• Tidak ada hasil yang ditemukan

dan Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma pada Kedelai M

TOLERAN KEKERINGAN

LD 50 dan Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma pada Kedelai M

Berdasarkan daya tumbuh benih dapat dihitung nilai Lethal Dose 50% (LD50). LD50 merupakan suatu nilai yang menunjukkan besarnya dosis radiasi yang mampu mematikan 50% populasi tanaman. Nilai LD50 ini penting diketahui sebagai acuan untuk melakukan metode pemuliaan tanaman selanjutnya. Jika tujuan pemuliaan untuk meningkatkan keragaman tanaman, maka aplikasi iradiasi

62

selanjutnya dilakukan pada dosis di sekitar LD50. Sedangkan jika tujuan pemuliaan untuk menghasilkan karakter yang ekstrim, maka aplikasi iradiasi dapat dilakukan pada dosis tinggi di atas LD50. Pada dosis radiasi yang tinggi biasanya akan didapatkan tanaman dengan karakter kerdil dan mandul jantan, sehingga bisa digunakan untuk mengembangkan varietas hibrida.

Gambar 13. Kurva penentuan LD50 varietas Anjasmoro yang dihasilkan dari CurveExpert

LD50 dihitung dengan menggunakan software CurveExpert berdasarkan persentase daya tumbuh M1 (Gambar 13). Nilai LD50 yang diperoleh dari percobaan ini yaitu sebesar 202.5 Gy (S=4.6 ; r=0.99). Berdasarkan informasi ini, kemudian dilakukan iradiasi ulang pada benih baru dengan dosis yang lebih sempit agar keragaman yang muncul sangat tinggi. Nilai LD50 pada benih kedelai lebih rendah jika dibandingkan dengan komoditas kacang-kacangan yang lain. LD50 pada benih kacang hijau sebesar 532 Gy dan 540.6 Gy (Tah 2006), pada benih urd bean (kacang hitam) sebesar 600 Gy (Thilagavathi dan Mullainathan 2011). Besarnya dosis iradiasi dalam membentuk keragaman dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya yaitu ukuran bahan. Seperti yang dinyatakan oleh Soejono (2003) bahwa dosis iradiasi yang dibutuhkan untuk membentuk keragaman semakin tinggi bergantung kepada jenis tanaman, fase tumbuh, ukuran, kekerasan, dan bahan yang diiradiasi.

Iradiasi sinar gamma ternyata dapat memberikan keragaman pada keragaan tanaman M1. Berdasarkan pengamatan di lapangan telah ditemukan adanya perbedaan morfologi dari kotiledon kecambah dan daun pertama tanaman kedelai (Gambar 14). Benih yang telah diiradiasi dosis tinggi menghasilkan kecambah dengan kotiledon lebih tebal dan lebar dibandingkan kontrol. Selain itu, bentuknya lebih bulat dan pada ujungnya terdapat spot putih. Spot putih ini kemungkinan karena adanya kerusakan kloroplas akibat iradiasi. Efek iradiasi dapat terjadi di luar kromosom atau pada sitoplasma, yaitu berupa kerusakan kloroplas dan mitokondria (Van Harten 1998). Sedangkan daun kotiledon

kecambah kontrol bentuknya lonjong, tipis dan berwarna hijau merata pada seluruh bagian kotiledon.

Gambar 14. Profil kotiledon kontrol (A1) dan teriradiasi (A2) serta daun pertama pada tanaman kontrol (B1) dan teriradiasi (B2) pada kecambah varietas Anjasmoro

Begitu juga dengan daun yang dihasilkan, pada tanaman kontrol permukaan daun kedelai berwarna hijau sedangkan pada perlakuan (dosis 100 sampai 400 Gy) daun yang keluar berwarna hijau tetapi pada permukaannya dipenuhi dengan bintik-bintik putih. Hal ini diduga pada benih yang diiradiasi mengalami kerusakan kloroplas. Sedangkan pada iradiasi dosis tinggi, pemunculan daun pertama mengalami penghambatan sehingga tinggi tanaman sangat rendah meski sudah beberapa minggu dalam persemaian. Pada penanaman di lahan produksi, benih kedelai yang diiradiasi sinar gamma dosis tinggi tidak mengalami pertumbuhan dan sebagian besar (97%) mengalami kematian.

