PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI
DALAM NEGERI DALAM ASEAN CHINA FREE
TRADE AGREEMENT (ACFTA)
TESIS
Oleh
MAYER HAYRANI DS
097005042/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI
DALAM NEGERI DALAM ASEAN CHINA FREE
TRADE AGREEMENT (ACFTA)
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program
Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
MAYER HAYRANI DS
097005042/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
JUDUL TESIS : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI DALAM ASEAN CHINA FREE TRADE AGREEMENT (ACFTA)
NAMA MAHASISWA : MAYER HAYRANI DS
NIM : 097005042
PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM
Menyetujui: Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH) Ketua
(Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH) (Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH) (Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum)
Telah diuji pada
Tanggal 15 Agustus 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
KETUA : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH
ANGGOTA : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH
2. Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum
3. Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum
ABSTRAK
ACFTA, kerjasama ekonomi regional yang disepakati pada tahun 2002 bertujuan menciptakan liberalisasi perdagangan antara negara China dan negara-negara ASEAN dengan hambatan tarif 0%. Implementasi ACFTA di Indonesia telah menyebabkan terpuruknya beberapa sektor industri dalam negeri akibat lonjakan impor produk-produk China yang membanjiri pasar dalam negeri karena harga yang lebih murah dari produk industri dalam negeri. Hal ini sesungguhnya disebabkan oleh karena industri dalam negeri memiliki daya saing yang lemah sehingga saat ACFTA diberlakukan, menyebabkan produk industri dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor khususnya produk impor China.
Penelitian ini mencoba menganalisis perlindungan hukum bagi industri dalam negeri dan kebijakan pemerintah Indonesia melindungi industri dalam negeri dalam implementasi ACFTA. Penelitian ini juga menggunakan metode penelitian hukum normatif. Data penelitian berupa bahan hukum primer dan sekunder dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif-interpretatif-abstraktif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif-induktif.
Sejalan dengan ketentuan WTO, ACFTA juga memberikan hak kepada negara-negara anggotanya untuk melindungi industri dalam negeri dari dampak negatif pelaksanaan ACFTA dalam bentuk safeguard, antidumping, dan
countervailing. Penggunaan instrumen perlindungan industri dalam negeri tersebut
secara khusus diatur dalam ketentuan hukum nasional dengan tetap berpedoman kepada ketentuan WTO. Pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan dalam melindungi industri dalam negeri dari dampak negatif implementasi ACFTA, seperti penggunaan instrumen perlindungan industri dalam negeri berupa safeguard dan anti-dumping, pembangunan jalan, penurunan tarif bea masuk terhadap barang baku dan barang modal, penerapan lisensi perdagangan secara online dan pelayanan satu atap. Namun kebijakan tersebut belum cukup dalam melindungi industri dalam negeri dalam rangka ACFTA. Hal tersebut disebabkan oleh karena berbagai hambatan yang menghalangi upaya perlindungan bagi industri dalam negeri.
Dengan demikian, agar produk industri dalam negeri dapat bersaing dengan produk impor dalam rangka ACFTA maka sangat penting agar upaya peningkatan daya saing industri dalam negeri dengan mengatasi berbagai hambatan tersebut dilakukan. Hal ini tentunya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, akan tetapi juga melibatkan pelaku usaha industri dalam negeri dan masyarakat Indonesia sebagai konsumen dengan mencintai produk industri dalam negeri.
ABSTRACT
ACFTA, regional economic cooperation, agreed to in 2002, was aimed to devise liberalization in trade between China and ASEAN countries with tariif constraint of 0%. The implementation of ACFTA in Indonesia has caused some domestic industrial sectors to go down, due to significant increase of Chinese products. The real problem is that domestic industry had weak competitiveness so that when ACFTA is implemented, domestic products cannot stand competing with other import products, especially with the Chinese products.
This research attempted to analyze legal protection for domestic industry and the Indonesian government’s policy to protect domestic products, due to the implementation of ACFTA. This research also used legal normative method. The data were primary and secondary legal materials which were analyzed by using qualitative-interpretative-abstractive method and drawing the conclusions deductively to inductively.
In line with WTO, ACFTA also gives the rights to its country members to protect domestic industry form the negative effect of the implementation of ACFTA in the form of safeguard, antidumping, and countervailing. The use of protection instrument for domesctic industry is especially stipulated in the national legal provisions which are based on WTO regulations. The government has exercised various policies in protecting domestic industry from negative effects of the implementation of ACFTA like the use of protection instruments for domestic industry such as safeguard and antidumping, road building, tariff reduction of import duty on raw materials and capital goods, application of trade license online one-stop service. However, these policies are not sufficient for protecting domestic industry, due to the implantation of ACFTA. This is because of various constraint impede the effort to protect domestic industry.
In order that domestic industry is able to compete with import in the implementation of ACFTA, it is recommended that the competitiveness of domestic industry should be increased in order to cope with the varied constraints. This is not only the responsibility of the government but also the involvement of businesspersons of domestic industry and the Indonesian people as consumers by loving domestic products.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan
karunia-Nya kepada penulis, karena penulis masih diberikan kesehatan dan kesempatan serta
kemudahan dalam mengerjakan tesis ini.
Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar
Master Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Dalam penyusunan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik
berupa pengajaran, bimbingan maupun semangat dari berbagai pihak. Oleh karena itu
pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih. Rasa terimakasih
yang sebesar-besarnya secara khusus penulis sampaikan kepada Komisi Pembimbing
yaitu Bapak Prof. Bismar Nasution, SH., MH., sebagai Pembimbing I, Bapak Prof.
Dr. Suhaidi, SH., MH., sebagai Pembimbing II sekaligus sebagai Ketua Program
Magister (S2) dan Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dan Dr.
Mahmul Siregar, SH., M.Hum., sebagai Pembimbing III sekaligus sebagai Sekretaris
Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah bersedia
memberikan waktunya untuk memberikan bimbingan, dorongan semangat, serta
Dalam kesempatan ini saya juga tidak lupa mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K.), sebagai
Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., sebagai Penguji I yang telah memberikan
masukan dan saran yang membangun bagi kesempurnaan penulisan tesis ini.
4. Bapak Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum., sebagai Penguji II yang telah
memberikan masukan dan saran yang membangun bagi kesempurnaan penulisan
tesis ini.
5. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM., sebagai Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Para Dosen dan Tata Usaha Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara.
8. Sahabat-sahabat Penulis Kak Risda, S.H., M.H., Kak Halimah, S.H., M.H., Erni
Darmayanti, S.H, Cahaya Permata, S.H., Bang Khairul Munadi, S.H., dan Atika
Irma Rangkuti, S.H., M.H., yang telah membantu dan memberi semangat selama
9. Sahabatku Maya E.D.S, serta teman-teman kos Eva Tambunan, Mei Rodhea,
Arietha Novera, Agnesti Trisna dan Lela, yang telah berbagi dalam banyak hal.
Penulis juga menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada Ayahanda
M. Siringo-Ringo (alm) dan Ibunda Nuriana br Tinjak atas segenap kasih sayang,
semangat serta doa yang diberikan kepada penulis selama ini. Kalian adalah inspirasi
terbesar dalam hidupku. Ucapan terimakasih juga kepada adik-adikku Mery
Christin, Samuel Siringo-Ringo, dan Roy Two Putra, serta kepada Bang Tuan
Doli Lumban Toruan, S.Pi., atas dukungan, semangat dan perhatian yang tulus yang
diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan Tesis ini.
Penulis berharap bahwa Tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran
bagi semua pihak yang berkepentingan terutama dalam penerapan serta
pengembangan ilmu hukum di Indonesia, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini
masih jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan masukan yang sifatnya
membangun bagi penyempurnaan tulisan ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkat dan karuniaNya kepada
kita semua.
