Pengantar
A
sia Tenggara berasal dari Bahasa Sanskerta sebagaiSuvarnabhumi, Nanyang dalam Bahasa Cina, Serambi Mekah
dalam Bahasa Melayu, dan Zirbadat – negeri di bawah angin oleh orang-orang Arab dan Persia. Saat ini terdapat sekitar 240 juta Muslim di Asia Tenggara, sekitar 42% dari total populasi Asia Tenggara dan 25% dari populasi dunia Muslim yang berjumlah sekitar 1,6 milyar. Mayoritas kaum Muslim di kawasan ini bermadzhab Sunni dan menganut Syafi ’i dalam hal yurisprudensi Islam. Akan tetapi, ada komunitas-komunitas Syiah di setiap negeri Asia Tenggara.
Dengan terbentuknya komunitas ASEAN, Muslim berjumlah 42% dan disusul Buddhist sebesar 40%. Tiga negeri Asia Tenggara yaitu, Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam mempunyai populasi mayoritas kaum Muslim, sementara Thailand, Filipina, Singapura, Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam mempunyai populasi minoritas Muslim. Islam adalah agama resmi di Malaysia dan Brunei dan salah satu agama yang diakui secara resmi di Indonesia, Thailand, dan Filipina. Muslim Asia Tenggara terdiri dari banyak kelompok etnik dengan bahasa yang berbeda-beda seperti Bahasa Indonesia, Melayu, Jawa, Maranao, Maguindanao, Tausug, Thai, Cina, Myanmar, dan sebagainya.
Islam datang ke Asia Tenggara pada abad ke-12 Masehi. Islam dibawa oleh para pedagang Muslim dan para pengkhotbah dari Gujarat di India, Cina, Persia, dan Hadhramaut di Yaman ketika mereka melayari Samudra Hindia, Selat Malaka, Teluk Siam, dan Laut Cina Selatan. Abad ke-13 Masehi menyaksikan berdirinya kerajaan Islam pertama di Pasai, Sumatra. Islam yang dibawa para mistikus Sufi yang menaruh tekanan pada orientasi humanistik Islam yang menekankan cinta dan kasih sayang sesama. Hal itu merupakan pertemuan di antara tradisi panteistik-monoteistik mistisisme Islam dan monisme Hindu- Buddha dalam bentuk pemujaan Syiwa dan Buddha. Hal ini memunculkan sinkretisme Islam—suatu kombinasi ajaran-ajaran Islam yang bercampur dengan Hindu, Buddha, dan kepercayaan-kepercayaan serta praktek-praktek ritual animis. Sebagai gerakan dari atas ke bawah, para elit Jawa terkadang melihat diri mereka sebagai Muslim, Hindu, dan Buddha sekaligus.
Orang Muslim yang membawa Islam pertama kali ke Indonesia dan kemudian ke Malaysia dan Thailand selatan, di antara abad 12 dan ke-15, sebagian besar adalah para mistikus Sufi . Islam yang diperkenalkan di wilayah ini berorientasi mistik dan sebagian besar dibentuk oleh tradisi-tradisi Sufi sme Persia dan India. Dalam terminologi religius, ia merupakan suatu pertemuan di antara pandangan Hindu akan moksha (pembebasan) melalui gagasan Hindu atas monisme, gagasan Buddha akan dhamma— ajaran yang berarti Hukum dan kehidupan yang dijalani sesuai dengan hukum. Dhamma adalah “jalan kebenaran,” atau cara berperilaku yang ‘benar’, ‘tepat’, ‘pantas’ atau ‘patut’; nirvana (pencerahan) melalui pencapaian sunyata (kekosongan). Dalam Islam, konsep ini ekuivalen dengan fana, yaitu lenyapnya identitas seseorang dengan bergabungnya ia ke dalam ada Universal sebagaimana diuraikan dalam panteisme monistik kaum Sufi .