Pengaruh iradiasi terhadap daya tumbuh dan kemampuan bertahan hidup disajikan pada Tabel 32. Perlakuan iradiasi mengakibatkan daya tumbuh benih mengalami penurunan. Penurunan daya tumbuh tidak sejalan dengan kenaikan dosis iradiasi, melainkan acak. Hal yang sama juga dilaporkan Ciftci et al. (2006) bahwa pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap daya berkecambah kacang kapri bervariasi, tergantung pada varietas yang digunakan, bahkan penggunaan dosis tinggi dapat meningkatkan daya berkecambah benih. Akan tetapi, banyak penelitian melaporkan hal yang tidak demikian, seperti Satpute dan Fultambkar (2012) pada kedelai, Lal et al. (2009) pada kacang hitam, dan Shah et al. (2008) pada chickpea, yang menyatakan bahwa viabilitas benih dapat semakin menurun searah dengan peningkatan dosis iradiasi. Penurunan daya tumbuh benih akibat perlakuan induksi mutasi kemungkinan disebabkan oleh terjadinya kerusakan komponen pokok sel atau pengubahan aktivitas enzim pada tanaman kacang hijau (Khan dan Goyal 2009).

64

Tabel 32. Pengaruh iradiasi terhadap persentase daya tumbuh dan bertahan hidup Iradiasi (Gray) Anjasmoro Burangrang Daya tumbuh14HST (%) Bertahan hidup72HST (%) Daya tumbuh14HST (%) Bertahan hidup72HST (%) 0 81.54 98.35 88.78 95.37 200 76.39 32.73 74.65 5.58 250 77.24 52.34 78.21 25.44 300 73.72 44.86 75.00 25.46 350 80.45 67.95 79.38 74.79 400 75.96 34.70 71.15 3.94 1000 62.72 0 55.13 0

Begitu juga dengan kemampuan bertahan hidup tanaman. Perlakuan iradiasi mengakibatkan kemampuan bertahan hidup tanaman berkurang. Meskipun tidak terlihat sejalan dengan dosis iradiasi, tetapi antar perlakuan terlihat bahwa semakin tinggi dosis iradiasi kemampuan bertahan hidup tanaman mengalami peningkatan dan turun drastis pada dosis 400 Gy. Hal ini tidak sejalan dengan banyak penelitian sebelumnya, yaitu seperti Satpute dan Fultambkar (2012), bahwa iradiasi dapat menurunkan kemampuan bertahan hidup tanaman kedelai. Xiang et al. (2002) menjelaskan bahwa sinar gamma adalah mutagen yang mempunyai energi radiasi yang dapat menyebabkan kerusakan pada ikatan kovalen atau ikatan hidrogen pada molekul/biomolekul di sel yang dapat menghasilkan kerusakan pada tingkat kromosom, gen, dan berakhir dengan kematian sel.

Dosis iradiasi 1000 Gray digunakan sebagai kontrol alat Gamma Chamber untuk memastikan alat radiasi berfungsi dengan baik. Menurut teori, penggunaan dosis iradiasi 1000 Gy dapat mengakibatkan tanaman mengalami kematian sehingga dengan penggunaan dosis tersebut jika tanaman yang teriradiasi masih hidup normal maka irradiator (Gamma Chamber) yang digunakan perlu dipertanyakan efektivitasnya dalam memancarkan gelombang radiasi. Percobaan dengan menggunakan dosis 1000 Gy, pada awalnya benih masih dapat berkecambah, namun setelah beberapa hari kecambah tersebut tidak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Kecambah-kecambah dari kedua varietas yang digunakan mengering dan mati (Gambar 15). Hal ini menunjukkan bahwa iradiasi pada dosis tinggi dapat melukai bahkan membunuh benih (Mudibu

et al. 2012).

