Tema tentang independensi dalam profesi auditor memiliki pemahaman yang sangat
penting dan mendalam demi tercapainya tujuan organisasi. Sorotan masyarakat terhadap
profesi auditor sangatlah besar sebagai dampak beberapa skandal perusahaan besar dunia
seperti Enron dan WorldCom (Verrechia, 2003). Sorotan tajam diarahkan pada perilaku
auditor dalam berhadapan dengan klien yang dipersepsikan gagal dalam menjalankan
perannya sebagai auditor independen.
Independensi adalah cara pandang yang tidak memihak di dalam pelaksanaan pengujian,
evaluasi hasil pemeriksaan, dan penyusunan laporan audit perusahaan (Arens et al., 1996).
Dalam buku Standar Profesional Akuntan Publik (2001) seksi 220 PSA No 04 Alinea 02
disebutkan bahwa auditor harus bersikap independen, artinya tidak mudah dipengaruhi,
karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum (dibedakan dalam hal
berpraktik sebagai auditor intern). Dengan demikian, ia tidak dibenarkan memihak kepada
jika ia kehilangan sikap tidak memihak, maka ia tidak dapat mempertahankan kebebasan
pendapatnya.
Dalam lingkup Pemerintahan Daerah, independensi auditor internal sangat dibutuhkan
kecukupan dan efektivitas kerja sistem pengendalian manajemen yang diselenggarakan
Satuan Kerja Perangkat Daerah. Auditor internal bertanggung jawab untuk dapat
mempertahankan independensinya dalam kondisi apapun, sehingga pendapat, kesimpulan,
pertimbangan, serta rekomendasi dari hasil pemeriksaan yang dilakukan tidak memihak
dan dipandang tidak memihak terhadap pihak manapun. Sebagaimana hasil penelitian
yang dilakukan Lubis (2004), disebutkan bahwa independensi akuntan sebagai perilaku
profesional berpengaruh terhadap kualitas opini audit yang diberikan oleh akuntan
tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Mautz dan Sharaf (1993, h.246) yang
mengatakan bahwa jika akuntan tidak independen terhadap kliennya, maka opininya tidak
akan memberikan tambahan apapun.
Kedudukan dasar dari peran auditor internal tersebut dapat menciptakan
sebuah tantangan bagi mereka untuk menjaga independensi (Ahmad dan Taylor,
2009). Pertama, adanya kondisi yang kompleks dan perubahan dalam lingkungan
operasional auditor internal, termasuk kompleksitas dan perubahan peraturan dan
teknologi, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya ambiguitas peran (Ahmad
dan Taylor, 2009). Kahn et al. (dalam Beauchamp et al., 2004) mendefinisikan
ambiguitas peran sebagai suatu keadaan di mana informasi yang berkaitan dengan
suatu peran tertentu kurang atau tidak jelas. Sawyer dan Dittenhofer (dalam
Ahmad dan Taylor, 2009) juga menjelaskan penyebab terjadinya ambiguitas peran
dalam lingkungan auditor internal adalah bahwa auditor internal mungkin
melakukan investigasi internal dengan kondisi proses operasional yang belum
pemeriksaan berbicara dalam bahasa dan menggunakan istilah yang asing bagi
pemahaman auditor internal.
Ambiguitas peran mengurangi tingkat kepastian apakah informasi yang
diperoleh dalam pemeriksaan telah objektif dan relevan. Ambiguitas peran dapat
menyebabkan auditor internal mengalami tekanan (Schuller et al. dalam
Koustelios, 2004) dan penurunan kepuasan kerja (Jackson dan Schuller, Perreault,
Beehr et al. dalam Koustelios, 2004). Maka dapat disimpulkan bahwa, ambiguitas
peran juga dapat mengurangi kemampuan auditor internal untuk tetap bersikap
independen (Ahmad dan Taylor, 2009).
Kedua, peran auditor internal mengandung konflik (Ahmad dan Taylor,
2009). Menurut Mohr dan Puck (2003) konflik peran merupakan suatu pikiran,
pengalaman, atau persepsi dari pemegang peran (role incumbent) yang
diakibatkan oleh terjadinya dua atau lebih harapan peran (role expectation) secara
bersamaan, sehingga timbul kesulitan untuk melakukan kedua peran tersebut
dengan baik dalam waktu yang bersamaan.
