Pengantar
D
ari awal perlu ditekankan berkali-kali bahwa kaum Syiahadalah saudara kandung kaum Sunni. Lebih jauh lagi, kaum Syiah adalah bagian hakiki dari Islam. Bersama kaum Ahl
as-Sunnah wa al-Jama’ah atau Sunni, kaum Syiah adalah sayap-sayap Islam
lainnya. Tentunya, ada lebih banyak persamaan daripada perbedaan di antara mereka karena keduanya benar-benar berasal dari sumber yang persis sama; mereka taat kepada ajaran-ajaran yang sama yang terkait dengan iman dan Islam.
Oleh karena itu, tidak perlu membesar-besarkan perbedaan-perbedaan ‘sepele’ (furu’iyah) dalam konsep telogis dan praktek religius tertentu. Di samping itu, ada juga banyak tumpang-tindih dan pertukaran di antara kaum Sunni dan Syiah dalam banyak aspek kehidupan religius, politis, sosial, dan budaya.
Saya berargumen bahwa persepsi keliru, ketidakakuratan, ketegangan, permusuhan, dan bahkan perang berdarah di antara kedua kelompok banyak terkait dengan politik dan kontestasi kekuasaan. Faktanya, keberadaan kaum Syiah, Sunni, dan beberapa kelompok lainnya seperti Khariji adalah hasil konfl ik politis yang mula-mula terjadi semasa khalifah ketiga, Utsman bin Affan yang
disusul oleh al-fi tnat al-kubra (perang saudara) pada saat munculnnya Umayah dengan mengorbankan Ali bin Abu Thalib, keluarganya, dan para pendukungnya, mereka semua disebut saja ‘Syiah’ (‘pihak’ atau kelompok).
Syiahisme sebagai badan kelompok religius Islami berkembang dalam perjalanan sejarah, melintasi tapal-tapal batas yang ada di dunia Muslim, meliputi Nusantara atau kepulauan Melayu-Indonesia atau Asia Tenggara. Meskipun ada jejak-jejak kaum Syiah di Asia Tenggara, sejarah Syiahisme di wilayah itu khususnya pada periode awal Islam Nusantara sebagian besar masih kabur. Hasilnya jelas; ada banyak kontroversi terkait dengan pernyataan-pernyataan yang kebanyakan belum didukung oleh bukti yang memadai.
Sejumlah penulis menegaskan bahwa Syiahisme dulu mempunyai pengaruh yang kuat di Indonesia, khususnya pada tahun-tahun awal penyebaran Islam di negeri ini. Saya berargumen bahwa tidak ada bukti yang memadai untuk mendukung penegasan ini (Azra 2000; Azra 1995: 4-19). Kalau pun ada beberapa pengaruh ‘Syiah’, itu sangat dangkal. Tak diragukan lagi, Syiahisme populer di Indonesia belum begitu lama, khususnya setelah Revolusi Islam di Iran.
Kendati usaha keras telah dilakukan untuk menyebarkan Syiahisme ke Asia Tenggara pada periode kontemporer, teristimewa pasca-pembaharuan Revolusi Islami Ayatullah Ruhollah Khomeini, Muslim Asia Tenggara tetap berpegang pada doktrin kaum Ahl
as-Sunnah wa al-Jama’ah. Dengan kata lain, kaum Syiah tetap merupakan
minoritas di wilayah itu. Meskipun Muslim Asia Tenggara telah sangat sukses dalam mengembangkan ‘Wasatiyah Islam’—Islam Jalan Tengah—, ada kecenderungan makin sulitnya keadaan kaum Syiah di bagian-bagian tertentu kawasan ini. Seiring menyerbarnya paham Salafi yah yang berpikiran harafi ah dan radikal di kalangan Muslim Asia Tenggara, kaum-kaum Syiah di tempat-tempat tertentu, seperti di Bangil dan Sampang, Madura (keduanya di Jawa Timur) menjadi sasaran permusuhan.
