• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP UTANG PIUTANG DALAM HUKUM ISLAM 1. Pengertian Utang Piutang

2. Dasar Hukum Utang Piutang

2.3 Dasar dari Ijma’

Kaum muslimin sepakat bahwa qardh dibolehkan dalam Islam. Hukum qardh adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi muqtarid, berdasarkan hadits diatas.

Memberikan utang kadang-kadang dapat menjadi wajib seperti menghutangi orang yang terlantar atau yang sangat hajat dan tidak syak lagi bahwa hal ini adalah suatu pekerjaan yang amat besar faedahnya terhadap masyarakat satu sama lain hajat menghajatkan pertolongan. (Moh. Rifa’I, 414)

Adapun hukum qardh yaitu mengikuti hukum taklifi : terkadang boleh, terkadang makruh, terkadang wajib, dan terkadang haram. Semua itu sesuai dengan cara mempraktekkannya karena hukum wasilah itu mengikuti hukum tujuan.

Jika orang yang berutang adalah orang yang mempunyai kebutuhan yang sangat mendesak, maka orang yang bisa membantu orang yang sedang dalam kesusahan hukumnya wajib. Adapun kebutuhan yang mendesak adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti untuk makan. Jika mereka tidak berutang maka mereka akan kelaparan, maka wajib bagi mereka berutang demi menjaga jiwa dan fisik mereka.

Jika pemberi utang mengetahui bahwa pengutang akan menggunakan uangnya untuk berbuat maksiat maka hukumnya adalah haram. Misalnya, orang berutang karena ingin membeli minuman keras, untuk berjudi dan perbuatan lain yang dilarang agama, maka haram hukumnya bagi pemberi utang untuk memberikan utang kepadanya.

Jika seorang yang berutang bukan karena adanya kebutuhan yang mendesak, tetapi untuk menambah modal perdagangannya karena berambisi mendapat keuntungan yang besar, maka hukum memberi utang kepadanya adalah mubah. Selain itu, orang yang berutang dengan tujuan untuk memperkaya diri hukumnya juga mubah. Misalnya seorang berutang untuk membeli mobil, rumah, dan sebagainya yang bertujuan untuk memperkaya diri orang yang berutang tersebut.

Seseorang boleh berutang jika dirinya yakin dapat membayar utang tersebut karena ada harta yang diharapkan dan ada niat juga untuk membayar utang tersebut. Seseorang wajib berutang jika dalam kondisi terpaksa dalam rangka menghindarkan diri dari bahaya, seperti untuk membeli makanan agar dirinya tertolong dari kelaparan. (ath-Thayar, 157-158) 3. Rukun dan Syarat Utang Piutang

Utang piutang merupakan akad pemilikan. Boleh melakukannya bagi orang yang berhak melakukan transaksi terhadapnya yaitu orang yang cakap bertindak hukum, tidak dikenakan hajru, dan harta tersebut merupakan miliknya sendiri. Dengan demikian tidak sah melakukan akad utang piutang terhadap orang yang tidak memenuhi ketentuan ini. Akad ini dinyatakan sah dengan adanya ijab qabul berupa lafazqardhatau yang sama pengertiannya. Seperti “ aku utangkan uang ini kepadamu dan kamu kembalikan lagi padaku.” Orang yang berutang mengembalikan utangnya dengan harga atau nilai yang sama. (Rozalinda 2005, 146)

Seperti halnya jual beli, rukunqardhjuga diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiyah, rukun qardh adalah ijab dan qabul saja. Sedangkan menurut jumhur fuqaha rukunqardhadalah :

3.1 Aqid, yaitu muqridh dan muqtarid (dua pihak yang melakukan transaksi) adalah pemberi utang dan pengutang. Adapun syarat-syarat akid adalah:

