• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK PERUBAHAN BENTANG WILAYAH TERHADAP STRUKTUR AGRARIA

Bab ini menjelaskan mengenai bagaimana dampak dan hubungan dari perubahan bentang wilayah yang terjadi terhadap perubahan struktur agraria baik dalam hal pola penguasaan lahan, pola penggunaan lahan, pola hubungan agraria, pola nafkah agraria serta perubahan sosial dan ekonomi.

Dampak terhadap Pola Penguasaan Lahan

Pola penguasaan lahan dapat diketahui dari kepemilikan lahan dan akses orang lain terhadap lahan. Dalam penelitian ini pola penguasaan lahan dianalisis berdasarkan dua indikator yaitu tingkat penguasaan lahan dan tingkat akses terhadap lahan. Pola penguasaan lahan diukur dengan skala Rendah (R), Sedang (S), dan Tinggi (T). Tingkat penguasaan lahan adalah ukuran lahan yang dikuasai oleh responden untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara itu, tingkat akses terhadap lahan adalah kemampuan responden untuk menjangkau dan menggunakan lahan pertanian. Pengukuran dilakukan untuk melihat perbedaan pola penguasaan sebelum dan sesudah munculnya atau pembangunan TWM. Hasil dari perbedaan pola penguasaan lahan baik sebelum maupun setelah pembangunan dilaksanakan disajikan dalam Tabel 9.

Tabel 9 Jumlah dan persentase responden menurut pola penguasaan lahan di Desa Leuwimalang dan Cilember

No. Kategori Sebelum Pembangunan Setelah Pembangunan

n % n %

1. Milik 10 33 3 10

2. Bagi hasil (maro) 20 67 3 10 3. Tidak menguasai

lahan

0 0 24 80

Total 30 100 30 100

Berdasarkan Tabel 9, diketahui bahwa pola penguasaan lahan adalah bagi hasil. Sistem bagi hasil dikenal masyarakat dengan sebutan maro. Sistem maro yaitu petani menggarap lahan orang lain, ketika panen, hasil padi dibagi dua kepada petani pemilik setelah dikurangi modal. Sebelum pembangunan berlangsung, pola penguasaan lahan masih dialami oleh seluruh responden (30 orang atau 100%) dengan kategori milik sebanyak 10 orang (33%) dan kategori maro sebanyak 20 orang (67%). Sementara itu, setelah pembangunan berlangsung, pola penguasaan lahan hanya dialami oleh 6 orang responden (20%) dengan kategori milik dan maro masing-masing 3 orang (10%), sisanya sebesar 80% dari responden sudah tidak lagi menguasai lahan. Hal ini dikarenakan sebelum pembangunan mereka masih memiliki lahan, namun setelah pembangunan mereka sudah tidak memiliki lahan, baik yang dimiliki maupun untuk digarap.

Para petani yang masih memiliki lahan setelah pembangunan berdasarkan data di Tabel 9 terdapat tiga orang. Hal ini dilatarbelakangi dua hal, yakni pertama

mereka masih memiliki lahan karena tidak semua lahan yang dimilikinya mereka jual. Masih terdapat beberapa meter persegi lahan yang mereka pertahankan meskipun tidak seluas lahan yang mereka jual. Hal ini dialami oleh NHD dan IDN. Alasan kedua adalah mereka setelah menjual lahannya, membeli lagi lahan di daerah lain yang harganya lebih murah meskipun lokasi menjadi lebih jauh. Hal ini dialami oleh RBN. RBN membeli lahan di luar daerah Bogor dengan harga yang lebih murah, lalu RBN menguasakannya kepada petani di daerah setempat.