Warisan Syiah: Kontestasi
Mayoritas kaum Islam di Asia Tenggara adalah Sunni. Penganut aliran ini juga lazim disebut Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah atau singkatnya, Sunni. Sejak menjelang penghujung abad ke-12, para guru
dan pedagang Sufi yang berkelana—yang sebagian besar datang dari Arabia misalnya Hijaz, Irak, dan Mesir—memperkenalkan Sunni ke Asia Tenggara (Azra 2007). Hasilnya, Sunni kini dianut oleh mayoritas kaum Muslim di seluruh kawasan Asia Tenggara.
Terlepas dari itu, ada pernyataan-pernyataan dari beberapa penulis sejarah di dunia Indonesia-Malaysia bahwa Syiahisme sudah diperkenalkan ke Nusantara pada abad ke-7 dan ke-8. Beberapa penulis seperti Sunyoto (1987 dan 1991) menegaskan bahwa ada dua tokoh di antara Walisongo (Sembilan Wali), khususnya Sunan Kalijaga dan Syeh Siti Jenar yang diklaim mempopulerkan Syiahisme di kalangan Muslim Jawa. Di sisi lain, nyaris semua kajian ilmiah seperti yang dilakukan oleh Ricklefs (2012, 2007, dan 2006) atas Islamisasi di Jawa, misalnya tidak membahas mengenai peran para pendakwah Syiah. Hal ini menyiratkan bahwa tidak ada bukti bahwa Syiahisme juga diperkenalkan di Jawa.
Penegasan yang lebih mengherankan diajukan oleh penulis-penulis jenis ini. Mereka, seperti A. Hasymi dan M. Yunus Jamil, betul-betul menegaskan bahwa kaum Syiah mendirikan Kerajaan Perlak di wilayah Aceh setelah mengusir kaum Sunni. Akan tetapi, tidak ada bukti yang meyakinkan yang dapat mendukung penegasan ini (Azra 2000). Setidaknya ada tiga wilayah kontestasi terkait dengan apa yang dianggap sebagai pengaruh dan warisan kaum Syiah di Asia Tenggara.
Pertama, di bidang politik; kedua, di bidang literatur: dan ketiga, di
bidang ritual-ritual Islami.
Kerajaan-Kerajaan Syiah?
Di bidang politik, para penulis sejarah—bukannya sejarawan yang menjalani pelatihan yang harus menggunakan metodologi yang terpercaya—Jamil (1968: 6-19, 37-40) dan Hasymi (1983: 45-56) menegaskan bahwa kaum Syiah merupakan kekuatan politis yang sangat kuat Asia Tenggara. Tanpa bukti apa pun yang dapat diandalkan, mereka mengklaim bahwa kekuatan-kekuatan politis kaum Sunni dan Syiah terlibat dalam pertarungan sengit meraih kekuasaan di Nusantara sejak penyebaran Islam mula-mula di wilayah itu.
Keduanya berkukuh lebih lanjut bahwa kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Perlak yang didirikan pada 225 Hijriyah/845 Masehi
oleh para pedagang dan pelaut Muslim yang berasal dari Persia, Arab, Gujarat, dan India serta mereka mengislamkan penduduk lokal. Mereka membawa seorang Sayyid Mawlana ‘Abd al-Aziz Shah, orang Quraisy, untuk bertakhta sebagai Sultan. Berkat kekuasaannya, kaum Muslim setempat segera menganut Syiahisme.
Menurut ‘kisah’ Hasymi, kekuasaan politis kaum Syiah di Kesultanan Perlak bukan tanpa perlawanan dari kaum Sunni. Dia menegaskan bahwa selama pemerintahan Sultan Syiah ketiga, Ala’ al-Din Sayyid Mawlana Abbas (memerintah 285-300 Hijriyah/889-913 Masehi), kaum Sunni memberontak selama dua tahun sebelum ditindas oleh Sang Sultan Syiah. Tidak berakhir sampai di situ karena kaum Sunni kembali mengangkat senjata melawan penguasa Syiah, Sultan Ala’ al-Din Mawlana Ali Mughayat Shah (memerintah 302-5 Hijriyah/91302-5-8 Masehi). Kali ini, kaum Sunni berhasil mengakhiri kekuasaan kaum Syiah; mereka membentuk Kesultanan Sunni dengan seorang penguasa Perlak pribumi yang bernama Meurah ‘Abd al-Qadir bergelar Sultan Makhdum Ala’ al-Din Malik Abd al-Qadir Shah Johan Berdaulat (memerintah 306-10 Hijriyah/918-22 Masehi).