Medan, Agustus 2011
Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Mayer Hayrani DS
Tempat/Tanggal Lahir : Galang, 12 Mei 1984
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Dusun IV Mekar Tani, Bukit Kemuning, Tapung
Hulu, Kabupaten Kampar, Riau
Pendidikan : SD Negeri 040 Salo Bangkinang, Tamat Tahun
1996
SLTP Negeri 4 Bangkinang, Tamat Tahun 1999
SMUN 1 Binaan Khusus Bangkinang, Tamat
Tahun 2002
Fakultas Ilmu Hukum Universitas Riau (UNRI)
Tamat Tahun 2008
Strata Dua (S2) Program Studi Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR ISI... vi
BAB I : PENDAHULUAN... 1
A...Latar Belakang ... 1
B...Peru musan Masalah ... 2
C...Tujua n Penelitian ... 3
D...Manf aat Penelitian ... 3
E...Keasli an Penelitian ... 4
1. Kerangka Teori ... 15
2. Konsepsional... 22
G...Meto
de Penelitian ... 5
BAB II: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI
DALAM NEGERI DALAM RANGKA ASEAN CHINA FREE TRADE AGREEMENT (ACFTA) ... 7
A. Kesepakatan ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA)… 7
1...Latar
Belakang ACFTA ... 7
2...Isi
Kesepakatan ACFTA... 8
3...Tujua
n ACFTA ... 8
4...Prinsi
p-Prinsip Perdagangan ACFTA ... 9
B.ACFTA Dalam Perspektif Hukum ... 47
D.Aspek Hukum Perlindungan Industri Dalam Negeri Dalam
Kerangka ACFTA ... 56
1...Safeg uard... 59
2...Antid umping ... 66
3...Count ervailing ... 69
4...Negos iasi... 71
E. Perlindungan Industri Dalam Negeri Dalam ACFTA Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia... 71
BAB III: KEBIJAKAN PEMERINTAH MELINDUNGI INDUSTRI DALAM NEGERI TERHADAP DAMPAK NEGATIF PELAKSANAAN ACFTA... 76
A. Arti Penting Industri Dalam Negeri Bagi Perekonomian Nasional... 80
B.Perkembangan Hubungan Dagang China-Indonesia... 86
C.Alasan Pemerintah Menyetujui ACFTA ... 90
1...Pelak
sanaan ACFTA di Indonesia... 96
2...Damp
ak Pelaksanaan ACFTA... 99
E. Faktor-Faktor Penyebab Terpuruknya Industri dalam Negeri
dalam ACFTA ... 104
F. Kebijakan Pemerintah Melindungi Industri dalam Negeri dalam
ACFTA ... 111
1...Perlin
dungan Pasar Dan Produk Industri Dalam Negeri... 116
2...Pengu atan Daya Saing Produk Industri Dalam Negeri... 120
BAB IV: HAMBATAN TERHADAP PERLINDUNGAN INDUSTRI
DALAM NEGERI DALAM RANGKA ACFTA ... 126
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ... 135
A...Kesi
mpulan ... 135
B...Saran 137
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Neraca Perdagangan Indonesia-China tahun 1990-2009 (Ribu USD).. 88
ABSTRAK
ACFTA, kerjasama ekonomi regional yang disepakati pada tahun 2002 bertujuan menciptakan liberalisasi perdagangan antara negara China dan negara-negara ASEAN dengan hambatan tarif 0%. Implementasi ACFTA di Indonesia telah menyebabkan terpuruknya beberapa sektor industri dalam negeri akibat lonjakan impor produk-produk China yang membanjiri pasar dalam negeri karena harga yang lebih murah dari produk industri dalam negeri. Hal ini sesungguhnya disebabkan oleh karena industri dalam negeri memiliki daya saing yang lemah sehingga saat ACFTA diberlakukan, menyebabkan produk industri dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor khususnya produk impor China.
Penelitian ini mencoba menganalisis perlindungan hukum bagi industri dalam negeri dan kebijakan pemerintah Indonesia melindungi industri dalam negeri dalam implementasi ACFTA. Penelitian ini juga menggunakan metode penelitian hukum normatif. Data penelitian berupa bahan hukum primer dan sekunder dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif-interpretatif-abstraktif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif-induktif.
Sejalan dengan ketentuan WTO, ACFTA juga memberikan hak kepada negara-negara anggotanya untuk melindungi industri dalam negeri dari dampak negatif pelaksanaan ACFTA dalam bentuk safeguard, antidumping, dan
countervailing. Penggunaan instrumen perlindungan industri dalam negeri tersebut
secara khusus diatur dalam ketentuan hukum nasional dengan tetap berpedoman kepada ketentuan WTO. Pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan dalam melindungi industri dalam negeri dari dampak negatif implementasi ACFTA, seperti penggunaan instrumen perlindungan industri dalam negeri berupa safeguard dan anti-dumping, pembangunan jalan, penurunan tarif bea masuk terhadap barang baku dan barang modal, penerapan lisensi perdagangan secara online dan pelayanan satu atap. Namun kebijakan tersebut belum cukup dalam melindungi industri dalam negeri dalam rangka ACFTA. Hal tersebut disebabkan oleh karena berbagai hambatan yang menghalangi upaya perlindungan bagi industri dalam negeri.
Dengan demikian, agar produk industri dalam negeri dapat bersaing dengan produk impor dalam rangka ACFTA maka sangat penting agar upaya peningkatan daya saing industri dalam negeri dengan mengatasi berbagai hambatan tersebut dilakukan. Hal ini tentunya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, akan tetapi juga melibatkan pelaku usaha industri dalam negeri dan masyarakat Indonesia sebagai konsumen dengan mencintai produk industri dalam negeri.
ABSTRACT
ACFTA, regional economic cooperation, agreed to in 2002, was aimed to devise liberalization in trade between China and ASEAN countries with tariif constraint of 0%. The implementation of ACFTA in Indonesia has caused some domestic industrial sectors to go down, due to significant increase of Chinese products. The real problem is that domestic industry had weak competitiveness so that when ACFTA is implemented, domestic products cannot stand competing with other import products, especially with the Chinese products.
This research attempted to analyze legal protection for domestic industry and the Indonesian government’s policy to protect domestic products, due to the implementation of ACFTA. This research also used legal normative method. The data were primary and secondary legal materials which were analyzed by using qualitative-interpretative-abstractive method and drawing the conclusions deductively to inductively.
In line with WTO, ACFTA also gives the rights to its country members to protect domestic industry form the negative effect of the implementation of ACFTA in the form of safeguard, antidumping, and countervailing. The use of protection instrument for domesctic industry is especially stipulated in the national legal provisions which are based on WTO regulations. The government has exercised various policies in protecting domestic industry from negative effects of the implementation of ACFTA like the use of protection instruments for domestic industry such as safeguard and antidumping, road building, tariff reduction of import duty on raw materials and capital goods, application of trade license online one-stop service. However, these policies are not sufficient for protecting domestic industry, due to the implantation of ACFTA. This is because of various constraint impede the effort to protect domestic industry.
In order that domestic industry is able to compete with import in the implementation of ACFTA, it is recommended that the competitiveness of domestic industry should be increased in order to cope with the varied constraints. This is not only the responsibility of the government but also the involvement of businesspersons of domestic industry and the Indonesian people as consumers by loving domestic products.
BAB I PENDAHULUAN
A....La
tar Belakang
Dunia sekarang sedang mengalami perubahan yang disebut globalisasi.