Bagi petani dengan pola penguasaan bagi hasil (petani penggarap), banyak kehilangan lahannya setelah lahan yang mereka garap dibebaskan. Dari 20 orang petani penggarap yang menjadi responden, hanya tiga orang diantaranya yang masih menguasai lahan dengan pola penguasaan yang sama (bagi hasil). Hal yang melatarbelakangi banyak petani penggarap yang tidak bertani lagi antara lain adalah lokasi lahan pertanian cukup jauh dibandingkan saat mereka menggarap di lahan TWM. Selain itu, karena mereka saat angkat kaki dari lahan garapan mereka sudah terlalu tua, sehingga memilih berhenti bekerja atau mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan modal besar. Hal-hal tersebut telah menunjukkan tingkat penguasaan lahan di desa, yang sebelumnya tinggi, menjadi rendah akibat adanya perubahan bentang wilayah. Selain itu, tingkat penguasaan lahan tinggi ketika petani menguasai tanah dan tanah yang dimilikinya bersertifikat. Pada Tabel 10 disajikan luas lahan yang dikuasai oleh responden yang dibedakan menjadi 3 kategori yaitu tidak menguasai lahan, luas lahan kurang dari 500 m, luas lahan antara 500 sampai 2 000 m, dan luas lahan lebih dari 2 000 m.

Tabel 10 Jumlah dan persentase responden menurut luas lahan yang dikuasainya

No. Kategori Sebelum Pembangunan Setelah Pembangunan

n % n % 1. Tidak menguasai lahan 0 0 24 80 2. < 500 m 7 23 0 0 3. 500-2 000 m 9 30 4 13 4. > 2 000 m 14 47 2 7 Total 30 100 30 100

Dari Tabel 10 dapat diketahui bahwa sebelum pembangunan terdapat 14 orang (47%) memiliki lahan seluas lebih dari 2 000 m. Sementara untuk kategori kurang dari 500 m dan 500-2 000 m masing-masing terdapat 7 orang (23%) dan 9 orang (30%). Namun begitu, setelah pembangunan terjadi penurunan, dimana hanya 6 orang yang masih menguasai lahan dengan luas lahan berada pada kategori 500-2 000 m sebanyak 4 orang (13%) dan lebih dari 2 000 m sebanyak 2 orang (7%). Padahal Sementara itu, pola penguasaannya adalah milik (petani pemilik) serta bagi hasil (petani penggarap) seperti yang dipaparkan pada Tabel 9. Tiga orang petani petani pemilik yang masih memiliki lahan adalah NHD, IDN, dan RBN. Dua dari tiga petani pemilik tersebut menjual sebagian lahan mereka yang berada di desa dan sisanya masih mereka pertahankan, sementara satu orang petani pemilik menjual seluruh lahan yang dimilikinya di desa dan membeli lahan lain di luar desa dengan harga lahan yang lebih murah sehingga lahan yang dimilikinya saat ini lebih luas. Bagi petani penggarap yang saat ini masih menggarap, lahan garapan yang dikuasainya semakin menyempit dibandingkan sebelum pembangunan dilaksanakan. Sebelumnya mereka dapat menggarap

hingga 1 000 meter lahan sawah, sementara saat ini lahan yang mereka garap hanya sekitar 500 meter.

Sementara itu, hal yang sama juga terjadi pada indikator tingkat akses terhadap lahan sebelum dan sesudah perubahan bentang wilayah. Tingkat akses masyarakat terhadap lahan semakin mengalami penurunan setelah pembangunan TWM. Tingkat akses terhadap lahan tinggi ketika faktor-faktor produksi terjangkau oleh petani. Setelah pembangunan TWM berlangsung faktor produksi seperti lahan sulit dijangkau, serta biaya faktor produksi seperti untuk pupuk, bajak, dan lainnya semakin mahal. Hal ini seperti pernyataan yang saling mendukung antara dua responden sebagai berikut:

“Saya sih sebenernya mau aja ngegarap mbak, tapi sekarang teh lahannya jauh. Biaya transport segala macem jadi lebih besar, belum lagi bayar orang untuk bajak segala macemnya sekarang makin mahal, gak balik modal, mending saya cari kerja lain” BHD, 41 tahun