Gambar 15. Keragaan kecambah yang diiradiasi sinar gamma dosis 1000 Gy pada varietas Anjasmoro

Berdasarkan Tabel 32 di atas juga dapat dikatakan bahwa kedelai varietas Burangrang lebih sensitif terhadap perlakuan iradiasi. Varietas Burangrang memiliki ketahanan hidup yang lebih rendah dibandingkan Anjasmoro hampir pada semua dosis perlakuan iradiasi, kecuali pada dosis 350 Gy. Varietas Burangrang pada dosis 350 Gy memiliki kemampuan rata-rata bertahan hidup yang paling tinggi dibandingkan perlakuan yang lain. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifat acak iradiasi yang pada saat pemberian dosis 350 Gy tidak banyak menghasilkan kerusakan materi genetik sehingga benih masih dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

Iradiasi sinar gamma juga dapat menyebabkan tanaman mengalami umur berbunga yang lebih lama dibandingkan tanaman kontrol. Perbedaan umur muncul bunga pada tanaman kontrol (A1) dan teriradiasi (A2) dapat dilihat pada Gambar 16. Selain itu, iradiasi sinar gamma juga dapat menyebabkan polong yang terbentuk menjadi hampa bahkan tanaman tidak dapat menghasilkan bunga dan polong sama sekali (Gambar 17). Umur muncul bunga yang lebih lambat memungkinkan tanaman untuk memperbanyak asimilat saat masa vegetatif sehingga diharapkan ketika memasuki masa generatif, asimilat yang terkumpul dapat memaksimalkan produksi biji.

Gambar 16. Perbedaan waktu kemunculan bunga antara tanaman kontrol (A) dengan teriradiasi (B) pada umur 35 HST varietas Anjasmoro

Menurut karakteristik varietas, kedelai Anjasmoro dan Burangrang memiliki umur berbunga yang hampir sama. Namun, pada percobaan ini varietas Burangrang berbunga lebih cepat 3 hari dibandingkan varietas Anjasmoro. Iradiasi sinar gamma mempengaruhi waktu berbunga pada kedua varietas kedelai yang digunakan dalam percobaan. Pada kedelai yang teriradiasi waktu muncul bunga lebih lambat sekitar 14 hari dibandingkan tanaman kontrol. Keterlambatan waktu berbunga dapat mempengaruhi umur panen tanaman sehingga dengan semakin dalam umur panen kedelai diharapkan semakin banyak fotosintat yang dapat digunakan untuk mengisi polong-polong yang terbentuk. Semakin bernas polong yang dihasilkan, secara tidak langsung dapat meningkatkan produktivitas tanaman kedelai.

Karakter-karakter agronomi juga terpengaruh iradiasi. Dalam percobaan ini dilakukan pengamatan beberapa karakter agronomi kedelai akibat iradiasi yaitu tinggi tanaman, jumlah polong (bernas, hampa, dan total), dan jumlah biji. Iradiasi mempengaruhi karakter agronomi pada generasi M1 (Tabel 33). Hampir

66

semua karakter memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan tanaman kontrol, kecuali karakter jumlah polong bernas. Karakter jumlah polong bernas secara statistik sama untuk semua perlakuan, meskipun dosis 350 Gy memiliki nilai yang paling baik. Iradiasi memberikan pengaruh yang berbeda terhadap varietas kedelai yang digunakan. Varietas Anjasmoro memiliki nilai yang lebih baik pada hampir semua karakter pengamatan dibandingkan varietas Burangrang. Iradiasi dapat menurunkan tinggi tanaman, mengurangi jumlah polong bernas, jumlah polong total, meningkatkan jumlah polong hampa, dan mengurangi jumlah biji yang terbentuk. Hal ini sejalan dengan penelitian Pavadai et al. (2010) dan Mudibu et al.

