B. Ketunanetraan

5. Dampak Ketunanetraan

Pada umumnya orang awas berpendapat bahwa kelompok penyandang tunanetra merupakan suatu kelompok minoritas, seperti halnya kelompok orang negro dengan kulit putih. Pada kalangan penyandang tunanetra yang baru ditemukan, mereka cenderung menunjukan perilaku-perilaku yang tidak sesuai atau selaras dalam menghadapi berbagai situasi dan seringkali menunjukan reaksi-reaksi yang tidak masuk akal. Mereka yang memiliki penglihatan yang tidak sempurna cenderung patuh atau tunduk dalam hubungan intrapersonal dengan orang awas.

Namun demikian dalam pandangan orang awas, orang tunanetra juga sering memiliki kelebihan yang sifatnya positif seperti kepekaan teerhadap suara, perabaan, ingatan, keterampilan dalam memainkan alat musik, serta ketertarikan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral dan agama (Somantri, 2006: 88).

Sedangkan bagaimana sikap orang tunanetra terhadap kebutaannya. Dikatakan oleh Bauman (Kirtley, 1975) bahwa keberhasilan dalam penyesuaian sosial dan ekonomi pada penyandang tunanetra berkaitan erat dengan sikap-sikap diri dan keluarganya terhadap penerimaan secara emosional yang realistik terhadap kebutaannya serta pemilikan kemampuan intelektual dan stabilitas psikologis, dan sebagainya. Yang paling berat dan pertama kali merasakan damapak ketunanetraan anak adalah keluarganya, terutama orang tua, kehadiran anak tunanetra akan melahirkan berbagai reaksi dari orang tua. Bagaimana reaksi orang tua tersebut dalam menerima kehadiran anak yang tunanetra akan sangat berpengaruh terhadap keseluruhan perkemabangan pribadi-pribadi anak dikamudian hari. Reaksi orang terhadap ketunanetraan anaknya pada umumnya dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:

a. Penerimaan secara realistik terhadap anak dan ketunanetraannya. Sikap ini ditujuakan dengan pemberian kasih sayang yang wajar serta pemberian perlakuan yang sama dengan anak lainnya, mereka juga terbuka terhadap permasalahan yang dihadapi anak dan keluarganya.

b. Penyangkalan terhadap ketunanetraan anak. Ketunanetraan anak biasanya ditanggapi dengan sikap yang terbuka, tetapi disertai dengan alasan-alasan

yang tidak realistik terhadap kecacatannya, tarutama terhadap kebutuhan dan permasalahannya. Dalam pendidikan, orang tua seringkali tidak percaya bahwa anaknya perlu layanan pendidikan secara khusus dan menyangkal bahwa akhirnya prestasinya rendah.

c. Perlindungan yang berlebihan. Biasanya dilakukan orang tua sebagai kompensasi karena ketunanetraan anaknya dirasakan sebagai akibat dari perasaan bersalah atau berdosa. Sikap ini cenderung tidak menguntungkan anak karena akan mengahmbat perkembangan dan kematangan anak terutama dalam aspek kemandirian.

d. Penolakan secara tertutup. Biasanya ditujukan dengan sikap menyembunyikan anaknya dari masyarakat. Ia tidak ingin diketahui bahwa ia memiliki anak yang tunanetra, tidak peduli, tidak menyayangi, dan cenderung mengasingkan anaknya dari lingkungan keluarga.

e. Penolakan secara terbuka. Penolakan secara terbuka biasanya ditunjukan dengan sikap bahwa secara terus terang ia menyadari ketunanetraan anaknya, tetapi sebenarnya secara rasio maupun emosional tidak pernah dapat menerima kehadiran anaknya tersebut. Orang tua yang demikian biasanya bersikap bertahan dan tidak pernah merasa bersalah dan mau menerima kenyataan tersebut. Ia cenderung ingin mencari tahu sebab-sebab ketunanetraan anaknya pada orang lain atau para ahli. Tetapi tidak pernah menemukan jawabannya. Pada akhirnya orang tua yang demikian biasanya bersikap masa bodoh dan tidak peduli dengan segala kebutuhan anaknya.