Berangsur-angsur muncullah suatu kebudayaan sinkretik cangkokan, khususnya di Jawa dan di bagian-bagian lain Asia Tenggara, yang memunculkan suatu versi Islam yang bersifat mistis, cair, dan lunak, yang memelihara spritualisme yang khas di wilayah itu. Dari segi dialog antaragama, saling bertukar di antara pandangan-pandangan dunia Islam dan Buddha melibatkan pertukaran lintas-budaya di antara apa yang disebut sebagai diin dalam Bahasa Arab, agama dalam Bahasa Indonesia-Melayu, dan sāsana dalam Bahasa Sanskerta dan Pali. Semua istilah ini mengacu kepada agama sebagai jalan hidup, dan semuanya
mempunyai corak arti yang bersifat lokal. Oleh karena itu, saling bertukar di antara Islam dan Buddha bukan sekedar interaksi dua-arah di antara pandangan-pandangan kedua agama yang direifi kasi, tetapi juga melibatkan keberagaman regionalnya.
Sayangnya, sekarang ini koeksistensi historis di antara tipe-tipe berbeda keBudayaan, madzhab Islam, dan agama-agama lain di Asia Tenggara sedang dihancurkan oleh promosi kebencian di antara umat Muslim sendiri dan juga di antara agama-agama lain. Bahaya yang sedang menyebar itu tak selalu berakar dalam agama-agama itu sendiri, melainkan juga dari eksploitasi dan manipulasi agama dan madzhab untuk alasan-alasan politis, ekonomis, dan lainnya. Berkaitan dengan Persia atau Iran masa kini, negeri-negeri Muslim Asia Tenggara mempunyai ikatan ekonomi kuat dengan negeri itu, tetapi sayang Syiah telah dinyatakan sebagi madzhab yang menyimpang di Malaysia dan hampir demikian oleh Menteri Agama Indonesia. Sementara faktanya bahwa baik kelompok Sunni maupun Syiah percaya pada Tuhan, Nabi dan Alquran yang sama.
Dalam artikel ini, Bagian Pertama terlebih dahulu akan mendiskusikan sejarah pengaruh Persia di Asia Tenggara sehubungan dengan ko-eksistensi Muslim. Bagian Kedua akan menyentuh ancaman-ancaman bagi kesatuan Sunni-Syiah di Asia Tenggara dan diakhiri dengan kesimpulan.
Bagian Pertama
Pengaruh Persia di Asia Tenggara di Bidang Literatur; Perdagangan termasuk Persaingan Niaga Di antara Orang Persia dan Portugis selama Era Safavid Era; hadirnya Pengaruh kaum Syiah; Sufi sme; Dampak Persia; dan Orang Persia di Thailand; Dampak Lembaga Politis: Dari Bodisatwa hingga Al-Insan al-Kamil; Jabatan Chularajmontri atau Syaikh al-Islam di Thailand hingga 1945.
Literatur
Genre nasihat dari literatur kuno Persia digambarkan baik dalam literatur Melayu klasik. Salah satu contoh adalah Taj al-Salatin karya Bukhāri al-Jawhari (dari Johor di selatan Semenanjung Malaysia) dari abad ke-17, diterjemahkan untuk para penguasa kesultanan Aceh di Sumatra dari sumber Persia yang tak dikenal ke dalam bahasa Melayu. Karya-karya lain seperti, Bustan al-Salatin karya Nur-al-Din ar-Rāniri,
musuh sengit kaum mistikus seperti Hamzah Fanshuri dari kaum legalistik, yang ditulis di Aceh didasarkan pada model literatur Persia.