(2012) pada tanaman kedelai, yang menunjukkan bahwa pada generasi M1 karakter agronomi yang diamati mengalami penurunan.

Iradiasi sinar gamma mengakibatkan kedua varietas kedelai mengalami pemendekan (Tabel 33). Tinggi tanaman hampir menyerupai tanaman kontol dijumpai pada dosis 350 Gy. Semakin tinggi dosis iradiasi, rupanya tidak menunjukkan semakin pendek suatu tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa iradiasi bersifat acak. Pengaruh iradiasi terhadap tinggi tanaman sudah sering terjadi pada komoditas lainnya, seperti laporan Neto et al. (1996) pada tanaman gandum yang diiradiasi gamma mengalami pengurangan tinggi tanaman.

Tabel 33. Pengaruh iradiasi terhadap karakter tinggi tanaman, jumlah polong bernas, jumlah polong hampa, jumlah polong total, dan jumlah biji pada dua varietas kedelai nasional di generasi M1

Perlakuan Tinggi

tanaman (cm)

Jumlah polong Jumlah biji Bernas Hampa Total

Varietas

Anjasmoro 32.18a 16.5a 16.6a 33.2a 24.6a

Burangrang 23.77b 10.8a 11.5a 21.9b 13.4b

Dosis iradiasi (Gray)

0 37.85a 46.7ab 12.8a 59.5a 73.6a

200 24.90c 5.3b 10.4cd 15.7c 5.5cd

250 25.51c 5.1ab 15.0c 20.1bc 6.1c

300 24.66c 7.6b 10.4c 17.9c 9.3bc

350 30.87b 13.3a 23.7b 37.0ab 16.0b

400 24.04c 2.7b 12.9d 14.8c 3.6d

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5% berdasarkan DMRT.

Pengamatan terhadap karakter jumlah polong dapat diketahui bahwa pada varietas Anjasmoro, tanaman yang berasal dari benih teriradiasi mengalami penurunan jumlah polong bernas dan jumlah polong total, serta terjadi peningkatan jumlah polong hampa. Begitu juga dengan varietas Burangrang. Perlakuan iradiasi yang memberikan hasil cukup baik secara keseluruhan adalah dosis 350 Gy. Pada dosis tersebut jumlah polong bernas pada varietas Anjasmoro merupakan hasil yang tertinggi dibandingkan dosis yang lainnya, sedangkan pada varietas Burangrang, jumlah polong bernas terbanyak secara rata-rata diperoleh pada dosis 200 Gy, tetapi pada dosis 350 Gy juga diperoleh jumlah polong bernas yang hampir sama dengan 200 Gy.

Selain itu, jumlah polong hampa terbanyak juga secara keseluruhan diperoleh pada dosis 350 Gy, baik pada Anjasmoro maupun Burangrang. Meningkatnya jumlah polong hampa tersebut kemungkinan disebabkan oleh ketidakseimbangan kromosom dalam inti sel tanaman sehingga pembelahan meiosis tidak berlangsung dengan baik. Pembelahan meiosis yang tidak sempurna dapat mengakibatkan sterilitas pada organ reproduksi tanaman sehingga meskipun bunga terbentuk dan terjadi polinasi, namun tidak terjadi fertilisasi/pembuahan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Satpute dan Fultambar (2012) yang menyatakan bahwa mutasi induksi baik secara fisik maupun kimia dapat meningkatkan sterilitas polen.