“Mahal neng sekarang kalo mau garap, pendapatan sama pengeluaran sama aja, bahkan gak jarang pengeluaran lebih besar” ITH, 55 tahun

Keseluruhan indikator dijadikan dalam satuan pola penguasaan lahan. Hasil pengukuran tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Pola penguasaan lahan masyarakat Desa Leuwimalang dan Cilember sebelum dan sesudah terjadinya pembangunan tahun 2014

Gambar 5 menunjukkan bahwa terjadi penurunan pola penguasaan lahan terjadi setelah terjadi perubahan bentang wilayah. Hanya tiga responden yang bertahan di pola penguasaan tinggi, yakni NHD, IDN, dan RBN. Pola penguasaan sedang setelah pembanguan merupakan para petani penggarap yang masih menguasai lahan di tempat lain. Mereka masih menggarap lahan meskipun biaya faktor produksi semakin meningkat. Hal ini dikarenakan sulit bagi mereka bekerja di luar sektor pertanian.

Secara umum, perubahan suatu bentang wilayah yang diiringi oleh adanya pembangunan menyebabkan perubahan pada struktur agraria. Perubahan ini dilihat dari pemilikan lahan yang semakin sempit. Akibat lainnya dari perubahan

Rendah Sedang Tinggi

Sebelum 0 5 25 Sesudah 24 3 3 0 5 10 15 20 25 30 J um la h Respo nd en

bentang wilayah yang terjadi adalah hilangnya akses terhadap lahan bagi petani penggarap. Implikasi dari berkurangnya akses terhadap sumber daya agraria ini dapat membuat perubahan pada pola nafkah agraria dari pertanian ke non- pertanian, yang akan dibahas lebih lanjut pada subbab selanjutnya.

Ada beberapa tahap yang dilakukan untuk mengukur dampak perubahan bentang wilayah terhadap pola penguasaan lahan. Pada indikator pertama yaitu tingkat penguasaan lahan, tahap pertama yang dilakukan adalah menjumlahkan skor pada seluruh pertanyaan diindikator tersebut. Seluruh pertanyaan berjumlah 3 pertanyaan dengan minimal skor 1 dan maksimal skor 2. Dengan demikian, jika seluruh pertanyaan dijumlahkan maka akan didapat skor terendah sebesar 3 dan skor tertinggi sebesar 6.

Pada indikator kedua yaitu tingkat akses terhadap lahan, tahap pertama yang dilakukan adalah menjumlahkan skor pada seluruh pertanyaan di indikator tersebut. Seluruh pertanyaan berjumlah 4 pertanyaan dengan minimal skor 1 dan maksimal skor 2. Dengan demikian, jika seluruh pertanyaan dijumlahkan maka akan didapat skor terendah sebesar 4 dan skor tertinggi sebesar 8.

Tahap selanjutnya ialah mengategorikan skor dari penjumlahan dua indikator tersebut ke dalam tiga kategori yaitu Rendah (skor 7-9), Sedang (skor 10-11), dan Tinggi (skor 12-14). Tahap terakhir di variabel ini adalah mengelompokkan hasil data responden ke dalam tiga kategori yang telah dibuat sesuai dengan jawaban mereka. Setelah semua data responden masing-masing dikelompokkan dalam kategori pola penguasaan lahan, tahap terakhir ialah tahap penghitungan pengaruh antara variabel dampak perubahan bentang wilayah dengan pola penguasaan lahan sesudah terjadinya pembangunan. Selanjutnya, untuk melihat korelasi kedua variabel, terlebih dahulu data tersebut dimasukkan ke dalam tabulasi silang. Tabel tabulasi silang dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Jumlah dan persentase responden menurut dampak perubahan bentang wilayah dan pola penguasaan lahan di Desa Leuwimalang dan Cilember

