• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III: KEBIJAKAN PEMERINTAH MELINDUNGI INDUSTR

D. Dampak Pelaksanaan ACFTA Bagi Indonesia

Semenjak digulirkannya ACFTA, banyak kalangan yang memprediksi bahwa persetujuan ACFTA akan membuat perekonomian di Indonesia akan semakin memburuk. Hal tersebut tidaklah beralasan, karena sebelum ACFTA saja sudah banyak produk China yang membanjiri pasar di Indonesia. Harga barang-barang China murah, jauh di bawah harga barang-barang yang diproduksi oleh pengusaha di Indonesia. Sebagai konsumen yang rasional, masyarakat Indonesia juga meminati produk-produk dari China karena pertimbangan harga. Hal ini memang baik bagi konsumen. Dengan semakin banyaknya produk murah China yang membanjiri pasar Indonesia, maka konsumen akan semakin memiliki banyak opsi barang, yang tentunya dapat memangkas pengeluaran mereka, menambah pilihan, akan semakin banyak bagian pendapatan yang bisa untuk ditabung, dan pada akhirnya akan

      

162

M. S. Hidayat dalam Administrator, “Limbungnya Industri Nasional”,

http://www.bsn.go.id/news_detail.php?news_id=2913, diakses tanggal 14 Mei 2011.  163

menambah tingkat kesejahteraan mereka. Namun, hal tersebut adalah dampak jangka pendeknya.164

Ditinjau dari tingkat kesiapannya, negara-negara yang terlibat di dalam ACFTA dapat dibagi menjadi empat kategori. Pertama adalah kategori negara

inisiator yaitu Republik Rakyat China dan Republik Singapura. Kedua negara ini

sudah lebih dari siap dan sepertinya sudah tidak sabar lagi untuk mengimplementasikan ACFTA dengan segera. Kategori kedua adalah negara-negara

pendukung, yaitu Malaysia, Thailand, Brunei Darusalam yang sudah siap dengan

konsep perdagangan bebas, namun masih mempersiapkan diri untuk program- program pendukungnya. Ketiga adalah kategori negara-negara pengikut yaitu Filipina, Laos, Kamboja, Vietnam dan Myanmar, yang relatif cukup siap namun bersikap low profile dan mewaspadai setiap perkembangan yang terjadi. Kategori keempat adalah negara Indonesia. Sikap dan kedudukan Indonesia cukup unik karena “penyakit” sindroma negara besar yang dideritanya. Ini terlihat dari perilakunya yang

high profile pada tingkat diplomasi, tapi pada kenyataannya tidak terlalu siap di

berbagai sektor di dalam negeri.165

Indonesia adalah pasar terbesar nomor tiga di Asia setelah China dan India. Namun, berbeda dengan China yang merupakan pasar terbesar tapi sekaligus produsen yang sangat kompetitif, Indonesia bukan produsen yang kompetitif. Bagi

      

164

Administrator, “Tinjauan Efektivitas Implementasi Perjanjian ACFTA bagi Perekonomian

Indonesia”, loc.cit. 

165

Suhandi Taman Timur, “Peta Baru Geo-Ekonomi Asia timur Pasca ACFTA”,

http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/04/28/peta-baru-geo-ekonomi-asia-timur-pasca-acfta,

negara-negara anggota ACFTA yang lain, Indonesia adalah produsen yang tidak perlu ditakuti, dan mitra konsumen yang memiliki pasar yang sangat potensial.166

Pelaksanaan butir-butir kesepakatan ACFTA telah dimulai sejak tahun 2005 yaitu dalam hal penurunan tarif impor dalam perdagangan ASEAN-China, namun implementasi penuh dengan tarif 0% baru dilaksanakan sejak tahun awal bulan Januari tahun 2010.