Gambar 17. Pengaruh iradiasi terhadap peningkatan polong hampa (A) dan tidak berbunga sama sekali (B) pada M1 varietas Anjasmoro (dosis 200 Gy, umur 72 HST)

Pengamatan terhadap jumlah biji dilakukan dengan maksud untuk mengetahui banyaknya biji dalam polong setiap tanaman. Pengamatan tersebut diharapkan dapat menemukan galur baru yang memiliki jumlah biji yang banyak dalam setiap polongnya. Generasi pertama setelah iradiasi ini (M1) ternyata belum dapat ditemukan kandidat tersebut. Rata-rata untuk karakter jumlah biji tiap tanaman masih lebih rendah dari tanaman control pada semua dosis iradiasi, baik pada varietas Anjasmoro maupun Burangrang. Rendahnya jumlah biji setiap tanaman disebabkan oleh rendahnya jumlah polong bernas dan tingginya jumlah polong hampa dibandingkan kontrol.

Benih yang dihasilkan dari varietas kedelai Anjasmoro terlihat lebih baik dibandingkan Burangrang. Biji varietas Anjasmoro terlihat lebih bersih dan memiliki bentuk yang lebih sempurna dibandingkan Burangrang. Bentuk benih yang baik merupakan salah satu mutu fisik benih yang dapat menggambarkan viabilitas benih tersebut (Gambar 18). Benih pada dosis 200 Gy varietas Burangrang terdapat bercak hitam di bagian testa (kulit benih), sedangkan varietas Anjasmoro pada dosis 200 Gy tidak mampu menghasilkan benih. Berbeda halnya dengan benih yang dihasilkan pada dosis 400 Gy varietas Anjasmoro. Benih yang dihasilkan memiliki testa yang keputihan seperti terserang cendawan, sedangkan varietas Burangrang tidak mampu berproduksi pada dosis tersebut.

68

Gambar 18. Perbandingan keragaan benih yang dihasilkan M1 terhadap kontrol (A=Anjasmoro; B=Burangrang; Angka di belakang huruf merupakan dosis iradiasi)

Heritabilitas Arti Luas (hBS) Beberapa Karakter Agronomis pada Generasi

Kedua (M2)

Penanaman M2 di lahan kering hanya dilakukan pada benih-benih M1 yang berasal dari dosis 250, 300, dan 350 Gray. Hal ini dikarenakan jumlah benih yang dihasilkan pada dosis 200 dan 400 Gray terlalu sedikit bahkan salah satu varietas tidak mampu menghasilkan benih. Berdasarkan Gambar 19 dapat dilihat bahwa daya tumbuh kontrol lebih baik dibandingkan tanaman M1. Hal ini menunjukkan bahwa iradiasi sinar gamma dapat menurunkan viabilitas benih yang dihasilkan M1. Penurunan viabilitas ini kemungkinan disebabkan oleh benih yang terbentuk kurang sempurna karena ketidakseimbangan kromosom dalam tanaman M1 sehingga proses-proses biokimiawi dalam tanaman terganggu. Gangguan yang terjadi dalam proses biokimia tanaman dapat terlihat dari penampakan fisik benih yang dihasilkan M1. Secara fisik, benih yang dihasilkan tanaman kontrol lebih padat, besarnya seragam, dan bentuknya sempurna, sedangkan benih M1 kebanyakan kisut, besarnya beragam, dan bentuknya kurang sempurna.

Gambar 19. Daya tumbuh kedelai M2 di lahan kering Cirebon 2 MST - 20.00 40.00 60.00 80.00 K1 K2 K3 250 300 350 D ay a B e rke cam b ah (% )

Dosis Iradiasi (Gy)

Panen dilakukan apabila daun tanaman menguning dan batang serta polong kedelai mengering. Panen dilakukan secara individual tanaman sehingga umur tanaman dapat diamati dengan baik. Pada saat panen ini beberapa karakter agronomi telah teramati dan hasil pengamatan tersebut dijadikan acuan untuk melakukan seleksi. Beberapa karakter agronomi yang diamati pada saat panen adalah tinggi tanaman, umur tanaman, jumlah polong bernas dan hampa, serta jumlah cabang yang terbentuk.