Dampak perubahan

bentang Wilayah

Pola Penguasaan Lahan Total

Rendah Sedang Tinggi

n % n % N % N %

Kecil 4 14 1 3 0 0 5 17 Sedang 3 10 0 0 1 3 4 13 Besar 17 56 2 7 2 7 21 70 Total 24 80 3 10 3 10 30 100

Dari Tabel 11 menunjukkan bahwa pada variabel dampak perubahan bentang wilayah, mayoritas responden berada pada kategori besar yakni 21 orang (70%). Sementara itu, untuk kategori kecil dan sedang, pada variabel dampak perubahan bentang wilayah, masing-masing terdapat 5 orang (17%) dan 4 orang (13%) dari 30 orang total responden yang diteliti. Penjelasan mengenai hal tersebut dapat dilihat pada subbab dampak pembangunan bentang wilayah. Selanjutnya dalam variabel pola penguasaan lahan, mayoritas responden berada pada kategori rendah yakni 24 orang (80%). Sementara itu, untuk kategori sedang dan tinggi, pada variabel pola penguasaan lahan, masing-masing terdapat 3 orang (10%).

Ada 4 orang (14%) dan 1 orang (3%) pada kategori kecil dalam dampak perubahan bentang wilayah namun berada di kategori rendah dan sedang dalam pola penguasaan lahan. Umumnya, responden tersebut akan berada pada kategori tinggi pada pola penguasaan lahan. Lalu terdapat 3 orang (10%) dan 1 orang (3%) pada kategori sedang dalam bentang wilayah dan berada pada kategori rendah dan tinggi pada pola penguasaan lahan. Selanjutnya terdapat 2 orang (7%) di kategori tinggi pada pola penguasaan lahan padahal dampak perubahan bentang wilayah berada pada kategori besar. Pada umumnya, responden yang berada di kategori dampak perubahan bentang wilayah besar akan berada di kategori rendah pada pola penguasaan lahan.

Mayoritas responden berada pada kategori yang benar, yaitu berada pada kategori besar untuk dampak perubahan bentang wilayah dan rendah untuk pola penguasaan lahan, karena pada umumnya, responden yang berada di kategori besar pada dampak perubahan bentang wilayah akan berada pada kategori rendah pada variabel pola penguasaan lahan. Ada 17 orang (56%) yang berada pada kategori yang benar ini. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara dampak perubahan bentang wilayah dengan pola penguasaan terbilang kuat, dimana semakin besar dampak perubahan bentang wilayah dilakukan, maka semakin rendah pola penguasaan lahan. Pola penguasaan semakin rendah karena pembangunan terjadi menggunakan lahan-lahan yang dimiliki oleh masyarakat. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang kehilangan lahannya dan menyebabkan pola penguasaan lahan menjadi rendah.

Dampak terhadap Pola Penggunaan Lahan

Pola penggunaan lahan dapat diketahui dari bagaimana masyarakat dan pihak-pihak lain memanfaatkan lahan tersebut. Dalam penelitian ini pola penggunaan lahan dianalisis berdasarkan dua indikator, yakni tingkat ketergantungan pada lahan dan tingkat pemanfaatan lahan. Pola penggunaan lahan diukur dengan skala Rendah (R), Sedang (S), dan Tinggi (T). Tingkat ketergantungan pada lahan adalah ukuran sejauh mana lahan berpengaruh dalam kebutuhan hidup responden. Sementara itu, Tingkat pemanfaatan lahan adalah ukuran sejauh mana lahan digunakan oleh responden demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengukuran dilakukan untuk melihat perbedaan pola penggunaan sebelum dan sesudah munculnya atau pembangunan TWM.