Mengenai sikap para guru sebagaimana penyelenggara pendidikan, hasil penelitian Murphy (Kirtley, 1975) menunjukan bahwa pada umumnya para guru (guru umum dan guru PLB) cenderung lebih bersifat positif terhadap anak tunanetra. Hasil penelitian ini juga dapat dimaklumi karena para guru pada umumnya tidak pernah berhubungan dengan anak tunanetra, khususnya didalam kelas, sementara itu hasil penelitian Sunaryo dan Sunardi (1992) terhadap guru-guru SD menunjukan bahwa pada umumnya para guru-guru memiliki sikap yang cukup positif terhadap anak luar biasa pada umumnya, termasuk tunanetra (Somantri, 2006: 90).

6. Sistem Pendidikan bagi Tunanetra

Undang undang dasar tahun 1945 menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Perhatian pemerintah untuk pendidikan tunanetra terus ada, posisi anak tunanetra dalam sistim pendidikan secara hukum telah jelas. Tahun 1979 keluar keputusan Menteri Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No. 0222/ 0/ 1979 tgl 28 September 1979 tentang penyelenggaraan perintisan dan pengembangan pendidikan terpadu bagi anak luar biasa di sekolah dasar. Sebelum pendidikan terpadu ada, anak tunanetra, khususnya di Bandung, sudah ada yang mengikuti pendidikannya dari sekolah umum bahkan sudah ada yang sudah mencapai gelar Sarjana. Tahun anggaran 1982/ 1983 melalui Inpres Nomor 4/1983 didirikanlah SDLB disetiap kabupaten/ kotamadya yang belum memiliki SLB. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 0491/ U/ 1992 tentang Pendidikan Luar Biasa yang antara lain menetapkan bentuk satuan PLB sebagai berikut: TKLB; SDLB; SLTPLB; SMLB.

Bentuk penyelenggaraan pendidikan bagi tunanetra dapat berupa: (1) Sekolah Terpadu; (2) Kelas Khusus; (3) Guru Kunjung; (4) SLB/ A; (5) SDLB.

Di Amerika Serikat, saat ini, tahun 1940-an sampai tahun 1950-an ribuan bayi yang lahir prematur mengalami kerusakan pada penglihatan karena

Retinopathy of Prematurity (ROP), sehingga sekolah untuk tunanetra tidak bisa lagi menampung, dan orang tua tidak ingin anaknya dididik di SLB yang letaknya jauh. Untuk mengatasi keadaan ini sekolah biasa untuk anak tunanetra. Perkembangan selanjutnya membuka berbagai macam lembaga pendidikan. Metode-metode pendidikan:

a. Program Pra Sekolah (Home- Based Program & School- Based Program) ; b. Program Sekolah Dasar,

c. Program Sekolah Lanjutan.

Selanjutnya pendidikan di Amerika Serikat memperhatikan: Normalisasi Integrasi perbedaan Budaya. Pilihan pendidikan:

a. Regulae Class Onlyatau kelas Biasa dengan guru biasa (tanpa guru PLB) ; b. Regular Class with Consultation atau kelas biasa dengan guru biasa

(dengan konsultasi dengan guru PLB) ;

c. Itinerant Teacher atau guru kunjung yakni kelas biasa dengan guru biasa (bantuan guru kunjung) ;

d. Resource Teacher atau guru sumber yakni kelas biasa dengan guru biasa, namun dalam beberapa kesempatan anak berada di ruang sumber dengan guru sumber;

e. Pusat Diagnostik- Prescriptif;

f. Hospital or Homebound Instruction atau Pendidikan di Rumah atau di Rumah Sakit;

g. Self- Contained Class atau kelas khusus di sekolah biasa bersama guru PLB;

h. Special Day Schoolatau Sekolah Luar Biasa tanpa asrama ;

i. Residential School atau Sekolah Luar Biasa berasarama (Widdjajantin, 2004: 115).