Sejak awal dilaksanakannya ACFTA telah mempengaruhi tidak hanya pertumbuhan industri dalam negeri tetapi juga berdampak bagi perekonomian negara. Bahkan akibat banjirnya produk China di pasar dalam negeri telah mengakibatkan Indonesia terancam akan mengalami kondisi deindustrialisasi.167 Pelaksanaan ACFTA yang seharusnya dilandasi perdagangan yang bersifat fair Trade ternyata juga diwarnai tindakan curang pemerintah China melalui tindakan dumpingnya terhadap beberapa produk industri nasional.168

Implementasi penuh ACFTA sejak 1 tahun lalu juga telah menyebabkan membanjirnya produk impor China sehingga telah menyebabkan kolapsnya beberapa industri nasional khususnya industri-industri yang memproduksi produk-produk yang serupa dengan produk China tersebut.

      

166

Ibid.. 

167

Deindustrialisasi adalah suatu kondisi dimana menurunnya peran industri dalam perekonomian secara menyeluruh, lihat dalam Mudrajad Kuncoro, Ekonomika Industri Indonesia,

(Yogyakarta: ANDI, 2007), hlm. 385. 

168

Kementrian industri dalam negeri menemukan indikasi tindakan dumping pada 38 produk yang diimpor dari China melalui skema ACFTA yang berlaku sejak 1 Januari 2010, lihat Linda T. Silitonga, “Atasi Dampak ACFTA, Wajib Safeguard Bagi Produk China”,

http://www.bisnis.com/ekonomi/global/17630-atasi-dampak-acfta-wajib-safeguard-bagi-produk-china,

2. Dampak Pelaksanaan ACFTA

Jika ditinjau dari jangka panjangnya, maka membanjirnya produk China justru malah akan merugikan perekonomian di Indonesia. Karena akan mendorong masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang konsumtif dan terjadi ketergantungan dengan produk-produk China. Dan dari segi eksistensi usaha-usaha di Indonesia, membanjirnya produk-produk Cina akan mengancam usaha-usaha domestik. Usaha- usaha di Indonesia terancam gulung tikar karena kalah berkompetisi/bersaing dengan China. Hal ini disebabkan oleh faktor harga barang China yang lebih murah, sehingga barang China bisa menang dalam konteks ACFTA . Selain itu, produk-produk China itu sifatnya mudah untuk diperoleh serta supply chain-nya yang pendek.169

Berkaitan dengan supply chain, hal ini merupakan masalah yang cukup serius bagi pemerintah Indonesia. Karena hal ini menyangkut masalah ketersediaan infrastruktur. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa infrastruktur di Indonesia kurang memadai. sehingga, membutuhkan perhatian dan penanganan yang serius karena mempengaruhi biaya produksi dan pada akhirnya akan mempengaruhi daya saing suatu produk industri dalam negeri.170

      

169

Sri Adiningsih sebagaimana dikutip dalam Linda T. Silitonga, Ibid. 

170

Kemudian dengan semakin tingginya tingkat ketergantungan akan produk- produk China, maka dikhawatirkan akan semakin mengurangi tingkat produktivitas masyarakat di Indonesia. Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel berikut ini.171

Tabel 2

Produktivitas Tenaga Kerja ASEAN Tahun 1990-2005 Negara 1990 1995 2000 2003 2004 2005 Kamboja 2296 2297 3037 2732 2714 2845 Indonesia 5945 8205 7588 8321 8656 922 Malaysia 13434 18473 19254 19953 21128 22112 Myanmar 1959 2328 3017 3819 4172 4541 Filipina 6348 6195 6952 6797 7164 7271 Singapura 28191 38888 42888 46235 49457 47975 Thailand 8291 11871 11984 13135 13541 13915 Vietnam 2346 3094 3803 4328 4553 4809 Sumber: ILO, 2006.

Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa produktivitas tenaga kerja Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya bahkan apabila dibandingkan dengan negara Myanmar. Bahkan, tingkat penganguran di negara Indonesia mencapai 10%, jauh diatas negara-negara ASEAN lainnya.172

Sudah disebutkan sebelumnya bahwa apabila hal ini berlangsung terus maka Indonesia akan semakin terpuruk dalam kondisi yang disebut deindustrialisasi. Sementara itu, deindustrialisasi bagi suatu negara lebih merupakan sebuah masalah daripada sesuatu yang diharapkan. Menurunnya peranan industri dalam

      

171

Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia,

Integrasi Ekonomi ASEAN dan Prospek Perekonomian Nasional, Outlook Ekonomi Indonesia 2008-

2012, hlm. 24. 

172

perekonomian bisa dilihat dari berbagai sisi, misalnya turunnya pekerja di sektor industri, turunnya produk industri, serta turunnya sektor industri dibandingkan sektor lain.173

Indonesia telah mengalami deindustrialisasi sebelum perekonomian dapat mencapai industrialisasi atau dikatakan mengalami deindutrialisasi negatif. Pembangunan industri di Indonesia tidak dihasilkan dari surplus yang diperoleh oleh pertanian. Kemampuan sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja dan menghasilkan output mengalami penurunan dibandingkan dengan sektor lainnya termasuk industri akan tetapi pada saat yang sama kemampuan sektor industri dalam menyerap tenaga kerja dan kontribusi terhadap PDB juga tidak menunjukkan peningkatan yang berarti.174 Hal ini tampak semakin jelas, setelah ACFTA diberlakukan, dengan meningkatnya impor Indonesia dari China pada tahun 2010, yakni US$20,242 miliar, naik sebesar 45%, 86% dari tahun sebelumnya.175

Perdagangan bebas akan mampu meningkatkan standar hidup melalui keuntungan komparatif dan ekonomi skala besar apabila pihak-pihak yang bersaing memiliki dan mendapat kualitas faktor-faktor ekonomi yang selevel atau berimbang. Apabila faktor-faktor biaya ekonomi mengalami ketimpangan yang tinggi, maka perdagangan bebas hanya akan merusak industri lokal di negara yang tidak kompetitif. Dalam hal ini, Prof. Joseph Stiglitz, seorang peraih nobel ekonomi tahun

      

173

Mudrajad Kuncoro, op. cit., hlm. 385. 

174

Administrator, “Menggugat Perjanjian Kerjasama ASEAN-China”¸

http://www.igj.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=385&Itemid=193#_ftn4, diakses

tanggal 24 April 2011. 

175

Erwin Aksa dalam Aizenukitake, “HIPMI Usulkan Kluster Khusus Investor China”,

2001, mengkritik konsep dasar pasar bebas yang tidak adil dan berimbang. Perdagangan bebas yang tidak adil dan berimbang hanya akan menghancurkan perekonomian suatu bangsa. Perekonomian masyarakat akan hancur apabila produk- produk yang masuk (impor) adalah produk yang lebih murah, sementara produk yang serupa adalah produk yang dihasilkan oleh ratusan ribu masyarakat. Sebagian pekerja ini sangat mungkin mengalami PHK bila seandainya biaya produksi produk-produk tersebut masih jauh dibawah harga jual produk impor.176 Hal inilah yang tampak mulai terjadi di Indonesia.

Produk China memenuhi pasar Indonesia dan negara-negara ASEAN untuk berbagai segmen dari tingkat bawah sampai atas. Variasi produk yang luar biasa meningkatkan kekhawatiran karena yang terkena dampak paling besar adalah industri yang dikelola pengusaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Beberapa diantara pelaku UMKM telah menutup usahanya karena penurunan produksi akibat tidak mampu bersaing dengan produk China. Padahal, sektor UKM memiliki peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia sebab sektor ini merupakan sektor yang paling banyak berperan menyerap tenaga kerja.