Tanaman M2 dosis radiasi 250 Gy memiliki tinggi tanaman yang paling rendah dibandingkan dosis radiasi yang lain, baik pada varietas Anjasmoro maupun Burangrang. Begitu juga dengan jumlah polong bernas, jumlah polong hampa, dan jumlah cabang. Sedangkan karakter umur panen pada dosis 250 Gy pada varietas Anjasmoro jauh lebih dalam daripada varietas Burangrang dibandingkan dosis yang lain (Tabel 34).

Tabel 34. Pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang, dan umur panen pada dua varietas kedelai nasional di generasi M2 Iradiasi (Gray) Tinggi tanaman (cm) Jumlah cabang Umur panen (HST)

Anjasmoro 0 29.28 + 6.74 3.33 + 1.89 92.19 + 4.98 250 22.58 + 4.73 1.80 + 1.55 97.80 + 2.89 300 30.05 + 6.89 3.13 + 1.96 91.24 + 5.41 350 30.94 + 7.06 3.79 + 1.71 93.63 + 5.48 Burangrang 0 32.36 + 5.67 1.46 + 1.30 83.02 + 4.85 250 26.25 + 4.54 0.42 + 0.72 82.29 + 6.42 300 30.37 + 7.59 1.22 + 1.43 88.28 + 6.98 350 33.03 + 5.59 1.44 + 1.40 85.34 + 6.94

Keterangan : + standard deviasi

Varietas Anjasmoro pada dosis iradiasi 300 Gy memiliki karakter yang hampir sama dengan tanaman kontrol, tetapi untuk karakter jumlah polong hampa lebih banyak daripada kontrol dan jumlah polong bernas yang lebih sedikit dibandingkan tanaman kontrol. Sementara varietas Burangrang, memiliki karakter yang lebih rendah dibandingkan tanaman kontrol, kecuali untuk karakter umur panen. Umur panen kedelai varietas Burangrang pada dosis 300 Gy merupakan yang paling dalam daripada dosis yang lain. Dosis ini merupakan terbaik bagi varietas Anjasmoro untuk meningatkan potensi hasil kedelai.

Tanaman M2 pada dosis iradiasi 350 Gy memiliki penampakan karakter yang hampir sama dengan tanaman kontrol, baik pada varietas Anjasmoro maupun Burangang. Tinggi tanaman kedua varietas tersebut secara rata-rata sedikit lebih tinggi dan memiliki umur panen yang lebih dalam dibandingkan kontrol. Dosis ini merupakan yang terbaik bagi varietas Burangrang untuk meningkatkan potensi hasil tanaman.

Jumlah polong yang terbentuk pada M2 sangat rendah dibandingkan M1. Gambar 20 menunjukkan rentang polong yang terbentuk di lahan kering. Jumlah polong bernas dan hampa terbanyak pada kedua varietas dihasilkan pada dosis 350 Gy. Jumlah polong bernas tertinggi pada varietas Anjasmoro sebanyak 16

70

polong atau lebih banyak 23% dibandingkan kontrol dan polong hampa sebanyak 20 polong (5.3% lebih banyak dari kontrol). Pada varietas Burangrang, jumlah polong bernas tertinggi sebanyak 25 polong atau lebih banyak 39% dibandingkan kontrol dan polong hampanya sebanyak 11 polong (10% lebih banyak).