Pendidikan tunanetra di Eropa dimulai pertama kali di Prancis pada abad 18. Vanlentin Hauy orang pertama yang memperhatikan pendidikan bagi anak tunanetra. ” Institution des Jeunes Avengles” di Paris tahun 1784, dengan murid pertama Francois Leseuer. Sistem pendidikannya menekankan pada kemampuan akademis. Awal abad 19 Sekolah Luar Biasa (Residential School) untuk tunanetra mulai berdiri di beberapa negara lain meliputi Inggris, Skotlandia, Austria, Jerman dan Rusia (Roberts, 1986: 55-58).

C. Literasi Informasi

1. Pengertian Literasi Informasi

Salah satu indikator yang paling penting untuk mengukur status kemajuan suatu negara adalah ketersediaan sistem informasi nasional yang menyeluruh,

terpadu dan sistematik. Dengan demikian memungkinkan setiap individu mempunyai peluang yang sejajar dan mudah untuk mengakses dan memanfaatkan informasi yang dibutuhkannya. Istilah informasi dalam konteks ini mencakup semua jenis data seperti data berupa angka, pengetahuan nyata (faktual), petunjuk-petunjuk, perintah-perintah, prosedur-prosedur, daftar permintaan, laporan-laporan, dan berbagai sumber informasi lainnya. Semua informasi tersebut sangat berguna untuk satu pengambilan keputusan bagi tiap individu dan kelompok.

Informasi dan pengetahuan menuntut kemampuan pemakai dalam mengidentifikasi, mengakses, menganalisa dan mengevaluasi serta memanfaatkannya. Karena itu perlu adanya suatu kesadaran baik dari pihak pemerintah maupun non pemerintah untuk melakukan tindakan nyata yang mempromosikan pendidikan literasi informasi. Kesadaran masyarakat akan perlunya literasi informasi adalah dimana harus mempunyai keterampilan yang dapat membantu memecahkan permasalahan ( survival skills) adalah penting bagi semua orang (Farida, 2005: 5).

Sebenarnya konsep literasi informasi adalah bukan hal yang baru, karena kelahiran literasi informasi diawali dengan serangkaian program yang sudah lama dilakukan oleh pustakawan di manapun di dunia ini yaitu instruksi perpustakaan (library instruction), instruksi bibliografi (bibliographic instruction), dan pendidikan pemakai (user education).

Literasi informasi bertujuan untuk merespon ketidakmaksimalan program instruksi perpustakaan, instruksi bibliografi, dan pendidikan pemakai dalam

memenuhi kebutuhan pemakai saat ini. Literasi informasi memiliki makna yang lebih luas dan dalam daripada ketiga program tersebut di atas. Literasi informasi menunjukan perubahan dalam orientasi dari pengajaran sumber informasi secara lebih spesifik, kini menuju kesuatu set keterampilan dalam berfikir kritis termasuk juga penggunaan informasi. Sehingga literasi informasi dijadikan sebagai bagian dari proses pendidikan (Alfida, 2009: 234).

Istilah ” Information Literacy” pertama kali digunakan oleh Paul Zurkowski, lebih dari 30 tahun lalu. Dia menggambarkan orang-orang yang ketika itu melek informasi terhadap pekerjaan mereka, mereka belajar teknik-teknik dan keterampilan-keterampilan untuk memanfaatkan cakupan yang luas dari sarana informasi sebagaimana juga sumber-sumber utama dalam memecahkan permasalahan mereka (Farida, 2005: 11).

Literasi informasi merupakan kunci dari pembelajaran sepanjang hayat.

Information power menawarkan seperangkat dari sembilan standar dari literasi informasi yang didesain ” untuk membimbing dan mendukung para pustakawan” terhadap uasaha-usaha didalam tiga area-area utama; pembelajaran dan pengajaran, akses informasi dan administrasi program (Information Power, 1998).

The Southern Association of Colleges and Schools(1996), mendefinisikan information literacy sebagai ” kemampuan menemukan, mengavaluasi, dan menggunakan informasi untuk menjadi pelajar sepanjang hayat yang mandiri.The State University of New York Council of Library Directors didalam prakarsanya (1997) mendefinisikan information literacy sebagai ” kemampuan mengenali

kapan informasi dibutuhkan dan menemukan, mengevaluasi, menggunakan secara efektif, serta mengkomunikasikan informasi dalam beragam formatnya.