Pengaruh Persia juga ditemukan dalam peran kuat yang dimainkan di bidang mistisisme dalam penyebaran Islam di Nusantara. Bagaimanapun juga, pengaruh orang Persia di Aceh, yang mempunyai hubungan bahari dan perdagangan dengan India dan wilayah teluk Persia, lebih kelihatan dalam pemikiran dan mistisisme Islam abad ke-17. Hamzah Fanshuri, penyair mistik Melayu yang sukar dimengerti, adalah eksponen utama dan penabur paham wujudiyah atau kesatuan eksistensiyang berasal dari ajaran panteistik Ibn al-Arabi. Fansuri lahir di Ayutthaya, ibu kota Siam. Selain Bahasa Melayu, dia fasih dalam Bahasa Arab dan Persia. Dalam beberapa karyanya, dia mengutip dari para empu mistisisme Persia klasik seperti Šabestari, baik dalam Bahasa Persia maupun dalam terjemahan Melayu.
Konfl ik di antara Ar-Rāniri dan Fanshuri menggambarkan petarungan antara Sufi sme “ortodoks” atau “tenang”, sebagaimana yang dipromosikan oleh Sirhindi kira-kira pada saat yang sama di India (Wafat 1624), dan Sufi sme yang bersifat “heterodoks,” “panteistik”, dan meluasnya konfl ik dari India ke Asia Tenggara digambarkan dengan munculnya perdebatan di antara Ibn al-Arabi, Syaikh Ahmad Sirhindi, dan Sufi sme Ghazali yang terikat syariah di Asia Tenggara.59 Perdagangan
Pengaruh budaya Persia juga dapat dilihat sehubungan dengan kepangeranan Melayu dan emporium perdagangan Malaka, sebuah negara yang berlangsung mulai dari abad ke-15 hingga ditaklukkan orang Portugis 1511 (Andaya, Malacca; Muhammad Yusoff Hashim, trj. D. J. Muzaffar Tate, The Malay Sultanate of Malacca). Meskipun Malaka setidaknya secara nominal merupakan protektorat Siam, yang juga mengklaim kekuasaan mutlak atas seluruh Semenanjung Malaya (Wyatt, The Thai ‘Palatine Law’ and Malacca), ia mampu memantapkan diri sebagai kekuasaan terkemuka di Nusantara, yang memberi daya dorong baru penyebarluasan Islam yang penuh semangat di wilayah itu (untuk pengantar yang sangat bagus lihat Gordon dan Al-Attas,
Indonesia. iv-History: (a) Islamic period).
59 M. Ismail Marcinkowski, “Thailand-Iran Relations” http://www.iranicaonline.org/articles/thailand-iran-relations. Lihat juga, Bakar dalam Nasr 1991.
Pada masa itu, bahasa Persia adalah penghubung di dunia niaga Samudra India dan suatu komunitas saudagar berbahasa Persia ada di Malaka. Jabatan dengan gelar Persia Shahbandar (“Kepala Pelabuhan”), dikenal di banyak pelabuhan niaga Samudra Hindia, di beberapa bagian Kekaisaran Utsman juga ditetapkan di Malaka. Hal itu menarik perhatian beberapa sarjana Barat (lihat Andaya, The Indian ‘Saudagar
Raja’ (The King’s MerchantsI in Traditional Malay Courts; Moreland, The Shahbandar in the Eastern Seas: Raymond, Shahbandar: In the Arab world;
Hooker, Shahbandar in South-East Asia; Yule and Burnell, Hobson-Jobson, hlm.816-17, s.v. Shabunder, dengan referensi yang rinci, dan ibid, hlm.914, s.v. Tenasserim). Jabatan itu tampak telah dikenal di wilayah Samudera Hindia sedini kira-kira 1350 (Yule and Burnell, Hobson-Jobson, hlm.816, s.v. “Shabunder,” mengacu pada kunjungan Ibn Battutah ke pantai Malabar di India selatan).