Konflik peran dalam lingkungan auditor internal dapat berasal dari
pertentangan yang berasal dari peran dalam melakukan audit dan peran dalam
memberikan jasa konsultasi. Dalam peran audit, auditor internal harus menjaga
independensi dengan tidak mendasarkan pertimbangan auditnya pada objek
pemeriksaan. Namun dalam peran konsultasi, auditor internal harus bekerja sama
Konflik peran yang dijumpai oleh auditor internal berhubungan dengan
demikian, konflik peran yang dialami oleh auditor internal mungkin mengakibatkan
auditor rentan terhadap tekanan dari objek pemeriksaan. Hal tersebut mengakibatkan
rusaknya independensi auditor internal (Koo dan Sim, 1999).
Penelitian mengenai pengaruh konflik peran dan ambiguitas peran
terhadap auditor internal pernah dilakukan sebelumnya oleh Ahmad dan Taylor
(2009). Penelitian tersebut menggunakan sampel auditor internal yang diperoleh
dari database Institute of Internal Auditors Malaysia. Tujuan dari penelitian
tersebut adalah untuk mengembangkan ukuran-ukuran konsep komitmen
independensi, konflik peran, dan ambiguitas peran dalam konteks lingkungan
kerja auditor internal, dengan maksud untuk memberikan bukti empiris mengenai
pengaruh konflik peran dan ambiguitas peran beserta dimensinya terhadap
komitmen independensi auditor internal. Skala yang digunakan merupakan skala
yang dikembangkan dari ukuran komitmen organisasi yang berasal dari literatur
perilaku organisasi. Instrumen pengukuran komitmen organisasi yang
dikembangkan oleh Porter et al. (1974, dalam Ahmad dan Taylor, 2009)
merupakan basis untuk pengembangan ukuran konsep komitmen independensi.
Sedangkan fokus penelitian sekarang adalah menguji kembali
variabel-variabel tersebut dengan menggunakan instrumen pengukuran komitmen
independensi yang sama, namun dalam lingkup kerja yang berbeda, yaitu auditor
internal Pemerintah Daerah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengembangkan ukuran-ukuran konsep komitmen independensi, konflik peran,
dengan maksud untuk memberikan bukti empiris mengenai pengaruh konflik
peran dan ambiguitas peran beserta dimensinya terhadap komitmen independensi
auditor internal Pemerintah Daerah.
Banyaknya skandal akuntansi, seperti dalam kasus Enron, WorldCom, dan lain-lain,
disebabkan karena auditor internal hanya bertindak secara pasif dan berorientasi pada audit
kepatuhan sehingga kurang mempertimbangkan sistem pengendalian internal perusahaan.
Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu peran yang memungkinkan auditor dapat bertindak
sebagai konsultan bisnis yang berfungsi sebagai pemberi deteksi dini dalam
mengidentifikasi risiko usaha dan berorientasi pada kinerja perusahaan secara keseluruhan
(Sardjono, 2007). Peran tersebut dilakukan oleh suatu fungsi auditor internal yang
membantu pihak manajemen untuk memastikan bahwa sistem pengendalian internal
perusahaan telah dikembangkan dengan tepat dan seluruh operasi perusahaan telah
dilakukan secara efektif, efisien, dan ekonomis (Haron et al., 2004).
Akan tetapi, kedudukan mendasar dari peran auditor internal cenderung menimbulkan
suatu tantangan bagi mereka dalam menjaga komitmen untuk bersikap independen
(Ahmad dan Taylor, 2009). Pertama, peran auditor internal mengandung konflik. Konflik
peran dapat berasal dari pertentangan yang berasal dari peran mereka ketika melakukan
jasa audit dan jasa konsultasi manajemen yang keduanya mengandung perbedaan antara
peraturan yang berasal dari profesi auditor internal dan harapan dari manajemen
dapat disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara nilai-nilai personal yang diyakini
oleh auditor internal dan harapan yang berasal dari manajemen dan organisasi profesi.
Konflik peran dapat menimbulkan tekanan pada auditor, sehingga auditor cenderung
rentan terhadap tekanan dari klien.
