• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Perubahan Bentang Wilayah terhadap Struktur Agraria Desa Leuwimalang dan Desa Cilember, Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Perubahan Bentang Wilayah terhadap Struktur Agraria Desa Leuwimalang dan Desa Cilember, Kabupaten Bogor"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK PERUBAHAN BENTANG WILAYAH TERHADAP

STRUKTUR AGRARIA DESA LEUWIMALANG DAN DESA

CILEMBER, KABUPATEN BOGOR

NOVIA ANNISA PUTRI

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Dampak Perubahan Bentang Wilayah terhadap Struktur Agraria Desa Leuwimalang dan Desa Cilember, Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada peruguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

(3)

ABSTRAK

NOVIA ANNISA PUTRI. Dampak Perubahan Bentang Wilayah terhadap Struktur Agraria Desa Leuwimalang dan Desa Cilember, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak dari perubahan bentang wilayah, yang ditandai dengan terjadinya pembangunan kawasan wisata Taman Wisata Matahari, terhadap perubahan struktur agraria di Desa Leuwimalang dan Desa Cilember, Kabupaten Bogor. Perubahan struktur agraria dilihat dalam empat hal, yakni pola penguasaan lahan, pola penggunaan lahan, pola nafkah agraria, serta perubahan sosial dan komunitas. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif, yaitu penggunaan instrumen berupa kuesioner, dan didukung data kualitatif dengan metode wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan penelusuran dokumen. Hasil penelitian ini memaparkan bahwa dampak perubahan bentang wilayah mempengaruhi struktur agraria di desa. Pengaruh sangat terlihat terutama dalam hal pola penguasaan lahan, pola penggunaan lahan dan pola nafkah agraria. Hal ini karena banyak petani kehilangan penguasaan dan akses mereka atas lahan setelah dilakukannya pembangunan. Pada perubahan sosial dan komunitas tidak berpengaruh besar karena responden menganggap tidak ada perubahan yang signifikan, baik sebelum maupun setelah pembangunan, antara hubungan mereka dengan berbagai pihak.

Kata kunci: lahan, pembangunan, petani

ABSTRACT

NOVIA ANIISA PUTRI. The Impact of Landscape Changing on Agrarian Structure in Leuwimalang and Cilember Villages, Bogor District. Supervised by ENDRIATMO SOETARTO.

This research aims to analyze the impact of landscape changing, which is indicated by the development of tourism area, so it is created the changing of agrarian structure in Leuwimalang and Cilember Villages, Bogor District. Agrarian structure changes point of view in four ways, namely patterns land tenure, land uses patterns, patterns of agrarian livelihood, and the change of social and community. This study combined quantitative approach which uses questioner method and supported with qualitative data which is using in-depth interviews, participatory observation, and document study method. The results of this study explain that changing landscape affects the agrarian structures of the village, especially in case of patterns land tenure, land uses patterns, and patterns of agrarian livelihood. This case happens because many peasants lost their tenure access over the land after the development. While in the change of social and community has no effect because the respondents assume no significant changes, both before and after the development, between their relationship by various stakeholders.

(4)

DAMPAK PERUBAHAN BENTANG WILAYAH TERHADAP

STRUKTUR AGRARIA DESA LEUWIMALANG DAN DESA

CILEMBER, KABUPATEN BOGOR

NOVIA ANNISA PUTRI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Dampak Perubahan Bentang Wilayah terhadap Struktur Agraria Desa Leuwimalang dan Desa Cilember, Kabupaten Bogor

Nama : Novia Annisa Putri

NIM : I34110119

Disetujui oleh

Prof Dr Endriatmo Soetarto, MA Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Dampak Perubahan Bentang Wilayah terhadap Struktur Agraria Desa Leuwimalang dan Desa Cilember, Kabupaten Bogor” dengan baik tanpa hambatan dan masalah yang berarti. Penelitian yang dilaksanakan sejak Juni 2014 ini mengangkat tema agraria dengan lokasi penelitian di Desa Leuwimalang dan Desa Cilember, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Bapak Prof Dr Endriatmo Soetarto, MA selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan saran, kritik, dan motivasi selama proses penulisan karya ilmiah ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada orang tua tercinta, Ibu Zaitun dan Bapak Triono serta Dimas Randyta Iswara, kakak tersayang, yang telah memberikan dukungan, bantuan, dan doa bagi penulis. Selain itu, penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan untuk Keluarga Besar Bapak Uus dan Bapak Bubuh, pihak Taman Wisata Matahari, seluruh masyarakat, dan perangkat Desa Leuwimalang dan Desa Cilember, serta Pemda Kabupaten Bogor.

Penulis juga sampaikan terima kasih kepada keluarga besar SKPM terutama sahabat-sahabat SKPM 48 sebagai keluarga kedua yang telah memberikan banyak kenangan selama lebih dari tiga tahun. Terima kasih kepada teman-teman akselerasi 48 dan teman seperjuangan (Wenny, Gina, Dhira, Hafid, Amel, Kiki, Cynda, Tara, Ami, Pingkan, Lingga), serta teman-teman yang namanya tidak bisa disebutkan satu per satu sebagai teman berdiskusi, saling bertukar pikiran, membantu dan memotivasi penulis dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015

(7)

DAFTAR ISI

Transformasi dan Dampak Perubahannya 9

Konsep Struktur Agraria 11

Lokasi dan Waktu Penelitian 19

Teknik Pemilihan Informan dan Responden 19

Teknik Pengumpulan Data 20

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 20

ARENA PERUBAHAN BENTANG WILAYAH DAN PERUBAHAN

STRUKTUR AGRARIA 23

Profil Desa Leuwimalang 23

Kondisi Geografis dan Keadaan Lingkungan 23

Kondisi Demografi dan Sosial Budaya 24

Kondisi Sarana dan Prasarana 26

Profil Desa Cilember 26

Kondisi Geografis dan Keadaan Lingkungan 26

Kondisi Demografi dan Sosial Budaya 27

Kondisi Sarana dan Prasarana 30

PEMBENTUKAN TAMAN WISATA MATAHARI 31

Latar Belakang Pembentukan Taman Wisata Matahari 31

Proses Pembebasan Lahan 34

PERUBAHAN BENTANG WILAYAH MENJADI KAWASAN WISATA 41

Faktor-faktor Perubahan Bentang Wilayah 41

Kebijakan Pemerintah 41

Pertumbuhan Penduduk 42

Lahan Terbangun 43

Dampak Perubahan Bentang Wilayah 44

Reaksi Berbagai Pihak Atas Pembangunan Bentang Wilayah 45 DAMPAK PERUBAHAN BENTANG WILAYAH TERHADAP

(8)

Dampak terhadap Pola Penguasaan Lahan 49

Dampak terhadap Pola Penggunaan Lahan 53

Dampak terhadap Pola Nafkah Agraria 56

Dampak terhadap Perubahan Sosial dan Komunitas 60

PENUTUP 63

Kesimpulan 63

Saran 64

DAFTAR PUSTAKA 65

LAMPIRAN 69

(9)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah dan persentase lahan menurut jenis pemanfaatan di Desa

Leuwimalang tahun 2013 23

2 Jumlah dan persentase penduduk menurut jenis pekerjaan di Desa

Leuwimalang tahun 2013 25

3 Jumlah dan persentase penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa

Leuwimalang tahun 2013 26

4 Jumlah dan persentase lahan menurut jenis pemanfaatan di Desa

Cilember tahun 2013 27

5 Jumlah dan persentase penduduk menurut umur di Desa Cilember

tahun 2013 28

6 Jumlah dan persentase penduduk menurut jenis mata pencaharian di

Desa Cilember tahun 2013 29

7 Jumlah dan persentase penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa

Cilember tahun 2013 30

8 Penjual lahan dan manfaat pasca penjualan lahannya 37 9 Jumlah dan persentase responden menurut pola penguasaan lahan di

Desa Leuwimalang dan Cilember 49

10 Jumlah dan persentase responden menurut luas lahan yang

dikuasainya 50

11 Jumlah dan persentase responden menurut perubahan bentang wilayah dan pola penguasaan lahan di Desa Leuwimalang dan Cilember 52 12 Jumlah dan persentase responden menurut perubahan bentang wilayah

dan pola penggunaan lahan di Desa Leuwimalang dan Cilember 55 13 Jumlah responden menurut tingkat kesempatan kerja di TWM 56 14 Jumlah dan persentase responden menurut perubahan bentang wilayah

dan pola nafkah agraria di Desa Leuwimalang dan Cilember 59 15 Jumlah dan persentase responden menurut perubahan bentang wilayah

dan perubahan sosial dan komunitas di Desa Leuwimalang dan Desa

(10)

DAFTAR GAMBAR

1 Lingkup hubungan-hubungan agraria 11

2 Hubungan antar aktor agraria 12

3 Kerangka pemikiran dampak perubahan bentang wilayah terhadap

perubahan struktur agraria 15

4 Perubahan bentang wilayah yang terjadi menurut petani pemilik dan

petani penggarap di Desa Leuwimalang dan Cilember 45 5 Pola penguasaan lahan masyarakat Desa Leuwimalang dan Cilember

sebelum dan sesudah terjadinya pembangunan tahun 2014 51 6 Pola penggunaan lahan masyarakat Desa Leuwimalang dan Cilember

sebelum dan sesudah terjadinya pembangunan tahun 2014 54 7 Perubahan mata pencaharian utama masyarakat Desa Leuwimalang

dan Cilember sebelum dan sesudah terjadinya pembangunan tahun

2014 57

8 Perubahan sosial dan komunitas masyarakat Desa Leuwimalang dan

Cilember sebelum dan sesudah terjadinya pembangunan tahun 2014 61

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sketsa Desa Leuwimalang dan Desa Cilember, Kecamatan Cisarua,

Bogor 70

2 Kerangka responden 71

3 Pedoman wawancara mendalam 72

4 Panduan pengumpulan data 75

(11)

PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah dan tujuan penelitian. Selain itu, juga akan dijelaskan kegunaan penelitian bagi berbagai pihak yang terkait.