Dalam hal pemanfaatan lahan, masyarakat menyatakan sebelum lahan mereka digusur, mereka banyak memanfaatkan lahan tidak hanya untuk padi, tetapi juga tanaman lainnya. Responden mengatakan bahwa saat ini musim panen terjadi paling sering hanya dua kali dalam setahun. Padahal dulu sebelum adanya pembangunan TWM, banyak petani menyatakan bisa sampai 3-4 kali panen dalam satu tahun. Banyak petani juga menggunakan sistem tumpang sari dengan menanam tanaman lain seperti cabe, caisin, dan lainnya disamping padi, yang bisa dipanen sekitar 4 bulan sekali untuk menambah pendapatan. Hal ini seperti diutarakan BHD (41 tahun) sebagai berikut:

“Dulu sih bisa sampai 3-4 kali panennya, kalo sekarang paling sering juga 2 kali. Makanya udah gak pernah dijual lagi. Buat konsumsi aja, itung-itung simpenan” BHD, 41 tahun

Selain itu, biaya produksi untuk menggarap lahan juga semakin lama semakin mahal. Menurut responden saat ini biaya untuk modal menggarap lahan antara lain untuk menyambut Rp100 000 per hari, untuk menyangkul Rp25 000 per hari, untuk menanam bagi perempuan Rp20 000 per hari sementara laki-laki Rp40 000 per hari, serta untuk mengambil padi (panen) butuh biaya sekitar Rp5 000 per blek. Satu hari yang dimaksudkan adalah dari pukul 8 pagi hingga 12 siang. Dengan biaya produksi tersebut yang semakin lama semakin meningkat, para petani pun banyak yang berhenti mencari lahan lain untuk mereka garap setelah lahan garapan di TWM hilang. Bagi mereka biaya produksi dan pendapatan pun tidak beda jauh. Bagi yang masih menggarap pun merasa hasilnya pun pada akhirnya lebih sering mereka konsumsi karena tidak terlalu banyak.

Lahan sawah dikelola dengan memanfaatkan tenaga manusia sebagai tenaga kerja utama. Contohnya saja saat menanam padi, aktivitas seperti menebar benih, mencangkul, menanam, memupuk, dan panen semuanya dilakukan oleh tenaga kerja manusia. Sementara itu untuk membajak sawah tenaga kerja manusia dibantu oleh kerbau. Namun begitu, pergeseran tenaga kerja terjadi, khususnya tenaga kerja wanita, dalam menggunakan lahan. dulu tenaga kerja wanita masih melakukan aktivitas menanam dan menyiangi. Saat ini, sebagian aktivitas pertanian dilakukan oleh laki-laki karena kesempatan kerja di sektor pertanian semakin berkurang.

Gambar 6 menunjukkan bahwa terjadi penurunan pola penggunaan lahan. Sebelum pembangunan, sebanyak 27 orang responden memanfaatkan lahan dengan cukup tinggi. Sementara itu, sesudah pembangunan TWM dilakukan, 24 orang responden dari total 30 responden, memanfaatkan lahan dalam kategori rendah. Hal ini juga masih berkaitan dengan kehilangannya akses petani terhadap lahan.

Gambar 6 Pola penggunaan lahan masyarakat Desa Leuwimalang dan Cilember sebelum dan sesudah terjadinya pembangunan tahun 2014

Rendah Sedang Tinggi

Sebelum 0 3 27 Sesudah 24 2 4 0 5 10 15 20 25 30 J um la h Respo nd en

Ada beberapa tahap yang dilakukan untuk mengukur dampak perubahan bentang wilayah terhadap pola penggunaan lahan. Pada indikator pertama yaitu tingkat ketergantungan pada lahan, tahap pertama yang dilakukan adalah menjumlahkan skor pada seluruh pertanyaan di indikator tersebut. Seluruh pertanyaan berjumlah 2 pertanyaan dengan minimal skor 1 dan maksimal skor 2. Dengan demikian, jika seluruh pertanyaan dijumlahkan maka akan didapat skor terendah sebesar 2 dan skor tertinggi sebesar 4.

