• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Industri Dalam Negeri Dalam Asean China Free Trade Agreement (ACFTA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Industri Dalam Negeri Dalam Asean China Free Trade Agreement (ACFTA)"

Copied!
166
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI

DALAM NEGERI DALAM ASEAN CHINA FREE

TRADE AGREEMENT (ACFTA)

TESIS

Oleh

MAYER HAYRANI DS

097005042/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI

DALAM NEGERI DALAM ASEAN CHINA FREE

TRADE AGREEMENT (ACFTA)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program

Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MAYER HAYRANI DS

097005042/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

JUDUL TESIS : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI DALAM ASEAN CHINA FREE TRADE AGREEMENT (ACFTA)

NAMA MAHASISWA : MAYER HAYRANI DS

NIM : 097005042

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH) Ketua

(Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH) (Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH) (Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 15 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH

ANGGOTA : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH

2. Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum

3. Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum

(5)

ABSTRAK

ACFTA, kerjasama ekonomi regional yang disepakati pada tahun 2002 bertujuan menciptakan liberalisasi perdagangan antara negara China dan negara-negara ASEAN dengan hambatan tarif 0%. Implementasi ACFTA di Indonesia telah menyebabkan terpuruknya beberapa sektor industri dalam negeri akibat lonjakan impor produk-produk China yang membanjiri pasar dalam negeri karena harga yang lebih murah dari produk industri dalam negeri. Hal ini sesungguhnya disebabkan oleh karena industri dalam negeri memiliki daya saing yang lemah sehingga saat ACFTA diberlakukan, menyebabkan produk industri dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor khususnya produk impor China.

Penelitian ini mencoba menganalisis perlindungan hukum bagi industri dalam negeri dan kebijakan pemerintah Indonesia melindungi industri dalam negeri dalam implementasi ACFTA. Penelitian ini juga menggunakan metode penelitian hukum normatif. Data penelitian berupa bahan hukum primer dan sekunder dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif-interpretatif-abstraktif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif-induktif.

Sejalan dengan ketentuan WTO, ACFTA juga memberikan hak kepada negara-negara anggotanya untuk melindungi industri dalam negeri dari dampak negatif pelaksanaan ACFTA dalam bentuk safeguard, antidumping, dan

countervailing. Penggunaan instrumen perlindungan industri dalam negeri tersebut

secara khusus diatur dalam ketentuan hukum nasional dengan tetap berpedoman kepada ketentuan WTO. Pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan dalam melindungi industri dalam negeri dari dampak negatif implementasi ACFTA, seperti penggunaan instrumen perlindungan industri dalam negeri berupa safeguard dan anti-dumping, pembangunan jalan, penurunan tarif bea masuk terhadap barang baku dan barang modal, penerapan lisensi perdagangan secara online dan pelayanan satu atap. Namun kebijakan tersebut belum cukup dalam melindungi industri dalam negeri dalam rangka ACFTA. Hal tersebut disebabkan oleh karena berbagai hambatan yang menghalangi upaya perlindungan bagi industri dalam negeri.

Dengan demikian, agar produk industri dalam negeri dapat bersaing dengan produk impor dalam rangka ACFTA maka sangat penting agar upaya peningkatan daya saing industri dalam negeri dengan mengatasi berbagai hambatan tersebut dilakukan. Hal ini tentunya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, akan tetapi juga melibatkan pelaku usaha industri dalam negeri dan masyarakat Indonesia sebagai konsumen dengan mencintai produk industri dalam negeri.

(6)

ABSTRACT

ACFTA, regional economic cooperation, agreed to in 2002, was aimed to devise liberalization in trade between China and ASEAN countries with tariif constraint of 0%. The implementation of ACFTA in Indonesia has caused some domestic industrial sectors to go down, due to significant increase of Chinese products. The real problem is that domestic industry had weak competitiveness so that when ACFTA is implemented, domestic products cannot stand competing with other import products, especially with the Chinese products.

This research attempted to analyze legal protection for domestic industry and the Indonesian government’s policy to protect domestic products, due to the implementation of ACFTA. This research also used legal normative method. The data were primary and secondary legal materials which were analyzed by using qualitative-interpretative-abstractive method and drawing the conclusions deductively to inductively.

In line with WTO, ACFTA also gives the rights to its country members to protect domestic industry form the negative effect of the implementation of ACFTA in the form of safeguard, antidumping, and countervailing. The use of protection instrument for domesctic industry is especially stipulated in the national legal provisions which are based on WTO regulations. The government has exercised various policies in protecting domestic industry from negative effects of the implementation of ACFTA like the use of protection instruments for domestic industry such as safeguard and antidumping, road building, tariff reduction of import duty on raw materials and capital goods, application of trade license online one-stop service. However, these policies are not sufficient for protecting domestic industry, due to the implantation of ACFTA. This is because of various constraint impede the effort to protect domestic industry.

In order that domestic industry is able to compete with import in the implementation of ACFTA, it is recommended that the competitiveness of domestic industry should be increased in order to cope with the varied constraints. This is not only the responsibility of the government but also the involvement of businesspersons of domestic industry and the Indonesian people as consumers by loving domestic products.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan

karunia-Nya kepada penulis, karena penulis masih diberikan kesehatan dan kesempatan serta

kemudahan dalam mengerjakan tesis ini.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar

Master Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, Medan.

Dalam penyusunan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik

berupa pengajaran, bimbingan maupun semangat dari berbagai pihak. Oleh karena itu

pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih. Rasa terimakasih

yang sebesar-besarnya secara khusus penulis sampaikan kepada Komisi Pembimbing

yaitu Bapak Prof. Bismar Nasution, SH., MH., sebagai Pembimbing I, Bapak Prof.

Dr. Suhaidi, SH., MH., sebagai Pembimbing II sekaligus sebagai Ketua Program

Magister (S2) dan Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dan Dr.

Mahmul Siregar, SH., M.Hum., sebagai Pembimbing III sekaligus sebagai Sekretaris

Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah bersedia

memberikan waktunya untuk memberikan bimbingan, dorongan semangat, serta

(8)

Dalam kesempatan ini saya juga tidak lupa mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K.), sebagai

Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., sebagai Penguji I yang telah memberikan

masukan dan saran yang membangun bagi kesempurnaan penulisan tesis ini.

4. Bapak Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum., sebagai Penguji II yang telah

memberikan masukan dan saran yang membangun bagi kesempurnaan penulisan

tesis ini.

5. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM., sebagai Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Para Dosen dan Tata Usaha Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas

Sumatera Utara.

8. Sahabat-sahabat Penulis Kak Risda, S.H., M.H., Kak Halimah, S.H., M.H., Erni

Darmayanti, S.H, Cahaya Permata, S.H., Bang Khairul Munadi, S.H., dan Atika

Irma Rangkuti, S.H., M.H., yang telah membantu dan memberi semangat selama

(9)

9. Sahabatku Maya E.D.S, serta teman-teman kos Eva Tambunan, Mei Rodhea,

Arietha Novera, Agnesti Trisna dan Lela, yang telah berbagi dalam banyak hal.

Penulis juga menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada Ayahanda

M. Siringo-Ringo (alm) dan Ibunda Nuriana br Tinjak atas segenap kasih sayang,

semangat serta doa yang diberikan kepada penulis selama ini. Kalian adalah inspirasi

terbesar dalam hidupku. Ucapan terimakasih juga kepada adik-adikku Mery

Christin, Samuel Siringo-Ringo, dan Roy Two Putra, serta kepada Bang Tuan

Doli Lumban Toruan, S.Pi., atas dukungan, semangat dan perhatian yang tulus yang

diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan Tesis ini.

Penulis berharap bahwa Tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran

bagi semua pihak yang berkepentingan terutama dalam penerapan serta

pengembangan ilmu hukum di Indonesia, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini

masih jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan masukan yang sifatnya

membangun bagi penyempurnaan tulisan ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkat dan karuniaNya kepada

kita semua.