Gambar 20. Rentang jumlah polong bernas dan hampa akibat perlakuan iradiasi pada M2

Jumlah polong yang terbentuk sangat dipengaruhi lingkungan, apalagi perlakuan cekaman kekeringan yang ekstrim pada M2 ini diberikan pada fase kritis kedelai (R1), yaitu saat tanaman mulai berbunga. Akibat pemberian cekaman pada fase ini, tanaman harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan agar tetap bertahan hidup. Penyesuain diri pada lingkungan yang kurang air dapat mengakibatkan beberapa karakter mengalami penurunan berupa tinggi tanaman yang lebih pendek, jumlah cabang lebih sedikit, jumlah polong menurun, dan umur panen lebih cepat. Terkait seleksi, maka dapat dipilih genotipe-genotipe baru hasil iradiasi dengan karakter sesuai tujuan seleksi, yaitu genotipe yang toleran kekeringan tetapi memiliki daya hasil yang lebih baik dari tanaman kontrol berupa jumlah polong yang bernas yang lebih banyak.

Keragaman yang muncul di lapangan dapat diamati untuk menduga nilai heritabilitas setiap karakter. Nilai heritabilitas dapat diduga dari nilai ragam genetik dan fenotipe. Sementara itu, untuk menduga nilai ragam genetik dibutuhkan nilai ragam fenotipe dan lingkungan. Secara genetik, tanaman kontrol setiap varietas adalah sama sehingga keragaman yang muncul pada blok tanaman kontrol merupakan nilai duga dari ragam lingkungan setiap varietas. Sedangkan tanaman M2 memiliki keragaman fenotipik yang tinggi sehingga ragam yang muncul merupakan interaksi antara ragam genetik dan lingkungan.

Berdasarkan Tabel 35, keragaman yang tertinggi dapat dilihat pada karakter tinggi tanaman, sedangkan keragaman terendah dapat dijumpai pada karakter jumlah cabang yang terbentuk. Hal ini menunjukkan bahwa karakter tinggi tanaman banyak mengalami perubahan dibandingkan dengan jumlah cabang yang terbentuk. Dosis 350 Gray pada varietas Anjasmoro terlihat memiliki

0 5 10 15 20 25 30 Be rn a s H amp a Be rn a s H amp a Be rn a s H amp a Be rn a s H amp a Be rn a s H amp a Be rn a s H amp a Be rn a s H amp a Be rn a s H amp a 0 250 300 350 0 250 300 350 Anjasmoro Burangrang Ju m lah Po lo n g

keragaman yang tinggi, baik dibandingkan dengan tanaman kontrol maupun dengan dosis yang lainnya, kecuali pada karakter jumlah cabang dan umur panen tanaman. Sedangkan dosis 250 Gray pada varietas Burangrang memiliki keragaman yang paling kecil dibandingkan semua perlakuan dan kontrol.

Tabel 35. Ragam dan heritabilitas arti luas (%) dua varietas kedelai pada berbagai karakter pengamatan di generasi M2 pada dosis yang berbeda

Perlakuan (Gray) Ragam (σ2) / Heritabilitas Tinggi tanaman Jumlah polong Umur panen Bernas Hampa Total

Anjasmoro 0 σ2E 44.09 10.43 16.60 2.63 8.82 300 σ2G 0.00 6.15 0.32 0.67 3.56 Heritabilitas 0.00 37.08 1.86 20.37 29.29 350 σ2G 2.91 8.18 3.30 0.00 0.00 Heritabilitas 6.19 43.94 16.56 0.00 0.00 Burangrang 0 σ2E 29.80 10.72 4.76 1.69 8.71 300 σ2G 6.76 0.00 0.00 1.06 0.82 Heritabilitas 18.48 0.00 0.00 38.58 8.56 350 σ2G 4.55 4.84 0.00 0.34 0.00 Heritabilitas 13.25 31.09 0.00 16.62 0.00 Penampakan karakter (fenotipe) merupakan gabungan dari pengaruh genetik dan lingkungan (F = G + E). Nilai duga ragam genetik dapat dihitung dengan mengurangi nilai ragam fenotipe dengan lingkungan. Nilai duga ragam genetik yang bernilai negatif dapat dianggap tidak ada keragaman genetik sehingga nilainya nol (0) sehingga nilai heritabilitas juga menjadi 0. Berdasarkan nilai ragam genetik di atas, heritabilitas arti luas (h2BS) dapat diduga dengan menggunakan persamaan h2BS = (σ2G/σ2F) X 100%. Nilai heritabilitas dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kemungkinan suatu karakter tertentu dapat diwariskan ke keturunan selanjutnya. Selain itu, nilai heritabilitas juga dapat digunakan untuk menilai suatu karakter tertentu yang dapat digunakan sebagai karakter seleksi pada generasi awal atau akhir. Jika nilai heritabilitas suatu karakter termasuk ke dalam kelompok tinggi (< 50), maka karakter tersebut dapat dijadikan karakter seleksi pada generasi awal. Heritabilitas adalah salah satu alat ukur dalam sistem seleksi yang efisien yang dapat menggambarkan efektivitas seleksi genotipe berdasarkan penampilan fenotipenya (Fehr 1987).