Globalisasi tersebut terjadi diberbagai aspek, salah satunya pada aspek ekonomi yang
lazim disebut globalisasi ekonomi. Proses globalisasi ekonomi adalah perubahan
perekonomian dunia yang bersifat mendasar atau struktural, dan proses ini akan
berlangsung terus dengan laju yang semakin cepat mengikuti perubahan teknologi
yang juga akan semakin cepat dan peningkatan serta perubahan pola kebutuhan
masyarakat dunia.1
Sangat jelas bahwa era globalisasi ekonomi ini ditandai dengan adanya
keterbukaan, keterkaitan dan juga persaingan yang semakin ketat dalam masyarakat
internasional khususnya di bidang ekonomi. Gejala globalisasi ini terjadi dalam
kegiatan finansial, produksi, investasi, dan perdagangan yang kemudian
mempengaruhi tata hubungan ekonomi antar bangsa. Proses globalisasi tersebut telah
meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan antar negara, bahkan
menimbulkan proses menyatunya ekonomi dunia, sehingga batas-batas antar negara
dalam berbagai praktik dunia usaha/bisnis seakan-akan dianggap tidak berlaku lagi.2
1
Tulus T.H. Tambunan, Globalisasi dan Perdagangan Internasional, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2004), hlm. 1.
2
R Hendra Halwani, Ekonomi Internasional & Globalisasi Ekonomi, (Jakarta: Ghalia
Selama ini setiap negara pada umumnya meyakini bahwa tidak satu pun
negara di dunia yang dapat mengisolasi diri dari proses globalisasi. Dengan demikian
penerapan perdagangan dan investasi bebas adalah pilihan baik yang harus
dilaksanakan. Namun kenyataan menunjukkan lain, di mana hasil studi membuktikan
bahwa manfaat yang lahir dari penerapan liberalisasi perdagangan dan investasi tidak
sama bagi setiap bangsa.3 Pada dasarnya negara maju adalah pihak yang paling
diuntungkan dalam liberalisasi perdagangan sebab negara maju memiliki keunggulan
dalam berbagai hal yang tidak dimiliki oleh negara berkembang seperti kestabilan
perekonomian, teknologi yang tinggi, industri yang produktif, dan lain sebagainya.
Sangat jelas, bahwa negara berkembang adalah pihak yang lemah dalam liberalisasi
perdagangan ini.
Negara maju umumnya memiliki kepiawaian dalam menerapkan cara-cara
sehingga negara berkembang terikat dengan sistem perdagangan bebas. Cara yang
sering digunakan antara lain adalah dengan permintaan pengurangan tarif impor bea
masuk atas produk dan jasa dari negara maju di negara berkembang.4 Negara-negara
industri tanpa hambatan berarti akan lebih mudah menjual barang dan jasanya ke
negara sedang berkembang. Karena itu, dalam waktu bersamaan, globalisasi akan
melahirkan pengelompokan masyarakat dan negara ke dalam kelas baru berdasarkan
kemampuan ekonomi. Dengan demikian tampak bahwa globalisasi juga akan
melahirkan jurang antara yang kaya dengan yang miskin kian lebar, baik antara
3
Ibid, hlm. 228.
4
Mamnun Laidu, “Dampak Liberalisasi Perdagangan bagi Pelaku Bisnis Indonesia”,
negara yang satu dengan lainnya maupun internal individu sesama warga negara di
negara tersebut.
Dalam memasuki era perdagangan bebas ini, Indonesia sudah harus memiliki
persiapan yang mantap untuk menghadapi pengaruh yang timbul pada perekonomian
dan atau perdagangan Indonesia dalam semua aspek, termasuk di dalamnya aspek
hukum, khususnya hukum ekonomi sebagai pranata hukum yang berisikan kebijakan
untuk mengarahkan kegiatan ekonomi ke suatu arah tertentu.5
Berkaitan dengan ini, aturan yang berlaku di tingkat internasional menegaskan
tentang kedaulatan negara sebagaimana tertuang dalam Charter of Economic Rights
and Duties of State. Article 2 (1) Resolusi ini menyebutkan “Every state has and shall freely exercise full permanent sovereignty, including possession, use and disposal, over all its wealth, natural resources and economic activities”.6
Berdasarkan aturan hukum tersebut, setiap negara memiliki hak untuk
menentukan kebijakan ekonominya termasuk kebijakan perdagangan yang bersifat
proteksionis. Namun demikian, kebijakan tersebut hanya bersifat sementara, yaitu
dalam rangka memberikan kesempatan kepada negara yang bersangkutan untuk
mempersiapkan diri menghadapi resiko liberalisasi perdagangan.
5
Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, (Bandung: Books Terrace & Library, 2009),
hlm. 3.
6
United Nations, General Assembly Resolution, December 12th 1974, No. 3281 (XXIX), lihat
dalam Mahmul Siregar, Perdagamgam Internasional, (Medan: Universitas Sumatera Utara Sekolah Pasca Sarjana, 2005), hlm. 135-136.
Liberalisasi perdagangan ini tampak dalam sejumlah kerjasama ekonomi
internasional negara-negara di dunia dalam perdagangan baik kerjasama multilateral
maupun regional. Untuk kawasan Asia Tenggara, ASEAN Free Trade Area (AFTA)
merupakan bentuk kerjasama regional, yang mana Indonesia merupakan salah satu
negara anggotanya selain Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Filiphina,
Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam. AFTA ini merupakan salah satu bentuk FTA atau
Free Trade Area.
FTA atau Free Trade Area adalah suatu bentuk kerja sama ekonomi regional
yang perdagangan produk-produk orisinal negara-negara anggotanya tidak dipungut
bea masuk atau bebas bea masuk.7 Dalam FTA, sekelompok negara setuju untuk
menghapus tarif diantara mereka namun tetap mempertahankan tarif mereka
masing-masing terhadap impor dari negara-negara di luar FTA. Tujuan strategis AFTA
adalah meningkatkan keunggulan komparatif regional Association of Southeast Asian
Nations (ASEAN) sebagai suatu kesatuan unit produksi. Oleh karena itu,
penghapusan rintangan tarif dan non-tarif di antara negara-negara anggota diharapkan
untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, produktivitas, dan daya saing negara-negara
anggota ASEAN.8
Berkaitan dengan hal ini, sebuah terobosan dilakukan oleh komunitas
masyarakat regional ASEAN yang pada akhirnya terealisasi dalam bentuk komunitas
7
Hamdy Hady, Ekonomi Internasional Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 88.
8
Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005),
perdagangan bebas, yakni antara negara-negara yang tergabung di ASEAN dengan
China, melalui ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Sebagai salah satu
negara anggota dari ASEAN, Indonesia ikut serta dalam perjanjian yang dilakukan
oleh negara-negara ASEAN, termasuk kesepakatan atau perjanjian perdagangan
antara negara-negara ASEAN dengan China yang disebut ACFTA.
Dalam rangka akomodasi kepentingan ACFTA tersebut, dan berdasarkan isi
perjanjian dalam Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation
Beetween the Association of South East Asian Nations and the People’s Republic of China, sebagaimana telah diratifikasi melalui Keppres Nomor 48 Tahun 2004,
pemerintah Indonesia membentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan ACFTA, diantaranya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 355/KMK.01/2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang
dalam rangka Early Harvest Package ASEAN-China Free Trade Area, Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 57/PMK.010/2005 tanggal 7 Juli 2005
tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN-China Free
Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
21/PMK.010/2006 tanggal 15 Maret 2006 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam
rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 04/PMK.011/2007 tanggal 25 Januari 2007 tentang
Perpanjangan Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track
ASEAN-China Free Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
rangka ASEAN-China Free Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 235/PMK.011/2008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan
Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area.9
Perjanjian ACFTA ini menimbulkan suatu perkembangan baru pada kegiatan
perdagangan internasional, terutama pada kawasan Asia Tenggara. Kesiapan
menyambut dampak positif dan negatif dari terselenggaranya ACFTA menjadi
problematika tersendiri, terutama di negara Indonesia. Investasi ke dalam dan ke luar
negeri dalam konteks ACFTA merupakan peluang yang memiliki dua sisi yang
berlawanan, yaitu yang menjanjikan dan/atau justru merugikan. Indonesia dengan
segala potensinya diperhadapkan pada sebuah tantangan untuk dapat bertahan dan
meningkatkan posisinya di kancah perdagangan dan investasi.