Akan tetapi, seperti yang diceritakan Hasymi lebih lanjut kepada para pembaca, Kaum Syiah tidak berdiam diri; mereka benar-benar melakukan perlawanan bawah tanah terhadap penguasa Sunni. Hasilnya, semasa akhir kekuasaan Sultan Makhdum Ala’ al-Din Abd al-Malik Shah Johan Berdaulat (memerintah 334-61 Hijriyah/946-73 Masehi), kaum Syiah mampu melancarkan pemberontakan terbuka yang berlangsung selama empat tahun; dan pada akhirnya mereka memaksa Sang Sultan untuk menerima suatu ‘persetujuan damai’. Menurut persetujuan ini, Kesultanan Perlak dibagi menjadi dua: Perlak daerah Pantai diperintah oleh kaum Syiah yang dipimpin oleh Sultan Ala’ al-Din Sayyid Mawlana Mahmud Shah (memerintah 365-77 Hijriyah/976-88 Masehi); dan Perlak pedalaman dipimpin oleh Sultan Mahmud Ala’al-Din Malik Ibrahim Shah (memerintah 365-402 Hijriyah/976-1012 Masehi). Kisah berlanjut dengan wafatnya Sultan Syiah daerah Pantai ketika Sriwijaya yang Buddhis menyerang kesultanan itu; akibatnya, Sultan Sunni mampu mengendalikan semua wilayah Perlak.
Itulah kisah pertarungan kekuasaan di antara kaum Syiah dan Sunni yang dikisahkan Hasymi kepada para pembacanya. Tidak ada
acuan kepada sumber-sumber, selain kepada karya Jamil. Sayangnya, yang belakangan, juga tidak menyebutkan sumber-sumbernya. Jamil menegaskan lebih jauh bahwa pertarungan kekuasaan tidak hanya terjadi di Perlak, tetapi juga di Kesultanan Samudera-Pasai. Rincian tentang apa yang terjadi di Samudera-Pasai disediakan oleh Hasymi yang mengatakan bahwa kaum Syiah Perlak, menghadapi situasi yang sangat sulit di Perlak, pindah ke Samudera-Pasai, dan mencoba mengendalikannya. Pada akhirnya mereka sangat berhasil dengan naiknya Arya Bakoy Maharaja Ahmad Permala ke lingkaran kekuasaan Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiju (memerintah 801-31 Hijriyah/1400-28 Masehi). Disebutkan Arya Bakoy adalah seorang Syiah yang sangat ekstrim. Dia mengeluarkan perintah untuk membunuh sekitar 40 ‘ulama’ Sunni. Hal ini menyebabkan perang saudara lainnya di antara kaum Syiah dan Sunni; dan berkat Sultan Aceh Mahmud II Ala’al-Din Johan Shah (memerintah 811-70 Hijriyah/1409-65 Masehi), Arya Bakoy terbunuh. Itulah akhir petualangan politis kaum Syiah di wilayah itu.
Meskipun terjadi pengunduran politis, Hasymi menegaskan bahwa Syiahisme tetap berpengaruh di masyarakat Aceh. Dia bahkan mengklaim bahwa salah satu ‘ulama’ termasyhur abad ke-17, Shas al-Din al-Sumatrani adalah seorang Syiah (Hasymi 1983:53). Ada banyak riset yang telah dilakukan para sarjana lain, tetapi tak satu pun dari mereka yang pernah menemukan bukti bahwa al-Sumatrani menganut Syiahisme.
Legenda-legenda yang lebih dramatis mengenai ‘pertarungan-pertarungan’ kekuasaan dan ‘pengaruh’ Syiahisme di Indonesia— dalam hal ini di wilayah Minangkabau—disusun oleh Onggang
Parlindungan (n.d). Dalam bukunya Tuanku Rao, yang menurut
pengarangnya disusun dari sumber-sumber yang 80 persen telah terbakar habis, Parlindungan menegaskan hal-hal yang disebut Hamka disebut sebagai ‘khayalan’. Dia mengklaim bahwa dalam periode hingga munculnya gerakan kaum Paderi di Sumatra Barat pada awal abad ke-19, kaum ‘ Karmatiyah’ (Qarmatiyah) telah mengendalikan kehidupan politis dan religius Kerajaan Pagaruyung selama kira-kira 300 tahun.