Latar Belakang

Indonesia terkenal akan sumber daya alamnya yang melimpah dan penduduk Indonesia memanfaatkan sumber daya alam tersebut, baik yang dapat diperbarui seperti hutan, tanaman pangan, perikanan, peternakan, maupun yang tidak dapat diperbarui seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam guna memenuhi kebutuhan dan dimanfaatkan untuk keberlangsungan hidup manusia. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 mendefinisikan agraria sebagai seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Bumi yang disebutkan meliputi permukaan bumi, bagian tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Tanah sebagai salah satu bagian dari sumber agraria, tidak hanya menjadi salah satu faktor produksi, tetapi juga memiliki arti penting lainnya baik menyangkut aspek sosial maupun politik dalam suatu masyarakat agraris. Sementara itu, ketersediaan tanah yang relatif tetap dari waktu ke waktu berbanding terbalik dengan jumlah penduduk yang semakin lama semakin meningkat. Hal ini akan menimbulkan perebutan sumber daya agraria tersebut di antara para penduduk untuk menghidupi kebutuhan mereka sehubungan dengan kebutuhan pangan dan aktivitas lainnya.

Semenjak dilakukannya sensus penduduk tahun 1961 sampai dengan tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia selalu mengalami peningkatan. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 adalah sebanyak 237 641 326 jiwa, yang mencakup mereka yang bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 118 320 256 jiwa dan di daerah pedesaan sebanyak 119 321 070 jiwa (BPS 2010). Peningkatan jumlah penduduk tersebut berbanding lurus dengan meningkatnya pemenuhan kebutuhan manusia untuk menunjang kehidupannya, termasuk kebutuhan akan lahan baik sebagai tempat tinggal, sumber nafkah maupun sekedar untuk hiburan atau wisata. Pemerintah melakukan berbagai cara untuk meningkatkan fasilitas umum serta memenuhi kebutuhan akibat meningkatnya jumlah penduduk. Salah satu upaya pemerintah adalah dengan melaksanakan pembangunan dengan melakukan perubahan bentang wilayah dari pertanian menjadi non-pertanian.

(12)

mengorbankan sisi sosial masyarakat yang cenderung dipandang sebagai objek, serta menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup di wilayah tersebut. Dalam rangka pembangunan, perlu dipertimbangkan pula segi sosial budaya, ekonomi dan kelestarian lingkungan hidup wilayah dimana pembangunan tersebut dilakukan.

Pada pelaksanaannya, pembangunan memerlukan pengadaan tanah dan hal tersebut dapat dilakukan dengan membeli tanah dari masyarakat yang berada di sekitar kawasan yang akan diadakan pembangunan wilayah. Banyak masyarakat, khususnya para petani, bersedia menjual lahannya pada pengembang wilayah karena tertarik dengan harga jual yang ditawarkan, yang bernilai cukup tinggi bagi petani (Zaki et al. 2013). Harga jual dimaksudkan sebagai bentuk ganti rugi, dimana sesuai dengan Keppres Nomor 55 Tahun 1993 pasal 1 ayat (1) tentang Pengadaan Tanah yang menyatakan bahwa, pengadaan tanah merupakan segala bentuk kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak atas tanah tersebut. Pada kenyataannya, petani yang telah menjual lahannya tidak lebih sejahtera dari sebelumnya, karena petani tersebut kehilangan mata pencaharian utama mereka. Hal ini juga menyebabkan para petani termarjinalisasi dari lahan garapan mereka. Tersingkirnya petani menyebabkan mereka kehilangan sumber kehidupan utama mereka dan membuat kemiskinan menghantui mereka. Selain itu, hal tersebut juga dapat menyebabkan hilangnya akses petani terhadap lahan dan pemindahan kepemilikan lahan, karena lahan sudah beralih menjadi milik pengembang wilayah. Sementara itu di sisi lain, orang dari luar kawasan akan berusaha membeli tanah di sekitar kawasan dimana pembangunan dilaksanakan karena melihat adanya peluang investasi. Hal ini akan meningkatkan ekonomi pendatang dan memiskinkan orang asli wilayah tersebut dan menyebabkan berubahnya struktur agraria masyarakat.

Transformasi yang demikian terlihat dalam hasil penelitian Fadjar et al. (2008) yang menyatakan bahwa proses transformasi sistem produksi pertanian perladangan berpindah menjadi pertanian menetap telah mempercepat transformasi struktur agraria. Pada periode penguasaan kolektif, semua anggota komunitas dapat menguasai sumber daya agraria, sementara pada periode penguasaan perorangan, anggota komunitas tidak dapat menguasai sumber daya agraria dengan cara yang mudah karena harus mempunyai modal finansial. Transfer sumber daya agraria melalui mekanisme jual beli terus meningkat karena semakin banyak kebutuhan petani (konsumtif, pengembangan usaha dan upaya memperbaiki masa depan anak) yang hanya dapat mereka penuhi dengan cara menjual lahan. Munculnya transformasi struktur agraria tersebut memberi jalan pada proses berlangsungnya diferensiasi sosial pada komunitas petani, sehingga komunitas yang sebelumnya egaliter (merata) menjadi terdiferensiasi.

(13)

terhadap tanah dan kemampuan mobilitas anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian. Terbatasnya akses terhadap tanah merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan dalam kaitan terbatasnya aset dan sumber daya produktif yang dapat diakses masyarakat miskin. Terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap tanah tergambar dari timpangnya distribusi penguasaan dan pemilikan tanah oleh rumah tangga petani. Padahal kepemilikan dan penguasaan tanah menjadi dasar untuk pemanfaatan tanah. Namun begitu, dewasa ini masih banyak kasus yang muncul dari pola kepemilikan dan penguasaan akan tanah. Seiring perkembangannya, di masa ini banyak praktek-praktek dari pihak yang berkuasa menindas petani yang lemah dalam akses terhadap lahan, sehingga akses atas lahan yang dimiliki oleh petani semakin berkurang atau tercabut. Oleh sebab adanya perampasan lahan atau land grabbing yang terjadi di masa sekarang kian meningkat, menyebabkan petani harus rela melepaskan lahannya.

Salah satu bentuk pembangunan yang menuntut adanya perubahan bentang wilayah terjadi di sekitar kawasan Desa Leuwimalang dan Desa Cilember, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dimana cukup menarik perhatian peneliti. Desa ini merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan kawasan wisata Taman Wisata Matahari. Desa ini menjadi pintu masuk menuju kawasan wisata tersebut dan di sekitarnya masih terdapat banyak lahan pertanian milik warga. Adanya pembangunan kawasan wisata Taman Wisata Matahari diduga akan mempunyai pengaruh terhadap kondisi struktur agraria masyarakat sekitarnya. Kondisi struktur agraria ini dapat dilihat dari pola-pola hubungan masyarakatnya terhadap tanah, baik sebagai sumber nafkah maupun keamanan dalam batin dan kepemilikannya akan lahan. Pada daerah Desa Leuwimalang dan Desa Cilember terdapat banyak lahan sawah yang bertransformasi menjadi bangunan. Perubahan sebagian kawasan desa menjadi kawasan wisata Taman Wisata Matahari, mengindikasikan terjadinya pembangunan yang bertujuan untuk pemenuhan sarana dan prasarana, perdagangan dan pembangunan perumahan sebagai pelengkap pembangunan Taman Wisata Matahari sebagai kawasan wisata. Agar terlaksananya pembangunan tersebut, beberapa petani penggarap harus rela kehilangan lahan garapannya dan lahan tersebut beralih fungsi dari pertanian menjadi non-pertanian. Perubahan fungsi tersebut, mengakibatkan terjadinya perubahan pada struktur agraria masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk dikaji lebih lanjut mengenai dampak dari adanya perubahan bentang wilayah terhadap struktur agraria Desa Leuwimalang dan Desa Cilember.