3.1.1 Merdeka. Maksudnya orang yang melakukan transaksi adalah orang yang tidak berada dalam pengampuan orang lain (mahjur ‘alaih). Selain tidak berada dalam pengampuan orang lain, merdeka berarti ia sudah mandiri dalam kehidupannya. 3.1.2 Baligh. Maksudnya adalah orang yang melakukan transaksi

sudah dewasa. Adapun tanda bagi laki-laki yang sudah baligh yaitu sudah mengalami mimpi basah. Sedangkan tanda baligh bagi perempuan adalah sudah datang haid atau mengalami menstruasi. Adapun yang dimaksud dengan haid menurut ulama Malikiyah adalah darah yang keluar sendiri dari kemaluan wanita dan biasanya wanita yang sudah bisa hamil. Oleh karena itu tidak sah qardh yang dilakukan oleh anak yang masih di bawah umur. (Shalih 2013, 199)

3.1.3 Berakal. Maksudnya adalah orang yang melakukan transaksi adalah orang yang sudah bisa membedakan baik buruknya suatu perbuatan, sehingga dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. (Rozalinda 2005, 43)

3.1.4 Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak. Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak , seperti orang gila, orang yang di bawah pengampuan (mahjur), karena boros atau yang lainnya. (Suhendi 2011, 50)

3.1.5 Tidak ada paksaan. Maksudnya orang yang melakukan transaksi berdasarkan kemauan sendiri dan tidak atas dasar

paksaan orang lain. Jadi, tidak dibenarkan melakukan transaksi qardhkarena paksaan salah satu pihak ataupun dari pihak lain.

Untuk ‘akid, baik muqridh maupun muktaridh disyaratkan harus orang yang dibolehkan melakukan tasarruf atau memiliki ahliyatul ada’.

Syafi’iyah memberikan persyaratan untuk muqridh, antara lain:

3.1.6 Ahliyah atau kecakapan untuk melakukan tabarru’. Maksunya untuk seorang muqridh (pihak pemberi utang) adalah seorang yang ahli dan dan cakap hukum dalam bertransaksi.

3.1.7 Mukhtar (memiliki pilihan)

Sedangkan untuk muqtaridh hanya disyaratkan harus memiliki ahliyah atau kecakapan untuk melakukan muamalat, seperti baligh, berakal, dan tidak mahjur ‘alaih. (Muslich 2013, 278- 279)

3.2 Harta yang diutangkan (Ma’qud ‘Alaih)

Syarat harta yang diutangkan adalah sebagai berikut:

3.2.1 Harta tersebut berupa harta yang ada padanannya, maksudnya harta yang satu sama lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda. Contohnya harta atau barang yang banyak dijual orang, seperti beras, minyak, dan sebagainya.

3.2.2 Harta yang diutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah mengutangkan manfaat (jasa). Hal ini disebabkan karena mengutangkan suatu manfaat atau jasa tidak diketahui kadar dan sifatnya. Contohnya orang yang tolong menolong di saat panen padi secara bergilir dari sawah ke sawah. Menurut hukum asalnya tidak boleh karena tidak diketahui kadar dan sifatnya.

3.2.3 Harta yang diutangkan diketahui kadarnya dan diketahui sifatnya. Maksudnya, harta yang diutangkan yaitu berupa

benda. Jadi, tidak sah mengutangkan manfaat atau jasa, karena tidak diketahui kadar dan sifatnya.

Sedangkan menurut Syafi’iyah, materi yang diutangkan dapat dimanfaatkan yaitu, maka tidak sahqardhyang materinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi. (Suhendi 2011, 95)

Menurut pendapat paling unggul dari ulama Hanafiyah, setiap qardh pada benda yang mendatangkan manfaat diharamkan jika memakai syarat. Akan tetapi, dibolehkan jika tidak disyaratkan kemanfaatan atau tidak diketahui adanya manfaat padaqardh.

Ulama Malikyah berpendapat bahwa muqrid tidak boleh memanfaatkan harta muqtarid, seperti naik kendaraan atau makan di rumah muqtarid, jika dimaksudkan untuk membayar utang muqrid dan bukan sebagai penghormatan.

Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah melarang qardh terhadap sesuatu yang mendatangkan kemanfaatan, seperti memberikan qardh agar mendapat sesuatu yang lebih baik atau lebih banyak. Sebab qardh dimaksudkan sebagai akad kasih sayang dan mendekatkan hubungan kekeluargaan, mempererat tali silaturrahmi. Selain itu, Rasulullah SAW pun melarang qardh terhadap sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi orang yang memberi utang tersebut.

Namun demikian, jika tidak disyaratkan atau tidak dimaksudkan untuk mengambil yang lebih baikmaupun lebih banyak, qardh dibolehkan. Tidak dimakruhkan bagi muqrid untuk mengambilnya, sebab Rasulullah pernah memberikan anak unta yang lebih baik kepada seorang laki-laki daripada unta yang diambil beliau SAW. (Syafei 2000, 156)

3.3Shigat

Shigat merupakan sesuatu yang bersumber dari dua orang yang melakukan akad yang menunjukkan tujuan kehendak batin

mereka yang melakukan akad. Shigat terdiri dari ijab dan qabul. Ijab merupakan pernyataan yang menunjukkan kerelaan yang terjadi lebih awal dari salah seorang yang berakad. Maka perkataan pertama dari orang yang berakad adalah ijab.

Sedangkan qabul adalah sesuatu yang disebutkan kemudian yang berasal dari salah satu pihak yang berakad yang menunjukkan kesepakatan dan kerelaannya sebagai jawaban dari ucapan pertama.

Salah satu prinsip muamalah adalah antaradin atau azas kerelaan para pihak yang melakukan akad. Rela merupakan persoalan batin yang sulit diukur kebenarannya, maka manifestasi dari suka sama suka itu diwujudkan dalam bentuk akad. Akad pun menjadi salah satu proses dalam pemilikan sesuatu.

Ijab qabul disyaratkan:

3.3.1 Jelas menunjukkan ijab dan qabul, artinya masing-masing dari ijab dan qabul jelas menunjukkan maksud dan kehendak dari dua orang yang berakad. Tidak sah ijab qabul yang dilakukan dengan samar ataupun tidak jelas maksudnya.

3.3.2 Bersesuaian antara ijab dan qabul, kesesuaian dikembalikan kepada setiap yang diakadkan. Contohnya, jika seorang mengatakan saya utangkan uang kepada anda, maka jawabannya adalah saya terima uang dari anda, saya utangkan kepada anda emas 2,5 gram, maka jawabannya adalah saya terima emas dari anda atau sejenisnya. Bila terjadi perbedaan antara ijab dengan qabul maka akad tidak sah.

3.3.3 Bersambungan antara ijab dan qabul. Ijab dan qabul terjadi pada satu tempat jika kedua belah pihak hadir bersamaan.

Untuk terciptanya bersambungan antara ijab dan qabul disyaratkan:

3.3.1 Bersatunya majelis (tempat) ijab dan qabul.

Akad tidak boleh dilakukan dengan ijab pada suatu tempat sedangkan qabul pada tempat lain. Dalam masalah bersambungan ijab dan qabul ini terjadi perbedaan pendapat ulama apakah ijab harus segera dijawab dengan qabul. Jumhur fuqaha yang terdiri dari Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, menyatakan tidak disyaratkan segera dalam pernyataan qabul, karena pihak lain (penjawab) membutuhkan waktu untuk berfikir. Sedangkan al Ramli dari kalangan Syafi’iyah mensyaratkan segera dalam qabul. Hanafiyah dan Malikiyah dalam masalah ini berpendapat, antara ijab dan qabul boleh saja diantarai oleh waktu sehingga pihak kedua dapat berpikir dengan baik. Namun Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, jarak antara ijab dan qabul tidak boleh terlalu lama yang menimbulkan dugaan terjadinya perubahan objek akad.