Dari kedua definisi information literacy tersebut sudah seharusnya merupakan komponen yang integral dari layanan media perpustakaan sekolah. Bagaimanapun, bukan saja hingga sejak diperkenalkannya komputer disekolah-sekolah dan pusat-pusat media perpustakaan disekolah-sekolah, urgensiinformation literacy

juga merupakan suatu yang penting. Perpustakaan pada lembaga pendidikan merupakan lingkungan yang aktif dan dapat melakukan kerjasama dengan guru atau dosen, siswa atau mahasiswa dalam meningkatkan berbagai keterampilan melek informasi (information literacy) dan menanamkan kebiasaan menjadi pembelajar sepanjang hidup (Lifelong Leaner) (Farida, 2005: 10).

2. Program Literasi Informasi di sekolah

Pengalaman pendidikan tidak hanya meliputi aktifitas mengingat akan belajar (memorization), tetapi merupakan kegiatan yang hidup, proses berfikir yang kompleks, diserap melalui energi kreatif dan kritis. Literasi informasi merupakan kunci penutup segudang informasi, yang memungkinkan anak memasuki dan memilih pintu yang mana yang akan memuaskan atas pertanyaannya. Literasi informasi merupakan suatu proses berfikir yang memungkinkan seseorang untuk mencari informasi, mengumpulkan, membedakan, menganalisa, mengevaluasi, dan mengaplikasikan informasi untuk memecahkan masalah (Wahyudiati, 2008: 1). Proses di atas menunjukkan bahwa

dalam mendapatkan informasi harus mempunyai pengetahuan khusus, agar informasi yang didapat sesuai dengan kebutuhan.

Hal ini memungkinkan seseorang untuk memahami dan mengakomodasi informasi ke dalam susunan perkembangan kognitif seseorang sebagai pengetahuan. Oleh karena itu, memungkinkan individu memecahkan masalahnya di kemudian hari. Pengalaman pendidikan dapat merangsang pertumbuhan dari dalam diri seseorang untuk meraih proses berfikir, menggunakan, dan menggali lingkungan fisik dan sosial. Pustakawan menciptakan laboratorium belajar di mana segala macam bentuk sumber dapat menghadirkan dunia informasi kepada siswa.

Guru dan administrator telah dirangsang untuk melihat proses belajar mengajar dengan strategi baru. Keterampilan menggunakan perpustakaan seharusnya diintegrasikan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dari setiap subjek yang diajarkan. Kesulitan yang terjadi adalah bahwa siswa dan guru memiliki beban yang cukup besar sebagaimana tersirat dalam kurikulum yang harus dicapai dalam waktu tertentu.

Anak didik perlu menyadari bahwa ilmu pengetahuan yang mereka peroleh tidak terpisahkan dari aspek pengetahuan lain yang terkandung di berbagai sumber, media dan alam sekitarnya. Pada diri anak didik perlu juga ditanamkan pengertian bahwa kemampuan dan keterampilan mereka akan berkembang dengan meningkatkan penggunaan berbagai sumber atau media informasi yang lebih luas, termasuk media internet, buku-buku fiksi, dan lain-lain, termasuk lewat pengamatan kejadian di lingkungan sekitarnya. Sehingga buku

teks bukan merupakan satu-satunya sumber pengetahuan mereka. Oleh karena itu, kegiatan belajar perlu dilengkapi dengan beragam bahan bacaan dan literatur sebagai sarana penguatan dan pengayaan keilmuan yang terkandung pada buku ajar dan kurikulum sekolah (Nuryudi, 2006: 14).