Masalah Penelitian

(14)

Beberapa hal yang dapat menjadi faktor pendorong terjadinya perubahan bentang wilayah antara lain adalah faktor jumlah penduduk, lahan terbangun, dan kebijakan pemerintah. Jumlah penduduk yang terus meningkat menyebabkan kebutuhan lahan untuk dijadikan tempat tinggal juga semakin meningkat. Karena kebutuhan tersebut banyak lahan beralih fungsi menjadi perumahan-perumahan bagi warga. Selanjutnya, faktor lainnya yakni kebijakan pemerintah untuk mengeluarkan izin diadakannya suatu pembangunan di wilayah tertentu yang akan menentukan laju perubahan pada suatu wilayah. Desa Leuwimalang dan Desa Cilember sebagai desa yang memberikan akses atau menjadi pintu masuk kawasan wisata Taman Wisata Matahari diduga mengalami faktor-faktor perubahan yang ada, sebagai akibat adanya pembangunan kawasan wisata tersebut. Melihat kondisi yang terjadi di Desa Leuwimalang dan Desa Cilember maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian, bagaimana faktor-faktor pendorong menyebabkan terjadinya perubahan bentang wilayah?

Pada pelaksanaannya, pembangunan dan perubahan bentang wilayahnya juga tidak akan terlepas dari peran serta aktor-aktor agraria. Aktor-aktor agraria yang dimaksud adalah pihak-pihak yang seringkali terlibat dalam pembangunan terdiri dari masyarakat, pemerintah, dan terutama swasta. Masing-masing dari aktor tersebut memiliki perannya masing-masing. Pemerintah yang memiliki hak untuk mengatur berbagai kepentingan serta berperan dalam membuat kebijakan-kebijakan, termasuk kebijakan terkait pembangunan. Lalu swasta merupakan pemilik modal yang memiliki kepentingan terhadap suatu wilayah dan berkepentingan untuk meningkatkan produktivitas suatu wilayah dengan melakukan pembangunan terhadap sektor-sektor yang dijalaninya. Sementara itu, masyarakat merupakan pihak yang biasanya menjadi penyedia lahan, dimana lahan-lahan milik mereka diambil alih, baik oleh swasta maupun oleh pemerintah atau kerjasama antar keduanya, untuk diadakannya pembangunan pada suatu wilayah. Peran aktor tersebut ikut menyertai proses perubahan bentang wilayah. Dengan demikian, pertanyaan penelitian berikutnya adalah bagaimana peran aktor-aktor agraria dalam menyertai proses perubahan bentang wilayah?

(15)

akan menarik perhatian petani karena harga tersebut dianggap cukup tinggi oleh petani. Pada akhirnya banyak petani yang menjual lahannya untuk digunakan sebagai sumber daya pembangunan dan mereka kehilangan kepemilikan dan akses mereka terhadap lahan. Hal tersebut diduga berpengaruh terhadap struktur agraria masyarakat. Struktur agraria yang dimaksud dapat berupa pola-pola hubungan masyarakat terhadap tanah, sumber nafkah, dignity, dan batin. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa berbagai dampak dapat muncul setelah adanya pembangunan dan perubahan bentang wilayah. Oleh karena itu, dalam konteks ini dapat diajukan pertanyaan penelitian berikutnya yakni bagaimana dampak perubahan bentang wilayah mempengaruhi struktur agraria di Desa Leuwimalang dan Desa Cilember?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya yaitu menelaah dampak perubahan bentang wilayah terhadap struktur agraria Desa Leuwimalang dan Desa Cilember, Kecamatan Cisarua, Bogor. Kemudian tujuan khususnya ialah menjawab pertanyaan permasalahan, yakni:

1. Menganalisis faktor-faktor pendorong yang menyebabkan terjadinya perubahan bentang wilayah.

2. Menganalisis peran aktor-aktor agraria dalam menyertai proses perubahan bentang wilayah.

3. Menganalisis dampak perubahan bentang wilayah terhadap struktur agraria di Desa Leuwimalang dan Desa Cilember.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak, diantaranya ialah:

1. Akademisi

Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai dampak perubahan bentang wilayah terhadap perubahan struktur agraria serta menjadi referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Selain itu, diharapkan pula dapat menambah khasanah dalam kajian ilmu pengetahuan agraria, khususnya mengenai perubahan wilayah serta struktur agraria.

2. Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun dan mengambil kebijakan mengenai peraturan pemanfaatan lahan, serta membuat solusi apabila terjadi ketimpangan penguasaan lahan akibat adanya pembangunan di suatu wilayah. 3. Masyarakat

(16)
(17)

PENDEKATAN TEORITIS

Bab ini menjelaskan mengenai berbagai pustaka yang dirujuk dalam melakukan penelitian. Pustaka-pustaka tersebut diambil dari berbagai sumber seperti buku, peraturan pemerintah, maupun hasil-hasil penelitian. Selain itu, bab ini juga menjelaskan mengenai kerangka penelitian beserta dengan hipotesis penelitian, definisi konseptual, dan definisi operasional dari masing-masing variabel yang dihitung.

Tinjauan Pustaka Konsep Pembangunan

Pembangunan memiliki arti yang sangat luas, seringkali diartikan oleh masyarakat secara sederhana sebagai kegiatan yang dilakukan untuk perubahan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Dahuri 2004). Selain itu, menurut Supardi (1994), pembangunan adalah suatu proses sosial yang bersifat integral dan menyeluruh, baik berupa pertumbuhan ekonomi maupun perubahan sosial demi terwujudnya masyarakat yang lebih makmur. Pembangunan yang terjadi bukan hanya dalam struktur fisik atau material, tetapi juga menyangkut perubahan dalam struktur sosial masyarakat.

Pembangunan sendiri erat kaitannya dengan wilayah. Dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Nugroho dan Dahuri (2004), wilayah (region) adalah suatu area geografis yang memiliki ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Yang dimaksud ciri tertentu dalam pengertian sebelumnya memiliki arti penting dan kritis karena berhubungan dengan tujuan analisis sekaligus tujuan perencanaan. Dalam rangka mewujudkan konsep pembangunan wilayah yang di dalamnya memuat tujuan dan sasaran yang bersifat kewilayahan, maka perlu dilakukan upaya penataan ruang. Upaya penataan ruang terdiri dari 3 (tiga) proses utama, yaitu a) proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW); b) proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud oprasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri; c) proses pengendalian pemanfaatan ruang, yang terdiri atas mekanisme perijinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.

(18)

berbagai pengaturan penataan ruang yang bersifat sektoral menjadi suatu kesatuan yang saling berkait dan memberi tempat bagi keperluan semua sektor dan semua orang serta memelihara fungsi lingkungan hidup. Undang-undang No. 24 Tahun 1992 sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pengaturan penataan ruang, selanjutnya di Indonesia, undang-undang penataan ruang ditetapkan melalui UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang kemudian diikuti dengan penetapan berbagai Peraturan Pemerintah (PP) untuk operasionalisasinya. Peraturan Pemerintah yang mendukung UU No. 26 Tahun 2008 salah satunya adalah PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Peraturan mengenai RTRWN ini memadukan dan menyerahkan tata guna lahan, tata guna udara, tata guna air, dan tata guna sumber daya alam lainnya dalam satu kesatuan tata lingkungan yang harmonis dan dinamis serta ditunjang oleh pengelolaan perkembangan kependudukan yang serasi dan disusun melalui pendekatan wilayah dengan memperhatikan sifat lingkungan alam dan lingkungan sosial. Hal tersebut sejalan dengan Undang-undang No. 26 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang yang merumuskan ketentuan-ketentuan penataan ruang yang tidak hanya memperhatikan kondisi fisik, namun juga potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta iptek sebagai satu kesatuan.

Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya, diketahui bahwa kegiatan pembangunan memberikan dampak, tidak hanya pada bentang alam namun juga pada struktur masyarakat yang berada di wilayah tersebut. Seperti pada hasil penelitian Asdy (2006) yang meneliti tentang pembangunan wilayah sebagai kawasan wisata. Dalam penelitian tersebut, diketahui bahwa adanya pembangunan wilayah dapat memberikan dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif terlihat dalam hal ekonomi, dimana pembangunan wilayah sebagai kawasan wisata meningkatkan pendapatan pemerintah dan juga masyarakat nelayan sekitar karena adanya kunjungan wisatawan. Diketahui bahwa dengan mengikutsertakan masyarakat nelayan dalam kegiatan kepariwisataan dapat mendorong peningkatan rata-rata pendapatan nelayan sekitar dengan adanya kesempatan kerja dan berusaha. Namun demikian, kenaikan rata-rata pendapatan nelayan belum dirasakan memberikan kontribusi bagi peningkatan perekonomian rumah tangganya karena hasil tangkapan yang diperoleh setiap tahunnya mengalami penurunan. Sementara itu, dampak negatif terlihat dalam hal ekologi, dimana lingkungan wilayah yang dikembangan menjadi tercemar, dan hal tersebut menyebabkan hasil tangkapan nelayan tiap tahunnya mengalami penurunan.