Tekanan dari kalangan pengusaha industri agar pelaksanaan ACFTA ditunda
menandakan besarnya pengaruh negatif terhadap industri dalam negeri Indonesia.
Sementara itu pemerintah tetap menjalankan kesepakatan dengan tetap mengkaji dan
mengevaluasi berbagai hal untuk dapat tetap meningkatkan daya saing Indonesia antara
lain terkait dengan prasarana, biaya ekonomi tinggi, biaya transportasi, dan sektor makro
lainnya. Karena sekalipun pemerintah menunda pelaksanaan ACFTA untuk waktu
tertentu bagi produk-produk tertentu, pada akhirnya perlindungan tersebut juga harus
dihilangkan sesuai kesepakatan. Jika pemerintah melanggar kesepakatan dan melindungi
9
Setyo Pamungkas, “Implikasi ASEAN – China Free Trade Area (ACFTA) Terhadap Hukum
Investasi di Indonesia”,
http://setyopamungkas.wordpress.com/2010/03/08/implikasi-asean-%E2%80%93-china-free-trade-area-acfta-terhadap-hukum-investasi-di-indonesia/, diakses tanggal 28
industri dalam negeri, konsumen dirugikan karena harus membayar produk dengan harga
lebih mahal dan perekonomian menjadi tak berkembang.
Seperti diketahui pemberlakuan ACFTA diikuti dengan pemberlakuan seluruh
tarif impor menjadi nol persen (0%), dan hal yang akan terjadi adalah serbuan
besar-besaran produk-produk barang China, kemudian bila industri dalam negeri tidak
mampu bersaing, maka ACFTA hanya akan membuat para pelaku industri dalam
negeri gulung tikar dan angka pengangguran akan meningkat. Bila pasar domestik tak
mampu direbut, kecil kemungkinan untuk industri dalam negeri dapat menembus
pasar internasional, sebab faktor harga yang lebih tinggi akan menjadi masalah bagi
industri dalam negeri. Dalam hal ini tentunya dukungan pemerintah bagi para
pengusaha atau dunia industri dalam negeri (khususnya industri kecil) sangat
dibutuhkan, agar industri dalam negeri tidak terpuruk akibat implemantasi ACFTA
tersebut.10
Menurut Ketua Assosiasi pengusaha Indonesia, Sofyan Wanandi, terdapat
sekitar 16 (enam belas) sektor usaha menyatakan belum siap memasuki pasar bebas.
Sektor yang keberatan dibukanya pasar bebas ASEAN-China tersebut antara lain
tekstil, baja, ban, mebel, pengolahan kakao, industri alat kesehatan, kosmetik,
aluminium, elektronika, petrokimia hulu, kaca lembaran, sepatu, mesin perkakas, dan
kendaraan bermotor. Bahkan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) membeberkan
proyeksi bahwa pangsa sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) lokal pada tahun
10
Rooma, “Analisis Dampak ACFTA bagi Indonesia, Peluang atau Hambatan”,
2010 mulai tergerus 12% (dua belas persen) dibandingkan dengan kondisi pada tahun
ini dari 52 (lima puluh dua) triliun rupiah (67%) menjadi 47 (empat puluh tujuh)
triliun rupiah (55%). Menurut catatan API, sebagian besar penjualan TPT domestik
didominasi produk-produk jadi seperti garmen (pakaian jadi) dan aksesori lain. Pada
tahun 2011, total nilai pasar TPT domestik yang diprediksi menembus 95,55
(Sembilan puluh lima koma lima puluh lima) triliun rupiah justru semakin diisi
produk-produk China dengan proyeksi nilai mencapai 52,56 (lima puluh dua koma
lima puluh enam) triliun rupiah atau 55% (lima puluh lima persen), sedangkan porsi
penjualan produk TPT lokal bahkan diprediksi tinggal 39% (tiga puluh Sembilan
persen) atau setara 39 (tiga puluh Sembilan) triliun rupiah dari total penjualan TPT
domestik sebesar 130 (seratus tiga puluh) triliun rupiah. Artinya, TPT China
menguasai 70% (tujuh puluh persen) pasar lokal dengan nilai sekitar 91 (Sembilan
puluh satu) trilun rupiah.11
Potensi kerugian yang dialami industri manufaktur nasional sebagai dampak
dari implementasi perjanjian ACFTA diperkirakan mencapai 35 triliun rupiah per
tahun. Nilai yang tentunya sangat besar tersebut hanyalah potensi kerugian yang
bakal diderita oleh tujuh sektor manufaktur yaitu industri petrokimia, pertekstilan,
alas kaki dan barang dari kulit, elektronik, keramik, makanan dan minuman, serta
11
besi dan baja. Perkiraan potensi kerugian tersebut merupakan hasil kajian Ikatan
Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI).12
Invasi produk China ke pasar Indonesia ini tentunya akan mengganggu pasar
domestik khususnya bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) apabila
produk mereka tidak bisa mengimbangi dari sisi harga, kualitas, dan lain-lain. Hal
yang sangat dikhawatirkan adalah produk UMKM akan terus bergeser pada titik
rawan daya beli karena produk yang dihasilkan terlalu mahal dengan kualitas yang
hampir sama.13
Sejak pemberlakuan ACFTA, kecenderungan yang terjadi adalah
membanjirnya produk industri China, yang mengakibatkan besarnya arus impor
produk dari pada ekspor ke China. Bahkan, perdagangan antara China dengan
Indonesia mengalami defisit yang cukup besar pada tahun 2010, yakni mencapai 5,5
miliar Dolar AS.14
Berdasarkan hal tersebut, tampak bahwa masuknya impor produk-produk
industri China tersebut merugikan beberapa sektor industri dalam negeri Indonesia.
Dengan masuknya produk China tanpa bea masuk, menyebabkan lesunya aktivitas
pelaku usaha lokal yang dapat berdampak pada lesunya kegiatan industri dalam
12
Erman Rajagukguk, “ASEAN-China Free Trade Agreement Dan Implikasinya Bagi Indonesia”, http://ermanhukum.com/Makalah%20ER%20pdf/ACFTA.pdf, diakses tanggal 19 Juni
2011.
13
Vica Herawati, “Analisis Pengaruh Asean China Free Trade Agreement (Acfta) Terhadap Kinerja Keuangan Yang Dilihat Dari Penjualan Pada Ukm Tekstil Di Pekalongan”,
http://eprints.undip.ac.id/22703/1/SKRIPSI.pdf, diakses tanggal 2 Maret 2011. 14
Dikutip dari pernyataan Deputi Menko Perekonomian Adi Putra Irawadi, dalam Mastardi,
“Perdagangan Indonesia-China Defisit USD 5,5 Miliar”,
http://infopublik.depkominfo.go.id/index.php?page=news&newsid=934, diakses tanggal 24 April
negeri bahkan tidak menutup kemungkinan dapat menyebabkan tutupnya beberapa
industri lokal. Pada akhirnya hal tersebut dapat menyebabkan bertambahnya angka
pengangguran akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tenaga kerja pada sektor
industri dalam negeri yang terkena dampak negatif pemberlakuan ACFTA.
Bila diperhatikan sebelum ACFTA berlaku, produk-produk China sebenarnya
telah mendominasi pasar Indonesia, baik secara legal maupun ilegal. Produk China
telah menjadi salah satu pesaing utama bagi produk-produk industri dalam negeri.