Pengenalan kapal uap ke Samudra Hindia oleh kekuasaan kolonial Inggris dan Belanda pada awal pertengahan abad ke-19 memfasilitasi kontak Muslim Asia Tenggara dengan negeri-negeri Arab di Timur Tengah, khususnya dengan tempat-tempat keramat di semenanjung Arab dan pusat-pusat studi di Mesir. Kembalinya para haji dan orang-orang yang mendalami agama mulai menyebarkan ide-ide puritanisme Islam, khususnya Wahhabiyah, di Nusantara. Tradisi Sufi sme fi losofi s Fanshuri dan para pengikutnya semakin dikaitkan dengan bid’ah dan pemikiran yang menyimpang, seperti paham Syiah “dari Persia”. Perkembangan yang bersifat mengecilkan ini sekarang ini terus berlangsung dan mempengaruhi secara negatif iklim umum stabilitas dan keilmuan.60 Persaingan Niaga di antara Orang Persia dan Portugis
Di periode Safavid (1501-1736), kita dapat menyaksikan perdagangan yang pesat dengan Asia Tenggara, sementara terjadi persaingan hebat antara para pedagang Persia dan Portugis. “Di kalangan saudagar Muslim, orang-orang yang berasal dari Shiraz tampak menonjol khususnya dalam perdagangan Teluk Persia dan mereka berdagang dengan perusahaan-perusahaan dagang Hindia Timur (Floor, 1366 S./1987, di setiap bagian; idem, 1988b, bab.1). Perdagangan dengan India khususnya terpusat di tangan orang-orang
60 Lihat Marcinkowski, “Thailand-Iran Relations” http://www.iranicaonline.org/articles/thailand-iran-relations.
India, meskipun saudagar Yahudi juga aktif (Du Mans, hlm. 193-94; Fryer, II, hlm. 247-48). Perdagangan lokal mungkin dikemudikan terutama oleh orang-orang Muslim Persia. Pada akhir abad ke-18 jelas bahwa perdagangan luar negeri juga sebagian besar berada di tangan orang-orang Persia ( Francklin, hlm. 60; Kinneir, hlm. 198).61
Hubungan budaya dan perdagangan Persia dengan Asia Tenggara sudah berlangsung jauh sejak periode pra-Islam. Berkenaan dengan periode Sasanid dan awal Islam, studi yang dilakukan Colless dan Tibbetts (lihat dalam bibliografi ) sangat penting. Akan tetapi, hubungan diplomatik resmi di antara kedua wilayah, yang diilustrasikan dengan pertukaran misi-misi non-permanen ketimbang kedutaan-keduataan ektsrateratorial yang permanen, dapat dilacak baru pada periode Safavid.
Kontak di antara orang Persia— baik lewat anak benua India atau langsung dari negeri Iran—dengan rakyat Thailand menjadi mungkin terjadi baru sesudah penghunian berangsur-angsur dan dominasi dataran-dataran tengah Thailand yang sekarang. Proses migrasi ini berpuncak pada pendirian Ayutthaya pada tahun 1351 oleh Raja U Thong (berkuasa 1351-1369 dan yang bergelar Ramathibodi) sebagai ibu kota kerajaan Thailand yang kemudian dikenal sebagai Siam. Ayutthaya terletak kira-kira 80 km ke utara Bangkok modern. Ia bertempat secara strategis di atas sungai Chao Phraya yang dapat dilayari hingga ke Teluk Thailand. Ayutthaya ditakdirkan menjadi salah satu emporia perdagangan yang paling penting di wilayah itu, dengan letak yang sama jauhnya dari Asia Timur, Cina, dan India.62 Pengaruh Religius Kaum Syiah di Asia Tenggara
Islam di Asia Tenggara mempunyai dimensi Sufi sme yang kuat dari Persia, India, Cina dan Yaman yang bercampur dengan monisme Hindu setempat dan non-teisme Buddha.63 Akan tetapi, lebih disukainya Nur-al-Din al-Raniri (wafat 1656), yang lahir India (lihat Al-Attas, A Commentary on the ‘Hujjat Siddiq’ of Nur Din
al-61 Willem Floor, “Commerce vi. In the Safavid and Qajar periods http://www.iranicaonline.org/ articles/commerce-vi
62 Lihat Marcinkowski, “Thailand-Iran Relations” http://www.iranicaonline.org/articles/thailand-iran-relations.
63 P. J. Zoetmulder, Pantheism and Monism in Javanese Suluk Literature: Islamic and Indian
Mysticism in an Indonesian Setting, ed. M.C. Ricklefs (Koninklyk Instituut Voor Taal Land,
Rāniri, Intro.) oleh para penguasa Aceh yang setia pada Sunni Syafi ’i,
memulai suatu periode legalisme, yang menghasilkan penganiayaan dan penindasan Sufi sme heterodoks non-konformis yang dikaitkan dengan Fanshuri and para pengikutnya.