(19)

(2013), awalnya masyarakat dominan bekerja di sektor pertanian, namun setelah adanya perubahan pemanfaatan lahan dari daerah permukiman dan pertanian menjadi penghasil minyak, banyak masyarakat yang beralih bekerja di sektor pertambangan. Adanya proyek pertambangan membuat masyarakat yang lahannya terkena pembebasan lahan, beralih bekerja di sektor pertambangan. Dengan diimingi uang yang saat itu termasuk mahal, masyarakat banyak yang melepas tanahnya. Selain berdampak pada struktur mata pencaharian, perubahan pemanfaatan wilayah juga berdampak pada tingkat pendapatan masyarakat, dimana menjadi meningkat setelah adanya proyek pertambangan. Dampak yang paling dirasakan akibat adanya pembangunan adalah terjadinya konversi lahan. Hal tersebut didukung pula dengan hasil penelitian dari Benu et al. (2013) dan Azadi et al. (2010), dimana dari kedua penelitian tersebut menyatakan bahwa konversi lahan terjadi sebagai implikasi adanya proses pembangunan.

Selain itu, dampak pembangunan wilayah lainnya juga terlihat pada hasil penelitian Kustiwan (1997), dimana pengembangan kawasan terbangun seperti kawasan permukiman atau kawasan industri, akan mempengaruhi penataan ruang wilayah, karena kawasan tersebut dapat saja dibangun atau dikembangkan di tengah-tengah wilayah pertanian.

Transformasi Bentang Wilayah: Faktor-faktor Penggerak Transformasi dan Dampak Perubahannya

Transformasi wilayah merupakan representasi dari perkembangan wilayah yang digambarkan sebagai suatu proses perubahan dan pergeseran karakteristik dari komponen wilayah dalam kurun waktu tertentu sebagai akibat dari hubungan timbal balik antarkomponen wilayah tersebut, dengan demikian transformasi wilayah meliputi variabel-variabel yang bersifat multidimensional (Giyarsih 2009 dalam Hardiati 2011). Selain itu, konsep lainnya yang digunakan Hardiati (2011) mengenai transformasi yakni transformasi selalu menyangkut perubahan masyarakat dari suatu masyarakat yang lebih sederhana ke masyarakat yang lebih modern dalam satuan waktu yang berbeda.

Dari hasil penelitian sebelumnya diketahui beberapa faktor yang mendorong terjadinya transformasi atau perubahan pada suatu wilayah. Dalam kajian yang dilakukan Hardiati (2011), diketahui bahwa faktor penentu transformasi wilayah peri urban antara lain adalah jumlah penduduk dan kepadatan penduduk yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk non alami yang tinggi, dan menyebabkan banyak lahan berubah menjadi perumahan bagi penduduk. Selain itu faktor lainnya adalah mata pencaharian penduduk yang didominasi oleh sektor di luar sektor pertanian atau industrialisasi. Lalu faktor lahan terbangun yang sebagian besar digunakan untuk kegiatan non-pertanian atau sebagian besar wilayah didominasi oleh penggunaan lahan terbangun dan lingkungan binaan lainnya, seperti permukiman, perdagangan, industri, jasa, infrastruktur, dan ketersediaan fasilitas sosial ekonomi dan budaya.

(20)

menggerakkan transformasi wilayah lebih cepat. Lain halnya apabila kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah untuk mengurangi konversi lahan, maka transformasi wilayah yang terjadi, baik dalam lanskap fisik maupun lanskap sosial, akan berlangsung lambat. Selanjutnya, Parr (1999) mengemukakan bahwa wilayah tumbuh dan berkembang dapat didekati melalui teori sektor (sector theory) dan teori tahapan perkembangan (development stages theory). Dikutip dari Nugroho dan Dahuri (2004), teori sektor diadopsi dari Fisher dan Clark yang mengemukakan bahwa berkembangnya wilayah, atau perekonomian nasional dihubungkan dengan transformasi struktur ekonomi dalam tiga sektor utama, yakni primer (pertanian, kehutanan, perikanan), sekunder (pertambangan, manufaktur, konstruksi, utilitas publik), dan tersier (perdagangan, transportasi, keuangan dan jasa).

Faktor-faktor yang mendorong transformasi tersebut memberikan dampak tersendiri, tidak hanya dalam hal fisik, seperti berubahnya lanskap bumi, namun juga keadaan sosial yang berada di atas lanskap bumi. Dalam segi sosial terlihat dalam hasil penelitian Ilhamdaniah (2011) bahwa pengembangan perumahan menyebabkan/berdampak pada struktur kepemilikan lahan. Lahan yang mulanya dimiliki oleh masyarakat, lambat laun beralih menjadi milik pihak-pihak pemilik modal yang berniat berinvestasi pada lahan tersebut karena melihat peluang. Menurut Tim Riset Sistematis (2010), hadirnya bentuk-bentuk penguasaan sumber-sumber agraria oleh negara dan swasta, akan beriringan dengan lepasnya akses dan kontrol (enclosure) petani terhadap lahan garapan. Hadirnya perusahaan bermodal besar (negara dan swasta), telah menggeser pola-pola ekonomi skala rumah tangga petani (satuan ekonomi terkecil) di pedesaan menjadi tenaga kerja upahan lepas. Jika dilihat dari hasil penelitian Zaki et al. (2013), masyarakat yang sebelumnya dominan bekerja di sektor pertanian, dengan diimingi uang yang pada waktu itu termasuk mahal, masyarakat banyak yang melepas tanahnya. Pada akhirnya ada terbentuk dua kategori masyarakat, yaitu masyarakat yang lahannya luas (yang uangnya akan dibelikan lahan pertanian lagi di tempat lain) dan masyarakat yang lahannya sedang (yang uangnya kebanyakan digunakan untuk membangun/merenovasi rumah dan membeli kendaraan bermotor). Selain itu, dampak lainnya dari adanya perubahan bentang wilayah, yang dalam bentuk lainnya dapat berupa konversi lahan, antara lain adalah (Sihaloho et al. 2007):

(1.)Perubahan pola penguasaan lahan. Hal ini dapat diketahui pertama dari pemilikan lahan dan bagaimana tanah tersebut diakses oleh orang lain. (2.)Perubahan pola penggunaan lahan. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana

masyarakat dan pihak-pihak lain memanfaatkan sumber daya agraria tersebut. Umumnya masyarakat memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan dasar.

(21)

(4.)Perubahan pola nafkah agraria. Hal ini dikaji berdasarkan sistem mata pencaharian masyarakat yang berasal dari usaha pertanian dan non-pertanian.

(5.)Perubahan Sosial dan Komunitas. Hal ini menyangkut perubahan struktur dan kebudayaan masyarakat.

Konsep Struktur Agraria

Jenis-jenis obyek agraria menurut UUPA 1960 yaitu tanah atau permukaan bumi, perairan, hutan, bahan tambang, dan udara. Sementara itu, menurut Sitorus (2002) secara garis besar membagi subyek agraria kedalam tiga kelompok sosial, yaitu komunitas, pemerintah (representasi negara) dan perusahaan swasta (private sector). Ketiga kelompok sosial tersebut merupakan pemanfaat obyek agraria yang memiliki ikatan dengan obyek agraria tersebut melalui penguasaan atau pemilikan (tenure institutions). Hubungan pemanfaatan tersebut menunjuk pada dimensi teknis atau lebih spesifik dimensi kerja, dalam hubungan-hubungan agraria.

Selain itu, Sitorus (2002) juga membagi proporsi dasar analisis agraria menjadi dua, yakni:

1. Ketiga subyek agraria memiliki hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu; dan

2. Ketiga subyek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria tertentu. Hubungan tersebut dikenal dengan hubungan sosio-agraria.

Bentuk dari hubungan ini adalah hubungan sosial atau hubungan sosio-agraria yang berpangkal pada akses pemilikan dan pemanfaatan sumber agraria (Gambar 1).

Gambar 1 Lingkup hubungan-hubungan agraria (Sitorus 2002)

Masyarakat yang terdapat dalam Gambar 1 diwakili oleh petani, karena pada umumnya masyarakat yang terlibat dalam hubungan agraria adalah petani yang memiliki obyek agraria berupa lahan. Swasta pada umumnya merupakan perusahan-perusahaan besar yang memiliki kepentingan terhadap suatu obyek agraria. Dengan modal yang mereka miliki, perusahaan seringkali mengambil alih lahan yang mulanya dimiliki masyarakat. Sementara pemerintah yang mempunyai hak legal untuk mengatur berbagai kepentingan, khususnya menyangkut

Pemerintah

Swasta Masyarakat

(22)

kepentingan agraria, serta berperan pula dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan terkait agraria. Scott pada tahun 1993 dikutip Afrizal (2007) menyatakan mengenai konsep formasi negara. Konsep formasi negara merupakan konsep yang menggambarkan bagaimana negara mempunyai pengaruh yang besar dalam pengaturan wilayah yang biasanya menjadi urusan masyarakat lokal, seperti tanah ulayat atau tanah adat.