Peranan UKM dalam penyerapan tenaga kerja bahkan lebih besar dari pada usaha besar, hal ini terlihat selama periode tahun 2002-2005. UKM memberikan kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja rata-rata sebesar 96,66% terhadap total

      

176

Administrator, “Review Implementasi CAFTA dan Ketidakadilan Perdagangan Bebas”,

keseluruhan tenaga kerja nasional, sedangkan Usaha Besar hanya memberikan kontribusi rata-rata 3,32% terhadap tenaga kerja.177

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar meminta pengusaha dan pekerja/buruh terus bekerja sama agar kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-Cina (ACFTA) tidak menambah angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sampai awal Maret 2010 sudah mencapai 68.332 (enam puluh delapan ribu tiga ratus tiga puluh dua) orang yang terkena PHK dan 27.860 (dua puluh tujuh ribu delapan ratus enam puluh) orang dirumahkan.178

Sebanyak lebih kurang 4,5 juta pekerja di Indonesia terancam PHK, karena masuknya produk China yang memengaruhi pasar industri tekstil, makanan, dan minuman sampai industri baja di dalam negeri. Untuk mengatasi gelombang PHK pada 2010, KSPSI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) sudah meminta pemerintah pusat untuk menunda ACFTA, sambil mengatasi beberapa kendala dalam persaingan dagang dengan China.179

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Djimanto mengatakan, pemberlakuan ACFTA telah menuai dampak negatif, yaitu sekitar 20% sektor industri manufaktur beralih ke sektor perdagangan. Djimanto mencontohkan penyurutan manufaktur pada industri alas kaki, dari sekitar 1,5 juta tenaga kerja, pada

      

177

Mangara Tambunan dan Djaimi Bakce, Rekonstruksi Strategi Industrialisasi, (Yogyakarta:

Graha Ilmu, 2010), hlm. 85. 

178

Administrator, “Cegah PHK Akibat ACFTA”, http://bataviase.co.id/node/149180, diakses

tanggal 4 Juni, 2011.  

tahun 2010 sebanyak 300.000 orang di antaranya terpaksa dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK). Jumlah penganggur kian bertambah.180

E. Faktor-Faktor Penyebab Terpuruknya Industri dalam Negeri dalam ACFTA

Menurut teori perdagangan internasional, perdagangan antar negara yang tanpa hambatan berpeluang memberi manfaat bagi masing-masing negara melalui spesifikasi produksi komoditas yang diunggulkan masing-masing negara tersebut. Namun, fakta lain dari perdagangan bebas tersebut bahwa perdagangan bebas juga dapat menimbulkan dampak negatif, diantaranya adalah elsploitasi terhadap negara berkembang, rusaknya industri lokal, keamanan barang menjadi lebih rendah dan sebagainya.

Terkait dengan perdagangan bebas, kesepakatan ASEAN China FTA juga dapat menimbulkan dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif dari perjanjian ACFTA tersebut akan dinikmati langsung oleh sektor yang produknya diekspor ke China, sejenis dengan produk impor China, yang dipasarkan di dalam negeri dan memiliki tingkat daya saing yang relatif kurang kompetitif.181

Umumnya perusahaan besar terutama yang berasal dari negara maju telah menguasai seluruh level perekonomian dari hulu hingga hilir, dapat meliputi perbankan/jasa keuangan, eksploitasi sumber bahan mentah, manufaktur,

      

180

Djimanto dalam Administrator, “Produk China Di Setiap Lini”,

http://trijayanews.com/2011/04/produk-china-di-setiap-lini/, diakses tanggal 4 Juni 2011.  181

perdagangan hingga pada tingkat ritel. Ditambah lagi dukungan negara secara langsung dalam membiayai investasi luar negeri dari perusahaan-perusahaan tersebut akan meningkatkan kemampuan kompetisi mereka.182