Lebih lanjut, Parlindungan mengklaim bahwa Kerajaan Pagaruyung adalah Syiah Karmatiyah [sic.]... sementara itu seluruh
dunia Minangkabau pada periode 1513-1813 mengikuti dengan kelompok Syiah. Kaum Syiah sangat dominan, mereka juga mendirikan sebuah ‘universitas’ Syiah di Ulakan, Pariaman di bawah kepemimpinan Tuanku Laksamana Shahbandar Burhanuddin I dari Aceh. Kemudian, tak kurang dari 1.800 mullah Syiah ‘ Karmatiyah’ tinggal Minangkabau (bdk. Hamka 1974: 78-120).
Hamka telah menunjukkan secara meyakinkan kekeliruan pernyataan Parlindungan sehingga tak perlu diulangi lagi di sini. Meskipun Hamka tidak memberi dokumentasi penuh sumber-sumber untuk mendukung argumen-argumennya yang tak terkalahkan, semua sumbernya dapat dilacak dan diverifi kasi.
Masalah utama dengan Yunus, Hasymi, dan Parlindungan adalah kepercayaan mereka pada sumber-sumber yang tidak diverifi kasi. Mereka masing-masing saling menggunakan sumber ‘satu-satunya’ dan ‘tunggal’ yang pada dasarnya adalah ‘historiografi tradisional lokal’ yang dalam banyak hal sangat problematik.
Kembali kepada pertarungan yang disebut ‘politis, kekuasaan, dan religius di antara kaum Syiah dan Sunni di Asia Tenggara, tidak ada bukti bahwa ada entitas politis Islam di wilayah itu pada abad ke-9. Meskipun para pedagang Muslim yang datang dari Arabia telah ada di pelabuhan Sriwaya pada abad ke-8, juga tidak ada bukti bahwa sudah ada konversi penduduk lokal ke Islam dalam jumlah yang signifi kan. Konversi massal kepada Islam terjadi sebagian besar mulai dari penghujung abad ke-12 dan kedepannya (Azra 2007 dan 2004).
Di sisi lain, dari perspektif global dunia Muslim, selama periode yang diduga sebagai masa pertarungan mereka dengan kaum Sunni di Nusantara, Kaum Syiah belum terkonsolidasi sebagai suatu kekuatan politis. Orang perlu mengingat bahwa kaum Syiah masih berantakan setelah tragedi awal sejak masa khalifah ketiga dari para ‘Khalifah Yang Memperoleh Petunjuk’ (al-Khulafa’ al-Rashidun), Ali (memerintah 35-40 Hijriyah/656-661 Masehi) dengan Perang Siffi n (37 Hijriyah/567 Masehi), pengambilalihan kekuasaan politis dari Hasan bin Ali bin Abu Thalib oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang mendirikan Dinasti Umayah (40-132 Hijriyah/661-750 Masehi), pembunuhan Husein bin Ali di Karbala oleh tentara Yazid bin Mu’awiyah (61 Hijriyah/680 Masehi) hingga mereka ditinggalkan oleh Abbasiyah (132-656 Hijriyah/749-1258 Masehi) yang dulu mereka dukung pendiriannya.
Jauh lebih belakangan pada periode Abbasiyah, kaum Syiah pada umumnya mendapat perlindungan dari para penguasa Sunni. Perlindungan ini juga diberikan kepada dinasti-dinasti Syiah regional yang muncul pada waktu itu seperti Buwaihi (Ing., Buyid, dari Syiah Zaidiyah, didirikan 334-447 Hijriyah/945-1055 Masehi di Persia Utara), yang bertumpang-tindih dengan Dailamiyah (Syiah Zaidiyah, didirikan 334 Hijriyah/945 Masehi), Hamdaniyah (didirikan 277-395 Hijriyah/890-1004 Masehi di Irak), dan Fatimiyah (Syiah Isma’iliyah, didirikan 297-567 Hijriyah/909-1171 Masehi di Tunisia dan Mesir). Semua dinasti Syiah ini pada umumnya menjalankan kebijakan yang bersahabat dengan kaum Sunni; para penguasanya tidak memaksakan konversi rakyat Sunninya kepada Syiahisme. Ini adalah salah satu alasan paling penting mengapa Mesir tetap Sunni selama periode dinasti Fatimiyah.