Namun begitu, dewasa ini konsep yang terbentuk mengenai aktor tersebut (Gambar 1) tidak lagi menggambarkan realita yang sesungguhnya terjadi. Pada Gambar 1 terlihat bagaimana posisi pemerintah, swasta dan masyarakat begitu terpisah. Pada kenyataannya, pemerintah seringkali bekerjasama dengan swasta untuk mengambil alih lahan milik masyarakat. Banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah lebih memihak dan menguntungkan swasta. Tidak sedikit pula swasta atau dalam hal ini adalah para pengusaha sebuah perusahaan besar, berperan ganda dengan menjadi bagian dari pemerintahan pula. Selain itu, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang seharusnya merupakan lembaga bentukan masyarakat, saat ini banyak menjadi kedok bagi swasta untuk „mengambil hati‟ masyarakat. LSM justru berusaha untuk mencari keuntungan dari masyarakat bagi swasta yang mendirikannya. Hal tersebut jelas merugikan pihak masyarakat karena pada akhirnya mereka tidak dapat berlindung pada pemerintah yang harusnya menjadi pihak yang melindungi rakyatnya, maupun pada LSM yang semestinya dibentuk oleh dan untuk masyarakat. Hal ini menjadikan masyarakat sebagai pihak yang termarjinalisasi. Lebih lanjut, penulis menggambarkan hubungan antar aktor agraria seperti disajikan pada Gambar 2:

Keterangan: dapat bertukar dan berkombinasi peran hubungan teknis agraria

hubungan sosio agraria lingkup pergerakan peran

Gambar 2 Hubungan antar aktor agraria (diadaptasi dari Sitorus 2002)

Struktur agraria menurut Wiradi (2009) perlu memperhatikan dan membedakan antara istilah pemilikan, penguasaan dan pengusahaan tanah. Kata “pemilikan” menunjukkan kepada penguasaan formal, sedangkan kata “penguasaan” menunjuk kepada penguasaan efektif. Misalnya saja sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang itulah yang secara efektif menguasainya. Kata “pengusahaan” sangat jelas menunjuk kepada bagaimana caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif. Tatanan hubungan dalam struktur agraria dapat berubah akibat kerjanya berbagai faktor yang bekerja dan mempengaruhinya. Wiradi menyebutkan ada lima faktor yang menyebabkan perubahan tata hubungan itu yaitu 1) perubahan struktur politik, 2) perubahan orientasi politik, 3) perubahan

Masyarakat Obyek

Agraria Pemerintah

(23)

kebijakan ekonomi, 4) perubahan teknologi, dan 5) faktor-faktor lain sebagai turunan dari kempat faktor tersebut. Proses perubahan tata hubungan ini dapat terjadi secara perlahan, juga menimbulkan suatu gejolak sosial.

Pengertian struktur agraria mengacu pada distribusi pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria. Beberapa konsep penting yang terkait dengan struktur agraria adalah pemilikan tanah, yaitu penguasaan formal atas sebidang tanah dan konsep penguasaan tanah, yaitu bagaimana cara sebidang tanah diusahakan secara produktif. Konsep lain yang juga dibahas Suhendar et al. (2002) adalah land tenancy (penggarapan tanah), land tenure (pemilikan secara hukum atas tanah), dan tuna kisma (fenomena penduduk desa yang tidak lagi memiliki tanah garapan). Namun begitu, ada dua istilah penting yang menyangkut struktur agraria yaitu land tenure dan land tenancy. Land tenure memiliki arti hak atas tanah atau penguasaan tanah. Istilah ini biasanya dipakai untuk menguraikan masalah-masalah pokok mengenai status hukum dari penguasaan tanah seperti hak milik, pacht, gadai, bagi hasil, sewa menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Sementara itu, land tenancy berasal dari kata tenant yang memiliki arti orang yang memiliki, memegang, menempati, menduduki, menggunakan atau menyewa sebidang tanah tertentu yang menunjuk pada pendekatan ekonomis. Artinya, penelaahannya meliputi hak-hak yang menyangkut hubungan penggarap tanah.

Pada pasca 1960an Huskens (1998) menggambarkan suatu bentuk struktur pemilikan tanah di pedesaan seperti berikut ini:

a. Tuan tanah (lebih dari 2,5 hektar) b. Petani kaya/sedang (0,5-2,5 hektar) c. Petani kecil (0,25-0,5 hektar)

d. Petani gurem (kurang dari 0,25 hektar)

e. Petani bagi hasil (tanpa milik tanah sendiri), dan f. Tuna kisma

Adanya golongan-golongan tersebut menyebabkan kesenjangan sosial, yaitu suatu keadaan dimana proposisi pemilikan dan penguasaan lahan yang luas jauh lebih besar jika dibandingkan dengan pemilikan dan penguasaan lahan yang sempit. Akibat nyata dari adanya kesenjangan tersebut adalah meningkatnya proposisi rumah tangga berlahan sempit dan yang tidak memiliki lahan sama sekali.

(24)

Sistem pemilikan dan penguasaan tanah masih menjadi suatu isu yang tidak akan pernah mati bagi bangsa agraris seperti Indonesia. Mengenai hal tersebut sesuai dengan pendapat Setiawan (2010) sebagai berikut:

“… Sejak reformasi (1998), telah terjadi perubahan-perubahan penting dalam tata kuasa tanah dan kekayaan alam seperti hutan, tambang, air, laut, dan sebagainya. Perubahan konteks „siapa memiliki, menggunakan, mengelola, mengontrol akses, dan yang memperoleh manfaat atas tanah dan kekayaan alam‟ perlu mendapat perhatian saksama semua pihak …” (Setiawan 2010: 135).

Keterkaitan antara struktur agraria dengan kesejahteraan petani sangat erat karena bagi para petani sumber daya agraria merupakan sumber nafkah utama. Melalui pengusahaan sumber daya lahan diharapkan para petani akan memiliki penghasilan yang cukup dan berkelanjutan sehingga tujuan utama para petani untuk “memenuhi kelangsungan hidup” (survival) dan “membuat kehidupan yang lebih baik” (a better living) dapat dicapai (Sitorus et al. 2008). Namun apabila terjadi perubahan struktur agraria, menurut Sitorus et al. (2004) berlangsungnya perubahan struktur agraria berpotensi mengarah pada struktur yang semakin terstratifikasi atau semakin terpolarisasi. Proses terpolarisasi apabila semakin banyak jumlah kaum tani yang terlepas atau kehilangan akses dan kontrol terhadap kekuatan produksi sumber daya lahan. Selain itu posisi mereka jatuh menjadi buruh tani yang kehidupannya bergantung pada pihak lain yang memiliki kekuatan produksi sumber daya lahan. Selanjutnya proses stratifikasi tidak terjadi pengkutuban petani antara petani pemilik sumber daya lahan yang kaya dan buruh tani yang miskin, hanya saja memungkinkan terjadinya proses pemiskinan petani.

Kerangka Penelitian

Di atas suatu bentang alam terdapat social landscape dan physical landscape. Salah satu bentuk dari physical landscape adalah fasilitas-fasilitas untuk kegiatan manusia. Perubahan yang terjadi pada physical landscape akan dapat mempengaruhi kehidupan sosial di atasnya. Kehidupan sosial pada suatu bentang alam dapat dilihat dalam suatu bentuk struktur agraria. Pembangunan wilayah merupakan suatu bentuk perubahan fisik di atas bentang alam yang dapat terjadi tidak hanya pada daerah pertanian sawah, namun juga dapat terjadi di daerah pertambangan, perkebunan, hutan, pariwisata, serta real estate. Dalam pelaksanaannya, pembangunan tidak hanya mengubah bentang wilayah, tetapi juga berdampak pada masyarakat yang tinggal di atas lahan, dimana pembangunan tersebut dilaksanakan.

(25)

wilayah tersebut. Tujuan yang ingin dilihat dari penelitian ini adalah bagaimana perubahan struktur agraria pada masyarakat setelah adanya perubahan suatu bentang wilayah. Dampak terhadap struktur agraria ini peneliti merujuk pada dampak terhadap perubahan agraria menurut Sihaloho et al. (2007). Dampak tersebut dapat dilihat dari perubahan pola penguasaan lahan, perubahan pola penggunaan lahan, perubahan pola hubungan agraria, perubahan pola nafkah agraria dan perubahan sosial dan komunitas. Namun begitu, peneliti hanya akan mengambil empat dari lima perubahan struktur agraria yang ada karena peneliti menganggap empat dari lima perubahan struktur agraria tersebut sudah dapat merepresentasikan perubahan struktur agraria yang terjadi. Secara ringkas kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 3.