Medan, Agustus 2011

Penulis

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Mayer Hayrani DS

Tempat/Tanggal Lahir : Galang, 12 Mei 1984

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Dusun IV Mekar Tani, Bukit Kemuning, Tapung

Hulu, Kabupaten Kampar, Riau

Pendidikan : SD Negeri 040 Salo Bangkinang, Tamat Tahun

1996

SLTP Negeri 4 Bangkinang, Tamat Tahun 1999

SMUN 1 Binaan Khusus Bangkinang, Tamat

Tahun 2002

Fakultas Ilmu Hukum Universitas Riau (UNRI)

Tamat Tahun 2008

Strata Dua (S2) Program Studi Magister Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI... vi

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A...Latar Belakang ... 1

B...Peru musan Masalah ... 2

C...Tujua n Penelitian ... 3

D...Manf aat Penelitian ... 3

E...Keasli an Penelitian ... 4

(12)

1. Kerangka Teori ... 15

2. Konsepsional... 22

G...Meto

de Penelitian ... 5

BAB II: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI

DALAM NEGERI DALAM RANGKA ASEAN CHINA FREE TRADE AGREEMENT (ACFTA) ... 7

A. Kesepakatan ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA)… 7

1...Latar

Belakang ACFTA ... 7

2...Isi

Kesepakatan ACFTA... 8

3...Tujua

n ACFTA ... 8

4...Prinsi

p-Prinsip Perdagangan ACFTA ... 9

B.ACFTA Dalam Perspektif Hukum ... 47

(13)

D.Aspek Hukum Perlindungan Industri Dalam Negeri Dalam

Kerangka ACFTA ... 56

1...Safeg uard... 59

2...Antid umping ... 66

3...Count ervailing ... 69

4...Negos iasi... 71

E. Perlindungan Industri Dalam Negeri Dalam ACFTA Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia... 71

BAB III: KEBIJAKAN PEMERINTAH MELINDUNGI INDUSTRI DALAM NEGERI TERHADAP DAMPAK NEGATIF PELAKSANAAN ACFTA... 76

A. Arti Penting Industri Dalam Negeri Bagi Perekonomian Nasional... 80

B.Perkembangan Hubungan Dagang China-Indonesia... 86

C.Alasan Pemerintah Menyetujui ACFTA ... 90

(14)

1...Pelak

sanaan ACFTA di Indonesia... 96

2...Damp

ak Pelaksanaan ACFTA... 99

E. Faktor-Faktor Penyebab Terpuruknya Industri dalam Negeri

dalam ACFTA ... 104

F. Kebijakan Pemerintah Melindungi Industri dalam Negeri dalam

ACFTA ... 111

1...Perlin

dungan Pasar Dan Produk Industri Dalam Negeri... 116

2...Pengu atan Daya Saing Produk Industri Dalam Negeri... 120

BAB IV: HAMBATAN TERHADAP PERLINDUNGAN INDUSTRI

DALAM NEGERI DALAM RANGKA ACFTA ... 126

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ... 135

A...Kesi

mpulan ... 135

B...Saran 137

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Neraca Perdagangan Indonesia-China tahun 1990-2009 (Ribu USD).. 88

(16)

ABSTRAK

ACFTA, kerjasama ekonomi regional yang disepakati pada tahun 2002 bertujuan menciptakan liberalisasi perdagangan antara negara China dan negara-negara ASEAN dengan hambatan tarif 0%. Implementasi ACFTA di Indonesia telah menyebabkan terpuruknya beberapa sektor industri dalam negeri akibat lonjakan impor produk-produk China yang membanjiri pasar dalam negeri karena harga yang lebih murah dari produk industri dalam negeri. Hal ini sesungguhnya disebabkan oleh karena industri dalam negeri memiliki daya saing yang lemah sehingga saat ACFTA diberlakukan, menyebabkan produk industri dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor khususnya produk impor China.

Penelitian ini mencoba menganalisis perlindungan hukum bagi industri dalam negeri dan kebijakan pemerintah Indonesia melindungi industri dalam negeri dalam implementasi ACFTA. Penelitian ini juga menggunakan metode penelitian hukum normatif. Data penelitian berupa bahan hukum primer dan sekunder dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif-interpretatif-abstraktif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif-induktif.

Sejalan dengan ketentuan WTO, ACFTA juga memberikan hak kepada negara-negara anggotanya untuk melindungi industri dalam negeri dari dampak negatif pelaksanaan ACFTA dalam bentuk safeguard, antidumping, dan

countervailing. Penggunaan instrumen perlindungan industri dalam negeri tersebut

secara khusus diatur dalam ketentuan hukum nasional dengan tetap berpedoman kepada ketentuan WTO. Pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan dalam melindungi industri dalam negeri dari dampak negatif implementasi ACFTA, seperti penggunaan instrumen perlindungan industri dalam negeri berupa safeguard dan anti-dumping, pembangunan jalan, penurunan tarif bea masuk terhadap barang baku dan barang modal, penerapan lisensi perdagangan secara online dan pelayanan satu atap. Namun kebijakan tersebut belum cukup dalam melindungi industri dalam negeri dalam rangka ACFTA. Hal tersebut disebabkan oleh karena berbagai hambatan yang menghalangi upaya perlindungan bagi industri dalam negeri.

Dengan demikian, agar produk industri dalam negeri dapat bersaing dengan produk impor dalam rangka ACFTA maka sangat penting agar upaya peningkatan daya saing industri dalam negeri dengan mengatasi berbagai hambatan tersebut dilakukan. Hal ini tentunya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, akan tetapi juga melibatkan pelaku usaha industri dalam negeri dan masyarakat Indonesia sebagai konsumen dengan mencintai produk industri dalam negeri.

(17)

ABSTRACT

ACFTA, regional economic cooperation, agreed to in 2002, was aimed to devise liberalization in trade between China and ASEAN countries with tariif constraint of 0%. The implementation of ACFTA in Indonesia has caused some domestic industrial sectors to go down, due to significant increase of Chinese products. The real problem is that domestic industry had weak competitiveness so that when ACFTA is implemented, domestic products cannot stand competing with other import products, especially with the Chinese products.

This research attempted to analyze legal protection for domestic industry and the Indonesian government’s policy to protect domestic products, due to the implementation of ACFTA. This research also used legal normative method. The data were primary and secondary legal materials which were analyzed by using qualitative-interpretative-abstractive method and drawing the conclusions deductively to inductively.

In line with WTO, ACFTA also gives the rights to its country members to protect domestic industry form the negative effect of the implementation of ACFTA in the form of safeguard, antidumping, and countervailing. The use of protection instrument for domesctic industry is especially stipulated in the national legal provisions which are based on WTO regulations. The government has exercised various policies in protecting domestic industry from negative effects of the implementation of ACFTA like the use of protection instruments for domestic industry such as safeguard and antidumping, road building, tariff reduction of import duty on raw materials and capital goods, application of trade license online one-stop service. However, these policies are not sufficient for protecting domestic industry, due to the implantation of ACFTA. This is because of various constraint impede the effort to protect domestic industry.

In order that domestic industry is able to compete with import in the implementation of ACFTA, it is recommended that the competitiveness of domestic industry should be increased in order to cope with the varied constraints. This is not only the responsibility of the government but also the involvement of businesspersons of domestic industry and the Indonesian people as consumers by loving domestic products.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A....La

tar Belakang

Dunia sekarang sedang mengalami perubahan yang disebut globalisasi.

Globalisasi tersebut terjadi diberbagai aspek, salah satunya pada aspek ekonomi yang

lazim disebut globalisasi ekonomi. Proses globalisasi ekonomi adalah perubahan

perekonomian dunia yang bersifat mendasar atau struktural, dan proses ini akan

berlangsung terus dengan laju yang semakin cepat mengikuti perubahan teknologi

yang juga akan semakin cepat dan peningkatan serta perubahan pola kebutuhan

masyarakat dunia.1

Sangat jelas bahwa era globalisasi ekonomi ini ditandai dengan adanya

keterbukaan, keterkaitan dan juga persaingan yang semakin ketat dalam masyarakat

internasional khususnya di bidang ekonomi. Gejala globalisasi ini terjadi dalam

kegiatan finansial, produksi, investasi, dan perdagangan yang kemudian

mempengaruhi tata hubungan ekonomi antar bangsa. Proses globalisasi tersebut telah

meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan antar negara, bahkan

menimbulkan proses menyatunya ekonomi dunia, sehingga batas-batas antar negara

dalam berbagai praktik dunia usaha/bisnis seakan-akan dianggap tidak berlaku lagi.2

      

1

Tulus T.H. Tambunan, Globalisasi dan Perdagangan Internasional, (Bogor: Ghalia

Indonesia, 2004), hlm. 1. 

