BAB II KAJIAN TENTANG WARISAN MENURUT HUKUM ISLAM
B. Dasar Hukum Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam
1. Menurut Hukum Islam
Hukum kewarisan Islam di Indonesia adalah hukum waris yang bersumber kepada Al Qur’an dan Hadits, hukum yang berlaku universal di bumi mana pun di dunia ini.28 Hukum kewarisan Islam disebut juga hukum fara’id, jamak dari kata farida, erat sekali hubungannya dengan kata fard yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan.29
Sebelum datangnya agama Islam, isteri ataupun anak perempuan bukanlah dipandang sebagai orang-orang yang memilik hak waris. Sebaliknya mereka dianggap sebagai harta warisan, dan oleh karena itu boleh diwariskan. Wahyu Al-Qur’an kemudian di turunkan dalam hal waris-mewaris sebagai perbaikan terhadap keadaan-keadaan sebelumnya dimana pada masa itu wanita merupakan kekayaan, begitu juga laki-laki yang tidak mampu ke medan perang untuk bertempur juga dianggap bukan sebagai orang-orang yang berhak mewaris. Munculnya Islam dengan peraturan baru tentang hukum waris untuk perempuan dan anak-anak kecil telah memberikan perubahan yang sangat signifikan bagi status kaum perempuan dan anak-anak.30
Hak waris bagi wanita maupun laki-laki, diatur dalam berbagai ayat seperti dalam Surat An-Nisaa’ ayat 7, 11, 12, 176, yang mengatur tentang hak-hak seseorang dalam pewarisan. Sebsgai surat pertama tentang hak pewarisan ayat ini
28
Habiburrahman, op. cit.,h.79
29
Mohammad Daud Ali, op. cit., h. 313
30
Habiburrahman, Op. cit.,h.80
merupakan perrbaikan, khususnya bagi wanita termasuk anak perempuan, isteri, dan ibu.31
Untuk lebih jelasnya ayat-ayat kewarisan inti ini,secara berurutan dapat dicantumkan terjemahannya sebagai berikut:
a. Surat An-Nisaa’ ayat 7, yang artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan kerabatnya, dan bagiorang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan kerabatnya,baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”32
b. Surat An-Nisaa’ ayat 11, yang artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan; dan jika anak itu semuanys perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggalkan itu mempunyai anak; jika yang meninggalkan itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian tersebut diatas) sesudah di penuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya, (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”33
c. Surat An-Nisaa’ ayat 12, yang artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istri itu mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya seusfah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harga yang ditinggalkan kamu jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dibayar huyang-hutangmu. Jika sseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu iu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang spertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan yidak member madharat (kepada ahli waris). (Allah) menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.34
d. Surat An-Nisaa’ ayat 33, yang artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu-bapaknya dari karib-kerabatnya, kami jadikan pewaris-pewarisnya Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah
31
Ibid., h.81
32
Abdul Ghofur Anshori, Op. cit.,h.8
33 Ibid. 34
Ibid.