3.3.2 Tidak ada penolakan dari salah seorang yang berakad

Maksudnya adalah dalam melakukan akad antara dua orang yang berakad tidak boleh terjadi penolakan dari salah seorang yang berakad. Sebagai contoh, ketika dua orang berakad dimana pihak pertama memberikan utang sebesar Rp 100.000,- kepada pihak kedua dan pihak kedua harus mengembalikan utang tersebut dalam tiga hari, jika pihak kedua menolak dengan kesepakatan tersebut maka akad tersebut batal.

3.3.3 Tidak ditarik kembali sebelum ada qabul dari pihak lain

Maksudnya adalah dalam melakukan transaksi oleh dua orang yang berakad dimana pihak pertama tidak menarik kembali ucapannya sebelum ada qabul dari pihak lain.

Pada prinsipnya akad dilakukan dengan lisan, namun bukan satu-satunya cara untuk melakukan akad. Untuk melaksanakan akad menurut para ulama ada beberapa cara yang bisa ditempuh diantaranya :

3.3.1 Akad al-Mu’athah (saling memberi)

Akad mu’athah adalah akad saling menukar dengan perbuatan yang menunjukkan kerelaan tanpa ucapan ijab dan qabul. Misalnya pembeli mengambil barang dan menyerahkan uang kepada kasir tanpa mengucapkan ijab dan qabul. Contohnya jual beli yang dilakukan di supermarket, minimarket, atau toko-toko swalayan lainnya.

Ulama berbeda pendapat tentang akad dengan cara tha’athi. Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad dapat dilakukan dengan cara tha’athi terhadap sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan manusia. Karena sesungguhnya kebiasaan manusia adalah petunjuk nyata bagi keredaan. Maksudnya adalah perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan terhadap suatu hal adalah bukti atas keredaannya melakukan perbuatan tersebut. Tidak ada lagi tawar menawar antara pembeli dan penjual, bagi pembeli mereka menyetujui berapa saja harga yang ditetapkan oleh si penjual. Mazhab Maliki dan pendapat yang paling kuat dari mazhab Ahmad menyatakan, akad dapat dengan perbuatan.

Sedangkan Syafi’iyah, Syi’ah, Zahiriyah berpendapat, tidak diakadkan akad dengan cara perbuatan atau mu’athah karena tidak kuat menunjukkan atas saling berakad, sebab redha merupakan urusan tersembunyi yang tidak bisa menjadi petunjuk atas keredaan kecuali dengan adanya akad. Sesungguhnya disyaratkan terjadi akad dengan lafaz-lafaz yang jelas atau sindiran (sharih dan kinayah) atau sesuatu yang bisa dijadikan alat ketika dibutuhkan seperti isyarat atau tulisan. Sighat secara

jelas (al-sharihah) yaitu sighat yang jelas adalah sighat yang menunjukan kepada makna qardh saja tidak kepada makna yang lain. Sighat secara tidak jelas (al-kinayah) yaitu sighat yang mengandung pengertian qardh dan mengandung pengertian yang lainnya.

3.3.2 Akad bi al-Kitabah (akad dengan tulisan)

Akad sah dilakukan melalui tulisan oleh dua orang yang berakad baik keduanya mampu berbicara maupun bisu, keduanya hadir pada waktu akad maupun tidak, dengan bahasa yang dapat dipahami oleh kedua orang yang berakad. Sebagaimana ijab dan qabul diucapkan dengan perkataan, maka ijab dan qabul dengan surat-menyurat sah dilakukan. Contohnya transaksi via pos, telegram, e-mail dan sebagainya sah dilakukan.

Tetapi akad perkawinan tidak sah dilakukan dengan tulisan apabila kedua belah pihak (mempelai laki-laki dan wali perempuan) hadir pada suatu tempat, kecuali pada salah satu pihak tidak mampu berbicara seperti bisu.

3.3.3 Akad bi al-Isyarat (Akad dengan isyarat)

Isyarat adakalanya dari orang yang mampu berbicara dan juga berasal dari orang bisu. Apabila orang yang berakad mampu berbicara maka akad yang dilaksanakan tidak sah dilakukan dengan isyarat, tetapi wajib dengan lisan atau tulisan, karena walaupun isyarat menunjukkan kehendak tapi tidak memfaedahkan suatu keyakinan seperti lafaz atau tulisan.