Keterangan : : Mendorong : Mempengaruhi : Menyertai

: diteliti secara kulitatif

(26)

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis pengarah yang diajukan oleh penulis ialah:

1. Terdapat peran aktor yang mengubah bentang wilayah dalam kepentingan komersial semata.

2. Perubahan bentang wilayah akan mengubah sebagian orang menjadi termarjinalkan dan sebaliknya.

Dari hipotesis pengarah di atas lalu diajukan hipotesis uji sebagai berikut:

1. Semakin besarnya dampak perubahan bentang wilayah, maka semakin rendah pola penguasaan lahan.

2. Semakin besarnya dampak perubahan bentang wilayah, maka semakin rendah pola penggunaan lahan.

3. Semakin besarnya dampak perubahan bentang wilayah, maka semakin tinggi perubahan pola nafkah agraria.

4. Semakin besarnya dampak perubahan bentang wilayah, maka semakin tinggi perubahan sosial dan komunitas.

Definisi Konseptual

1. Peran aktor adalah tindakan-tindakan atau aksi-aksi yang dilakukan oleh masing-masing orang yang terlibat, yang dalam hal ini adalah pemerintah, swasta, dan masyarakat.

2. Faktor perubahan adalah hal-hal yang mendorong terjadinya suatu bentang wilayah bertransformasi atau beralihfungsi.

3. Dampak perubahan bentang wilayah adalah akibat yang timbul karena adanya alih fungsi lahan yang terjadi pada kawasan tertentu dari pertanian menjadi non-pertanian.

4. Perubahan struktur agraria adalah pergeseran pola-pola hubungan antara subyek agraria dengan sumber-sumber agraria yang mencakup penguasaan, pemilikan dan penggunaan sumber agraria.

Definisi Operasional

Berikut ini adalah definisi operasional dari berbagai variabel yang dianalisis secara kuantitatif:

1. Dampak perubahan bentang wilayah adalah akibat yang timbul karena adanya alih fungsi lahan yang terjadi pada kawasan tertentu dari pertanian menjadi non-pertanian. Akumulasi skor dibagi secara ordinal dalam tiga kategori yaitu kecil (skor 14-18), sedang (skor 19-24), dan besar (skor 25-29). Pengukuran dilakukan berdasarkan indikator sebagai berikut:

(27)

b. Tingkat perubahan peruntukan lahan adalah besarnya alih fungsi penggunaan lahan dari pertanian mejadi non-pertanian. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal dan merupakan jenis data ordinal. Data diukur dengan mengajukan 5 pernyataan dan 7 pertanyaan tertutup dengan opsi Ya dan Tidak sebagai jawaban serta pertanyaan terbuka sebagai keterangan.

c. Tingkat hilangnya mata pencaharian adalah banyaknya petani, baik pemilik maupun penggarap, yang kehilangan pekerjaannya setelah adanya perubahan lahan dari pertanian menjadi non-pertanian. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal dan merupakan jenis data ordinal. Data diukur dengan mengajukan 1 pertanyaan dengan opsi Ya dan Tidak sebagai jawaban serta pertanyaan terbuka sebagai keterangan.

2. Pola penguasaan lahan adalah distribusi luas penguasaan lahan petani untuk mengusahakan tanah. Akumlasi skor dibagi secara ordinal dalam tiga kategori yaitu rendah (skor 7-9), sedang (skor 10-11), dan tinggi (skor 12-14). Pengukuran dilakukan berdasarkan indikator sebagai berikut:

a. Tingkat penguasaan lahan adalah ukuran lahan yang dikuasai oleh responden untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengukuran ini ditentukan secara subjektif dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah adanya pembangunan kawasan wisata yang dialami responden. Data diukur dengan mengajukan 3 pertanyaan tertutup dengan opsi Ya dan Tidak sebagai jawaban serta pertanyaan terbuka sebagai keterangan. b. Tingkat akses terhadap lahan adalah kemampuan responden untuk

menjangkau dan menggunakan lahan pertanian. Pengukuran ini ditentukan secara subjektif dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah adanya pembangunan kawasan wisata yang dialami responden. Data diukur dengan mengajukan 4 pertanyaan tertutup dengan opsi Ya dan Tidak sebagai jawaban serta pertanyaan terbuka sebagai keterangan.

3. Pola penggunaan lahan adalah upaya masyarakat dalam memanfaatkan lahan yang dimilikinya. Akumulasi skor dibagi secara ordinal dalam tiga kategori yaitu rendah (skor 8-10), sedang (skor 11-13), dan tinggi (skor 14-16). Pengukuran dilakukan berdasarkan indikator sebagai berikut:

a. Tingkat ketergantungan pada lahan adalah ukuran sejauh mana lahan berpengaruh dalam kebutuhan hidup responden. Pengukuran ini ditentukan secara subjektif dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah adanya pembangunan kawasan wisata yang dialami responden. Data diukur dengan mengajukan 2 pertanyaan tertutup dengan opsi Ya dan Tidak sebagai jawaban serta pertanyaan terbuka sebagai keterangan, serta 1 pertanyaan terbuka yang akan menjadi data emik bagi peneliti mengenai seberapa besar pendapatan yang berasal dari lahan terhadap total pendapatan rumah tangga responden.

(28)

Data diukur dengan mengajukan 6 pertanyaan tertutup dengan opsi Ya dan Tidak sebagai jawaban serta pertanyaan terbuka sebagai keterangan, serta 2 pertanyaan terbuka yang akan menjadi data emik bagi peneliti mengenai seberapa sering masa tanam dalam setahun yang dilakukan oleh responden.

4. Perubahan pola nafkah agraria adalah bergesernya sistem mata pencaharian masyarakat, yang berasal dari usaha pertanian ke non-pertanian setelah adanya kawasan wisata. Akumulasi skor dibagi secara ordinal dalam tiga kategori yaitu rendah (skor 9-11), sedang (skor 12-15), dan tinggi (skor 16-18). Pengukuran dilakukan berdasarkan indikator sebagai berikut:

a. Tingkat kesempatan kerja adalah persepsi responden terhadap terbukanya peluang masyarakat untuk bekerja baik dalam sektor non-pertanian setelah adanya pembangunan kawasan wisata. Data diukur dengan mengajukan 6 pertanyaan tertutup dengan opsi Ya dan Tidak sebagai jawaban serta pertanyaan terbuka sebagai keterangan.

b. Perubahan pola kerja adalah perbedaan kesibukan atau kegiatan yang responden lakukan setiap harinya untuk mencari nafkah setelah dan sebelum adanya pembangunan kawasan wisata. Data diukur dengan mengajukan 3 pertanyaan tertutup dengan opsi Ya dan Tidak sebagai jawaban serta pertanyaan terbuka sebagai keterangan.

5. Perubahan sosial dan komunitas adalah persepsi petani terhadap hubungannya dengan subyek agraria yang lain. Akumulasi skor dibagi secara ordinal dalam tiga kategori yaitu rendah (skor 10-23), biasa saja (skor 24-36), dan tinggi (skor 39-50). Pengukuran dilakukan berdasarkan indikator sebagai berikut: a. Tingkat hubungan dengan pihak lain adalah ukuran perasaan nyaman yang

dirasakan responden terhadap orang-orang disekitarnya, baik dalam hal berinteraksi, bekerjasama, maupun bergotong-royong. Pengukuran ini ditentukan secara subjektif dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah adanya pembangunan kawasan wisata yang dialami responden. Data diukur dengan mengajukan 5 pertanyaan tertutup menggunakan skala likert dengan skor Sangat Baik (5), Baik (4), Biasa saja (3), Buruk (2), dan Sangat Buruk (1).

(29)

PENDEKATAN LAPANGAN

Bab ini menjelaskan mengenai hal-hal teknik yang dilakukan selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung. Hal yang pertama ialah pemilihan lokasi dan waktu penelitian. Selanjutnya dilanjutkan dengan teknik pengambilan informan dan responden serta teknik pengambilan data. Setelah itu, terakhir ialah penjabaran mengenai teknik pengolahan data.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Leuwimalang dan Desa Cilember, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Lampiran 1). Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan mempertimbangkan kondisi Desa Leuwimalang dan Cilember yang merupakan desa yang mengalami perubahan bentang wilayah, dimana dari sebagian besar wilayah pertaniannya beralihfungsi menjadi kawasan wisata. Kawasan wisata berbatasan langsung dengan desa serta desa juga menjadi jalan masuk menuju kawasan tersebut.

Sebelum menentukan lokasi penelitian, peneliti melakukan observasi melalui penjajakan ke lokasi penelitian dan penelusuran literatur yang terkait dengan lokasi penelitian. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam jangka waktu enam bulan, terhitung mulai bulan Juni 2014 sampai dengan Januari 2015. Pada bulan Juli dan Agustus, penelitian dihentikan sementara karena peneliti harus melakukan tugas Kuliah Kerja Bersama Masyarakat (KKBM) selama dua bulan penuh di Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor.