setiap dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”35
e. Surat An-Nisaa’ ayat 176, yang artinya: ‘’Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah). Katakanlah: Allah member fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan. Dan perempuan maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika tidak mempunyai anak: tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari hrta yang ditunggalkan oleh orang yang meninggal. Dan jka mereka (ahli waris itu sendiri) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki seabnyak bagian dua orang saudara perempua. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”36
Surat An-Nisaa’ ayat 11 dan Surat An-Nisaa’ ayat 12 kedua ayat tersebut merupakan pendahuluan tentang ketentuan memberi kepada setiap pemilik hak-hak sah mereka, juga menegaskan bahwa ada hak buat lelaki dan perempuan berupa bagian tertentu dari warisan ibu, bapak, dan kerabat yang akan diatur oleh Allah. Kedua ayat tersebut kemudian memerinci ketetapan-ketetapan mengenai ahli waris dan bagiannya, yaitu bagian anak seorang anak lelaki dan anak kamu, kalau bersamanya ada anak-anak perempuan dan tidak ada halangan yag ditetapkan agama baginya untuk memperoleh warisan, misalnya membunuh pewaris atau bebeda agama dengannya, maka dia berhak memperoleh warisan yang kadarnya sama dengan dua orang anak perempuan.37
Ketentuan hukum waris Islam hendaknya tidak berakibat mudharat kepada ahli waris, beberapa tindakan yang tidak diperbolehkan dan dianggap bertentangan dengan syariat adalah:
1) Mewariskan lebih dari sepertiga harta pusaka;
35 Ibid., h.9 36 Ibid. 37
Habiburrahman, Op. cit.,h.84
2) Berwasiat dengan mkasud mnegurangi harta warisan, sekalipun kurang dari sepertiga, dianggap sebagai hal yang memberi mudharat dan tidak diperbolehkan.38
Hadits yang berhubungan dengan hukum waris:
“…Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang yang berhak, sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama.” (HR.bukhari dan Muslim). “…Berikanlah 2/3 untuk dua anak Saad, 1/8 untuk jandanya dan sisanya adalah untukmu (paman).” (HR. Abu Dawud At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad). “…1/3 adalah banyak atau besar (untuk pelaksanaan wasiat) jika kamu meninggalkan ahli warisanmu dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.” (HR.Bukhari dan Muslim).
Pembagian warisan menurut hukum waris Islam dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a) Dilakukan terlebih dahulu pembayaran utang-utang dari pewaris diselesaikan, termasuk biaya rumah sakit dan biaya pemakaman.
b) Pada saat pembagian warisan, dihadiri oleh pejabat Balai Harta Peninggalan dan dilakukan di depan notaris yang dipilih oleh ahli waris sendiri. Bila tidak ada kesepakatan tentang notaris mana yang dipilih, pengadilan agama menunjuk seorang notaris untuk pencatatan pembagian warisan tersebut. c) Dibuat daftar harta benda warisan baik yang berwujud maupun tidak
berwujud, bergerak maupun tetap. Bila terdapat perubahan harta benda warisan, harus dinyatakan perubahannya itu dikuatkan oleh notaries.
d) Harta benda warisan di atas ditaksir nilainya oleh yang berkompeten di bidangnya.
e) Ahli waris yang satu terhadap yang lain dapat mengajukan pembatalan pembagian warisan atas pembagian warisan yang dilakukan dengan tekanan,
38 Ibid.
paksaan, penipuan dan dapat menimbulkan kerugian hingga ¼ bagian yang dikarenakan kesalahan penaksiran nilai harta benda warisan.
f) Apabila salah seorang ahli waris tidak memasukkan harta warisan dalam daftar warisan, diadakan pembagian warisan lanjutan.
g) Jangka waktu pembatalan adalah dalam rentang waktu tiga tahun sejak warisan dibagikan. Atas pembatalan ini, keadaan warisan kembali pada keadaan semula yang tidak terbagi, untuk kemudian diulangi kembali pembagian warisan seperti di atas.39
Adapun dasar pembagian warisan menurut Kompilasi Hukum Islam yakni:
Pasal 176: Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.
Pasal 177: Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.
Pasal 178: Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.
Pasal 179: Duda dari pewaris mendapat separoh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meningaglkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian.
39
Ibid., h.128
Pasal 180: Janda dari pewaris mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda dari pewaris mendapat seperdelapan bagian.
Pasal 181: Bila seorang meninggal tanpa menimggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.
Pasal 182: Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separuh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berabnding satu dengan saudara perempuan.
Pasal 183: Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.
Pasal 184: Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya, maka baginya diangkat wai berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga.
Pasal 185: Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikkan oleh anaknya. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Pasal 186: Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.
Pasal 187: Bilamana pewaris mennggalkan harta peninggalan maka oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas:
- Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerka yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang.
- Menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris.
Selanjutnya dari pengeluaran dimaksud diatas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.
Pasal 188: Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan iyu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan.
Pasal 189: Bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan. Bila ketentuan tersebut tidak dimungkinkan karena diantara para hali waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimilik oleh seorang atau lebih ahli waris dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Pasal 190: Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya,
Pasal 191: Bila pewaris tidak meningglkan ahli waris samas sekali,ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum.