Pada indikator kedua yaitu tingkat pemanfaatan lahan, tahap pertama yang dilakukan adalah menjumlahkan skor pada seluruh pertanyaan di indikator tersebut. Seluruh pertanyaan berjumlah 6 pertanyaan dengan minimal skor 1 dan maksimal skor 2. Dengan demikian, jika seluruh pertanyaan dijumlahkan maka akan didapat skor terendah sebesar 6 dan skor tertinggi sebesar 12.

Tahap selanjutnya ialah mengategorikan skor dari penjumlahan dua indikator tersebut ke dalam tiga kategori yaitu Rendah (skor 8-10), Sedang (skor 11-13), dan Tinggi (skor 14-16). Tahap terakhir di variabel ini adalah mengelompokkan hasil data responden ke dalam tiga kategori yang telah dibuat sesuai dengan jawaban mereka. Setelah semua data responden masing-masing dikelompokkan dalam kategori pola penggunaan lahan, tahap terakhir ialah tahap penghitungan pengaruh antara variabel dampak perubahan bentang wilayah dengan pola penggunaan lahan setelah pembangunan dilakukan. Selanjutnya, untuk melihat korelasi kedua variabel, terlebih dahulu data tersebut dimasukkan ke dalam tabel tabulasi silang. Tabel tabulasi silang dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Jumlah dan persentase responden menurut dampak perubahan bentang

wilayah dan pola penggunaan lahan Desa Leuwimalang dan Cilember

Dampak perubahan

bentang Wilayah

Pola Penggunaan Lahan Total

Rendah Sedang Tinggi

n % n % n % N %

Kecil 4 14 0 0 1 3 5 17 Sedang 3 10 1 3 0 0 4 13 Besar 17 57 1 3 3 10 21 70 Total 24 81 2 6 4 13 30 100

Dari Tabel 12 menunjukkan bahwa pada variabel dampak perubahan bentang wilayah, mayoritas responden berada pada kategori besar yakni 21 orang (70%). Sementara itu, untuk kategori kecil dan sedang, pada variabel dampak perubahan bentang wilayah, masing-masing terdapat 5 orang (17%) dan 4 orang (13%) dari 30 orang total responden yang diteliti. Penjelasan mengenai hal tersebut dapat dilihat pada subbab dampak pembangunan bentang wilayah. Selanjutnya dalam variabel pola penggunaan lahan, mayoritas responden berada pada kategori rendah yakni 24 orang (80%). Sementara itu, untuk kategori sedang dan tinggi, pada variabel pola penggunaan lahan, masing-masing terdapat 2 orang (6%) dan 4 orang (13%).

Ada 4 orang (14%) dan 1 orang (3%) pada kategori kecil dalam dampak perubahan bentang wilayah namun berada di kategori rendah dan tinggi dalam pola penggunaan lahan. Umumnya, responden tersebut akan berada pada kategori tinggi pada pola penggunaan lahan. Lalu terdapat 3 orang (10%) dan 1 orang (3%) pada kategori sedang dalam bentang wilayah dan berada pada kategori rendah dan

sedang pada pola penggunaan lahan. Selanjutnya terdapat 3 orang (10%) di kategori tinggi pada pola penggunaan lahan padahal dampak perubahan bentang wilayah berada pada kategori besar. Pada umumnya, responden yang berada di kategori dampak perubahan bentang wilayah besar akan berada di kategori rendah pada pola penggunaan lahan.

Mayoritas responden berada pada kategori yang benar, yaitu berada pada kategori besar untuk dampak perubahan bentang wilayah dan rendah untuk pola penggunaan lahan, karena pada umumnya, responden yang berada di kategori besar pada dampak perubahan bentang wilayah akan berada pada kategori rendah pada variabel pola penguasaan lahan. Ada 17 orang (57%) yang berada pada kategori yang benar ini. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara dampak perubahan bentang wilayah dengan pola penggunaan lahan terbilang kuat, dimana semakin besar dampak perubahan bentang wilayah dilakukan, maka semakin rendah pola penggunaan lahan. Pola penggunaan lahan semakin rendah karena pembangunan terjadi menggunakan lahan-lahan yang dimiliki oleh masyarakat sehingga masyarakat kehilangan lahannya dan penggunaan lahan pertanian juga semakin menurun.