2

R Hendra Halwani, Ekonomi Internasional & Globalisasi Ekonomi, (Jakarta: Ghalia

(19)

Selama ini setiap negara pada umumnya meyakini bahwa tidak satu pun

negara di dunia yang dapat mengisolasi diri dari proses globalisasi. Dengan demikian

penerapan perdagangan dan investasi bebas adalah pilihan baik yang harus

dilaksanakan. Namun kenyataan menunjukkan lain, di mana hasil studi membuktikan

bahwa manfaat yang lahir dari penerapan liberalisasi perdagangan dan investasi tidak

sama bagi setiap bangsa.3 Pada dasarnya negara maju adalah pihak yang paling

diuntungkan dalam liberalisasi perdagangan sebab negara maju memiliki keunggulan

dalam berbagai hal yang tidak dimiliki oleh negara berkembang seperti kestabilan

perekonomian, teknologi yang tinggi, industri yang produktif, dan lain sebagainya.

Sangat jelas, bahwa negara berkembang adalah pihak yang lemah dalam liberalisasi

perdagangan ini.

Negara maju umumnya memiliki kepiawaian dalam menerapkan cara-cara

sehingga negara berkembang terikat dengan sistem perdagangan bebas. Cara yang

sering digunakan antara lain adalah dengan permintaan pengurangan tarif impor bea

masuk atas produk dan jasa dari negara maju di negara berkembang.4 Negara-negara

industri tanpa hambatan berarti akan lebih mudah menjual barang dan jasanya ke

negara sedang berkembang. Karena itu, dalam waktu bersamaan, globalisasi akan

melahirkan pengelompokan masyarakat dan negara ke dalam kelas baru berdasarkan

kemampuan ekonomi. Dengan demikian tampak bahwa globalisasi juga akan

melahirkan jurang antara yang kaya dengan yang miskin kian lebar, baik antara

      

3

Ibid, hlm. 228. 

4

Mamnun Laidu, “Dampak Liberalisasi Perdagangan bagi Pelaku Bisnis Indonesia”,

(20)

negara yang satu dengan lainnya maupun internal individu sesama warga negara di

negara tersebut.

Dalam memasuki era perdagangan bebas ini, Indonesia sudah harus memiliki

persiapan yang mantap untuk menghadapi pengaruh yang timbul pada perekonomian

dan atau perdagangan Indonesia dalam semua aspek, termasuk di dalamnya aspek

hukum, khususnya hukum ekonomi sebagai pranata hukum yang berisikan kebijakan

untuk mengarahkan kegiatan ekonomi ke suatu arah tertentu.5

Berkaitan dengan ini, aturan yang berlaku di tingkat internasional menegaskan

tentang kedaulatan negara sebagaimana tertuang dalam Charter of Economic Rights

and Duties of State. Article 2 (1) Resolusi ini menyebutkan “Every state has and shall freely exercise full permanent sovereignty, including possession, use and disposal, over all its wealth, natural resources and economic activities”.6

Berdasarkan aturan hukum tersebut, setiap negara memiliki hak untuk

menentukan kebijakan ekonominya termasuk kebijakan perdagangan yang bersifat

proteksionis. Namun demikian, kebijakan tersebut hanya bersifat sementara, yaitu

dalam rangka memberikan kesempatan kepada negara yang bersangkutan untuk

mempersiapkan diri menghadapi resiko liberalisasi perdagangan.

      

5

Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, (Bandung: Books Terrace & Library, 2009),

hlm. 3.  

6

United Nations, General Assembly Resolution, December 12th 1974, No. 3281 (XXIX), lihat

dalam Mahmul Siregar, Perdagamgam Internasional, (Medan: Universitas Sumatera Utara Sekolah Pasca Sarjana, 2005), hlm. 135-136.

(21)

Liberalisasi perdagangan ini tampak dalam sejumlah kerjasama ekonomi

internasional negara-negara di dunia dalam perdagangan baik kerjasama multilateral

maupun regional. Untuk kawasan Asia Tenggara, ASEAN Free Trade Area (AFTA)

merupakan bentuk kerjasama regional, yang mana Indonesia merupakan salah satu

negara anggotanya selain Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Filiphina,

Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam. AFTA ini merupakan salah satu bentuk FTA atau

Free Trade Area.

FTA atau Free Trade Area adalah suatu bentuk kerja sama ekonomi regional

yang perdagangan produk-produk orisinal negara-negara anggotanya tidak dipungut

bea masuk atau bebas bea masuk.7 Dalam FTA, sekelompok negara setuju untuk

menghapus tarif diantara mereka namun tetap mempertahankan tarif mereka

masing-masing terhadap impor dari negara-negara di luar FTA. Tujuan strategis AFTA

adalah meningkatkan keunggulan komparatif regional Association of Southeast Asian

Nations (ASEAN) sebagai suatu kesatuan unit produksi. Oleh karena itu,

penghapusan rintangan tarif dan non-tarif di antara negara-negara anggota diharapkan

untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, produktivitas, dan daya saing negara-negara

anggota ASEAN.8

Berkaitan dengan hal ini, sebuah terobosan dilakukan oleh komunitas

masyarakat regional ASEAN yang pada akhirnya terealisasi dalam bentuk komunitas

      

7

Hamdy Hady, Ekonomi Internasional Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional,

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 88. 

8

Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005),

(22)

perdagangan bebas, yakni antara negara-negara yang tergabung di ASEAN dengan

China, melalui ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Sebagai salah satu

negara anggota dari ASEAN, Indonesia ikut serta dalam perjanjian yang dilakukan

oleh negara-negara ASEAN, termasuk kesepakatan atau perjanjian perdagangan

antara negara-negara ASEAN dengan China yang disebut ACFTA.

Dalam rangka akomodasi kepentingan ACFTA tersebut, dan berdasarkan isi

perjanjian dalam Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation

Beetween the Association of South East Asian Nations and the People’s Republic of China, sebagaimana telah diratifikasi melalui Keppres Nomor 48 Tahun 2004,

pemerintah Indonesia membentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan ACFTA, diantaranya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia

Nomor 355/KMK.01/2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang

dalam rangka Early Harvest Package ASEAN-China Free Trade Area, Peraturan

Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 57/PMK.010/2005 tanggal 7 Juli 2005

tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN-China Free

Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

21/PMK.010/2006 tanggal 15 Maret 2006 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam

rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan

Republik Indonesia Nomor 04/PMK.011/2007 tanggal 25 Januari 2007 tentang

Perpanjangan Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track

ASEAN-China Free Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

(23)

rangka ASEAN-China Free Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan Republik

Indonesia Nomor 235/PMK.011/2008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan

Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area.9

Perjanjian ACFTA ini menimbulkan suatu perkembangan baru pada kegiatan

perdagangan internasional, terutama pada kawasan Asia Tenggara. Kesiapan

menyambut dampak positif dan negatif dari terselenggaranya ACFTA menjadi

problematika tersendiri, terutama di negara Indonesia. Investasi ke dalam dan ke luar

negeri dalam konteks ACFTA merupakan peluang yang memiliki dua sisi yang

berlawanan, yaitu yang menjanjikan dan/atau justru merugikan. Indonesia dengan

segala potensinya diperhadapkan pada sebuah tantangan untuk dapat bertahan dan

meningkatkan posisinya di kancah perdagangan dan investasi.

Tekanan dari kalangan pengusaha industri agar pelaksanaan ACFTA ditunda

menandakan besarnya pengaruh negatif terhadap industri dalam negeri Indonesia.