Heritabilitas arti luas yang diperoleh pada semua karakter pengamatan menunjukkan nilai yang rendah (Tabel 35). Allen et al. (1978) menyatakan bahwa nilai duga heritabilitas kadang-kadang dapat lebih besar atau lebih kecil pada level lingkungan yang lebih baik. Hal ini tergantung pada nilai relatif dari perubahan ragam genotipik dan ragam lingkungan. Pada penelitian ini nilai heritabilitas yang cukup baik terdapat pada karakter jumlah polong bernas per tanaman. Dosis 350 Gy pada varietas Anjasmoro dan Burangrang mempunyai heritabilitas arti luas sebesar 43.94% dan 31.09%. Sementara dosis 300 Gy pada varietas Anjasmoro memiliki heritabilitas 37.08%. Nilai heritabilitas yang tergolong sedang pada karakter jumlah polong bernas yang dihasilkan dari penanaman kedelai di lahan

72

kering menunjukkan masih ada harapan untuk dapat meningkatkan potensi hasil kedelai.

Berdasarkan Tabel 35 dapat diketahui bahwa nilai heritabilitas karakter yang diamati berkisar dari rendah sampai sedang. Nilai heritabilitas yang demikian merupakan tanda bahwa seleksi pada generasi awal untuk mendapatkan genotipe yang toleran kekeringan tidak dianjurkan sehingga benih yang dihasilkan (M3) perlu ditanam kembali di lahan yang optimal untuk mendapatkan keturunan (M4). Hal ini diungkapkan oleh Van Harten (1998) bahwa seleksi pada populasi hasil iradiasi lebih efektif dilakukan pada generasi setelah M2, dimana gen-gen minor yang bersifat kuantitatif telah terfiksasi pada generasi lanjut.

Kandidat mutan kedelai toleran kekeringan dengan daya hasil yang tinggi dapat diperoleh melalui seleksi M2 yang dilakukan pada genotipe-genotipe hasil iradiasi yang tetap bertahan hidup hingga panen dengan karakter jumlah polong bernas yang tinggi. Persentase seleksi sebesar 10% digunakan untuk memilih genotipe-genotipe terbaik berdasarkan jumlah polong bernas yang tertinggi sehingga dapat diduga nilai seleksi diferensial untuk masing-masing karakter pengamatan (Tabel 36). Seleksi diferensial merupakan selisih antara nilai tengah populasi tanaman terpilih terhadap nilai tengah populasi tanaman yang tercekam (Trikoesoemaningtyas 2008). Pemilihan populasi hasil seleksi telah menghasilkan genotipe-genotipe hasil mutasi dengan umur panen yang genjah. Berdasarkan persentase seleksi tersebut, maka dapat diperoleh 34 kandidat genotipe harapan yang akan diuji pada musim tanam berikutnya.

Tabel 36. Seleksi diferensial pada beberapa karakter pengamatan Karakter pengamatan Rataan setelah

seleksi Rataan seluruh tanaman tercekam Seleksi diferensial

Dokumen terkait