Di masa lampau, konfl ik di antara “heterodoksi” dan “ortodoksi” di Aceh abad ke-17, yang dilambangkan oleh kontestasi antara Fanshuri and Rāniri, biasanya dikaji dalam konteks mistisisme saja (lihat Al-Attas, Raniri dan the Wujudiyyah of 17th Century Aceh). Akan tetapi, lazimnya pemikiran kaum Syiah di kalangan Sufi “heterodoks” di Aceh juga harus dipertimbangkan. Fanshuri sendiri mengacu kepada imam pertama kaum Syiah, Ali bin Abu Thalib, dalam beberapa puisinya. Nampaknya, dia juga sempat pergi ke Irak selama perjalanannya ke Timur Tengah.64
Imam Ja’far as-Shadiq dan Sufi sme
Semua thariqah Sufi (dengan perkecualian satu-satunya, yaitu Naqsabandiyah) selalu mengklaim keturunan dari sang Nabi khususnya melalui Ali bin Abu Thālib, imam pertama Ahl al-Bayt, dan banyak juga yang menyebutkan selselatal-dahab (mata rantai emas), yang menghubungkan mereka dengan delapan dari duabelas Imam.
Akan tetapi, Ja’far al-Ṣhadiq, imam keenam menempati tempat tersendiri dalam tradisi Sufi sme. Sejumlah Sufi kabarnya dikaitkan dengan beliau; dia dipuji karena pengetahuannya yang termaktub dalam beberapa karya literatur Sufi . Banyak ucapan dan tulisan Imam Ja’far mengenai jalan menempuh spiritualitas dihubungkan dengannya. Apa yang dinyatakan dengan tegas menyangkut beliau terkait dengan hal-hal ini, dalam beberapa kasus, jelas-jelas diragukan kebenarannya dan telah menjadi bahan percekcokan, khususnya datang dari pihak pengarang Syiah yang tidak senang dengan Sufi sme, sekalipun dalam wujud Syiahnya.
Garis keturunan Ja’far as-Shadiq mendapat dimensi Sufi bermula dengan cicit Alawi, Moḥammad bin Ali b. Moḥammad bin Ali bin Alawi (1255), yang dikenal sebagai Al-Ustad al-A’zam (Guru Agung); mulai dari masa ini dan seterusnya, dimungkinkan untuk menyebutkan Thariqah Alawiyah, yang dicirikan oleh transmisi kepemimpinan
64 Lihat Marcinkowski, “Southeast Asia: Persian Presence in Southeast Asia http://www. iranicaonline.org/articles/southeast-asia-i
secara turun-temurun. Thariqah Aydarusiya, secara genealogis merupakan keturunan Alawiyah. Akan tetapi, lebih penting lagi untuk menghitungnya sebagai cabang Kobrawiyah. Thariqah ini didirikan Abu Bakr bin Abdullāh Aydarus (wafat 1508), yang digambarkan sebagai “Pelindung Suci” dari Aden (Löfgren, Aydarus, hlm. 781). Beberapa syaikh Aydarusiya memakai nama lengkap leluhur jauhnya, Ja’far as-Shadiq, yang dengan demikian mengindikasikan suatu klaim akan keturunan spiritual dan juga genealogis dari imam keenam kaum Syiah (Zabidi, fols. 80b-81a).