Teknik Pemilihan Informan dan Responden

(30)

mewakili kondisi rumah tangganya sebagai rumah tangga petani di Desa Leuwimalang dan Desa Cilember.

Sementara itu, pemilihan terhadap informan dilakukan secara sengaja (purposive) dan jumlahnya tidak ditentukan. Penetapan informan ini dilakukan dengan menggunakan teknik bola salju (snowball sampling) yang memungkinkan perolehan data dari satu informan ke informan lainnya. Pencarian informasi ini berhenti apabila tambahan informan tidak lagi menghasilkan pengetahuan baru atau sudah berada pada titik jenuh. Orang-orang yang dijadikan sebagai informan dalam penelitian ini adalah aparatur desa dan tokoh masyarakat setempat, yang dianggap mengetahui dengan jelas mengenai pengembangan kawasan wisata Taman Wisata Matahari yang terjadi di desa tersebut. Informan diberikan pertanyaan dengan panduan wawancara mendalam yang telah dibuat (Lampiran 3).

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah teknik triangulasi atau penggunaan tiga teknik sekaligus. Ketiga teknik tersebut yaitu observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan penelusuran dokumen. Observasi partisipatif dilakukan dengan cara pengamatan di masyarakat secara langsung dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder.

Data primer didapatkan langsung di lapangan dengan kuesioner, observasi, serta wawancara mendalam yang dilakukan langsung kepada responden maupun informan. Sementara itu, data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen tertulis di kantor desa, Pemerintah Daerah Kota Bogor, serta buku, internet, jurnal-jurnal penelitian dan laporan penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Data sekunder berupa dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian ini, seperti dokumen sejarah penguasaan lahan, sejarah akses dalam konteks historis di Desa Leuwimalang dan Desa Cilember, data luas sawah di Desa Leuwimalang dan Desa Cilember, data lahan yang dijual kepada pihak Taman Wisata Matahari, serta data monografi dan profil Desa Leuwimalang dan Desa Cilember. Untuk mempermudah pengambilan data, peneliti membuat panduan pengumpulan data (Lampiran 4).

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian ini mempunyai dua jenis data yang diolah dan dianalisis, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif diolah menggunakan aplikasi Microsoft Excell 2007. Pembuatan tabel frekuensi dan grafik untuk melihat data awal responden untuk masing-masing variabel secara tunggal menggunakan aplikasi Microsoft Excell 2007, sementara itu pembuatan tabulasi silang menggunakan SPSS for windows 16.0.

(31)
(32)
(33)

ARENA PERUBAHAN BENTANG WILAYAH DAN PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA

Bab ini menjelaskan mengenai gambaran lokasi penelitian dalam bentuk profil Desa Leuwimalang serta Desa Cilember. Informasi yang terkandung dalam bab ini antara lain kondisi geografis dan keadaan lingkungan, kondisi demografi dan sosial budaya berupa kependudukan, ketenagakerjaan, dan pendidikan, serta kondisi sarana dan prasarana di Desa Leuwimalang dan Desa Cilember.

Profil Desa Leuwimalang Kondisi Geografis dan Keadaan Lingkungan

Desa Leuwimalang adalah salah satu dari 10 desa yang berada di kawasan Pariwisata Puncak Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Desa ini berbatasan langsung dengan Sungai Ciliwung dan Desa Cilember di sebelah Utara, Desa Jogjogan di sebelah Timur, Kelurahan Cisarua di sebelah Selatan, dan Desa Kopo di sebelah Barat. Kawasan desa merupakan kawasan dataran tinggi dengan ketinggian antara 800-1 200 mdpl (meter di atas permukaan laut) dengan suhu rata-rata berkisar antara 18-30ºC.

Desa ini terdiri dari 3 dusun, 3 Rukun Warga (RW) dan 14 Rukun Tetangga (RT). Nama dusun di desa ini antara lain Dusun Leuwimalang, Dusun Kopo, dan Dusun Cipari. Orbitasi dan waktu tempuh dari ibu kota kecamatan 1 km dengan waktu tempuh 10 menit dan dari ibu kota kabupaten 35 km dengan waktu tempuh 60 menit. Luas wilayah dari Desa Leuwimalang secara keseluruhan ialah 135.188 Ha dengan perincian pemanfaatan lahan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jumlah dan persentase lahan menurut jenis pemanfaatan di Desa Leuwimalang tahun 2013

Jenis Penggunaan

Luas Lahan

Hektar (Ha) Persentase (%)

Perumahan dan pemukiman 100.588 74.4

Sawah 15.500 11.5

Kebun Ladang Tegalan 1.200 0.9

Jalan desa 3.600 2.7

Pemakaman 2.600 1.9

Perkantoran 2.300 1.7

Tanah Negara/lahan kering 2.300 1.7 Sarana pendidikan 1.500 1.1 Sarana peribadatan 2.600 1.9

Lain-lain 3.000 2.2

Total 135.188 100.0

Sumber: Dokumen Laporan Tahunan Pemerintah Desa Leuwimalang Tahun 2013

(34)

rekreasi berlangsung cepat. Selain itu, alat transportasi lain seperti ojeg juga tersedia di desa ini. Namun begitu lalu lintas di jalur utama desa yang juga menjadi jalur puncak cukup padat dan sering kali menimbulkan macet, terutama di akhir pekan. Hal ini dikarenakan banyaknya tempat wisata di kawasan puncak yang menjadi tujuan para wisatawan untuk berlibur.

Kondisi Demografi dan Sosial Budaya (1) Kependudukan

Hasil sensus penduduk desa terakhir menyatakan bahwa penduduk Desa Leuwimalang berjumlah 7 812 jiwa. Jumlah rumah tangganya ialah sebanyak 2 612 Rumah Tangga/Kepala Keluarga dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 4 018 jiwa dan perempuan sebanyak 3 764 jiwa. Jika dilihat dari tingkat pendidikan penduduk, tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) menempati jumlah paling banyak yaitu sebanyak 2 865 jiwa. Dari dokumen Desa Leuwimalang, tidak terdapat data menyangkut komposisi penduduk berdasarkan umur.

Dari data jumlah penduduk dan luas wilayah dapat dihitung kepadatan penduduk geografis Desa Leuwimalang. Kepadatan penduduk geografis dinyatakan dengan jumlah jiwa tiap km2 luas wilayah. Dengan demikian kepadatan penduduk geografis Desa Leuwimalang adalah:

Kepadatan geografis =

=

= 5.77861 jiwa/km2

Kepadatan penduduk geografis jika dibulatkan menjadi sebesar 5.8 jiwa/km2, maka kepadatan geografis Desa Leuwimalang termasuk kategori tidak padat1.

Bahasa yang digunakan sehari-hari oleh penduduk Desa Leuwimalang ialah Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia. Ada beberapa kelompok kesenian di desa ini yaitu kelompok seni pencak silat dan kelompok Qasidah. Selain kesenian, olahraga juga menjadi bidang yang cukup menarik perhatian warga. Setidaknya setiap Rukun Tetangga (RT) memiliki 1 tim sepak bola, serta olahraga lainnya seperti catur, futsal, dan bulutangkis sering dilakukan, khususnya saat memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Di bidang pariwisata, Desa Leuwimalang merupakan daerah pintu masuk utama menuju Taman Wisata Matahari. Desa ini kerap kali ramai dikunjungi pengunjung dari berbagai daerah luar Bogor terutama saat akhir pekan.

(2) Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan dalam konteks ini lebih diartikan sebagai pekerjaan apa yang dilakukan oleh penduduk Desa Leuwimalang sebagai sumber mata pencaharian utama bagi keluarganya. Desa Leuwimalang termasuk ke dalam desa berkembang, sehingga mata pencahariannya juga ikut berkembang. Meskipun lahan pertanian terbilang cukup banyak, tetapi juga muncul beragam jenis mata pencaharian lainnya. Dari Tabel 2, dapat dilihat bahwa mayoritas penduduk Leuwimalang adalah karyawan swasta. Hal ini juga sekaligus menunjukkan

1

(35)

bahwa pekerjaan di bidang swasta (seperti perhotelan, restoran, maupun tempat wisata) sudah menjadi mata pencaharian utama bagi penduduk di sini. Urutan kedua adalah pedagang/wiraswasta. Pedagang umumnya berjualan di rumah mereka masing-masing dengan membuka warung kecil yang menjual makanan

Tabel 2 Jumlah dan persentase penduduk menurut jenis pekerjaan di Desa Leuwimalang tahun 2013

Jenis Pekerjaan

Jumlah

Orang Persentase (%)

PNS 45 4.0

TNI/POLRI 2 0.2

Karyawan Swasta 225 20.1 Wiraswasta/Pedagang 216 19.3

Petani 152 13.6

Buruh tani 162 14.5

Pensiunan 27 2.4

Pertukangan 136 12.1

Jasa/tenaga buruh lainnya 154 13.8

Total 1 119 100.0

Sumber: Dokumen Laporan Tahunan Pemerintah Desa Leuwimalang Tahun 2013

Dari dokumen Desa Leuwimalang, tidak terdapat data menyangkut mata pencaharian penduduk berdasarkan jenis kelamin. Aparat desa menyatakan bahwa perempuan Desa Leuwimalang lebih banyak yang tidak bekerja dan memilih menjadi ibu rumah tangga. Di sisi lain, mayoritas penduduk laki-laki Desa Leuwimalang bekerja sebagai karyawan. Selain itu, menurut aparat desa juga terdapat beberapa penduduk yang bekerja di luar desa, seperti di pabrik atau wiraswasta.