Kedua, lingkungan perusahaan yang semakin kompleks dan meningkatnya perubahan
dalam lingkungan operasional auditor internal, termasuk kompleksitas dan perubahan
peraturan dan teknologi, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya ambiguitas peran
(Ahmad dan Taylor, 2009). Kompleksitas dan perubahan seperti itu dapat mengakibatkan
auditor internal kesulitan dalam melaksanakan tugas atau menerapkan standar profesi
dengan benar. Ambiguitas peran dapat menimbulkan ketegangan kerja yang dapat
mengurangi kemampuan auditor internal untuk tetap bersikap independen (Ahmad dan
Taylor, 2009). Dengan demikian, adanya konflik peran dan ambiguitas peran dapat
memperlemah komitmen auditor internal dalam menjaga independensi mereka.
Penelitian yang menghubungkan komitmen independensi auditor internal pemerintahan
dengan koflik peran dan ambiguitas peran belum banyak dilakukan, terutama di level
Pemerintah Daerah. Banyaknya tuduhan kasus kecurangan yang menimpa aparat
pemerintahan di Indonesia secara tidak langsung mengindikasikan rendahnya komitmen
independensi auditor internal pemerintahan dalam menjalankan perannya sebagai mitra
kerja Pemerintah Daerah yang memberikan pandangan atau rekomendasi secara obyektif
dan independen, serta memberikan jasa konsultasi untuk meningkatkan nilai dan kinerja
1
menemukan bukti empiris tentang pengaruh dari konflik peran dan ambiguitas peran
terhadap komitmen independensi auditor internal Pemerintah Daerah dengan melakukan
studi empiris pada Inspektorat Kota Bandung. Inspektorat Kota Bandung oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dijadikan sebagai percontohan di antara Inspektorat
Pemerintah Daerah lainnya terkait pengawasan dan peningkatan kualitas pelayanan
publik pemerintahan, hal ini dibuktikan dengan berbagai undangan yang diterima
Inspektorat Kota Bandung untuk memberikan paparan pada Rapat Evaluasi Supervisi
Peningkatan Pelayanan Publik dan Seminar Anti Korupsi yang diselenggarakan di
Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, serta Kalimantan Timur (Cahyo Bintarum
2011, komunikasi personal, 8 September). Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini
dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan sebagai beikut: (1)Apakah konflik peran
berpengaruh terhadap komitmen independensi aparat Inspekt, (2) Apakah ambiguitas
1
pelayanan pendidikan tinggi terbaik dengan biaya yang terjangkau. Pendidikan tinggi sebagai suatu industri, juga menarik minat dari para investor untuk ikut mendirikan perguruan tinggi baru dengan menggandeng mitra dari perguruan tinggi dalam maupun luar negeri.
Berkembangnya trend pendidikan jarak jauh, semakin mempersempit pasar dari pendidikan tinggi dan ikut memperbesar tingkat persaingan dalam industri. Hanya perguruan tinggi yang mampu untuk memberikan jasa pendidikan dengan kualitas premium saja yang dapat berkembang dan bertahan di pasar.
Wright et.al (1996:52) mengemukakan bahwa lingkungan internal perusahaan
merupakan sumber daya perusahaan (the firm's resources) yang akan menentukan
kekuatan dan kelemahan perusahaan. Sumber daya perusahaan ini meliputi : sumber
daya manusia (human resources) ; sumber daya organisasi (organizational
resources) ; dan sumber daya phisik (physical resources). Jika perusahaan dapat
mengoptimalkan penggunaan sumber daya tersebut maka, perusahaan akan dapat
mempertahankan keunggulan bersaing (sustained competitive advantage).
Audit internal merupakan kegiatan assurance dan konsultasi yang independen dan objektif, yang dirancang untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan kegiatan operasi organisasi. Audit internal membantu organisasi untuk mencapai tujuannya, melalui suatu pendekatan yang sistematis dan teratur untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas pengelolaan risiko, pengendalian, dan proses governance (SPAI, 2004: 9 )
Makalah ini bertujuan untuk menggambarkan pentingnya peran audit internal bagi institusi pendidikan tinggi swasta pada bidang keuangan dan pembelajaran, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, keunggulan bersaing, serta kepuasan konsumen sebagai upaya menjamin keberlangsungan hidup insitusi pendidikan tinggi swasta.
2