Meskipun Hadhramaut mempertahankan sentralitasnya bagi para anggota Thariqah Alawiyah maupun Aydarusy, banyak anggota dari kedua garis keturunan itu mengunjungi atau menetap di berbagai bagian Asia Tenggara, terutama di Jawa, Sumatra, dan semenanjung Malaysia. Meskipun mereka berpartisipasi dalam penyebaran Islam di sana, pengaruh spiritual mereka pada populasi pribumi, khusuanya
dalam kasus kaum Alawiyah, terbatas karena penyisihan yang
konsisten para non-Sayyid dari keanggotaan (Attas, hlm. 32). Akan tetapi, sebagian dari mereka menikmati gengsi yang besar di sejumlah kepangeranan Muslim di Nusantara seperti Pontianak, Sulawesi, dan Sulu. Mereka sering saling menikah dengan keluarga-keluarga penguasa (Atjeh 1977, hlm. 35-37).
Berkenaan dengan keturunan Sufi yang sangat luas dari Ja’far as-Shadiq, akhirnya dapat dicatat bahwa, terkesan dengan kemenangan Revolusi Islam di Iran 1978-79, sebagian telah meninggalkan afi liasi mereka dengan madzhab Syafi ’i dan sebenarnya, dengan Sunni secara keseluruhan, dan menganut Syiah Dua Belas Imam, yang bagaimana pun juga, pada hakikatnya dikaitkan dengan nenek moyang mereka (Alatas, hlm. 337-39).65
Dampak Persia di Thailand
Persia telah lama berhubungan dengan Asia Tenggara. Jauh sebelum kedatangan orang Persia beraliran Syiah, Sufi sme Persia telah tiba di wilayah itu. Sufi sme Persia memainkan peran penting dalam penyebaran dan kemunculan Islam sinkretik di Nusantara. Syiahisme
65 Hamid Algar, “Ja’far al-Sadeq and Sufi sm” di http://www.iranicaonline.org/articles/jafar-al-Shadiq-iii-and-Sufi sm. Lihat juga Syed Farid Alatas, “The ariqat al-Alawiyyah and the Emergence of the Shi’i School in Indonesia and Malaysia,” Oriente Moderno 18/2, 1999, hlm. 322-39.
awal hadir di kalangan orang-orang Cham di Vietnam dan juga di Indonesia bagian timur di Maluku dan Aceh. Orang-orang Persia penganut Syiah menetap di kerajaan Siam di Ayutthaya di istana Raja Phra Narai (1656-1688). Pemerintahannya adalah yang paling makmur dan menyaksikan kegiatan perniagaan dan diplomatik yang termasyhur dengan bangsa-bangsa asing termasuk Persia dan Barat. Bahkan, beberapa orang Persia bertugas sebagai Perdana Menteri dan duta besar di istana Raja Phra Narai.
Orang Persia mengacu kepada Ayutthaya sebagai Shahr-i Naw – Kota Perahu dan Terusan. Di kota ini, setiap tahun diperingati hari Ashura atau 10 Muharram, wafatnya Imam Husein. Upacara Ashura disponsori oleh Raja Phra Narai, seorang raja Buddha. Sekarang, terlepas dari Syiah,
Ashura terus diperingati bahkan di kalangan komunitas Sunni di Asia
Tenggara. Ada komunikasi diplomatik yang erat di antara Iran Safavid dan Ayutthaya di antara 1660-an dan 1680-an. Ada pertukaran kedutaan besar antara Shah Sulaiman Safavid dan Raja Phra Narai dari Siam. Laporan mengenai hubungan demikian dan kedaan komunitas Persia di Ayutthaya termuat dalam Safi nah-i Sulaymani atau Kapal Sulaiman karya Ibn Muhammad Ibrahim, sekretaris misi diplomatik Persia ke Ayutthaya yang mencatat rincian misi itu.