Dengan penurunan tarif hingga 0 % tersebut, maka kehancuran industri dalam negeri sudah pasti akan terjadi, terutama pada sektor-sektor industri dengan modal kecil dan teknologi rendah industri tekstil dan produk tekstil, makanan dan minuman, alat-alat dan hasil pertanian, alas kaki, sintetik fiber, industri komponen manufaktur otomotif, jasa engineering juga beberapa sektor yang menggunakan teknologi tinggi seperti, petrokimia, elektronik, industri permesinan, besi dan baja.183

Kehancuran industri dalam negeri ini terutama disebabkan, pondasi Industri Nasional yang memang rapuh, dimana landasan utama pembangunan industri nasional bukanlah untuk mensejahterakan rakyat Indonesia, dengan mengandalkan kekayaan alam baik yang di darat maupun di laut.

Sampai dengan hari ini, teknologi yang digunakan oleh industri nasional sebagian besar adalah teknologi impor, bahkan persentasenya mencapai 92% (37 persen dari Jepang, 27% dari negara-negara Eropa, 9% dari Amerika Serikat, 9% dari Taiwan, 4% dari China, 3 persen dari Korea Selatan, 2 persen dari India, dan 1 persen

      

182

Administrator, “Menggugat Perjanjian Kerjasama ASEAN-China”,

http://www.igj.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=385&Itemid+193#_ftn4, diakses

tanggal 24 April 2011. 

183

Budi Wardoyo, “Haruskah “Perdagangan Bebas?” Ada Alternatif lain (Diluar Sistem Kapitalisme dan Perdagangan Bebas Ala Kapitalis)”,

http://saepudinonline.wordpress.com/2011/03/22/haruskah-%E2%80%9Cperdagangan- bebas%E2%80%9D/, diakses tanggal 14 Mei 2011.

dari Thailand). Dengan kata lain, selama puluhan tahun tidak terjadi proses alih teknologi.

Hampir semua bahan baku untuk industri nasional juga harus diimpor, misalnya untuk industri makanan dan minuman, bahan baku gula rafinasi (gula dengan standar industri makanan dan minuman) masih impor dengan persentase 100%. Untuk industri elektronik, 30% bahan bakunya masih harus diimpor, dan 90% bahan baku industri farmasi nasional juga masih impor, bahkan 60,5% bahan untuk tempe dan tahu pun masih diimpor.

Situasi industri nasional tersebut semakin diperparah dengan kurangnya modal, akibat kredit perbankan nasional yang masih terlalu tinggi menetapkan suku bunga kredit, yang berkisar antara 11%-13%, sementara bunga deposito sekitar 7% ini tidak lepas dari kebijakan liberalisasi modal yang paling liberal, sehingga arus keluar masuk modal lebih banyak pada spekulasi saham maupun obligasi, dan bukan pada sektor real (industri).

Masalah lainnya yang juga membuat industri nasional semakin tidak berkembang adalah masalah infrastruktur yang masih kalah jauh dibandingkan dengan negara-negara lain, bahkan dengan Malasya. Studi Asia Foundation dan Bank Dunia pada April tahun 2007 mencatat, biaya transportasi di Indonesia adalah US$ 34 sen per kilometer, sedangkan di Malaysia hanya US$ 22 sen per kilometer. Masalah buruknya infrastruktur ini, seperti transportasi jalan, baik dari lokasi bahan baku ke

pabrik, atau dari lokasi produksi ke kota-kota tujuan pemasaran menyebabkan ongkos transportasi di Indonesia sangat mahal.184

Hal tersebut semakin diperparah dengan persoalan banyaknya pungutan- pungutan liar yang ikut membebani industri nasional, bahkan meningkatkan biaya produksi hingga 40%.185 Hal lain adalah inefisiensi dalam proses perizinan yaitu terlalu banyak meja yang harus dilewati, terlalu lama dan ketidakpastian waktu perizinan. Hal ini menimbulkan peningkatan biaya produksi sehingga harga produk industri dalam negeri, bahkan untuk pasar dalam negeri sendiri lebih mahal daripada produk impor.