Sementara itu pemerintah tetap menjalankan kesepakatan dengan tetap mengkaji dan

mengevaluasi berbagai hal untuk dapat tetap meningkatkan daya saing Indonesia antara

lain terkait dengan prasarana, biaya ekonomi tinggi, biaya transportasi, dan sektor makro

lainnya. Karena sekalipun pemerintah menunda pelaksanaan ACFTA untuk waktu

tertentu bagi produk-produk tertentu, pada akhirnya perlindungan tersebut juga harus

dihilangkan sesuai kesepakatan. Jika pemerintah melanggar kesepakatan dan melindungi

      

9

Setyo Pamungkas, “Implikasi ASEAN – China Free Trade Area (ACFTA) Terhadap Hukum

Investasi di Indonesia”,

http://setyopamungkas.wordpress.com/2010/03/08/implikasi-asean-%E2%80%93-china-free-trade-area-acfta-terhadap-hukum-investasi-di-indonesia/, diakses tanggal 28

(24)

industri dalam negeri, konsumen dirugikan karena harus membayar produk dengan harga

lebih mahal dan perekonomian menjadi tak berkembang.

Seperti diketahui pemberlakuan ACFTA diikuti dengan pemberlakuan seluruh

tarif impor menjadi nol persen (0%), dan hal yang akan terjadi adalah serbuan

besar-besaran produk-produk barang China, kemudian bila industri dalam negeri tidak

mampu bersaing, maka ACFTA hanya akan membuat para pelaku industri dalam

negeri gulung tikar dan angka pengangguran akan meningkat. Bila pasar domestik tak

mampu direbut, kecil kemungkinan untuk industri dalam negeri dapat menembus

pasar internasional, sebab faktor harga yang lebih tinggi akan menjadi masalah bagi

industri dalam negeri. Dalam hal ini tentunya dukungan pemerintah bagi para

pengusaha atau dunia industri dalam negeri (khususnya industri kecil) sangat

dibutuhkan, agar industri dalam negeri tidak terpuruk akibat implemantasi ACFTA

tersebut.10

Menurut Ketua Assosiasi pengusaha Indonesia, Sofyan Wanandi, terdapat

sekitar 16 (enam belas) sektor usaha menyatakan belum siap memasuki pasar bebas.

Sektor yang keberatan dibukanya pasar bebas ASEAN-China tersebut antara lain

tekstil, baja, ban, mebel, pengolahan kakao, industri alat kesehatan, kosmetik,

aluminium, elektronika, petrokimia hulu, kaca lembaran, sepatu, mesin perkakas, dan

kendaraan bermotor. Bahkan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) membeberkan

proyeksi bahwa pangsa sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) lokal pada tahun

      

10

Rooma, “Analisis Dampak ACFTA bagi Indonesia, Peluang atau Hambatan”,

(25)

2010 mulai tergerus 12% (dua belas persen) dibandingkan dengan kondisi pada tahun

ini dari 52 (lima puluh dua) triliun rupiah (67%) menjadi 47 (empat puluh tujuh)

triliun rupiah (55%). Menurut catatan API, sebagian besar penjualan TPT domestik

didominasi produk-produk jadi seperti garmen (pakaian jadi) dan aksesori lain. Pada

tahun 2011, total nilai pasar TPT domestik yang diprediksi menembus 95,55

(Sembilan puluh lima koma lima puluh lima) triliun rupiah justru semakin diisi

produk-produk China dengan proyeksi nilai mencapai 52,56 (lima puluh dua koma

lima puluh enam) triliun rupiah atau 55% (lima puluh lima persen), sedangkan porsi

penjualan produk TPT lokal bahkan diprediksi tinggal 39% (tiga puluh Sembilan

persen) atau setara 39 (tiga puluh Sembilan) triliun rupiah dari total penjualan TPT

domestik sebesar 130 (seratus tiga puluh) triliun rupiah. Artinya, TPT China

menguasai 70% (tujuh puluh persen) pasar lokal dengan nilai sekitar 91 (Sembilan

puluh satu) trilun rupiah.11

Potensi kerugian yang dialami industri manufaktur nasional sebagai dampak

dari implementasi perjanjian ACFTA diperkirakan mencapai 35 triliun rupiah per

tahun. Nilai yang tentunya sangat besar tersebut hanyalah potensi kerugian yang

bakal diderita oleh tujuh sektor manufaktur yaitu industri petrokimia, pertekstilan,

alas kaki dan barang dari kulit, elektronik, keramik, makanan dan minuman, serta

      

11

(26)

besi dan baja. Perkiraan potensi kerugian tersebut merupakan hasil kajian Ikatan

Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI).12

Invasi produk China ke pasar Indonesia ini tentunya akan mengganggu pasar

domestik khususnya bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) apabila

produk mereka tidak bisa mengimbangi dari sisi harga, kualitas, dan lain-lain. Hal

yang sangat dikhawatirkan adalah produk UMKM akan terus bergeser pada titik

rawan daya beli karena produk yang dihasilkan terlalu mahal dengan kualitas yang

hampir sama.13

Sejak pemberlakuan ACFTA, kecenderungan yang terjadi adalah

membanjirnya produk industri China, yang mengakibatkan besarnya arus impor

produk dari pada ekspor ke China. Bahkan, perdagangan antara China dengan

Indonesia mengalami defisit yang cukup besar pada tahun 2010, yakni mencapai 5,5

miliar Dolar AS.14

Berdasarkan hal tersebut, tampak bahwa masuknya impor produk-produk

industri China tersebut merugikan beberapa sektor industri dalam negeri Indonesia.

Dengan masuknya produk China tanpa bea masuk, menyebabkan lesunya aktivitas

pelaku usaha lokal yang dapat berdampak pada lesunya kegiatan industri dalam

      

12

Erman Rajagukguk, “ASEAN-China Free Trade Agreement Dan Implikasinya Bagi Indonesia”, http://ermanhukum.com/Makalah%20ER%20pdf/ACFTA.pdf, diakses tanggal 19 Juni

2011. 

13

Vica Herawati, “Analisis Pengaruh Asean China Free Trade Agreement (Acfta) Terhadap Kinerja Keuangan Yang Dilihat Dari Penjualan Pada Ukm Tekstil Di Pekalongan”,

http://eprints.undip.ac.id/22703/1/SKRIPSI.pdf, diakses tanggal 2 Maret 2011. 14

Dikutip dari pernyataan Deputi Menko Perekonomian Adi Putra Irawadi, dalam Mastardi,

“Perdagangan Indonesia-China Defisit USD 5,5 Miliar”,

http://infopublik.depkominfo.go.id/index.php?page=news&newsid=934, diakses tanggal 24 April

(27)

negeri bahkan tidak menutup kemungkinan dapat menyebabkan tutupnya beberapa

industri lokal. Pada akhirnya hal tersebut dapat menyebabkan bertambahnya angka

pengangguran akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tenaga kerja pada sektor

industri dalam negeri yang terkena dampak negatif pemberlakuan ACFTA.

Bila diperhatikan sebelum ACFTA berlaku, produk-produk China sebenarnya

telah mendominasi pasar Indonesia, baik secara legal maupun ilegal. Produk China

telah menjadi salah satu pesaing utama bagi produk-produk industri dalam negeri.