Lebih lanjut, dinasti-dinasti atau kesultanan-kesultanan Syiah ini rukun dengan Abbasiyah di Baghdad, mengakui para penguasanya sebagai khalifah dan juga dengan dinasti-dinasti Sunni regional yang kuat seperti kaum Saljuk (Turki-Sunni, didirikan 429-590 Hijriyah/1037-1194 Masehi di Anatolia-Syria-Asia Tengah- Persia), Ayyubiyah (didirikan 567-741 Hijriyah/1171-1341 Masehi, berpusat di Mesir). Para penguasa Sunni ini nyatanya bekerjasama dengan rekan Syiah mereka dalam mencegah penyebaran kelompok-kelompok Syiah radikal ( Al- Ghulat), termasuk kaum Syiah Qaramitah, yang disebut dengan salah oleh Parlindungan sebagai “ Karmatiyah” dan diduga memerintah dunia Minangkabau selama 300 tahun.
Meskipun terjalin hubungan baik, ada bukti yang cukup bahwa bentrokan-bentrokan yang jarang dan sebentar-sebentar benar-benar terjadi di kalangan kelompok-kelompok tertentu antara kaum Sunni dan Syiah. Akan tetapi, tampaknya konfl ik itu lebih bersifat religius daripada ideologis dan politis. Oleh karena itu, saya berargumen bahwa pertarungan ideologis dan politis di kalangan kaum Syiah dan Sunni mulai intens dengan kemunculan Dinasti Savafi d di Persia (907-1145 Hijriyah/1501-1736 Masehi). Dinasti itu didirikan oleh Shah Isma’il, yang sebenarnya berasal dari kaum Sufi Safavid, yang kemudian mendeklarasikan Syiahisme sebagai basis kegamaan yang resmi. Untuk maksud itu, dia mewajibkan semua pengkhotbah (khatib) selama shalat Jumat untuk berusaha meneladani Ali di satu sisi dan mengkritisi sebagian para sabahat serta semua penguasa Umayah and Abbasiyah di sisi lain.
Shah Isma’il bertindak lebih jauh dengan menundukkan kaum Sunni di daerah-daerah seperti Hamadan, Isfahan, dan Shiraz. Akan tetapi, pergerakannya ke arah barat ditahan oleh Sultan Selim dari Kesultanan Utsmani. Munculnya Dinasti Safavid mengakhiri sejarah Persia sebagai salah satu pusat pemikiran dan ortodoksi Sunni. Sejak itu, Persia menjadi pusat aktivisme keagamaan dan politis Syiah yang paling kuat.
Penting dicatat bahwa kemunculan Dinasti Savafi d jauh lebih belakangan dibandingkan tanggal yang diklaim para penulis yang telah disebutkan di muka sebagai masa ketika kaum Syiah merupakan penguasa beberapa kesultanan di Nusantara dan terlibat dalam pertarungan-pertarungan sengit dengan kaum Sunni di wilayah itu. Di Asia Barat pun, Dinasti Savafi d gagal menciptakan momentum untuk penyebaran Syiahisme di wilayah itu. Kontrasnya, munculnya Dinasti Savavid merupakan daya pendorong bagi dinasti-dinasti Sunni untuk melakukan re-konsolidasi dan penguatan kembali Sunni; hal ini secara khusus terlihat nyata pada Dinasti Utsmani yang berperan penting dalam penguatan kembali ortodoksi dan solidaritas Sunni. Itulah sebabnya mengapa sejak abad ke-16, kesultanan Aceh mengirimkan duta berturut-turut ke Istanbul, yang mengakui bahwa kesultanan itu adalah vasal kesultanan Utsmani (Azra 2007: 148-76).