Maka daya saing kemudian menjadi taruhan utama dalam menentukan kebijakan
hukum investasi yang tepat. Sebab modal yang dibawa investor merupakan hal yang
sangat penting sebagai alat untuk mengintegrasikan ekonomi global. Dengan
demikian maka kepastian hukum bagi investor adalah tolak ukur utama untuk
menghitung resiko. Apabila investor tidak merasakan adanya jaminan kepastian
hukum yang dapat melindungi investasi mereka, maka dapat dipastikan investor tidak
akan berinvestasi baik dalam bentuk portofolio, apalagi dalam bentuk penanaman
modal langsung (direct investment).15
Perlunya melengkapi berbagai ketentuan investasi tiada lain karena,
lingkungan dunia usaha baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional telah
mengalami berbagai perkembangan yang demikian pesat, sehingga mau tidak mau
ketentuan investasi juga harus disesuaikan dengan tuntutan global khususnya dengan
15
Ridwan Khairandy,”Iklim Investasi dan Jaminan Kepastian Hukum dalam Era Otonomi Daerah, “Jurnal Hukum Respublica, Vol 5 No.2 Tahun 2006, hlm. 148, sebagaimana dikutip dalam Mahmul Siregar, Perdagamgam Internasional, (Medan: Universitas Sumatera Utara Sekolah Pasca
pemberlakuan ACFTA yang sangat mempengaruhi maju mundurnya beberapa sektor
industri dalam negeri. Pada kenyataannya perdagangan ekspor impor yang terjalin
antara China dan Indonesia dalam kerangka ACFTA ini menjadi titik tolak
pengaturan hukum investasi. Hal ini dikarenakan investasi China diharapkan tidak
merugikan kepentingan ekspor pengusaha dalam negeri ke China karena produk dan
komoditasnya kalah bersaing. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Baharuddin Lopa, bahwa agar hukum nasional senantiasa mampu menyesuaikan diri
dengan perkembangan keadaan, maka ia harus membuka diri menerima unsur-unsur
dari luar yang dapat memperlancar pembangunan nasional.16
Terkait dengan persaingan yang semakin berat, terutama dengan produk
China, maka tidak ada pilihan lain bagi pemerintah untuk segera mengambil sejumlah
langkah strategis, baik jangka pendek maupun jangka panjang dalam upaya
melindungi industri dalam negeri dari dampak negatif sebagai akibat dari
pemberlakuan perjanjian ACFTA. Hal penting yang perlu dikaji adalah bagaimana
mengaitkan strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi domestik dengan
langkah-langkah yang ditempuh pada tingkat internasional, misalnya terkait posisi pemerintah
yang semakin lemah dalam menghadapi hambatan dalam mengupayakan peningkatan
efesiensi dan daya saing nasional di perdagangan internasional terkhusus dalam
menghadapi ACFTA ini.17 Sebab sejak ACFTA diberlakukan, telah menyebabkan
terjadinya peningkatan impor khususnya sektor non migas yang cukup signifikan
16
Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 21.
17
Syahmin AK, Hukum Dagang Internasional, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006),
dalam kurun waktu tahun 2004-2008 di Indonesia bahkan peningkatan impor tersebut
pada umumnya diatas 20% per tahunnya.18 Selain itu, produk impor China tersebut
membanjir dengan harga yang sangat murah sehingga hal ini menimbulkan dugaan
bahwa praktek dumping juga mewarnai ACFTA yang tentunya semakin merugikan
industri dalam negeri.
Terlebih lagi dengan fakta bahwa perjanjian-perjanjian perdagangan bebas
lainnya yang telah disetujui Indonesia akan menyusul pemberlakuannya seperti
ASEAN Korea FTA, Indonesia Japan Economic Partnership Agreements (IJEPA),
ASEAN Australia New Zealand FTA (AANZFTA), dan ASEAN India FTA. Dalam
format kerjasama yang berbeda, Partnership Cooperation Agreement (PCA) antara
Indonesia – Uni Eropa juga telah ditandatangai bulan November 2009. Dalam PCA
tersebut, terdapat klausul-klausul kerjasama ekonomi yang merujuk pada liberalisasi
perekonomian, khususnya dalam Jasa dan Hak Kekayaan Intelektual terkait
perdagangan dimana Uni Eropa mempunyai kepentingan di dalamnya. Di luar itu
masih banyak FTA atau kerjasama ekonomi yang merujuk pada liberalisasi
perekonomian yang masih berada dalam proses perundingan atau dalam tahap
pengkajian.19
18
Firman Mutakin dan Aziza Rahmaniar Salam, “Dampak Penerapan ASEAN China Free
Trade Agreement (ACFTA) Bagi Perdagangan Indonesia”,
http://www.bni.co.id/Portals/0/Document/Ulasan%20Ekonomi/ACFTA.pdf, diakses tanggal 7 Juni
2011.
19
Administrator, “Free Trade Agreements dan Demokrasi Kita”,
http://www.igj.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=394&itemid=164, diakses
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri dalam rangka
ACFTA?
2. Bagaimana kebijakan pemerintah dalam melindungi industri dalam negeri
terhadap dampak negatif dari pelaksanaan ACFTA?
3. Bagaimana hambatan terhadap perlindungan hukum bagi industri dalam negeri
dalam rangka ACFTA?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum terhadap industri dalam
negeri dalam rangka ACFTA.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan pemerintah dalam melindungi
industri dalam negeri terhadap dampak negatif dari pelaksanaan ACFTA.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan terhadap perlindungan hukum bagi
industri dalam negeri dalam rangka ACFTA.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
1. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat teoritis yang akan
memperkaya khasanah ilmu hukum guna membangun argumentasi ilmiah sebagai
lampu pencari (search light) untuk menemukan kekurangan–kekurangan dalam
pendekatan penelitian normatif terhadap peraturan hukum yang terkait dengan
rumusan masalah yang dibahas.
2. Secara praktis
Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat
penegak hukum mulai dari pembuat undang-undang (DPRD/DPR) dan pemerintah
(Kabupaten/kota, Propinsi dan Pusat) sebagai badan eksekutif agar mempunyai
perspektif yang sama dalam memberikan perlindungan hukum bagi industri dalam
negeri menghadapi dampak negatif pelaksanaan perjanjian ASEAN China Free Trade
Area (ACFTA). Selain itu penelitian ini juga bermanfaat bagi kalangan pelaku usaha
terkhusus yang terkena dampak langsung dari pemberlakuan ACFTA.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan
Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang: “Perlindungan
Hukum Terhadap Industri dalam Negeri Dalam ASEAN China Free Trade
Meskipun demikian, ada beberapa penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa
terdahulu yang membahas tentang ACFTA, diantaranya yaitu:
1. Febrina Rezkitta Hasibuan, dengan judul Kebijakan di Bidang Perdagangan yang
Tanggap terhadap Perubahan Makrostruktur Sistem Internasional (Analisis
Yuridis terhadap Perjanjian AFTA China – Indonesia).
2. Halimatul Maryani, Analisis Hukum Mengenai Kesepakatan Perdagangan
Bilateral dan Regional dalam Kaitannya dengan WTO (Studi Terhadap
Kesepakatan Perdagangan China-AFTA).
Penelitian ini berbeda dengan ke dua penelitian tersebut yang juga membahas
tentang persetujuan ACFTA. Penelitian ini berfokus pada perlindungan hukum bagi
industri dalam negeri dalam rangka pelaksanaan ACFTA.
Jadi penelitian ini adalah benar-benar asli karena telah sesuai dengan
asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas segala kritikan
dan masukan yang sifatnya membangun guna penyempurnaan hasil penelitian.
F. Kerangka Teori dan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan
arahan/petunjuk dan ramalan serta menjelaskan gejala yang diamati. Penelitian ini
ilmu hukum. Keberadaan teori ini adalah untuk memberikan landasan yang mantap
pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis.20
Untuk mengetahui tentang Perlindungan Hukum terhadap Industri dalam
Negeri dalam ACFTA didasarkan kepada teori yang saling berkaitan. Teori yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang berkenaan dengan peran negara
dalam perdagangan bebas yang dalam hal ini menggunakan teori negara
kesejahteraan (Welfare State) yang didukung oleh teori keadilan dari Jhon Rawls dan
teori perlindungan hukum dari Roscoe Pound.