Menurut penuturan informan, ada banyak petani dan buruh tani yang kehilangan pekerjaan mereka karena lahan pertanian semakin menipis. Melihat banyaknya peluang di bidang lain dibandingkan pertanian membuat karena saat ini desa menjadi kawasan wisata, para petani beralih mata pencaharian. Banyak warga beralih menjadi bekerja dalam kawasan wisata, perhotelan, villa, ataupun membuka warung. Jika dilihat pada sepanjang jalan utama Desa Leuwimalang, terdapat banyak warung-warung berdiri. Warung-warung tersebut menjadi salah satu bentuk sarana dan prasarana dalam bidang ekonomi masyarakat karena banyaknya pengunjung Taman Wisata Matahari.

(3) Pendidikan

(36)

Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa

Tamat Perguruan Tinggi 20 0.40

Total 5 028 100.00

Sumber: Dokumen Laporan Tahunan Pemerintah Desa Leuwimalang Tahun 2013

Kondisi Sarana dan Prasarana

Wilayah cakupan Desa Leuwimalang yang cukup luas membuatnya memiliki cukup banyak sarana prasarana. Data sarana dan prasarana di bidang pendidikan menunjukkan bahwa terdapat 10 sekolah yang berada di desa ini. jenjang dari sekolah tersebut yaitu 4 PAUD, 2 TK, 2 SD, dan 2 SMA, dimana semua sekolah tersebut berstatus sekolah negeri. Keseluruhan sekolah ini tersebar di berbagai dusun yang ada di Desa Leuwimalang.

Selain bidang pendidikan, terdapat juga banyak sarana dan prasarana keagamaan berupa tempat peribadatan. Tempat peribadatan tersebut terdiri dari: 6 masjid, 14 mushola, dan 6 pondok pesantren. Tempat peribadatan bagi muslim lebih banyak karena mayoritas masyarakat Desa Leuwimalang memeluk agama Islam. Sementara itu, warga yang memeluk agama lainnya seperti Katholik 2 orang, Protestan 15 orang, dan Budha 4 orang.

Dalam bidang kemasyarakatan, dibangun sarana dan prasarana olahraga yang menunjang kegiatan masyarakat. Sarana olahraga tersebut antara lain, lapangan sepak bola, lapangan futsal, lapangan voli, dan lapangan bulu tangkis. Pariwisata Puncak Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Desa ini berbatasan langsung dengan Desa Megamendung di sebelah Utara, Desa Jogjogan di sebelah Timur, Desa Leuwimalang di sebelah Selatan, dan Desa Cipayung Girang di sebelah Barat. Kawasan desa merupakan kawasan dataran tinggi dengan ketinggian antara 710 mdpl (meter di atas permukaan laut) dengan suhu rata-rata berkisar antara 28-34ºC.

(37)

secara keseluruhan ialah 277.6 Ha dengan perincian penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah dan persentase lahan menurut jenis pemanfaatan di Desa Cilember tahun 2013

Jenis Penggunaan

Luas Lahan

Hektar (Ha) Persentase (%)

Perumahan 150.0 54.03

Sawah dan Ladang 40.0 14.41

Bangunan Umum 2.0 0.72

Jalan 11.0 3.96

Tempat rekreasi 35.0 12.61

Empang/Kolam 0.6 0.22

Jalur hijau 30.0 10.81

Kuburan 4.0 1.44

Lain-lain 5.0 1.80

Total 277.6 100.00

Sumber: Dokumen Pemerintah Desa Cilember

Tanah yang berada di Desa Cilember yang berstatus sertifikat hak milik terdapat 85 buah dengan luas sekitar 130 Ha. Pada bidang transportasi, sarana transportasi yang menghubungkan desa dengan wilayah sekitarnya termasuk lancar. Jalan utama desa ini merupakan jalan kecil dan tidak dilewati angkot, karena itu ojeg menjadi alat transportasi umum yang banyak terdapat di Desa Cilember. Namun begitu, jalan utama puncak yang melewati kawasan desa menjadikan ketersediaan angkutan umum seperti angkot tersedia selama 24 jam sehari. Keadaan ini memungkinkan akses masyarakat terhadap fasilitas publik seperti pendidikan, perdagangan, dan rekreasi berlangsung cepat. Lalu lintas di jalur utama desa yang juga menjadi jalur alternatif menuju jalan utama puncak sering kali menimbulkan kemacetan, terutama di akhir pekan. Mobil-mobil pribadi yang melewati jalan desa yang termasuk sempit membuat kondisi perumahan yang rapat menjadi ramai dan bising dengan suara kendaraan bermotor.

Kondisi Demografi dan Sosial Budaya (1) Kependudukan

(38)

Tabel 5 Jumlah dan persentase penduduk menurut umur di Desa Cilember tahun 2013

Kelompok Pendidikan Kelompok Tenaga Kerja Umur penduduk geografis Desa Cilember. Kepadatan penduduk geografis dinyatakan dengan jumlah jiwa tiap km2 luas wilayah. Dengan demikian kepadatan penduduk geografis Desa Cilember adalah:

Kepadatan penduduk geografis jika dibulatkan menjadi sebesar 4.8 jiwa/km2, maka kepadatan geografis Desa Cilember termasuk kategori tidak padat.

Penduduk Desa Cilember sehari-hari menggunakan Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia untuk berkomunikasi, namun yang lebih sering digunakan adalah Bahasa Sunda bila berkomunikasi sesama warga desa tersebut. Kelompok Qasidah menjadi kelompok yang paling aktif di bidang kesenian karena masih sangat melekatnya budaya islami di desa. Selain kesenian, olahraga juga menjadi bidang yang cukup menarik perhatian warga. Setidaknya setiap Rukun Tetangga (RT) memiliki 1 tim sepak bola, serta olahraga lainnya yang tidak membutuhkan lahan besar, seperti catur, sering dilakukan oleh warga. Warga lebih sering melaksanakan olahraga yang tidak membutuhkan lahan besar dikarenakan tidak teradapat lapangan yang cukup luas untuk digunakan sebagai lapangan olahraga. Bila ingin bermain sepak bola warga harus pergi ke luar desa terlebih dahulu. Di desa hanya terdapat 1 buah lapangan bulu tangkis.

Di bidang pariwisata, Desa Cilember menjadi salah satu jalur pintu masuk menuju Taman Wisata Matahari serta cukup besar lahannya yang digunakan menjadi kawasan wisata, yakni sekitar 35 Ha. Desa ini kerap kali ramai dilalui oleh mobil dan motor dari arah Megamendung karena menjadi jalan alternatif menuju puncak ataupun Jakarta.

(2) Ketenagakerjaan

Gambar

Gambar 1 Lingkup hubungan-hubungan agraria (Sitorus 2002)
Gambar 3 Kerangka Pemikiran dampak perubahan bentang wilayah terhadap
Tabel 2 Jumlah dan persentase penduduk menurut jenis pekerjaan di Desa
Tabel 4 Jumlah dan persentase lahan menurut jenis pemanfaatan di Desa Cilember tahun 2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nilai degradasi kapasitas selama proses discchrage pada pengujian +5,3%OCP dihitung dari nilai kapasitas discharge maksimal (discharge ke-1) dibandingkan dengan

Satu contoh menarik ialah Program Kepimpinan Teknologi yang merupakan satu usaha kreatif sekolah dalam bentuk sokongan teknikal komputer boleh dipeluaskan

tempat tinggal : Hut behind the church (pondok belakang gereja) tempat bisa ketemu : Hut behind the church (pondok belakang gereja) Kesukaan Favorit : Flour, relaxation

Hasil yang sama juga diperoleh pada analisis Kruskal Walis One Way Anova yang menunjukkan hasil yang tidak signifikan antara status gizi dengan frekuensi sakit, karakteristik

yang dahulu status bangunannya merupakan bekas sekolah cina Hok Min berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku (Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor :

Dari hasil pengujian dan analisa yang dilakukan pada tanah lempung asli, maupun yang telah distabilisasi yang berasal dari Godong – Purwodadi Km ±49 Kabupaten

Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat darurat, oleh karena

Pengembangan varietas secara konven- sional melalui hibridisasi tetua-tetua terpilih terutama dengan mengumpulkan gen-gen sumber ketahanan terhadap kekeringan perlu