Apabila orang yang berakad tidak bisa berbicara seperti bisu atau gagap, jika tulisannya baik harus dengan tulisan, begitu riwayat yang kuat dari golongan Hanafiyah karena tulisan lebih menunjukkan pengertian yang dalam daripada isyarat. Jika tulisannya tidak baik, dan mempunyai isyarat yang bisa dipahami

sama nilainya dengan lisan berdasarkan kesepakatan para fuqaha’ karena darurat. (Rozalinda 2005, 44-49)

Utang harus dibayar dalam jumlah dan nilai yang sama dengan yang diterima dari pemiliknya, tidak boleh berlebih karena kelebihan pembayaran itu membuat transaksi ini menjadi riba yang diharamkan.

Yang dimaksud dengan keuntungan atau kelebihan dari pembayaran adalah kelebihan yang disyaratkan dalam akad utang piutang atau ditradisikan untuk menambah pembayaran. Bila kelebihan itu adalah kehendak yang ikhlas dari orang yang berutang sebagai balas jasa yang diterimanya, maka yang demikian bukan riba, bahkan cara ini dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini terdapat dalam beberapa riwayat dari Nabi diantaranya adalah :

ْﻦَﻋ ٍﻞْﻴَﻬُﻛ ِﻦْﺑ َﺔَﻤَﻠَﺳ ْﻦَﻋ ٍﺢِﻟﺎَﺻ ِﻦْﺑ ﱢﻲِﻠَﻋ ْﻦَﻋ ٌﻊﻴِﻛَو ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ ٍﺐْﻳَﺮُﻛ ﻮُﺑَأ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ

َﺮُﻫ ِﰊَأ ْﻦَﻋ َﺔَﻤَﻠَﺳ ِﰊَأ

ﺎﻨ ِﺳ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪﱠﻠﻟا ﻰﱠﻠَﺻ ِﻪﱠﻠﻟا ُلﻮُﺳَر َضَﺮْﻘَـﺘْﺳا َلﺎَﻗ َةَﺮْـﻳ

ًءﺎَﻀَﻗ ْﻢُﻜُﻨ ِﺳﺎَﺣَأ ْﻢُﻛُرﺎَﻴ ِﺧ َلﺎَﻗَو ِﻪﱢﻨ ِﺳ ْﻦِﻣ اًﺮْـﻴَﺧ ﺎﻨ ِﺳ ُﻩﺎَﻄْﻋَﺄَﻓ

) .

يﺬﻣﱰﻟا ﻩاور

(

“Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki' dari Ali bin Shalih dari Salamah bin Kuhail dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata; “Rasulullah SAW meminjam (berhutang) kepada seseorang seekor unta yang sudah berumur tertentu. Kemudian beliau mengembalikan pinjaman tersebut dengan unta yang telah berumur yang lebih baik dari yang beliau pinjam. Dan beliau berkata, sebaik-baik kamu adalah mereka yang mengembalikan pinjamannya dengan sesuatu yang lebih baik (dari yang dipinjam).” (HR. Tirmidzi) (Al-AlBani 2014, 86)

Dibolehkan mengutangkan ternak yang nantinya akan dibayar dengan ternak yang sama. Ini berarti bahwa bertambahnya umur ternak atau berlebih beratnya jika ternak tersebut dikembalikan adalah dibolehkan. Bahkan sehubungan dengan hadist tersebut yaitu melebihkan pembayaran yang tidak

diikat oleh perjanjian dan memang pemberian dari orang yang berutang adalah dibenarkan pula. (Djuwaini 2008) Ini berarti bahwa utang itu bentuknya adalah persahabatan dan tolong menolong tidak diikat oleh penambahan keuntungan. Namun pada saat akad dinyatakan lebih dahulu syarat tambahnya dan kedua belah pihak setuju maka hukumnya sama dengan riba. Nabi bersabda :

ﺮﻗ ﻞﻛ

ﺮﻟا ﻩﻮﺟو ﻦﻣ ﻪﺟو ﻮﻬﻓ ﺔﻌﻔﻨﻣ ﺮﺟ ض

ﺎﺑ

.