Pada prinsipnya perdagangan bebas atau free trade adalah suatu bentuk
penjabaran ekonomi suatu negara yang mekanisme kebijakan perekonomiannya
diserahkan kepada kebijakan pasar dengan meminimalkan seminim mungkin peran
negara bahkan diharapkan sama sekali tidak ada intervensi/campur tangan dari
negara.21
Kerjasama antara Indonesia dan China dalam kerangka ACFTA adalah salah
satu wujud keikutsertaan Indonesia dalam pasar bebas. Secara teoritis, pasar bebas
dapat diartikan sebagai sebuah arena dimana seluruh keputusan dan tindakan
ekonomi yang dilakukan oleh individu-individu dalam rangka pergerakan uang,
20
Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimentri, (Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1998), hlm. 37.
21
Dhika Prawidar, “Perdagangan Bebas (Free Trade)”,
http://km.itb.ac.id/web/index.php?option=com_content&view=article&id=276:perdaganganbebas&c atid=75:diskusi-diluar-isu-energi-pangan-dan-pendidikan&Itemid=110, diakses tanggal 8 Maret
barang dan jasa berlangsung secara sukarela, bebas dari paksaan dan pencurian.22 Ide
ini lahir dalam sebuah sistem masyarakat yang disebut kapitalisme.
Memberikan ruang yang besar pada pasar dalam menggerakkan
perekonomian memang sangat berguna. Sebab hal ini mendorong inovasi dan
kreatifitas individu dalam masyarakat yang dapat menyebabkan timbulnya banyak
pilihan barang bagi konsumen. Namun akan sangat berbahaya jika kebebasan
individu-individu dalam masyarakat tidak dibatasi, sebab tidak akan ada yang
menjamin keberlangsungan hidup kaum-kaum miskin.
Dengan demikian negara mempunyai peran yang sangat penting untuk
memberikan kesejahteraan yang merata tidak hanya untuk segelintir warganya
melainkan bagi seluruh warga tanpa terkecuali terutama bagi pihak yang lemah.
Dalam pasar bebas kecenderungan yang tampak adalah pihak yang ekonominya kuat
akan selalu menindas pihak yang ekonominya lemah. Untuk itu negara, harus aktif
dalam melindungi kepentingan pihak yang lemah sehingga tercipta kesejahteraan
yang merata bagi seluruh masyarakatnya.
Hal ini yang mendorong lahirnya teori negara kesejahteraan (Welfare State).
Dalam negara kesejahteraan, negara berkewajiban untuk menyelenggarakan
kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian, pemerintah dituntut untuk bertindak
menyelesaikan segala aspek/persoalan yang menyangkut kehidupan warga negaranya,
walaupun belum ada dasar aturan yang mengaturnya. Atas dasar inilah maka
22
Coen Husain Pontoh, “Pasar Bebas”,
pemerintah diberikan kebebasan untuk dapat melakukan/bertindak dengan suatu
inisiatif sendiri untuk menyelesaikan segala persoalan atau permasalahan guna
kepentingan umum.23
Teori Keadilan Sosial dari Jhon Rawls, mengemukakan ide dalam bukunya A
Theory of justice bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar
memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung.
Menurut Rawls situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa
sehingga dapat menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Lebih
lanjut, Jhon Rawls menegaskan bahwa penegakkan keadilan yang berdimensi
kerakyatan haruslah memperhatikan 2 (dua) prinsip keadilan, yaitu:
(1) Memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas
seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang.
(2) Mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga
dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi
setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak
beruntung.24
Dengan demikian tampak bahwa negara memiliki peran yang penting dalam
memberikan keadilan yang merata bagi setiap orang. Berkaitan dengan pelaksanaan
pasar bebas maka negara tidak lagi hanya sebagai penjaga malam melainkan aktif
23
Bolmer Suryadi Hutasoit, “Fase Negara dan Prinsipnya”,
https://bolmerhutasoit.wordpress.com/2010/09/27/fase-negara-dan-prinsipnya/, diakses tanggal 9
Maret 2011.
24
Mbegedut, “Menilik Teori Keadilan Sosial ala Jhon Rawls (Filsafat Hukum)”,
http://mbegedut.blogspot.com/2011/01/menilik-teori-keadilan-sosial-ala-john.html, diakses tanggal 9
dalam memberikan keadilan bagi semua orang, dengan menciptakan hukum sebab hal
ini merupakan kedaulatan dari negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.25
Dalam konteks ACFTA negara sudah seharusnya memberikan keadilan yang merata
bagi seluruh masyarakat sehingga manfaat liberalisasi tidak hanya dirasakan oleh
sebahagian masyarakat yang mendapat keuntungan dengan pemberlakuan ACFTA.
Tetapi lebih lagi, pemerintah harus memprioritaskan agar tidak terjadi ketidakadilan
dalam ACFTA yang dalam hal ini tentunya dialami oleh pihak yang lemah.
Secara singkat kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi (omnipotence) yang
hanya dimiliki oleh negara.26 Kedaulatan tersebut digunakan untuk menggambarkan
otonomi dan kekuasaan negara untuk membuat aturan-aturan hukum (hukum
nasional) yang berlaku diwilayahnya dan membuat lembaga-lembaga negara.27
Dalam kedaulatan terefleksikan pula kekuasaan negara untuk mengadakan hubungan
internasional dan tindakan-tindakan lain sebagai perwujudan dari kedaulatannya.
Secara sederhana Huala Adolf mengatakan bahwa kedaulatan ekonomi negara
adalah kekuasaan tertinggi suatu negara untuk mengatur kebijakan ekonomi di dalam
wilayahnya ataupun kebijakan ekonomi internasionalnya. Kedaulatan ekonomi
negara beserta persamaan status atau kedudukan negara tercermin dalam berbagai
25
Salim HS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2010), hlm. 131.
26
Schwarzenberger dalam Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, op.cit., hlm. 243.
27
dokumen hukum internasional. Yang utama adalah Pasal 1 dan 10 Piagam Hak dan
kewajiban Ekonomi Negara (Piagam CERDS).28
Pemberlakuan penghapusan tarif bea masuk sebagai pelaksanaan perjanjian
ACFTA mengakibatkan serbuan produk China ke Indonesia, yang tentunya
mengganggu beberapa sektor industri dalam negeri. Produk-produk China tersebut
lebih menarik minat masyarakat sebab produk-produk China tersebut jauh lebih
murah dibandingkan produk industri dalam negeri. Hal ini memperlihatkan daya
saing produk industri dalam negeri sangat lemah dibandingkan produk-produk China
yang masuk ke Indonesia.
Apabila negara tidak segera mengambil tindakan untuk melindungi industri
dalam negeri maka hal ini dapat mengakibatkan semakin lesunya kegiatan usaha
industri dalam negeri yang pada akhirnya dapat mengakibatkan tutupnya beberapa
sektor industri dalam negeri.