Pemahaman akan keterkaitan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari perlu untuk ditanamkan ke dalam diri anak didik sejak dini. Untuk itu, para pustakawan hendaknya proaktif terhadap rencana-rencana pemanfaatan sarana perpustakaan untuk kegiatan proses belajar yang lebih intensif. Pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, misalnya, guru dan pustakawan dapat menerapkan sistem pembelajaran dengan pendekatan pemberian tugas ilmiah dimana siswa akan terlatih untuk mengolah pengetahuan atau keterampilan yang mereka peroleh secara lebih mendalam.

Guru dan siswa akan terdorong untuk menggunakan sumber daya informasi yang ada di perpustakaan secara maksimal. Dengan ini diharapkan guru dan pustakawan dapat mengidentifikasi bakat dan minat anak didik untuk dibimbing dengan sistematis dengan memberikan sarana kebutuhan informasi termasuk keahlian dalam penilaian dan penelusurannya.

Program ini juga membimbing siswa akan terbentuknya kecakapan dalam mengolah dan mengorganisir berbagai fakta sehingga terjadi sinkronisasi dengan kebutuhan, kecakapan dalam menciptakan pengetahuan dengan menghubungkan informasi yang baru dengan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya, termasuk kecakapan dalam menggunakan pengetahuan tersebut secara bijaksana dalam kehidupan sehari-hari. Ini termasuk keterampilan-keterampilan khusus seperti

penyelesaian masalah, berfikir kritis, dan memahami keterkaitan antara data dan informasi ( Nuryudi, 2006: 24).

Kemampuan literasi informasi dapat dilakukan apabila seseorang mempunyai kemampuan intelegensi, dan kemampuan intelegensi tergantung pada indera-indera yang berhubungan seperti indera pendengaran, perabaan, dan pengecapan. Bagaimana dengan seseorang yang berkelainan, contohnya tunanetra tentunya tidak sama pengaplikasian literasi informasi bagi anak tunanetra dengan orang awas.

Membaca adalah salah satu unsur dalam literasi informasi setelah informasi itu ditemukan, bagaimana dengan kemampuan membaca anak tunanetra, kemampuan membaca anak tunanetra merupakan proses perkembangan yang sulit, karena kerusakan penglihatannya sehingga seorang anak tunanetra harus terampil menggunakan perabaan untuk membaca. Untuk mampu membaca dengan baik anak tunanetra harus menggabungkan dua inderanya yaitu perabaan dan pengucapannya, jika salah satunya mengalami kelainan, maka hal ini akan terpengaruh terhadap kemampuan membacanya.

Kemampuan membaca anak tunanetra tidak terlepas dari persoalan kemampuan belajar itu sendiri. Kemampuan belajar yang dimaksud di sini adalah kemampuan intelegensi/ kecerdasannya.

Sehubungan dengan itu, Tampubolon mengemukakan bahwa:

Kemampuan belajar pada anak-anak tidak sama, karena intelegensi berbeda-beda tingkatannya, dan juga karena faktor lainnya. Ada anak yang

cepat menangkap dan memahami pelajaran, tetapi ada juga yang lamban. Kekurangmampuan belajar ini sudah tentu mempengaruhi anak dalam membaca, baik dalam pelajaran membaca permulaan maupun membaca lanjutan untuk pemahaman.

Dari uraian di atas jelas bahwa faktor intelegensi mempunyai pengaruh yang substansial terhadap kemampuan membaca anak tunanetra yang mengalami kelainan penglihatan, sudah barang tentu mengalami pula kesulitan dalam membaca. Dengan adanya huruf braille, anak tunanetra dapat membaca dengan mempergunakan indera perabaannya, namun demikian tetap masih ada anak tunanetra yang mengalami kesulitan membaca (Tim Peneliti Mahasiswa, 1995: 13).

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan membaca permulaan yaitu: kompetensi kebahasaan, kemampuan mata, teknik-teknik dan metode-metode membaca, serta kebiasaan membaca.

1. Kompetensi kebahasaan

Penguasaan bahasa terutama bahasa lisan, dalam hal ini penguasaan bunyi-bunyi/ lafal masing-masing abjad sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca permulaan anak tunanetra.

2. Kemampuan mata

Disebabkan karena kelainan matanya, maka setiap anak tunanetra, dapat dipastikan akan mengalami kesulitan membaca huruf awas. Oleh karena itu dengan adanya huruf braille, maka anak tunanetra dapat juga membaca dan mengenal huruf.