ﺒﻟا ﻩاور

ﻰﻘﻬ

Semua utang yang menarik manfaat (keuntungan) adalah sebagan dari beberapa macam riba (bunga) (HR. Baihaqi).

Berdasarkan hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa semua utang yang menarik manfaat atau keuntungan adalah riba. Riba maksudya di sini adalah penambahan yang disyaratkan pada waktu akad. Jika seseorang berutang dan pada saat pembayarannya dilebihkan karena telah disyaratkan di awal kesepakatan maka ini disebut dengan riba nasiah. Riba nasiah terjadi karena adanya penundaan. Sebagai contoh, seorang yang berutang dan membayar lebih pada saat pembayaran dan juga telah disyaratkan di awal kesepakatan.

Sedangkan kelebihan atau penambahan terhadap suatu barang maupun uang pada saat transaksi berlangsung dinamakan dengan riba fadhal. Riba fadhal terjadi saat transaksi berlangsung tanpa adanya penundaan. Sebagai contoh dalam jual beli secara tunai. Misalnya, Bu Emma menukarkan gula satu kg kepada Bu Denna. Namun Bu Denna ingin dilebihkan menjadi 1 kg seperempat, maka kelebihan tersebut merupakan riba fadhal karena dilakukan secara langsung dan tidak ada penundaan.

Utang wajib dibayar pada waktu yang ditentukan bila memang yang berutang telah mampu membayarnya. Bila ia telah

mampu membayar tetapi menangguhkan pembayarannya, dia dinyatakan sebagai orang yang zalim.

لﺎﻗ ﻪﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ةﺮﻳﺮﻫ ﰊأ ﻦﻋ

:

ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر لﺎﻗ

ﻢﻠﻇ ﱢﲏﻐﻟا ﻞْﻄَﻣ

“Menunda pembayaran utang dalam kondisi mampu adalah suatu kezaliman.”(HR. Bukhari) (Al-AlBani 2007, 161)

Namun bila yang berutang memang tidak mampu membayar utangnya pada waktu jatuh tempo, orang yang mengutangi diharapkan bersabar sampai yang berutang mempunyai kemampuan untuk membayar utangnya. (Syarifuddin 2003, 224-226)

Jumhur fuqaha berpendapat bahwa penangguhan tidak boleh disyaratkan dalam utang karena ia adalah kebaikan semata. Apabila utang ditangguhkan sampai batas waktu tertentu maka penangguhan ini tidak sah dan utang tetap tanpa penangguhan. Sementara menurut Malik, penangguhan boleh disyaratkan dan syarat ini bersifat mengikat. Apabila utang ditangguhkan sampai pada batas waktu tertentu maka penangguhan ini sah dan orang yang mempiutangkan tidak boleh menagih sebelum batas waktunya tiba. (Sabiq 2009, 118) Misalnya seseorang berutang uang pada orang lain atas kesepakatan bersama uang tersebut akan dibayar pada waktu tertentu. Namun, pada waktu tersebut orang yang berutang tidak mampu untuk membayarnya maka orang yang memberi utang tersebut boleh memberikan tangguhan waktu kepada orang yang berutang sampai ia mampu membayar utang tersebut.

Akad perutangan dimaksudkan untuk mengasihi manusia, menolong mereka dalam menghadapi berbagai urusan, dan memudahkan sarana-sarana kehidupan. Akad perutangan

bukanlah sarana untuk memperoleh penghasilan dan bukan pula salah satu metode untuk mengeksploitasi orang lain.