2. Menurut Hukum Adat
Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang menentukan harta kekayaan baik yang materil maupun yang inmateriil yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya.40 Hukum adat waris menunjukkan corak-corak yang khas dari aliran pikiran tradisional Indonesia.41
Hukum adat waris menetapkan dasar persamaan hak, hak sama ini mengandung hak untuk diperlakukan sama oleh orangtuanya di dalam proses meneruskan dan mengoperkan harta benda keluarga. Disamping dasar persamaan hak hukum adat waris juga meletakkan dasar kerukunan pada proses pelaksanaan pembagian berjalan secara rukun dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap waris. Harta warisan tidak boleh di paksakan untuk dibagi antara para ahli waris. Harta peninggalan dapat bersifat tidak dapat dibagi atau pelaksanaan pembagiannya ditunda untuk waktu yang cukup lama ataupun hanya sebagian yang dibagi-bagi. Pembagiannya merupakan tindakan bersama, berjlan secara rukun dalam suasana ramah-tamah dengan memperhatikan keadaan khusus tiap waris. Harta peninggalan tidak merupakan satu kesatuan harta warisan, melainkan waib diperhatikan sifat/macam, asal dan kedudukan hukum dari pada barang-barang masing-masing yang terdapat dalam harta peninggalan itu.42
40
Soerojo Wignojodipoero, loc. cit. 41
Ibid., h.163
42 Ibid.
Pembagian warisan menurut hukum adat dilaksanakan menurut daerah masing masing, yang berarti pula mempunyai adat masing-masing.43 Hukum waris adat diwarnai oleh sistem kekeluargaan dalam masyarakat, sistem tersebut dibedakan sebagai berikut:
a. Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang meraik garis keturuanan pihak nenek moyang laki-laki. Didalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol.
b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang meraik garis keturunan pihak nenek moyang perempuan. Didalam sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya. Anak-anak mereka merupakan bagian dari bagian keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih merupakan anggota keluarganya sendiri.
c. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem ynag menarik garis keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Didalam sistem iini kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam hukum waris sama dan sejajar. Artinya baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli waris dari harta peninggalan orangtua mereka.44
Pada umumnya hukum adat tidak menentukan kapan waktu harta warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknuya diadakan pembagian, begitu pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuannya. Menurut adat kebiasaan waktu pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekah atau selamatan yang disebut waktu nujuh hari, waktu empat puluh hari, nyeratus hari atau waktu
43
F.Satriyo Wicaksono, Hukum Waris, Visimedia, Jakarta, 2012, h.85
44
Habiburrahman, Op. cit.,h.89
seribu hari setelah pewaris wafat, oleh karena pada waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul.45
Apabila harta warisan akan dibagi maka yang menjadi juru bagi dapat ditentukan anatara lain adalah:
1) Orang tua yang masih hidup (janda atau duda dari pewaris), atau 2) Anak tertua lelaki atau perempuan,atau
3) Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur adil dan bijaksana, atau 4) Anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat atau pemuka
Agama yang diminta, ditunjuk atau dipilih para waris untuk bertindak sebagai juru bagi.46
Selama pembagian warisan itu berjalan baik, rukun dan damai diantara para waris, maka tidak diperlukan adanya campur tangan dari orang luar keluarga bersangkutan. Campur tangan dan kesaksian petua adat atau para pemuka masyarakat hanya diperlukan apabila ternyata jalannya musyawarah untuk mencapai mufakat menjadi seret dan tidak lancar.47
Hukum adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan matematika, tetapi selalu didasarkan atas pertimbangan mengingat wujud benda dan kebutuhan waris bersangkutan. Jadi walaupun hukum waris adat mengenal asas kesamaan hak tidak berarti bahwa setiap waris akan mendapat bagian warisan dalam jumlah yang sama, dengan nilai harga yang sama atau menurut banyaknya bagian yang sudah tertentu.48
45
Hilman Hadikusuma, Op.cit., h.104
46 Ibid. 47 Ibid., h.105 48 Ibid.
Di Indonesia yang menjunjung tinggi musyawarah untuk mufakat, menetapkan pembagian warisan menurut musyawarah diantara ahli waris, dengan cara sebagai berikut:
a) Pembagian warisan dilaksanakan dalam waktu menurut adat kebiasaan masyarakat setempat, ada yang 40 hari setelah pewaris meninggal dunia dan ada pula 100 hari setelah pewaris meninggal dunia. Hal ini dilakukan untuk ketenangan almarhum/almarhumah pewaris dan mencerminkan sifat masyarakat yang tidak matrealistik.