Dampak terhadap Perubahan Pola Nafkah Agraria

Pola nafkah agraria dapat diketahui dari terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat, baik yang berasal dari usaha pertanian setelah adanya pembangunan TWM. Dalam penelitian ini, perubahan pola nafkah agraria dianalisis berdasarkan dua indikator yaitu tingkat kesempata kerja dan perubahan pola kerja. Perubahan pola nafkah agraria diukur dengan skala Rendah (R), Sedang (S), dan Tinggi. Tingkat kesempatan kerja adalah persepsi responden terhadap terbukanya peluang masyarakat untuk bekerja baik dalam sektor non- pertanian setelah adanya pembangunan kawasan wisata. Sementara itu, perubahan pola kerja adalah perbedaan kesibukan atau kegiatan yang responden lakukan setiap harinya untuk mencari nafkah setelah dan sebelum adanya pembangunan kawasan wisata. Hasil berdasarkan tingkat kesempatan responden dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Jumlah responden menurut tingkat kesempatan kerja di TWM

No. Kategori Jawaban n

1. Bekerja di TWM Ya Tidak

1 29 2. Mendapat tawaran kerja di TWM Ya

Tidak 13 17 3. Melamar kerja di TWM Ya Tidak 4 26 4. Ada peluang kerja di TWM Ya

Tidak

3 27 5. Kehadiran TWM memunculkan

lapangan pekerjaan baru

Ya Tidak

6 24 6. Kesulitan mencari kerja setelah ada

TWM

Ya Tidak

7 23

Berdasarkan Tabel 13, diketahui bahwa setelah pembangunan TWM, hanya 1 orang yang bekerja di TWM dan hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesempatan kerja di TWM sangat rendah. Sementara itu, terdapat 13 orang yang pernah mendapat tawaran untuk bekerja di TWM. Namun begitu responden tidak menerima pekerjaan tersebut karena beberapa alasan seperti gaji sangat kecil atau tidak sesuai dengan bidang yang mereka inginkan sehingga lebih memilih mencari pekerjaan lain di luar TWM. Selanjutnya, terdapat 4 orang yang pernah melamar bekerja di TWM, namun mereka ditolak untuk bekerja karena alasan seperti terlalu tua atau pendidikan rendah. Pendapat masyarakat tentang peluang kerja di TWM juga rendah, hanya 3 orang dari 30 responden yang merasa ada peluang bagi mereka untuk bekerja di TWM. Keberadaan TWM juga dianggap tidak banyak memunculkan pekerjaan baru bagi responden, hanya 6 orang yang mengganggap muncul pekerjaan baru setelah ada TWM. Selanjutnya 7 dari 30 responden menganggap sulit mencari kerja setelah ada TWM dengan alasan seperti sulit bekerja di luar sektor pertanian atau saingan sudah terlalu banyak. Sementara itu, 23 orang lainnya menganggap tidak kesulitan karena pekerjaan mereka saat ini sudah pernah mereka lakukan juga saat mereka masih bertani.

Perubahan pola nafkah agraria dari pertanian ke non-pertanian tidak hanya dialami oleh masyarakat yang menjual tanahnya secara langsung. Dalam hal ini, jika orangtua menjual tanah maka anak juga terkena dampaknya. Anak berusaha melakukan pekerjaan lain seperti berdagang atau buruh bangunan (atau dalam penelitian ini ada dalam kasus RHT, HRY dan ASP), karena luas lahan yang bisa diusahakannya sudah tidak ada, padahal mereka harus memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Hal ini seperti diutarakan oleh RHT (35 tahun) sebagai berikut:

“Yah neng kalo masih ada lahan untuk digarap (sawah) juga saya mah mau

Dokumen terkait