Oleh karena itu, tradisi politis Sunni yang dipengaruhi Persia dan juga segelintir kata-kata Persia menemukan jalan dan tanah yang subur di kesultanan-kesultanan Nusantara. Akan tetapi, perlu diingat yaitu orang tidak boleh melompat pada kesimpulan bahwa pengaruh Persia identik dengan kaum Syiah. Mereka menerima dengan mudah tradisi politis Sunni yang ‘terpersiakan’ karena tidak ada hubungannya dengan Syiahisme.
Semua diskusi di atas membawa kita ke salah satu argumen utama makalah ini bahwa Syiahisme sebagai ideologi dan entitas politis tidak pernah ada di Nusantara. Penegasan mengenai ‘pertarungan’ dan ‘kekuasaan politis’ kaum Syiah yang diduga ada di kesultanan-kesultanan di Asia Tenggara lebih didasarkan pada persepsi konfl ik abad pertengahan dan modern di antara kedua sayap Islam itu yang diproyeksikan ke masa lampau.
Jejak-jejak Persia dan Syiahisme
Jika tidak ada bukti kekuasaan politis kaum Syiah di bagian-bagian tertentu Nusantara, ada bukti Syiahisme dalam praktek-praktek dan literatur religius Sunni. Sekali lagi, dengan menyatakan ini, orang harus mengingat bahwa ini tidak berarti dominasi politis Syiah di Nusantara. Akan tetapi, sekali lagi orang tidak boleh mengidentikkan pengaruh Persia dengan Syiahisme.
Sebagaimana ditunjukkan Milner (1989: 159), mulai periode Abbasiyah, pemikiran, dan praktek politis Sunni telah dipengaruhi secara kuat oleh ke budayaan politik Sasanian di Persia yang notabene berdiri di era pra-Islam. Pengaruh-pengaruh Persia-Sassanian pada kebudayaan politik Sunni antara lain absolutisme penguasa seperti yang dapat dilihat dengan jelas di dalam prinsip bahwa para pengusa adalah ‘Bayangan Tuhan di Bumi’ (ziil Allah fi al-ard). Absolutisme ini diperkuat oleh prinsip lain bahwa tidak ada tempat untuk perselisihan—jangankan pemberontakan—atau bughat di kalangan penduduk melawan penguasa. Aura membingungkan yang mereka ciptakan untuk diri mereka sendiri, menyempurnakan absolutisme para penguasa.
Lebih lanjut, ketika Dinasti Abbasiyah terus mengalami kemunduran, tradisi politik Sunni yang terpersiakan diadopsi oleh para sultan hampir di semua bagian di dunia Muslim, termasuk di Nusantara. Mereka tidak hanya mengadopsi fi qh siyasah yang dirumuskan oleh ulama Sunni dan absolutisme para sultan, juga simbol-simbol, etika, dan upacara-upacara yang memperkuat posisi sultan vis-a-vis rakyatnya.
Pengaruh Persia di Nusantara sebagian juga dipelajari lebih awal oleh Marrison (1955). Marrison berargumen bahwa Sejarah Melayu, salah satu historiografi paling penting mengenai awal Islam di Nusantara, menandakan pengaruh Persia. Sebagai contoh, para Sultan Indonesia-Melayu merunut kembali genealoginya kepada Iskandar Zulkarnain (Alexander Agung) yang termasyur.
Tak kalah pentingnya, Melaka pertama, menggunakan nama kehormatan Sultan Iskandar Shah. Dan gelar ‘Shah’ juga diadopsi banyak penguasa di Nusantara, dan digunakan bersama dengan ‘Sultan’. Akan tetapi, Marrison mengingatkan kita bahwa pengaruh demikian di dalam tradisi politik Indonesia-Malaysia datang lewat India, tidak langsung dari Persia (Marrison 1955:54).