b) Selama anak-anak pewaris belum dewasa, harta warisan tidak akan dibagi. c) Dilakukan musyawarah yang diwarnai rasa kekeluargaan, agar dalam
membagi waris dapat menghasilkan pembagian yang adil bagi ahli waris. d) Adakalanya dalam pembagian waris tersebut diperlukan bantuan dari ulama
untuk mengingatkan rasa keadilan dalam membagi waris serta telah terpunhinya hukum Agama yang dianutnya. Para ahli waris dapat memilih untuk menggunakan hukum waris adat atau hukum waris Islam.
e) Apabila musyawarah tidak menemui kesepakatan, diselesaikan melalui pengadilan negeri.
f) Sebelum harta warisan dibagi kemasing-masing ahli waris, para ahli waris bertanggung jawab untuk melunasi utang dari pewaris. Harta warisan dipakai untuk melunasi uatng dari pewaris setelah itu dibagi keahli waris. Hibah yang telah dilakukan pewaris semasa hidupnya dapat dipakai untuk melunasi utang pewaris apabila harta warisan tidak cukup. Namun di beberapa daerah adat tidak dapat dipakai untuk melunasi uatang pewaris.
g) Besarnya bagian masing-masing ahli waris sebagai berikut:
(1) Anak kandung baik laki-laki maupun perempuan mendapatkan pembagian yang sama, tetapi ada kalanya berlaku prinsip sepikul
segendong (yang artinya 2:1), bagian anak perempuan separuh dari bagian anak laki-laki.
(2) Anak angkat mendapatkan harta warisan bersifat serelanya dan ahli waris yang lain atas harta warisan yang ada, dapat pula berlaku hanya berhak atas harta pencaharian orang tua angkatnya. Apabila anak anak angkat menerima wasiat atau hibah ada adat tertentu menetukan tidak boleh lebih dari ½ seluruh harta warisan.
(3) Anak tiri mendapatkan harta warisan bersifat serelanya dari ahli waris yang lain atas harta warisan orang tua tirinya, atau adakalanya hanya dapat mewarisi harta dari orang tua kandungnya saja.
(4) Anak tidak sah hanya mewarisi dari ibu kandungnya saja. Dibeberapa adat menetapkan bahwa anak tidak sah, walaupun pada akhirnya ibu menikah dengan ayah biologisnya.
(5) Janda/duda menerima bagian warisan sama besar dengan seorang anak, apabila tidak ada anak, harta warisan jatuh semua pada Janda/menerima wasiat atau hibah ada adat tertentu menetukan tidak boleh lebih dari ½ seluruh harta warisan.
(6) Anak tiri mendapatkan harta warisan bersifat serelanya dari ahli waris yang lain atas harta warisan orang tua tirinya, atau adakalanya hanya dapat mewarisi harta dari orang tua kandungnya saja.
(7) Anak tidak sah hanya mewarisi dari ibu kandungnya saja. Dibeberapa adat menetapkan bahwa anak tidak sah,walaupun pada akhirnya ibu menikah dengan ayah biologisnya.
(8) Janda/duda menerima bagian warisan sama besar dengan seorang anak, apabila tidak ada anak, harta warisan jatuh semua pada Janda/duda, sedangkan harta pusaka kembali ke asal. Janda/duda berhak atas ½ harta pencaharian.
Hukum waris adat di Indonesia banyak terpengaruh oleh hukum Islam, ahli waris hanya bertanggung jawab sebatas pada harta peninggalan saja. Sehingga, ahli waris harus menyelesaikan kewajiban dari pewaris atas seluruh utang-utangnya dari para kreditur.49
C. Macam-Macam Ahli Waris Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat