• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.4 Dana Perimbangan

2.4.3 Dana Alokasi Khusus (DAK)

Kuncoro (2004) berpendapat bahwa DAK adalah dana yang ditransfer dan ditujukan untuk daerah khusus yang dipilih untuk tujuan khusus, dimana alokasi dana yang didistribusikan ini sepenuhnya merupakan wewenang pusat dan untuk tujuan nasional. Kebutuhan khusus dalam DAK meliputi :

a. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak mempunyai akses yang memadai ke daerah lain;

b. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang menampung transmigrasi;

c. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang terletak di daerah pesisir/kepulauan dan tidak mempunyai prasarana yang memadai;

d. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah guna mengatasi dampak kerusakan lingkungan.

Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 menjelaskan bahwa, DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan Daerah.

PP No. 55 Tahun 2005 lebih rinci mengatur tentang kriteria-kriteria daerah yang dapat memperoleh alokasi DAK, yaitu meliputi :

a. Kriteria umum,

Kriteria ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD.

Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang- undangan dan karakteristik Daerah.

c. Kriteria teknis.

Kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian Negara/departemen teknis.

Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 41 menyatakan bahwa daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari alokasi DAK. Dana Pendamping tersebut harus dianggarkan dalam APBD daerah tersebut. Sedangkan untuk daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan menyediakan Dana Pendamping.

2.5 Definisi Kemiskinan

Badan Pusat Statistik (BPS) membuat ukuran kemiskinan berdasarkan tingkat konsumsi penduduk terhadap kebutuhan dasar, dalam arti lebih dari sekedar beras. Dalam hal ini, kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makanan dan non makanan. Dari sisi makanan ini, BPS menggunakan indikator kebutuhan minimum setara dengan satuan 2.100 kalori per orang per hari. Hal ini dikombinasikan dengan standar minimum kebutuhan non makanan yang mencakup sandang, papan, pendidikan dan kesehatan, dengan pemilihan sejumlah komoditas berdasarkan ukuran-ukuran tertentu.

Definisi kemiskinan menurut Bappenas (2002) adalah suatu situasi atau kondisi yang dialami seseorang atau sekelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Taraf manusiawi ini dalam artian terpenuhinya hak-hak dasar seseorang. Hak-hak dasar itu antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan serta hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.

Menurut Bank Dunia (2004) kemiskinan didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana sebuah keluarga mempunyai pendapatan kurang dari US$2 (Rp 20.000) per hari. Sedangkan Bappenas (2007) dalam Laporan Pencapaian Millenium

Development Goals Indonesia, dari sisi pendapatan ini mengatakan bahwa salah satu indikator suatu keluarga dikatakan miskin apabila mempunyai pendapatan kurang dari US$1 (Rp 10.000) per hari. Lebih lanjut BKKBN mendefinisikan kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera jika tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, tidak mampu makan dua kali sehari, tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah dan bepergian, bagian terluas rumah berlantai tanah dan tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.

Sumardjo (Crescent, 2003) menyatakan bahwa pada tingkat paling dasar kesejahteraan manusia yang beradab, paling tidak manusia harus dapat memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu kecukupan pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Apabila kebutuhan dasar tersebut sudah terpenuhi, maka dapat dikatakan sebagai kondisi tingkat aman pertama dalam kesejahteraan.

Dari berbagai definisi kemiskinan yang telah dijelaskan di atas, untuk membatasi masalah dan mempermudah dalam memperoleh dan menganalisis data, maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan definisi kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS.

BAB III

METODE KAJIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Beberapa manfaat data PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) adalah untuk mengetahui tingkat produk yang dihasilkan oleh seluruh faktor produksi, besarnya laju pertumbuhan ekonomi dan struktur perekonomian pada satu periode di suatu daerah tertentu. Laju pertumbuhan ekonomi dapat diketahui jika data PDRB dikaji dari sudut perbandingan nilai atas dasar harga yang konstan, sedangkan struktur ekonomi dapat dilihat dari besarnya sumbangan masing-masing sektor ekonomi terhadap total PDRB. Disamping itu PDRB dapat digunakan untuk mengetahui indikator kesejahteraan/kemakmuran suatu daerah atau dengan kata lain dengan melihat pertumbuhan PDRB suatu daerah maka dapat diketahui juga dampak pertumbuhan tersebut terhadap tingkat kemiskinan daerah tersebut.

Secara teoritis model PDRB yang dihitung dari pendekatan pengeluaran adalah dengan Aggregate Expenditure (AE) yang merupakan hasil penjumlahan dari semua komponen permintaan akhir, yaitu pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung (C), konsumsi pemerintah (G), pembentukan modal tetap domestik bruto (I), dan aktivitas perdagangan bersih (X-M) dalam jangka waktu tertentu. Konsumsi pemerintah (G) dalam hal ini direpresentasikan dalam APBD, dimana dana APBD bersumber dari DAU, DAK, DBH dan PAD. Secara matematis persamaan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :

AE = C + I + G + (X-M) pada saat keseimbangan Y=AE (Aggregate Expenditure).

Teori ekonomi menyatakan pertumbuhan ekonomi (PDRB) yang menunjukkan semakin banyaknya output daerah, mengindikasikan semakin banyaknya orang yang bekerja sehingga akan mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pertumbuhan PDRB suatu daerah maka tingkat penganguran dan kemiskinan akan berkurang.

Hubungan pertumbuhan ekonomi (PDRB), pengeluaran pemerintah (G), Investasi (I), konsumsi rumah tangga (C) dengan tingkat kemiskinan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Pola Hubungan Pertumbuhan PDRB dengan Angka Kemiskinan

Dokumen terkait