3. Teknik-teknik dan metode-metode membaca

Teknik dan metode ini berhubungan dengan proses belajar mengajar, hal ini berarti guru yang memegang peranan penting dalam menerapkan teknik dan metode membaca dalam proses belajar mengajar. Meningkatkan teknik dan metode yang bervariasi dapat meningkatkan minat anak untuk belajar membaca. 4. Kebiasaan membaca

Kebiasaan membaca itu tidak muncul dengan sendirinya, artinya butuh waktu cukup lama untuk membentuk kebiasaan itu, oleh karena itu faktor minat dan kebiasaan tidak boleh diabaikan. Minat dan motivasi yang tinggi untuk belajar membaca akan menjadikan anak tunanetra terbiasa membaca (Tim Peneliti Mahasiswa, 1995: 16).

Program literasi informasi yang diterapkan secara kelembagaan atau sebagai program nasional yang dilakukan secara bersama, adalah sangat bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Kemampuan dalam memanfaatkan informasi sesuai dengan apa yang diperlukan bagi proses pembelajaran atau bagi tujuan-tujuan lain dalam kehidupan, jelas akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia secara keseluruhan (Farida, 2005:10).

52

A. Sekolah Luar Biasa-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta

1. Sejarah Singkat

Sekolah Luar Biasa untuk Tunanetra Pembina Tingkat Nasional (SLB-A PTN Jakarta) sebagai lembaga pendidikan untuk tunanetra didirikan oleh pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 9 Desember 1981 dan diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, Soeharto. Sekolah khusus ini berlokasi di kompleks perumahan anggota DPR dan Departemen Kehakiman, di Jalan Karang Tengah, Jakarta Selatan; tepatnya di Jalan Pertanian Raya, Lebak Bulus, Jakarta Selatan 12440. SLB-A PTN merupakan lembaga khusus tunanetra yang bertaraf nasional dan merupakan satu-satunya lembaga yang ada di Indonesia. Peresmian tersebut sekaligus sebagai puncak acara kegiatan Tahun Internasional Para Cacat (TICA) PBB di tahun yang sama.

Pembangunan sekolah ini adalah realisasi dari salah satu program nasional dalam usaha peningkatan mutu pendidikan anak tunanetra. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sub Direktorat Pendidikan Luar Biasa, memberikan lahan seluas 4,5 hektar guna dibangun fasilitas pendidikan luar biasa untuk kecacatan tunanetra. Bangunan di lahan seluas 4,5 hektar meliputi gedung sekolah, wisma, asrama, perumahan guru dan karyawan, gedung orientasi dan

mobilitas, perpustakaa, taman bermain, resources center, dan unit percetakan

braille.

Tahun 1983 diangkat seorang Kepala Sekolah untuk SLB-A Pembina Tingkat Nasional, disusul dengan pengangkatan guru-guru baru, sedangkan murid belum ada karena murid yang ada di Lebak Bulus adalah murid di SLB Negeri Bagian A Jakarta dari Jln. RS Fatmawati, Cilandak. Dengan demikian maka dalam satu lokasi gedung terdapat 2 SLB yang sama-sama menangani pelayanan pendidikan bagi anak tuanentra.

Tahun 1986 (November), keputusan membagi murid SLB Negeri bagian A Jakarta untuk SLB Negeri Bagian A Jakarta sendiri dan SLB-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta. Atas persetujuan Ka Kanwil Depdikbud DKI Jakarta dan Ditdiknas, SLB Negeri Bagian A jakarta secara berangsur-angsur menyerahkan murid tunanetranya kepada SLB-A PTN. Sementara SLB Negeri Bagian A Jakarta secara berangsur merintis menerima murid B dan C Sebagai SLB Negeri Persiapan B/C. SLB-A PTN mengelola wilayah bagian utara, SLB Negeri Jakarta mengelola wilayah bagian selatan.