Prinsip-prinsip GATT/WTO jelas mendukung terciptanya perdagangan
internasional yang harmonis, adil dan terbuka. Namun disisi lain untuk
mengeliminasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan sebagai implikasi dari
hubungan bisnis internasional maka perlu dibentuk ketentuan-ketentuan sebagai
instrument pengamanan perdagangan yang dapat digunakan oleh seluruh negara
anggota untuk melindungi kepentingannya dari praktek perdagangan curang yang
28
dilakukan mitra bisnisnya.29 Berdasarkan hal tersebut maka tampak bahwa
GATT/WTO memberikan dasar aturan pemberian perlindungan industri domestik
dalam perdagangan internasional sebagaimana tertuang dalam Agreement on
Subsidies and Countervailing Measures (mengenai subsidi dan tindakan imbalan) dan Agreement on Safeguards (mengenai tindakan pengamanan).30
Berbicara mengenai perlindungan hukum, Roscoe Pound dalam bukunya
Scope and Purpose Of Sociological Jurisprudence, menyebutkan ada beberapa
kepentingan yang harus mendapat perlindungan atau dilindungi oleh hukum yaitu;
pertama kepentingan terhadap negara sebagai suatu badan yuridis, kedua,
kepentingan terhadap negara sebagai penjaga kepentingan sosial; ketiga, kepentingan
terhadap perseorangan terdiri dari pribadi (privacy). Berdasarkan hal tersebut tampak
bahwa diperlukan adanya suatu perlindungan negara terhadap kepentingan sosial. 31
Hal ini berarti, bahwa terhadap dampak negatif dari pemberlakuan ACFTA
bagi industri dalam negeri, negara sudah seharusnya memberikan perlindungan
hukum bagi pelaku usaha domestik agar produk industri dalam negeri tidak terpuruk
dan dapat terus berkembang dan serta bersaing dalam ACFTA.
29
Christoforus Barutu sebagaimana dikutip dalam Budi Nugroho, “Perlindungan Industri Domestik Dalam Perdagangan Bebas”,
http://www.bppk.depkeu.go.id/webbc/images/stories/file/2011/artikel/perlindungan%20industri%20do mestik%20dalam%20perdagangan%20bebas_1_.pdf, diakses tanggal 20 Juni 2011.
30
Ibid.
31
2. Konsepsional
Penggunaan konsep dalam suatu penelitian adalah untuk menghindari
penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang digunakan, oleh karena itu
penulis merumuskan konsep dengan mempergunakan model defenisi operasional.32
Untuk memudahkan pemahaman terhadap pembahasan dalam penulisan ini,
maka digunakan defenisi operasional sebagai berikut:
a. Perlindungan hukum adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum bagi individu dan atau kelompok. Perlindungan industri yang dimaksud
dalam tesis ini adalah perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri dalam
rangka ACFTA.
b. Industri dalam negeri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah,
bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan
nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun
dan perekayasaan industri dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.
c. Kawasan perdagangan bebas Free Trade Area (FTA) adalah suatu bentuk kerja
sama ekonomi regional yang perdagangan produk-produk orisinil negara-negara
anggotanya tidak dipungut bea masuk atau bebas bea masuk.
d. ASEAN Free Trade Area (AFTA) adalah suatu bentuk kerjasama ekonomi
regional di Kawasan Asia Tenggara untuk menghapuskan trade barriers antar
negara anggota ASEAN.
32
Universitas Sumatera Utara, “Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis”, (Medan:
e. ACFTA adalah kerjasama ekonomi regional antara negara-negara yang tergabung
dalam kawasan Asia Tenggara (ASEAN) dengan negara China.
f. Dampak negatif kawasan perdagangan bebas adalah dampak negatif yang
ditimbulkan akibat kerja sama ekonomi regional yang perdagangan
produk-produk orisinal negara-negara anggotanya akibat tidak dipungut bea masuk atau
bebas bea masuk. Dalam hal ini, dampak negatif yang dimaksud adalah dampak
negatif pelaksanaan ACFTA pada industri dalam negeri.
g. Tarif bea masuk adalah biaya pungutan negara berdasarkan undang-undang yang
dikenakan terhadap barang yang diimpor.
h. Peningkatan impor adalah peningkatan nilai perdagangan impor Indonesia dalam
implementasi ACFTA.
i. Dumping adalah keadaan suatu produk yang dimasukkan ke dalam pasar negara
lain dengan harga yang lebih rendah dari harga normal.33
j. Subsidi adalah bantuan keuangan yang diberikan oleh pemerintah/badan
pemerintah baik langsung atau tidak langsung kepada
perusahaan/eksportir/industri/wilayah tertentu.34
k. Safeguard (Pengamanan Perdagangan) adalah tindakan pengamanan industri
dalam negeri yang diambil oleh pemerintah berupa larangan impor dan atau
menaikkan tarif atau menetapkan kuota selama periode waktu tertentu.35
33
Defenisi dumping ini adalah menurut pengertian yang terdapat dalam GATT, lihat R. Hendra Halwani, Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005),
hlm. 327.
34
Sugih Nurmansyah, “Sekilas Tuduhan Dumping, Subsidi dan Safeguard Negara WTO Tahun 1995-2008”, http://ditjenkpi.depdag.go.id/Umum/Setditjen/Buletin%202009/Full%2055.pdf,
l. Countervailing (Bea Masuk Pembalasan) adalah penerapan bea tambahan
terhadap produk impor dari suatu negara, sebagai dampak dari sikap diskriminatif
yang dilakukan oleh negara pengimpor terhadap barang Indonesia.
m. Kerugian industri dalam negeri adalah kondisi industri dalam negeri dimana
mengalami kemampuan yang semakin menurun beroperasi dalam memproduksi
barang.
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian dalam tesis ini adalah bersifat deskriptif analitis. Penelitian yang
bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan,
menelaah, menjelaskan dan menganalisis suatu peraturan hukum.36 Dengan demikian
dalam penelitian ini tidak hanya ditujukan untuk mendeskripsikan gejala-gejala atau
fenomena-fenomena hukum yang terkait dengan kepastian hukum bagi
keberlangsungan usaha industri dalam negeri menghadapi ACFTA, akan tetapi lebih
ditujukan untuk menganalisis fenomena-fenomena hukum tersebut dan kemudian
mendeskripsikannya secara sistematis sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan.
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah
35
Muhammad Yani, “Safeguard”,
http://ditjenkpi.depdag.go.id/Umum/Setditjen/Buletin%202009/Full%2055.pdf, diakses tanggal 20 Juni
2011.
36
untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya. Logika keilmuan yang ajeg dalam penelitian hukum normatif dibangun
berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif yaitu ilmu
hukum yang obyeknya hukum itu sendiri.37
Dalam penelitian ini metode yuridis normatif digunakan untuk meneliti
norma-norma hukum internasional dan hukum nasional yang berlaku terkait dengan
perlindungan industri dalam negeri dalam ACFTA.
2. Sumber Data Penelitian
Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data atau
informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan
sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal
ataupun arsip-arsip yang sesuai dengan penelitian yang akan dibahas, yang meliputi:
a. Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat seperti undang-undang,
perjanjian inernasional, dan lain-lain, yang dalam penelitian tesis ini terdiri dari
berbagai peraturan hukum yang berkaitan dengan implementasi dari perjanjian
ACFTA termasuk perjanjian-perjanjian internasional yang terkait dalam hal ini
yaitu Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Beetween
the Association of South Asian Nations and the People’s Republic of China
sebagaimana diratifikasi melalui Keppres Nomor 48 Tahun 2004 tentang
37
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 57.
Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara
Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik
Rakyat China, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian, Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Peraturan Pemerintah Nomor
34 Tahun 1996 Tentang Bea Masuk Antidumping Dan Bea Masuk Imbalan,
Keppres Nomor 84 Tahun 2002 Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam
Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor, dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
14/M-DAG/PER/3/2007 Tentang Standarisasi Jasa Bidang Perdagangan Dan
Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang Dan Jasa
Yang Diperdagangkan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,
seperti berbagai tulisan, jurnal dan buku-buku yang dianggap berkaitan dengan
pokok permasalahan yang akan diangkat.
c. Bahan Hukum Tersier:
Merupakan bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus umum, dan kamus hukum sepanjang memuat informasi yang relevan
3. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori
atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang
berhubungan dengan objek penelitian ini yang dapat berupa peraturan
perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya.
4. Alat Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen
dimana seluruh data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini, dikumpulkan
dengan mempergunakan studi dokumen.
Pada tahap awal pengumpulan data, dilakukan inventaris seluruh data dan atau
dokumen yang relevan dengan topik pembahasan. Selanjutnya dilakukan
pengkategorian data-data tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah
ditetapkan. Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan metode analisis yang sudah
dipilih.38
5. Analisis Data
Dilakukan secara kualitatif, yakni suatu bentuk analisa yang tidak bertumpu
pada angka-angka melainkan pada kalimat-kalimat. Bahan hukum yang diperoleh
akan dipilah-pilah, dikelompokkan dan disusun sedemikian rupa sehingga menjadi
suatu rangkaian yang sistematis yang akan dipergunakan untuk membedah dan
38
menganalisis permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini melalui interpretasi dan
abstraksi bahan-bahan hukum yang tersedia.
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir
deduktif – induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai
titik tolak untuk melakukan penelitian. Dengan demikian teori digunakan sebagai
alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak
langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah
BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI DALAM RANGKA ASEAN CHINA FREE TRADE AGREEMENT (ACFTA)
Arus globalisasi ekonomi yang menimbulkan hubungan interdependensi dan
integrasi dalam bidang finansial, produksi dan perdagangan telah membawa dampak
yang cukup luas pada perekonomian Indonesia. Dampak dari arus globalisasi
ekonomi ini lebih terasa lagi setelah dikembangkannya prinsip liberalisasi
perdagangan (trade liberalization) yang telah diupayakan dan didukung secara
bersama-sama oleh negara-negara di dunia dalam bentuk kerjasama ekonomi
regional.39 ASEAN yang merupakan salah satu kerjasama regional merupakan bentuk
kekuatan baru di benua Asia, karena menjadi salah satu kawasan dengan jumlah
potensi pasar terbesar di dunia.
Hal ini tentunya menarik minat negara-negara lain yang ingin
mengembangkan potensi kerjasama mereka di wilayah Asia. Terlebih lagi rencana
terbesar ASEAN yang akan membentuk ASEAN Economic Community (AEC) yang
membawa kerjasama ekonomi ke arah yang lebih luas yaitu dalam satu kerangka
komunitas ASEAN. Salah satu negara besar yang menunjukkan komitmen
kerjasamanya sebagai mitra ASEAN adalah negara China, yang secara konkrit
diimplementasikan dalam Perjanjian Kerjasama Perdagangan Bebas antara ASEAN
dengan China.40
39
Bismar Nasution, op. cit., hlm. 7.
40
http://saepudinonline.wordpress.com/2011/03/25/analisis-A. Kesepakatan ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA)
1. Latar Belakang ACFTA
Sejak didirikan pada tahun 1967, ASEAN memang bertujuan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan
kebudayaan di kawasan Asia Tenggara. Untuk tujuan tersebut, negara-negara anggota
ASEAN telah berusaha untuk saling membantu dalam usaha-usaha yang menjadi
perhatian dan kepentingan bersama dari negara-negara anggota ASEAN, khususnya
di bidang ekonomi dan perdagangan termasuk masalah-masalah sosial, kebudayaan
dan ilmu pengetahuan antara lain dengan memanfaatkan secara efektif berbagai
sektor seperti pertanian dan industri serta memperluas perdagangan mereka, termasuk
perdagangan komoditi internasional.41
Negara-negara anggota ASEAN juga bertekad untuk memerangi kemelaratan,
kelaparan, penyakit dan buta huruf sebagai perhatian utama bagi negara-negara
anggotanya. Untuk itu, ASEAN telah berusaha mengadakan kerjasama secara intensif
di bidang ekonomi dan pembangunan sosial dengan mengutamakan peningkatan
sosial dan perbaikan tingkat kehidupan rakyat di kawasan Asia Tenggara. Dalam
KTT ASEAN di Bali tahun 1976 khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan
peluang-dan-tantangan-serta-langkah-pemerintah-indonesia-terhadap-implementasi-penuh-asean-china-fta/, diakses tanggal 14 Mei 2011.
41
Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum internasional, (Jakarta: PT. Tatanusa, 2007),
telah ditetapkan suatu program aksi sebagai kerangka untuk kerja sama ASEAN
antara lain:42
a. Kerjasama mengenai komoditi dasar, khususnya makanan dan energi b. Kerjasama di bidang industri
c. Kerjasama di bidang perdagangan
d. Pendekatan bersama dalam menghadapi masalah komoditi internasional dan masalah ekonomi dunia lainnya
e. Mekanisme untuk kerjasama ekonomi.
Lingkungan ekonomi baik domestik maupun internasional telah mengalami
perubahan yang cepat dan telah menimbulkan tantangan-tantangan bagi ASEAN.
Walaupun sistem perdagangan global masih terbuka, kecenderungan timbulnya
hambatan-hambatan tetap merupakan tantangan bagi ASEAN. Terlebih dengan
semakin banyaknya pengelompokan-pengelompokan ekonomi secara cepat
menyebar, seperti Pasaran Tunggal Eropa dan NAFTA. Hal ini jelas mempengaruhi
sistem perdagangan internasional karena pengelompokan semacam itu bertujuan
untuk meningkatkan rejim ekonomi internasional yang terbuka, yang hanya akan
mendorong kerja sama ekonomi di wilayah yang bersangkutan.
Perjanjian perdagangan regional (RTA) ini tumbuh karena bersifat lebih
mudah dan aplikatif karena tidak melibatkan terlalu banyak negara serta
kepentingannya seperti yang terjadi di WTO. Kesulitan yang dihadapi untuk
menciptakan sistem perdagangan multilateral tersebutlah yang mendasari ketentuan
pasal 24 ketentuan GATT tentang diperbolehkannya pembentukkan
kerjasama-
42
Joint Communique Meeting of the second ASEAN economic Government, Bali 23-24 February 1976, sebagaimana dikutip dalam Sumaryo Suryokusumo, ibid.
kerjasama regional di bidang perdagangan. Ketentuan Pasal 24 GATT memberi
persyaratan bahwa pembentukan perjanjian perdagangan regional (Regional Trade
Agreement /RTA) tersebut tidak menjadi rintangan bagi perdagangan multilateral.43
Hal inilah yang mendasari ASEAN mengambil langkah-langkah baru untuk
meningkatkan kerja sama perdagangan dan industri yaitu dengan mencari
mekanisme-mekanisme baru ke arah tercapainya harmonisasi dan integrasi ekonomi
yang dapat menjamin lancarnya perdagangan dan investasi ASEAN.44
Pada tahun 1991 para pemimpin ASEAN sepakat untuk membentuk kawasan
perdagangan bebas ASEAN atau yang dikenal dengan AFTA yang pembentukannya
berlangsung selama 10 (sepuluh) tahun. Sebuah lembaga setingkat menteri dibentuk
untuk mengawasi, mengkoordinasikan, dan mengkaji pelaksanaan program menuju
AFTA. Adapun isi persetujuannya berupa kerangka dalam meningkatkan kerja sama
ekonomi ASEAN (Framework Agreement on Exchanging ASEAN Economic
Coorporation- FAEAEC) yang ditandatangani presiden dan perdana menteri tiap-tiap
negara ASEAN pada bulan Januari 1992.45
Kelahiran AFTA ini merupakan upaya dari ASEAN untuk melindungi
kepentingan negara anggota dalam perdagangan multilateral yang didominasi oleh
negara-negara maju. Berdasarkan kesadaran tersebut, maka terkesan bahwa AFTA
43
Saepudin, “Perjanjian Perdagangan Regional (RTA) Dalam Kerangka World Trade Organization (WTO): Studi Kasus ASEAN Free Trade Area (AFTA)”,
http://saepudinonline.wordpress.com/2011/05/05/perjanjian-perdagangan-regional-rta-dalam-kerangka-world-trade-organization-wto-studi-kasus-asean-free-trade-area-afta/, diakses tanggal 20
Juni 2011.
44
Sumaryo Suryokusumo, op. cit., hlm. 15-16.
45