Faktor lain yang juga menyebabkan terpuruknya industri dalam negeri dalam implementasi ACFTA ini adalah, sikap masyarakat Indonesia sebagai konsumen yang lebih menyukai produk impor China daripada produk industri dalam negeri. Hal ini disebabkan karena efisiensi biaya yang lebih murah yang diperoleh oleh konsumen, walaupun banyak diantara produk impor tersebut memiliki kualitas yang lebih rendah dari pada produk industri dalam negeri, konsumen cenderung tetap memilih produk China dari pada produk industri dalam negeri.

Sekilas memang masyarakat diuntungkan karena mendapatkan barang-barang dengan harga murah, mulai dari produk makanan hingga elektronik, namun pada saat yang bersamaan sebagian industri dalam negeri akan bangkrut atau setidak-tidaknya mengalami penurunan produksi terutama pada industri yang mengandalkan

      

184

Ibid. 

185

pemasaran produknya di dalam negeri seperti: industri tekstil dan produk tekstil, makanan dan minuman, petrokimia, alat-alat dan hasil pertanian, alas kaki, sintetik fiber, elektronik, industri permesinan, jasa engineering, besi dan baja, serta industri komponen manufaktur otomotif.

Jika tidak ada upaya yang serius untuk menata ulang industri nasional, maka kekhawatiran bahwa industri nasional akan semakin terdegradasi dalam perekonomian nasional. Bahkan kondisi deindustrialisasi hanya menunggu waktu dialami oleh Indonesia seiring semakin luasnya pemberlakuan ACFTA terlebih dengan akan menyusulnya realisasi perjanjian-perjanjian perdagangan bebas lainnya yang telah disetujui oleh pemerintah.

Ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan sikap pesimis bahwa produk- produk industri nasional akan menjadi the losers untuk bersaing dengan produk industri impor dari China, diantaranya yaitu:186

(1) Kecenderungan yang terjadi, semakin meningkatnya similarity index dari produk ekspor industri nasional dengan produk ekspor industri China ini berarti bahwa struktur perdagangan diantara China-Indonesia bersifat subtitusi daripada komplemeter, permberlakuan ACFTA akan membuat produk industri nasional harus head to head bersaing dengan produk industri China.

(2) Perhitungan terhadap Tenaga kerja sebagai proksi produktivitas, menunjukkan bahwa terdapat gap produktivitas tenaga kerja Indonesia dengan produktivitas tenaga kerja China yang semakin melebar. Pada tahun 1996, produktivitas tenaga

      

186

kerja Indonesia adalah 70,1% dari produktivitas tenaga kerja China, sedangkan pada tahun 2008 menurun menjadi 65,4%.

(3) Pemerintah China memiliki rencana aksi (action plan) yang cukup jelas jika dibandingkan dengan pemerintah Indonesia untuk menata sektor industrinya. Misalnya, China menyediakan dana yang cukup besar untuk embantu industri andalan ekspornya seperti indsutri TPT untuk melakukan restrukturasi permesinan sehingga permesinan industri China sangat efisien dan memiliki produktivitas tinggi bahkan mampu menghemat energi 17% lebih rendah dari permesinan yang digunakan industri TPT Indonesia.

(4) Pemerintah China memiliki komitmen yang sangat kuat untuk menciptakan lingkungan yang pro bisnis yang tentunya sangat kontras bila dibandingakan dengan Indonesia. Selain melakukan reformasi birokrasi, menegakkan law

enforcement, dan menciptakan stabilitas ekonomi makro. Pemerintah China juga

mengalokasikan anggaran yang cukup signifikan untuk membangun dan menjaga kualitas infrastruktur. Dalam hal ini, budget infrastruktur sebagai rsio terhadap PDB China selalu berada di kisaran 7,5%-10%. Sangat berbeda dengan Indonesia, dalam sepuluh tahun terakhir alokasi anggaran infrastruktur yang dialokasikan pemerintah relatif sangat kecil bahkan cenderung terus menurun dari 3,7% pada tahun 1999, 3,6% pada tahun 2003, 2,9% pada tahun 2008, dan hanya 1,5% pada tahun 2009. Tampak jelas ini merupakan penyebab pendapat yang menyatakan bahwa infrastruktur menjadi salah satu kendala serius yang dihadapi negara Indonesia untuk memperbaiki dan meningkatkan daya saingnya. Selain itu

persoalan rumitnya birokrasi dalam perizinanan juga masih menjadi persoalan yang mempersulit pelaku usaha di tanah air.

(5) Terdapat beberapa BUMN yang menguasai industri hulu, seperti Pertamina dan PLN, tidak beroperasi secara efisien. Hal ini berlanjut dengan pemberian harga jual yang tinggi bagi produk/jasa yang dihasilkannya kepada industri dalam negeri.

(6) Otoritas moneter di China mampu mendorong perbankan bekerja secara efisien sehingga mampu menyediakan kredit murah. Bunga kredit yang ditawarkan perbankan China ada di kisaran 5%-6%, jauh lebih rendah daripada bunga kredit yang ditawarkan perbankan Indonesia yang masih berada di kisaran 11%-13%. Tingginya bunga kredit yang harus dihadapi perusahaan industri dalam negeri menyebabkan pelaku usaha industri dalam negeri mengeluarkan biaya modal 8 % lebih tinggi dari biaya modal yang harus di bayar perusahaan China di China.

Dalam Road Map Pembangunan Ekonomi Indonesia tahun 2009 – 2014 tampak bahwa industri manufaktur memiliki pertumbuhan yang lebih rendah dari PDB ( Produk Domestik Bruto) sejak tahun 2005. Ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan industri tersebut semakin rendah sejak pemberlakuan ACFTA. Ada pun yang menjadi kendala bagi sektor industri manufaktur untuk berkembang adalah persoalan-persoalan yang secara umum bersifat generik dan berpengaruh terhadap efisiensi dan daya saing seluruh sektor dalam perekonomian. Karena industri manufaktur merupakan trade sector, maka penurunan daya saing sangat berpengaruh

pada pertumbuhannya. Adapun yang menjadi kendala bagi industri manufaktur tersebut sehingga tidak mampu tumbuh dengan optimal adalah:

(1). Kendala Internal, yang terdiri dari: (a)Struktur industri yang sangat rapuh. (b) Industri dasar yang belum berkembang. (c)Industri berteknologi belum berkembang. (d) Kapasitas produksi belum optimal.

(e)Ketergantungan pada pesanan di negara tujuan ekspor.

(2) Kendala Eksternal, yaitu ketersediaan dan kualitas infrastruktur, fisik dan non fisik yang kurang memadai.187

Dengan bangkrutnya sebagian industri dalam negeri, maka jumlah penganguran akan meningkat, sehingga pada akhirnya tekanan peningkatan pengangguran yang meningkat berkali lipat ini, akan menyebabkan kesejahteraan kaum buruh yang masih bekerja akan menurun.

F. Kebijakan Pemerintah Melindungi Industri dalam Negeri dari dalam ACFTA.

Dalam era globalisasi ini, sebuah pandangan yang dipromosikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank) serta para pembuat kebijakan di negara maju mengatakan bahwa liberalisasi adalah baik bagi

      

187

Kadin, Roadmap Pembangunan Ekonomi Tahun 2009-2014, (Jakarta: Kadin, 2009), hlm. 81. 

pembangunan, semakin cepat liberalisasi dijalankan semakin baik bagi pembangunan. Namun, skeptimisme terhadap pandangan ini mulai muncul kepermukaan terutama dari negara-negara berkembang, karena liberalisasi yang sedemikian cepat menimbulkan lonjakan impor di banyak negara berkembang, dengan dampak negatif

Dokumen terkait