Tahun 1987 Gedung SLB Negeri di Jln. RS Fatmawati resmi dihapus dengan SK Mendikbud No. 0358/M/1987 tertanggal 20 Juni 1987, sedangkan tanahnya dikembalikan kepada Depsos. (Tahun 1991 Wisma Tan Miyat secara keseluruhan pindah ke Bekasi). Secara resmi pula pemindahan kegiatan SLB Negeri Bagian A Jakarta ke Lebak Bulus diterbitkan SK Mendikbud No. 0384/0/1987 tertanggal 1 Juli 1987.

Tahun 1992 siswa tunanetra seluruhnya ditangani SLB-A Pembina Tingkat Nasional, sedangkan SLB Negeri Bagian A Jakarta seluruhnya melayani pendidikan anak tunarungu dan tunagrahita (B) dan (c).

2. Tugas dan Fungsi

Berdasarkan SK. Mendikbud No. 0413/0/1981 tugas dan fungsi SLB-A PTN adalah

1. Melakukan percontohan pendidikan tingkat persiapan, dasar, lanjutan dan menengah sesuai dengan kurikulum yang berlaku

2. Mengadakan pemeriksaan psikologis, medis dan sosiologis

3. Melakukan kajian di bidang proses belajar mengajar di SLB dan Penerapannya

4. Mengadakan latihan dan penyegaran bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya serta penyelenggaraan pendidikan luar biasa

5. Melakukan bimbingan dan penyuluhan bagi siswa dan masyarakat 6. Membina hubungan kerjasama dengan orang tua siswa dan masyarakat 7. Melakukan publikasi yang menyangkut pendidikan luar biasa sesuai

dengan kelainannya

8. Melakukan urusan tata usaha rumah tangga sekolah

3 Visi dan Misi

Visi dan misi dari sekolah luar biasa pembina tingkat nasional jakarta adalah sebagai serikut:

a. Visi

Terwujudnya pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dengan gangguan penglihatan menjadi pribadi yang mandiri, taqwa, cerdas dan terampil dalam masyarakat inklusif

b. Misi

1. Mengurangi dampak gangguan penglihatan melalui intervensi dini (baik usia maupun kemampuan) dan rehabilitasi

2. Meningkatkan/ memperluas pengetahuan, wawasan, pengalaman dan sikap percaya diri melalui pendidikan inklusif

3. Meningkatkan keterampilan dan memperluas peluang kerja melalui pendidikan inklusif

4. Mendorong terwujudnya kesamaan hak dan kesempatan melalui kesetaraan perlakuan

B. Perpustakaan Sekolah Luar Biasa-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta

1. Sejarah Singkat

a. Awal Berdiri

Perpustakaan SLB-A PTN Jakarta berdiri seiring dengan berdirinya Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB-A) Pembina Tingkat Nasional Jakarta, yaitu sejak gedung SLB-A PTN Jakarta diresmikan oleh Bapak Presiden Republik Indonesia (Soeharto) pada tanggal 9 Desember 1981. Pembukaan sekolah ini

merupakan realisasi dari salah satu program Nasional dalam usaha peningkatan kesempatan belajar dan peningkatan mutu pendidikan bagi anak berkelainan sekaligus sebagai puncak acara kegiatan Tahun Internasional para Carcat 1981.

Perpustakaan SLB-A PTN Jakarta, termasuk salah salah satu bangunan utama yang dipersiapkan Pemerintah untuk menunjang aktivitas kegiatan belajar mengajar. Bangunan ini sangat memadai bagi sebuah perpustakaan Braille yang bertaraf Nasional, luas bangunan perpustakaan secara keseluruhan 172 M2 yang terbagi dalam 5 lokal ruang dengan ukuran berpariasi sesuai peruntukkannya. Secara garis besar perkembangan Perpustakaan Braille SLB-A PTN Jakarta akan digambarkan sebagai berikut:

b. Periode Tahun 1981-1982

Periode tahun 1981 – 1982, SLB-A PTN belum memiliki murid dan tenaga/pegawai yang memadai, maka pengelolaan gedung utama Perpustakaan

Dokumen terkait