Maka daya saing kemudian menjadi taruhan utama dalam menentukan kebijakan

hukum investasi yang tepat. Sebab modal yang dibawa investor merupakan hal yang

sangat penting sebagai alat untuk mengintegrasikan ekonomi global. Dengan

demikian maka kepastian hukum bagi investor adalah tolak ukur utama untuk

menghitung resiko. Apabila investor tidak merasakan adanya jaminan kepastian

hukum yang dapat melindungi investasi mereka, maka dapat dipastikan investor tidak

akan berinvestasi baik dalam bentuk portofolio, apalagi dalam bentuk penanaman

modal langsung (direct investment).15

Perlunya melengkapi berbagai ketentuan investasi tiada lain karena,

lingkungan dunia usaha baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional telah

mengalami berbagai perkembangan yang demikian pesat, sehingga mau tidak mau

ketentuan investasi juga harus disesuaikan dengan tuntutan global khususnya dengan

      

15

Ridwan Khairandy,”Iklim Investasi dan Jaminan Kepastian Hukum dalam Era Otonomi Daerah, “Jurnal Hukum Respublica, Vol 5 No.2 Tahun 2006, hlm. 148, sebagaimana dikutip dalam Mahmul Siregar, Perdagamgam Internasional, (Medan: Universitas Sumatera Utara Sekolah Pasca

(28)

pemberlakuan ACFTA yang sangat mempengaruhi maju mundurnya beberapa sektor

industri dalam negeri. Pada kenyataannya perdagangan ekspor impor yang terjalin

antara China dan Indonesia dalam kerangka ACFTA ini menjadi titik tolak

pengaturan hukum investasi. Hal ini dikarenakan investasi China diharapkan tidak

merugikan kepentingan ekspor pengusaha dalam negeri ke China karena produk dan

komoditasnya kalah bersaing. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh

Baharuddin Lopa, bahwa agar hukum nasional senantiasa mampu menyesuaikan diri

dengan perkembangan keadaan, maka ia harus membuka diri menerima unsur-unsur

dari luar yang dapat memperlancar pembangunan nasional.16

Terkait dengan persaingan yang semakin berat, terutama dengan produk

China, maka tidak ada pilihan lain bagi pemerintah untuk segera mengambil sejumlah

langkah strategis, baik jangka pendek maupun jangka panjang dalam upaya

melindungi industri dalam negeri dari dampak negatif sebagai akibat dari

pemberlakuan perjanjian ACFTA. Hal penting yang perlu dikaji adalah bagaimana

mengaitkan strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi domestik dengan

langkah-langkah yang ditempuh pada tingkat internasional, misalnya terkait posisi pemerintah

yang semakin lemah dalam menghadapi hambatan dalam mengupayakan peningkatan

efesiensi dan daya saing nasional di perdagangan internasional terkhusus dalam

menghadapi ACFTA ini.17 Sebab sejak ACFTA diberlakukan, telah menyebabkan

terjadinya peningkatan impor khususnya sektor non migas yang cukup signifikan

      

16

Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 21. 

17

Syahmin AK, Hukum Dagang Internasional, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006),

(29)

dalam kurun waktu tahun 2004-2008 di Indonesia bahkan peningkatan impor tersebut

pada umumnya diatas 20% per tahunnya.18 Selain itu, produk impor China tersebut

membanjir dengan harga yang sangat murah sehingga hal ini menimbulkan dugaan

bahwa praktek dumping juga mewarnai ACFTA yang tentunya semakin merugikan

industri dalam negeri.

Terlebih lagi dengan fakta bahwa perjanjian-perjanjian perdagangan bebas

lainnya yang telah disetujui Indonesia akan menyusul pemberlakuannya seperti

ASEAN Korea FTA, Indonesia Japan Economic Partnership Agreements (IJEPA),

ASEAN Australia New Zealand FTA (AANZFTA), dan ASEAN India FTA. Dalam

format kerjasama yang berbeda, Partnership Cooperation Agreement (PCA) antara

Indonesia – Uni Eropa juga telah ditandatangai bulan November 2009. Dalam PCA

tersebut, terdapat klausul-klausul kerjasama ekonomi yang merujuk pada liberalisasi

perekonomian, khususnya dalam Jasa dan Hak Kekayaan Intelektual terkait

perdagangan dimana Uni Eropa mempunyai kepentingan di dalamnya. Di luar itu

masih banyak FTA atau kerjasama ekonomi yang merujuk pada liberalisasi

perekonomian yang masih berada dalam proses perundingan atau dalam tahap

pengkajian.19

      

18

 Firman Mutakin dan Aziza Rahmaniar Salam, “Dampak Penerapan ASEAN China Free

Trade Agreement (ACFTA) Bagi Perdagangan Indonesia”,

http://www.bni.co.id/Portals/0/Document/Ulasan%20Ekonomi/ACFTA.pdf, diakses tanggal 7 Juni

2011. 

19

Administrator, “Free Trade Agreements dan Demokrasi Kita”,

http://www.igj.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=394&itemid=164, diakses

(30)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri dalam rangka

ACFTA?

2. Bagaimana kebijakan pemerintah dalam melindungi industri dalam negeri

terhadap dampak negatif dari pelaksanaan ACFTA?

3. Bagaimana hambatan terhadap perlindungan hukum bagi industri dalam negeri

dalam rangka ACFTA?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum terhadap industri dalam

negeri dalam rangka ACFTA.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan pemerintah dalam melindungi

industri dalam negeri terhadap dampak negatif dari pelaksanaan ACFTA.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan terhadap perlindungan hukum bagi

industri dalam negeri dalam rangka ACFTA.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

(31)

1. Secara teoritis

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat teoritis yang akan

memperkaya khasanah ilmu hukum guna membangun argumentasi ilmiah sebagai

lampu pencari (search light) untuk menemukan kekurangan–kekurangan dalam

pendekatan penelitian normatif terhadap peraturan hukum yang terkait dengan

rumusan masalah yang dibahas.

2. Secara praktis

Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat

penegak hukum mulai dari pembuat undang-undang (DPRD/DPR) dan pemerintah

(Kabupaten/kota, Propinsi dan Pusat) sebagai badan eksekutif agar mempunyai

perspektif yang sama dalam memberikan perlindungan hukum bagi industri dalam

negeri menghadapi dampak negatif pelaksanaan perjanjian ASEAN China Free Trade

Area (ACFTA). Selain itu penelitian ini juga bermanfaat bagi kalangan pelaku usaha

terkhusus yang terkena dampak langsung dari pemberlakuan ACFTA.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan

Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang: “Perlindungan

Hukum Terhadap Industri dalam Negeri Dalam ASEAN China Free Trade

(32)

Meskipun demikian, ada beberapa penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa

terdahulu yang membahas tentang ACFTA, diantaranya yaitu:

1. Febrina Rezkitta Hasibuan, dengan judul Kebijakan di Bidang Perdagangan yang

Tanggap terhadap Perubahan Makrostruktur Sistem Internasional (Analisis

Yuridis terhadap Perjanjian AFTA China – Indonesia).

2. Halimatul Maryani, Analisis Hukum Mengenai Kesepakatan Perdagangan

Bilateral dan Regional dalam Kaitannya dengan WTO (Studi Terhadap

Kesepakatan Perdagangan China-AFTA).

Penelitian ini berbeda dengan ke dua penelitian tersebut yang juga membahas

tentang persetujuan ACFTA. Penelitian ini berfokus pada perlindungan hukum bagi

industri dalam negeri dalam rangka pelaksanaan ACFTA.

Jadi penelitian ini adalah benar-benar asli karena telah sesuai dengan

asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas segala kritikan

dan masukan yang sifatnya membangun guna penyempurnaan hasil penelitian.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan

arahan/petunjuk dan ramalan serta menjelaskan gejala yang diamati. Penelitian ini

(33)

ilmu hukum. Keberadaan teori ini adalah untuk memberikan landasan yang mantap

pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis.20

Untuk mengetahui tentang Perlindungan Hukum terhadap Industri dalam

Negeri dalam ACFTA didasarkan kepada teori yang saling berkaitan. Teori yang

digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang berkenaan dengan peran negara

dalam perdagangan bebas yang dalam hal ini menggunakan teori negara

kesejahteraan (Welfare State) yang didukung oleh teori keadilan dari Jhon Rawls dan

teori perlindungan hukum dari Roscoe Pound.

Pada prinsipnya perdagangan bebas atau free trade adalah suatu bentuk

penjabaran ekonomi suatu negara yang mekanisme kebijakan perekonomiannya

diserahkan kepada kebijakan pasar dengan meminimalkan seminim mungkin peran

negara bahkan diharapkan sama sekali tidak ada intervensi/campur tangan dari

negara.21

Kerjasama antara Indonesia dan China dalam kerangka ACFTA adalah salah

satu wujud keikutsertaan Indonesia dalam pasar bebas. Secara teoritis, pasar bebas

dapat diartikan sebagai sebuah arena dimana seluruh keputusan dan tindakan

ekonomi yang dilakukan oleh individu-individu dalam rangka pergerakan uang,

      

20

Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimentri, (Ghalia Indonesia,

Jakarta, 1998), hlm. 37. 

21

Dhika Prawidar, “Perdagangan Bebas (Free Trade)”,

http://km.itb.ac.id/web/index.php?option=com_content&view=article&id=276:perdaganganbebas&c atid=75:diskusi-diluar-isu-energi-pangan-dan-pendidikan&Itemid=110, diakses tanggal 8 Maret

(34)

barang dan jasa berlangsung secara sukarela, bebas dari paksaan dan pencurian.22 Ide

ini lahir dalam sebuah sistem masyarakat yang disebut kapitalisme.

Memberikan ruang yang besar pada pasar dalam menggerakkan

perekonomian memang sangat berguna. Sebab hal ini mendorong inovasi dan

kreatifitas individu dalam masyarakat yang dapat menyebabkan timbulnya banyak

pilihan barang bagi konsumen. Namun akan sangat berbahaya jika kebebasan

individu-individu dalam masyarakat tidak dibatasi, sebab tidak akan ada yang

menjamin keberlangsungan hidup kaum-kaum miskin.

Dengan demikian negara mempunyai peran yang sangat penting untuk

memberikan kesejahteraan yang merata tidak hanya untuk segelintir warganya

melainkan bagi seluruh warga tanpa terkecuali terutama bagi pihak yang lemah.

Dalam pasar bebas kecenderungan yang tampak adalah pihak yang ekonominya kuat

akan selalu menindas pihak yang ekonominya lemah. Untuk itu negara, harus aktif

dalam melindungi kepentingan pihak yang lemah sehingga tercipta kesejahteraan

yang merata bagi seluruh masyarakatnya.

Hal ini yang mendorong lahirnya teori negara kesejahteraan (Welfare State).

Dalam negara kesejahteraan, negara berkewajiban untuk menyelenggarakan

kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian, pemerintah dituntut untuk bertindak

menyelesaikan segala aspek/persoalan yang menyangkut kehidupan warga negaranya,

walaupun belum ada dasar aturan yang mengaturnya. Atas dasar inilah maka

      

22

Coen Husain Pontoh, “Pasar Bebas”,

(35)

pemerintah diberikan kebebasan untuk dapat melakukan/bertindak dengan suatu

inisiatif sendiri untuk menyelesaikan segala persoalan atau permasalahan guna

kepentingan umum.23

Teori Keadilan Sosial dari Jhon Rawls, mengemukakan ide dalam bukunya A

Theory of justice bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar

memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung.

Menurut Rawls situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa

sehingga dapat menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Lebih

lanjut, Jhon Rawls menegaskan bahwa penegakkan keadilan yang berdimensi

kerakyatan haruslah memperhatikan 2 (dua) prinsip keadilan, yaitu:

(1) Memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas

seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang.

(2) Mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga

dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi

setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak

beruntung.24

Dengan demikian tampak bahwa negara memiliki peran yang penting dalam

memberikan keadilan yang merata bagi setiap orang. Berkaitan dengan pelaksanaan

pasar bebas maka negara tidak lagi hanya sebagai penjaga malam melainkan aktif

      

23

Bolmer Suryadi Hutasoit, “Fase Negara dan Prinsipnya”,

https://bolmerhutasoit.wordpress.com/2010/09/27/fase-negara-dan-prinsipnya/, diakses tanggal 9

Maret 2011. 

24

Mbegedut, “Menilik Teori Keadilan Sosial ala Jhon Rawls (Filsafat Hukum)”,

http://mbegedut.blogspot.com/2011/01/menilik-teori-keadilan-sosial-ala-john.html, diakses tanggal 9

(36)

dalam memberikan keadilan bagi semua orang, dengan menciptakan hukum sebab hal

ini merupakan kedaulatan dari negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.25

Dalam konteks ACFTA negara sudah seharusnya memberikan keadilan yang merata

bagi seluruh masyarakat sehingga manfaat liberalisasi tidak hanya dirasakan oleh

sebahagian masyarakat yang mendapat keuntungan dengan pemberlakuan ACFTA.

Tetapi lebih lagi, pemerintah harus memprioritaskan agar tidak terjadi ketidakadilan

dalam ACFTA yang dalam hal ini tentunya dialami oleh pihak yang lemah.

Secara singkat kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi (omnipotence) yang

hanya dimiliki oleh negara.26 Kedaulatan tersebut digunakan untuk menggambarkan

otonomi dan kekuasaan negara untuk membuat aturan-aturan hukum (hukum

nasional) yang berlaku diwilayahnya dan membuat lembaga-lembaga negara.27

Dalam kedaulatan terefleksikan pula kekuasaan negara untuk mengadakan hubungan

internasional dan tindakan-tindakan lain sebagai perwujudan dari kedaulatannya.

Secara sederhana Huala Adolf mengatakan bahwa kedaulatan ekonomi negara

adalah kekuasaan tertinggi suatu negara untuk mengatur kebijakan ekonomi di dalam

wilayahnya ataupun kebijakan ekonomi internasionalnya. Kedaulatan ekonomi

negara beserta persamaan status atau kedudukan negara tercermin dalam berbagai

      

25

Salim HS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,

2010), hlm. 131. 

26

Schwarzenberger dalam Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, op.cit., hlm. 243. 

27

(37)

dokumen hukum internasional. Yang utama adalah Pasal 1 dan 10 Piagam Hak dan

kewajiban Ekonomi Negara (Piagam CERDS).28

Pemberlakuan penghapusan tarif bea masuk sebagai pelaksanaan perjanjian

ACFTA mengakibatkan serbuan produk China ke Indonesia, yang tentunya

mengganggu beberapa sektor industri dalam negeri. Produk-produk China tersebut

lebih menarik minat masyarakat sebab produk-produk China tersebut jauh lebih

murah dibandingkan produk industri dalam negeri. Hal ini memperlihatkan daya

saing produk industri dalam negeri sangat lemah dibandingkan produk-produk China

yang masuk ke Indonesia.

Apabila negara tidak segera mengambil tindakan untuk melindungi industri

dalam negeri maka hal ini dapat mengakibatkan semakin lesunya kegiatan usaha

industri dalam negeri yang pada akhirnya dapat mengakibatkan tutupnya beberapa

sektor industri dalam negeri.

Prinsip-prinsip GATT/WTO jelas mendukung terciptanya perdagangan

internasional yang harmonis, adil dan terbuka. Namun disisi lain untuk

mengeliminasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan sebagai implikasi dari

hubungan bisnis internasional maka perlu dibentuk ketentuan-ketentuan sebagai

instrument pengamanan perdagangan yang dapat digunakan oleh seluruh negara

anggota untuk melindungi kepentingannya dari praktek perdagangan curang yang

      

28

(38)

dilakukan mitra bisnisnya.29 Berdasarkan hal tersebut maka tampak bahwa

GATT/WTO memberikan dasar aturan pemberian perlindungan industri domestik

dalam perdagangan internasional sebagaimana tertuang dalam Agreement on

Subsidies and Countervailing Measures (mengenai subsidi dan tindakan imbalan) dan Agreement on Safeguards (mengenai tindakan pengamanan).30

Berbicara mengenai perlindungan hukum, Roscoe Pound dalam bukunya

Scope and Purpose Of Sociological Jurisprudence, menyebutkan ada beberapa

kepentingan yang harus mendapat perlindungan atau dilindungi oleh hukum yaitu;

pertama kepentingan terhadap negara sebagai suatu badan yuridis, kedua,

kepentingan terhadap negara sebagai penjaga kepentingan sosial; ketiga, kepentingan

terhadap perseorangan terdiri dari pribadi (privacy). Berdasarkan hal tersebut tampak

bahwa diperlukan adanya suatu perlindungan negara terhadap kepentingan sosial. 31

Hal ini berarti, bahwa terhadap dampak negatif dari pemberlakuan ACFTA

bagi industri dalam negeri, negara sudah seharusnya memberikan perlindungan

hukum bagi pelaku usaha domestik agar produk industri dalam negeri tidak terpuruk

dan dapat terus berkembang dan serta bersaing dalam ACFTA.