Percampuran sumber-sumber Persian dan India, Marrison berargumen lebih lanjut, juga dapat dilihat di dalam cerita mengenai keturunan Bendahara Melaka. Menurut Sejarah Melayu, Bendahara Melaka adalah keturunan seorang ‘Mari Purindan’ putra ‘Nizam al-Mulk Akar Shah’, seorang raja sebuah negeri di ‘Daratan Keling’. Meskipun acuan kepada nama dan tempat ini membingungkan, ada beberapa nama Sejarah Melayu yang mengingatkan kita kepada Saljuk, mereka adalah Nizam al-Mulk (wafat 484 Hijriyah/1092 Masehi), Alp Arslan (memerintah 455-472 Hijriyah/1063-72 Masehi) dan Malik Shah (memerintah 472-485 Hijriyah/1072-92 Masehi).
Nizam al-Mulk jelaslah bukan ‘Raja Pahili’, melainkan para perdana menteri (wazir) yang terkenal dan berpengaruh pada era Dinasti Saljuk, salah satu pembela ortodoksi Sunni yang paling bersemangat. Nizam al-Mulk, seperti yang umumnya diketahui adalah pendiri madrasah Nizam al-Mulk di Baghdad dan tempat-tempat lain—pusat ortodoksi Sunni, di sanalah Imam besar Al-Ghazali bertugas sebagai guru.
Selanjutnya, apa yang ingin disampaikan Sejarah Melayu adalah bahwa Nizam al-Mulk adalah seorang tipe ideal penguasa Muslim, yang merupakan seorang Sunni yang bersemangat meskipun namanya terdengar- Persia. Argumen ini tampaknya didukung oleh Taj al-Salatin (1603), sebuah kitab Melayu yang diterjemahkan dari kitab asli
berbahasa Persia. Kitab itu merupakan buku panduan bagi penguasa Muslim. Salah satu sumber utamanya adalah buku yang ditulis Nizam al-Mulk, Siyasat al-Mulk (Marrison 1955: 55).
Taj al-Salatin jelas mempunyai warna Persia yang kuat. Edisi Melayu buku itu kemungkinan diselesaikan oleh Bukhari al-Jawhari pada 1603 di Aceh. Semua tokoh dan orang yang disebutkan di dalam kitab itu mempunyai nama-nama Persia atau yang terpersiakan. Puisi-puisi yang dikutip di dalam kitab itu juga bentuk yang terpersiakan seperti mathnawi,
ruba’i, dan ghazal. Lagipula, kata ‘nauru’ digunakan untuk mengacu
kepada ‘tahun baru’. Selain itu, ada juga kutipan puisi-puisi yang ditulis oleh Sufi Persia termasyhur, Farid al-Din al-Attar (Wafat kira-kira 628 Hijriyah/1230 Masehi); penyebutan akan kisah cinta Persia mengenai Mahmud dan Ayaz; acuan kepada kisah-kisah Persia mengenai Khusraw dan Shirin. Lebih dari itu, Nushirwan, seorang penguasa Persia pra-Islam juga disebutkan sebagai contoh penguasa non-Muslim yang baik dan menjalankan keadilan (Winstedt 1961: 137-41).
Terkait dengan nama-nama dan kisah-kisah Persia di atas, ada juga suatu argumen bahwa pengaruh Syiah di Nusantara juga dapat diamati dari dunia Persia yang lain yang diduga telah beredar di wilayah itu sejak periode awal penyebaran Islam. Memang ada sejumlah kata-kata Persia yang ditemukan di dalam bahasa-bahasa lokal di Nusantara, khususnya Melayu dan belakangan juga digunakan di dalam Bahasa Indonesia. Beg (1982) yang melakukan riset pada beberapa kampus Melayu menyimpulkan bahwa ada sekitar 77 kata Persia yang dulu (dan, masih) digunakan dalam dunia Indonesia-Melayu.
Ambil contoh beberapa kata yang paling sering digunakan di masa kini adalah, kanduri (pesta, semula berarti saat makan komunal untuk mengenang Fatimah, putri Nabi Muhammad), astana (atau,
istana), bandar (pelabuhan), bedebah (jahat), biadab (tak beradab, bersifat
barbar), bius (obat bius, membius), diwan (dewan), gandum, jadah (anak haram), lashkar (atau, lasykar, tentara), nakhoda (kapten kapal), tamasya,