Orang yang berutang boleh mengembalikan yang serupa dengan harta tersebut, maksudnya adalah harta yang dikembalikan bukanlah harta atau barang yang yang semula diutang oleh pihak kedua namun harta tersebut semisal atau senilai dengan yang diterimanya. Misalnya saja orang berutang uang sebesar Rp 50.000,- maka orang tersebut akan mengembalikan uang yang ia utang sebesar Rp 50.000,- dan boleh juga mengembalikan harta itu sendiri, baik ada yang serupa dengannya maupun tidak, selama harta tersebut tidak berubah dengan penambahan atau pengurangan. Apabila harta tersebut berubah maka dia wajib mengembalikan yang serupa dengannya. (Sabiq 2009, 117)

Pendapat ulama fiqh tentang qardh dapat disimpulkan bahwa qardhdibolehkan dengan dua syarat :

3.3.1 Tidak menjurus pada suatu manfaat

Maksudya adalah orang memberikan utang kepada orang lain adalah atas dasar tolong menolong dan tidak ada syarat tertentu diawal kesepakatan untuk membayar lebih utang tersebut.

3.3.2 Tidak bercampur dengan akad lain, seperti jual beli

Maksudnya adalah tidak boleh ada dua akad dalam satu transaksi. Sebagai contoh ketika seseorang berutang padi pada orang lain, pada saat akad tersebut orang yang memberi utang mengatakan bahwa ia mengutangi padi pada pihak kedua. Namun pada saat pembayaran utang, pihak pemberi utang mengatakan bahwa ia menerima padi tersebut atas dasar jual beli bukan untuk membayar utang. Maka hal seperti ini tidak

boleh dilakukan, karena tidak boleh ada dua akad dalam satu transaksi.

Mengutangi kepada orang lain yang hukumnya sunat sesudah dasarnya adalah tolong menolong dalam kebaikan bahkan hukumnya menjadi wajib jika orang yang berutang itu benar-benar memerlukan, sebab jika tidak diberikan pinjaman itu misalnya ia bisa terlantar. selanjutnya hukum mengutangi orang lain menjadi haram jika utang tersebut akan digunakan untuk berbuat maksiat, perjudian, pembunuhan, dan lain-lain. Hukum utang piutang menjadi makruh jika benda yang diutangkan itu akan digunakan untuk sesuatu yang makruh.

Pada kedua belah pihak diperlukan adanya shigat misalnya menyatakan: “Aku utangkan uang ini padamu. Kemudian dijawab oleh orang yang berutang: “Aku terima utang daripadamu.” Sebagian berpendapat bahwa shigat dapat disahkan dalam bentuk serah terima tanpa shigat seperti yang terjadi pada jual beli.

Menurut H. Moh. Anwar bahwa ketentuan-ketentuan dari qardh, ialah sebagai berikut :

3.3.1 Sahnya qardh (berutang) itu dengan ijab qabul. Seperti kata yang menguntungkan : “Saya mengutangkan kepadamu beras 2 Liter.” lalu dijawab : “Saya terima berutang beras kepada saudara 2 Liter.” dan sebagainya.

3.3.2 Barang yang diutangkan itu menjadi hak milik yang berutang. Maksudnya adalah barang apapun yang diutang itu adalah milik dari pihak yang berutang dan akan menjadi milik pihak yang memberikan piutang jika telah tiba waktunya. Jadi selama barang tersebut ada ditangan pihak yang berutang maka barang tersebut menjadi miliknya.

3.3.3 Diwajibkan kepada orang yang berutang mengembalikan atau membayar utang itu pada waktu yang telah ditentukan dengan

barang yang serupa atau senilai dengannya. Jika orang tersebut belum mampu untuk mengembalikan barang tersebut maka diharapkan kepada pihak yang memberi utang untuk bersabar sampai pihak yang berutang bisa membayarnya.

3.3.4 Orang yang mengutangkan berhak menegurnya bila dianggap perlu. Maksudnya adalah jika orang yang berutang telah bisa membayar utangnya dan waktunya sudah jatuh tempo namun tidak mau membayar utangnya, maka pihak yang memberi utang berhak menegur orang tersebut.

3.3.5 Orang yang mempiutangkan wajib memberi tempo lagi bila

Dokumen terkait