Catatan itu memuat informasi tentang Raja Phra Narai, istananya, kegiatan-kegitan dan gaya hidupnya, agama, dan kebudayaan rakyat Siam. Catatan tentang agama Buddha menunjukkan bias religius Muslim yang kurang pengetahuan tentang sejarah agama. Pengarang memandang Buddha sebagai para pemuja berhala. Buku itu juga memberi informasi tentang perkampungan-perkampungan orang Persia di Ayutthaya dan kehidupan religius, politis, dan kebudayaannya. Bahasa Thai telah meminjam beberapa kata-kata Persia seperti gulab (mawar) menjadi
kulaap, anggur menjadi angun, farang (orang Eropa/orang asing) menjadi farang, gol-e kalam (kembang kol) menjadi kalam dork dan bazaar (pasar)
menjadi bazaar. Pengaruh Persia juga terlihat dari genre sastrawi hikayat di kepulauan Melayu-Indonesia.
Lembaga Chularajmontri atau Churarajmantri
Lembaga Syaikh al-Islam didirikan di periode abad pertengahan Islam. Maksudnya untuk mempersingkat hierarki religius, atau ulama, di dalam negara dengan mengangkat seorang ahli di bidang ilmu-ilmu agama Islam sebagai pimpinan religius komunitas. Syaikh
al-Islam berfungsi sebagai mufti kepala—ahli hukum kepala, seorang
pakar hukum Islam dan penasehat di bidang masalah-masalah keagamaan, baik publik maupun privat, yang terkait dengan negara. Nasehatnya mempunyai otoritas moral, tetapi tidak mengikat secara hukum kepada para otoritas politik. Maksudnya untuk memberi status birokratis kepada pemimpin religius di dalam struktur politis negara yang sedang berkembang dan meluas.
Sejarah Jabatan Syaikh al-Islam terbentuk di Khurasan pada abad ke-10, dan segera diadopsi di bagian-bagian lain dunia Islam: Anatolia (Turki), Mesir, Syria, Iran Safavid, Asia tengah, Kesultanan Delhi dan Cina. Di antara abad ke-14 dan ke-16, jabatan itu melayani fungsi-fungsi yang berbeda di negeri-negeri yang berbeda. Syaikh al-Islam adalah ahli hukum kepala di Turki Utsman, jabatan yudisial yang sejenis di Iran Safavid, yang membagikan hadiah-hadiah kepada kaum Sufi di India, dan dan penguji mandat religius para guru agama Islam di Asia Tengah dan Cina. Turki menghapuskan jabatan Syaikh al-Islam pada 1922. Sekarang, posisi itu masih ada dalam format yang berbeda—dalam bentuk kementerian, suatu majelis, atau individual—di negeri-negeri mayoritas Muslim seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan, Bosnia dan Tanzania, dan juga di negeri-negeri minoritas-Muslim, seperti Thailand.
Jabatan Chularajmontri atau Syaikh al-Islam di Siam muncul pada
masa dinasti Ayutthaya (1351–1767). Pada masa itu Ayuttahaya
mempunyai populasi Muslim Syiah yang signifi kan yang pindah dari Iran. Mereka tinggal berdampingan dengan para imigran Muslim Sunni dari Champa, Indonesia dan India. Para saudagar dan sarjana Syiah Persia setempat di Ayutthaya tidak hanya turut dalam perdagangan tetapi juga bertugas sebagai menteri di istana. Mereka mengatur angkatan laut dan perdagangan laut Ayutthaya sebagai bagian dari keahlian profesional mereka. Ada juga pertukaran Duta Bsar di antara istana Persia dan Ayutthaya. Komunitas-komunitas lain di Ayutthaya termasuk orang Cina dan Portugis. Chularajmontri atauSyaikh al-Islam Siam yang pertama, diangkat oleh Raja Ayutthaya Phrachao Songtham (berkuasa 1620–1628), adalah sarjana Syiah Persia, Syaikh Ahmad Qumi (1543–1631). Dia berikan tugas untuk mengatur urusan-urusan komunitas Muslim, dan juga bertugas sebagai menteri perdagangan luar negeri sang raja.66
Tiga belas Chularajmontri pertama di Thailand adalah para Muslim