      

29

Christoforus Barutu sebagaimana dikutip dalam Budi Nugroho, “Perlindungan Industri Domestik Dalam Perdagangan Bebas”,

http://www.bppk.depkeu.go.id/webbc/images/stories/file/2011/artikel/perlindungan%20industri%20do mestik%20dalam%20perdagangan%20bebas_1_.pdf, diakses tanggal 20 Juni 2011. 

30

Ibid. 

31

(39)

2. Konsepsional

Penggunaan konsep dalam suatu penelitian adalah untuk menghindari

penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang digunakan, oleh karena itu

penulis merumuskan konsep dengan mempergunakan model defenisi operasional.32

Untuk memudahkan pemahaman terhadap pembahasan dalam penulisan ini,

maka digunakan defenisi operasional sebagai berikut:

a. Perlindungan hukum adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum bagi individu dan atau kelompok. Perlindungan industri yang dimaksud

dalam tesis ini adalah perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri dalam

rangka ACFTA.

b. Industri dalam negeri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah,

bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan

nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun

dan perekayasaan industri dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.

c. Kawasan perdagangan bebas Free Trade Area (FTA) adalah suatu bentuk kerja

sama ekonomi regional yang perdagangan produk-produk orisinil negara-negara

anggotanya tidak dipungut bea masuk atau bebas bea masuk.

d. ASEAN Free Trade Area (AFTA) adalah suatu bentuk kerjasama ekonomi

regional di Kawasan Asia Tenggara untuk menghapuskan trade barriers antar

negara anggota ASEAN.

      

32

Universitas Sumatera Utara, “Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis”, (Medan:

(40)

e. ACFTA adalah kerjasama ekonomi regional antara negara-negara yang tergabung

dalam kawasan Asia Tenggara (ASEAN) dengan negara China.

f. Dampak negatif kawasan perdagangan bebas adalah dampak negatif yang

ditimbulkan akibat kerja sama ekonomi regional yang perdagangan

produk-produk orisinal negara-negara anggotanya akibat tidak dipungut bea masuk atau

bebas bea masuk. Dalam hal ini, dampak negatif yang dimaksud adalah dampak

negatif pelaksanaan ACFTA pada industri dalam negeri.

g. Tarif bea masuk adalah biaya pungutan negara berdasarkan undang-undang yang

dikenakan terhadap barang yang diimpor.

h. Peningkatan impor adalah peningkatan nilai perdagangan impor Indonesia dalam

implementasi ACFTA.

i. Dumping adalah keadaan suatu produk yang dimasukkan ke dalam pasar negara

lain dengan harga yang lebih rendah dari harga normal.33

j. Subsidi adalah bantuan keuangan yang diberikan oleh pemerintah/badan

pemerintah baik langsung atau tidak langsung kepada

perusahaan/eksportir/industri/wilayah tertentu.34

k. Safeguard (Pengamanan Perdagangan) adalah tindakan pengamanan industri

dalam negeri yang diambil oleh pemerintah berupa larangan impor dan atau

menaikkan tarif atau menetapkan kuota selama periode waktu tertentu.35

      

33

Defenisi dumping ini adalah menurut pengertian yang terdapat dalam GATT, lihat R. Hendra Halwani, Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005),

hlm. 327. 

34

Sugih Nurmansyah, “Sekilas Tuduhan Dumping, Subsidi dan Safeguard Negara WTO Tahun 1995-2008”, http://ditjenkpi.depdag.go.id/Umum/Setditjen/Buletin%202009/Full%2055.pdf,

(41)

l. Countervailing (Bea Masuk Pembalasan) adalah penerapan bea tambahan

terhadap produk impor dari suatu negara, sebagai dampak dari sikap diskriminatif

yang dilakukan oleh negara pengimpor terhadap barang Indonesia.

m. Kerugian industri dalam negeri adalah kondisi industri dalam negeri dimana

mengalami kemampuan yang semakin menurun beroperasi dalam memproduksi

barang.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian dalam tesis ini adalah bersifat deskriptif analitis. Penelitian yang

bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan,

menelaah, menjelaskan dan menganalisis suatu peraturan hukum.36 Dengan demikian

dalam penelitian ini tidak hanya ditujukan untuk mendeskripsikan gejala-gejala atau

fenomena-fenomena hukum yang terkait dengan kepastian hukum bagi

keberlangsungan usaha industri dalam negeri menghadapi ACFTA, akan tetapi lebih

ditujukan untuk menganalisis fenomena-fenomena hukum tersebut dan kemudian

mendeskripsikannya secara sistematis sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah

      

35

Muhammad Yani, “Safeguard”,

http://ditjenkpi.depdag.go.id/Umum/Setditjen/Buletin%202009/Full%2055.pdf, diakses tanggal 20 Juni

2011. 

36

(42)

untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi

normatifnya. Logika keilmuan yang ajeg dalam penelitian hukum normatif dibangun

berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif yaitu ilmu

hukum yang obyeknya hukum itu sendiri.37

Dalam penelitian ini metode yuridis normatif digunakan untuk meneliti

norma-norma hukum internasional dan hukum nasional yang berlaku terkait dengan

perlindungan industri dalam negeri dalam ACFTA.

2. Sumber Data Penelitian

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data atau

informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan

sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal

ataupun arsip-arsip yang sesuai dengan penelitian yang akan dibahas, yang meliputi:

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat seperti undang-undang,

perjanjian inernasional, dan lain-lain, yang dalam penelitian tesis ini terdiri dari

berbagai peraturan hukum yang berkaitan dengan implementasi dari perjanjian

ACFTA termasuk perjanjian-perjanjian internasional yang terkait dalam hal ini

yaitu Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Beetween

the Association of South Asian Nations and the People’s Republic of China

sebagaimana diratifikasi melalui Keppres Nomor 48 Tahun 2004 tentang

      

37

Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 57.

(43)

Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara

Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik

Rakyat China, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian, Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Peraturan Pemerintah Nomor

34 Tahun 1996 Tentang Bea Masuk Antidumping Dan Bea Masuk Imbalan,

Keppres Nomor 84 Tahun 2002 Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam

Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor, dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor

14/M-DAG/PER/3/2007 Tentang Standarisasi Jasa Bidang Perdagangan Dan

Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang Dan Jasa

Yang Diperdagangkan.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,

seperti berbagai tulisan, jurnal dan buku-buku yang dianggap berkaitan dengan

pokok permasalahan yang akan diangkat.

c. Bahan Hukum Tersier:

Merupakan bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti

kamus umum, dan kamus hukum sepanjang memuat informasi yang relevan

(44)

3. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori

atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang

berhubungan dengan objek penelitian ini yang dapat berupa peraturan

perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya.

4. Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen

dimana seluruh data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini, dikumpulkan

dengan mempergunakan studi dokumen.

Pada tahap awal pengumpulan data, dilakukan inventaris seluruh data dan atau

dokumen yang relevan dengan topik pembahasan. Selanjutnya dilakukan

pengkategorian data-data tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah

ditetapkan. Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan metode analisis yang sudah

dipilih.38

5. Analisis Data

Dilakukan secara kualitatif, yakni suatu bentuk analisa yang tidak bertumpu

pada angka-angka melainkan pada kalimat-kalimat. Bahan hukum yang diperoleh

akan dipilah-pilah, dikelompokkan dan disusun sedemikian rupa sehingga menjadi

suatu rangkaian yang sistematis yang akan dipergunakan untuk membedah dan

      

38

(45)

menganalisis permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini melalui interpretasi dan

abstraksi bahan-bahan hukum yang tersedia.

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir

deduktif – induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai

titik tolak untuk melakukan penelitian. Dengan demikian teori digunakan sebagai

alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak

langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah

(46)

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI DALAM RANGKA ASEAN CHINA FREE TRADE AGREEMENT (ACFTA)

Arus globalisasi ekonomi yang menimbulkan hubungan interdependensi dan

integrasi dalam bidang finansial, produksi dan perdagangan telah membawa dampak

yang cukup luas pada perekonomian Indonesia. Dampak dari arus globalisasi

ekonomi ini lebih terasa lagi setelah dikembangkannya prinsip liberalisasi

perdagangan (trade liberalization) yang telah diupayakan dan didukung secara

bersama-sama oleh negara-negara di dunia dalam bentuk kerjasama ekonomi

regional.39 ASEAN yang merupakan salah satu kerjasama regional merupakan bentuk

kekuatan baru di benua Asia, karena menjadi salah satu kawasan dengan jumlah

potensi pasar terbesar di dunia.

Hal ini tentunya menarik minat negara-negara lain yang ingin

mengembangkan potensi kerjasama mereka di wilayah Asia. Terlebih lagi rencana

terbesar ASEAN yang akan membentuk ASEAN Economic Community (AEC) yang

membawa kerjasama ekonomi ke arah yang lebih luas yaitu dalam satu kerangka

komunitas ASEAN. Salah satu negara besar yang menunjukkan komitmen

kerjasamanya sebagai mitra ASEAN adalah negara China, yang secara konkrit

diimplementasikan dalam Perjanjian Kerjasama Perdagangan Bebas antara ASEAN

dengan China.40

      

39

Bismar Nasution, op. cit., hlm. 7. 

40

(47)

http://saepudinonline.wordpress.com/2011/03/25/analisis-A. Kesepakatan ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA)

1. Latar Belakang ACFTA

Sejak didirikan pada tahun 1967, ASEAN memang bertujuan untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan

kebudayaan di kawasan Asia Tenggara. Untuk tujuan tersebut, negara-negara anggota

ASEAN telah berusaha untuk saling membantu dalam usaha-usaha yang menjadi

perhatian dan kepentingan bersama dari negara-negara anggota ASEAN, khususnya

di bidang ekonomi dan perdagangan termasuk masalah-masalah sosial, kebudayaan

dan ilmu pengetahuan antara lain dengan memanfaatkan secara efektif berbagai

sektor seperti pertanian dan industri serta memperluas perdagangan mereka, termasuk

perdagangan komoditi internasional.41

Negara-negara anggota ASEAN juga bertekad untuk memerangi kemelaratan,

kelaparan, penyakit dan buta huruf sebagai perhatian utama bagi negara-negara

anggotanya. Untuk itu, ASEAN telah berusaha mengadakan kerjasama secara intensif

di bidang ekonomi dan pembangunan sosial dengan mengutamakan peningkatan

sosial dan perbaikan tingkat kehidupan rakyat di kawasan Asia Tenggara. Dalam

KTT ASEAN di Bali tahun 1976 khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan

      

peluang-dan-tantangan-serta-langkah-pemerintah-indonesia-terhadap-implementasi-penuh-asean-china-fta/, diakses tanggal 14 Mei 2011. 

41

Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum internasional, (Jakarta: PT. Tatanusa, 2007),

(48)

telah ditetapkan suatu program aksi sebagai kerangka untuk kerja sama ASEAN

antara lain:42

a. Kerjasama mengenai komoditi dasar, khususnya makanan dan energi b. Kerjasama di bidang industri

c. Kerjasama di bidang perdagangan

d. Pendekatan bersama dalam menghadapi masalah komoditi internasional dan masalah ekonomi dunia lainnya

e. Mekanisme untuk kerjasama ekonomi.

Lingkungan ekonomi baik domestik maupun internasional telah mengalami

perubahan yang cepat dan telah menimbulkan tantangan-tantangan bagi ASEAN.

Walaupun sistem perdagangan global masih terbuka, kecenderungan timbulnya

hambatan-hambatan tetap merupakan tantangan bagi ASEAN. Terlebih dengan

semakin banyaknya pengelompokan-pengelompokan ekonomi secara cepat

menyebar, seperti Pasaran Tunggal Eropa dan NAFTA. Hal ini jelas mempengaruhi

sistem perdagangan internasional karena pengelompokan semacam itu bertujuan

untuk meningkatkan rejim ekonomi internasional yang terbuka, yang hanya akan

mendorong kerja sama ekonomi di wilayah yang bersangkutan.

Perjanjian perdagangan regional (RTA) ini tumbuh karena bersifat lebih

mudah dan aplikatif karena tidak melibatkan terlalu banyak negara serta

kepentingannya seperti yang terjadi di WTO. Kesulitan yang dihadapi untuk

menciptakan sistem perdagangan multilateral tersebutlah yang mendasari ketentuan

pasal 24 ketentuan GATT tentang diperbolehkannya pembentukkan

kerjasama-      

42

Joint Communique Meeting of the second ASEAN economic Government, Bali 23-24 February 1976, sebagaimana dikutip dalam Sumaryo Suryokusumo, ibid.

(49)

kerjasama regional di bidang perdagangan. Ketentuan Pasal 24 GATT memberi

persyaratan bahwa pembentukan perjanjian perdagangan regional (Regional Trade

Agreement /RTA) tersebut tidak menjadi rintangan bagi perdagangan multilateral.43

Hal inilah yang mendasari ASEAN mengambil langkah-langkah baru untuk

meningkatkan kerja sama perdagangan dan industri yaitu dengan mencari

mekanisme-mekanisme baru ke arah tercapainya harmonisasi dan integrasi ekonomi

yang dapat menjamin lancarnya perdagangan dan investasi ASEAN.44

Pada tahun 1991 para pemimpin ASEAN sepakat untuk membentuk kawasan

perdagangan bebas ASEAN atau yang dikenal dengan AFTA yang pembentukannya

berlangsung selama 10 (sepuluh) tahun. Sebuah lembaga setingkat menteri dibentuk

untuk mengawasi, mengkoordinasikan, dan mengkaji pelaksanaan program menuju

AFTA. Adapun isi persetujuannya berupa kerangka dalam meningkatkan kerja sama

ekonomi ASEAN (Framework Agreement on Exchanging ASEAN Economic

Coorporation- FAEAEC) yang ditandatangani presiden dan perdana menteri tiap-tiap

negara ASEAN pada bulan Januari 1992.45

Kelahiran AFTA ini merupakan upaya dari ASEAN untuk melindungi

kepentingan negara anggota dalam perdagangan multilateral yang didominasi oleh

negara-negara maju. Berdasarkan kesadaran tersebut, maka terkesan bahwa AFTA

      

43

Saepudin, “Perjanjian Perdagangan Regional (RTA) Dalam Kerangka World Trade Organization (WTO): Studi Kasus ASEAN Free Trade Area (AFTA)”,

http://saepudinonline.wordpress.com/2011/05/05/perjanjian-perdagangan-regional-rta-dalam-kerangka-world-trade-organization-wto-studi-kasus-asean-free-trade-area-afta/, diakses tanggal 20

Juni 2011. 

44

Sumaryo Suryokusumo, op. cit., hlm. 15-16. 

45

Gambar

Tabel 1.  Neraca Perdagangan Indonesia-China tahun 1990-2009 (Ribu USD)
Tabel 2 Produktivitas Tenaga Kerja ASEAN

Referensi

Dokumen terkait

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat penjualan dan tingkat laba sebelum dan setelah adanya ASEAN-China Free Trade Area

Secara sederhana berdasarkan kondisi yang ada, dalam keikutsertaan Indonesia dalam kesepakatan perdagangan bebas internasional antara China dengan negara-negara anggota

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan beberapa peraturan menteri keuangan yang mengakomodasi dari pada perjanjian ACFTA merupakan bentuk sinkronisasi dari perjanjian

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pengaruh ACFTA (ASEAN - China Free Trade Area) terhadap impor besi dan

Hal tersebut terbukti juga dari nilai probabilitas seluruh variabel dependen yaitu variabel perdagangan, variabel dummy (ACFTA), dan nilai tukar rupiah memiliki

ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan kesepakatan antara negara-negara-negara anggota ASEAN dengan Cina untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas

Dasar hukum pembuatan Perjanjian Internasional ditinjau dari sudut pandang hukum nasional di Indonesia diatur pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004

ACFTA adalah perjanjian regional antara negara- negara anggota ASEAN dengan China untuk menciptakan area perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan