• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Yuridis Pelaksanaan Warisan Pada Masyarakat Adat Batak Mandailing Di Padang Lawas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Yuridis Pelaksanaan Warisan Pada Masyarakat Adat Batak Mandailing Di Padang Lawas"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN YURIDIS PELAKSANAAN WARISAN PADA

MASYARAKAT ADAT BATAK MANDAILING DI PADANG

LAWAS

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Dan Melengkapi

Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh

NOPI ARYANI SIREGAR

110200487

Bagian Hukum Keperdataan

Program Kekhususan Hukum Perdata BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROGRAM REGULER MANDIRI

MEDAN

2015

(2)

KAJIAN YURIDIS PELAKSANAAN WARISAN PADA

MASYARAKAT ADAT

BATAK MANDAILING DI PADANG

LAWAS

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

NOPI ARYANI SIREGAR NIM: 110200487

Diketahui Oleh

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH.M.Hum

NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH. M.Hum NIP. 195611101985031002 NIP. 197604142002122003

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya serta diberikannya kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus penulis penuhi guna menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU Medan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum. Skripsi ini berjudul : KAJIAN YURIDIS PELAKSANAAN WARISAN PADA MASYARAKAT ADAT BATAK MANDAILING DI PADANG LAWAS.

Penulis dengan segala kerendahan hati menyadari bahwa skripsi ini masih kurang dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan pengetahuan, kemampuan, wawasan, serta bahan-bahan literature yang penulis dapatkan. Oleh karena itu penulis mengharapkan segala bentuk kriktik dan saran yang bersifat mambangun dari para pembaca untuk mencapai kesempurnaan tulisan ini.

Pada kesempatan ini dengan rasa hormat dan bahagia penulis ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan semua pihak yang telah menjadi bagian penting selama penulis menjalankan perkuliahan di Fakultas Hukum USU Medan, yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum USU Medan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I, untuk semua kesabaran dan dedikasi dalam membimbing penulis baik dalam studi, maupun dalam penulisan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU Medan.

3. Bapak Syafrudin Hasibuan, SH., M.Hum., DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU Medan

4. Bapak Dr. O.K, SH., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU Medan.

5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan USU Medan.

6. Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, yang penuh sabar membimbing saya mulai dari titik awal penulisan skripsi sampai dengan selesainya penulisan. Terimakasih banyak Ibu.

7. Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan staf Fakultas Hukum USU Medan yang telah membantu penulis selama mengikuti perkuliahan.

(4)

8. Buat teman-teman terdekat yang terbaik, “Ipeh, Mala, Caca, Oppa Rizky, Adabi, Tulang Kaya, dan Rendra”, ayo kalian juga bisa, semoga kita bertemu di puncak kesuksessan.

9. Buat Agung Rahmatullah terimakasih atas semangatnya dan jangan pernah menyerah. 10.Teman-teman Stambuk 2011 (dari PRM sampai Reguler), khusus teman-teman grup

E, senang bisa mengenal kalian semua (Tata, Happy, Rika, Imeh, Apre, Yana, Marni, Christi, Icha, Febri, Abdel, Husein, Rasyid, Eka) dan semua pihak yang tidak mungkin disebutkan namanya satu persatu lagi.

Terimakasih buat Mama dan Papa yang terkasih dan tercinta karena telah memberikan semangat, doa, rasa cinta dan kasih sayang pada anaknya karena dengan keikhlasan dan ketulusan serta pengorbanannya anaknya dapat menjadi apa yang diharapkan oleh orang tua.

Buat Abang Ramon Menik Siregar, SH., M.Hum dan Abang Delpi Diapari Siregar, SE., terimakasih semangat dan dorongannya semoga nantinya kita bisa bersama-sama memperoleh kesuksessan dan membanggakan kedua orang tua kita.

Buat Tulang Sadat dan Nantulang terimakasih atas motivasinya dan dukungannya selama ini semoga kita semua sukses.

Buat Kak Eva, Kak Irma, dan Kak Uuk terimakasih karena selalu mengingatkan untuk menyelesaikan skripsi secepat mungkin.

Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan mahasiswa-mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Medan, 13 Maret 2015 Hormat Saya,

Nopi Aryani Siregar

(5)

ABSTRAKSI

Pada umumnya bagian para ahli waris masih berdasarkan hukum adat walaupun ada bagian ahli waris berdasarkan hukum waris Islam, ayah dan ibu belum termasuk ahli waris utama. Cara pembagian harta warisan pada umumnya langsung melaksanakan musyawarah. Dalam hukum waris adat, keturunan darah ayah sebagai titik tolak untuk menelusuri orang-orang pewaris. Hubungan keluarga terdekat dan jenis kelamin laki-laki merupakan golongan yang utama untuk mendapatkan hak waris terhadap harta benda, sehingga golongan anak laki-laki beserta turunannya menurut garis vertikal adalah menjadi golongan yang utama. Prinsip hukum waris adat Batak Mandailing adalah hanya pihak laki-laki saja yang dijadikan sebagai ahli waris, sedangkan pihak perempuan tidak dianggap sebagai ahli waris, kalaupun ia dapat itu sifatnya sebagai pemberian rasa kasih sayang dari saudara laki-lakinya. Akibat dari pengaruh perkembangan zaman yang menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan tidak lagi banyak dilakukan hukum adat Batak Mandailing tersebut karena sudah merantau dan berpendidikan. Perkembangan ini sangat berpengaruh terhadap semua anak termasuk anak perempuan dalam hal warisan. Sehingga adanya persamaan gender dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Pembagian warisan dalam masyarakat adat Batak Mandailing saat ini sudah mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan warisan. Tetapi bagaimanapun juga dia akan menghargai asal usul leluhurnya.

Untuk itu metode yang digunakan metode deskriptif serta dikaji berdasarkan hukum empiris yakni berdasarkan fakta-fakta hukum yang secara nyata hidup di masyarakat yang diterapkan atau dilaksanakan oleh anggota masyarakat sedangkan data lapangan yang diperoleh melalui wawancara, akan dijadikan sebagai data pendukung dan pelengkap saja.

Hasilnya adalah masyarakat adat Batak Mandailing di Kabupaten Padang Lawas masih menggunakan hukum waris adat dalam pembagian warisan, karena mereka menganggap pelaksanaan pembagian warisan dengan menggunakan hukum adat lebih membawa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Penyelesaian sengketa warisan dengan menggunakan hukum adat dilakukan dengan cara musyawarah dan mereka menganggap putusan yang dilahirkan berdasarkan hasil musyawarah adalah lebih membawa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, juga bentuk sanksi yang dijatuhkan lebih membawa efek jera bagi pelakunya.

Untuk itu disarankan kepada orang tua supaya memperhatikan tata cara pelaksanaan pembagian warisan yang benar supaya membawa keadilan dan kemaslahatan bagi seluruh anak kandung dan keluarga, serta diharapkan dalam pembagian warisan harus juga memperhatikan tentang situasi dan kondisi yang melatar belakangi si pemilik dan si penerima harta tersebut, supaya membawa kemaslahatan bagi seluruh manusia dan agar tidak menimbulkan fitnah dan pertikaian sesama keluarga di kemudian hari.

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAKSI ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR ISTILAH ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan manfaat Penelitian ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Metode Penulisan ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II KAJIAN TENTANG WARISAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT A. Pengertian Warisan Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat ... 14

B. Dasar Hukum Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat ... 21

C. Macam-Macam Ahli Waris Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat ... 35

(7)

D. Sebab-Sebab Terhalangnya Seseorang Mendapatkan Warisan Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat ... 46

BAB III TANGGUNG JAWAB AHLI WARIS TERHADAP HARTA WARISAN

A. Hak dan Kewajiban Ahli Waris ... 51 B. Syarat – Syarat Orang yang Menerima Warisan ... 53 C. Cara Pemindahan Hak Kepemilikan Menurut Hukum Islam

dan Hukum Adat ... 56

BAB IV PELAKSANAAN WARISAN PADA MASYARAKAT ADAT BATAK

MANDAILING DI PADANG LAWAS

A. Hukum Waris yang Hidup dalam Masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas ... 80

B. Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan yang Berlaku Pada Masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas ... 86

C. Penyelesaian Sengketa Warisan Pada Masyarakat Mandailing Di Kabupaten Padang Lawas ... 101

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 117 B. Saran ... 118

DAFTAR PUSTAKA ... 119

(8)

DAFTAR ISTILAH

No Nama-nama Istilah Arti

1 Olong Ate Pemberian berdasarkan rasa kasih sayang semata.

2 Uhum Hukum / sanksi.

3 Ulos na so ra buruk Kain selimut yang tidak mau lapuk.

4 Saba ulos Pemberian harta warisan kepada anak atau saudara perempuan berdasarkan kasih sayang semata. 5 Anak boru Seluruh keluarga dari pihak

menantu.

6 Surat tumbaga holing Suatu surat yang tidak nampak tapi dapat dibaca oleh masyarakat. 7 Bayo pangolin Pengantin laki-laki. Yang

dimaksud disini adalah orang tua sengaja menghibahkan sebagian hartanya lebih dahulu kepada anak laki-laki yang bellum menikah untuk dipergunakan kelak biaya perkawinannya.

8 Horja margondang Acara pesta perkawinan yang dilaksanakan dengan tiga hari tiga malam bahkan ada yang sampai tujuh hari tujuh malam.

9 Ingot-ingot Tanda ingatan. Yang dimaksud

(9)

adalah pemberian berupa uang kepada para hatobangun yang hadir untuk selalu ingat atas peristiwa pemberian hibah tersebut. Kalau sudah diberikan ingot-ingot, maka kewajiban para hatobangun untuk

memberitahukan peristiwa penyerahan harta hibah tersebut kepada anak cucunya.

10 Hatobangun Orang-orang yang dituakan dalam masyarakat. hatobangun ini terdiri dari wakil-wakil ketua setiap kepala-kepala suku.

11 Dalihan na Tolu Dalihan artinya “tungku”. Na artinya “ yang”, Tolu artinya “tiga”. Jadi Dalihan na Tolu artinya “tungku yang berkaki tiga” yakni tiga buah batu yang yang dipakai sebagai landasan atau tumpuan periuk untuk memasak. Jadi yang dimaksud dengan Dalihan na Tolu adalah suatu lembaga adat kemasyarakatan yang merupakan suatu kesatuan dari seluruh masyarakat yang

(10)

memiliki aturan adat tersendiri dalam mengatur berbagai sendi kehidupan yang dapat

dipergunakan sebagai alat dalam mengatasi berbagai benturan hak dan kewajiban.

12 Harajaon Raja adat atau keturunannya yang masih hidup.

13 Patik Setiap peraturan yang tidak boleh dilanggar.

14 Anak Siakkaan Anak pertama.

15 Bagas Godang Rumah besar atau rumah adat yang dijadikan sebagai tempat rapat adat termasuk sebagai tempat mahkamah persidangan adat.

16 Ugari Kebiasaan yang diangkat sebagai peraturan selama tidak merusak adat istiadat yang berlaku. 17 Kahanggi Kerabat dekat dari keluarga

(11)

DAFTAR TABEL

TABEL I Jawaban Responden Tentang Pilhan Hukum yang Biasa Digunakan dalam Kehidupan Sehari-Hari Oleh Masyarakat

Mandailing di Kabupaten Padang Lawas ... 85 TABEL II Jawaban Responden Tentang Pilihan Hukum Masyarakat

Mandailing di Kabupaten Padang Lawas dalam Melakukan Pelaksanaan Pembagian Warisan ... 98 TABEL III Jawaban Responden Tentang Alasan Masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas dalam Memilih Hukum adat sebagai Pedoman dalam Melakukan Pembagian Warisan ... 99 TABEL IV Jawaban Responden Tentang Pilihan Peradilan dalam

Penyelesaian Sengketa Warisan Pada Masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas ... 108 TABEL V Jawaban Responden Mengenai Sanksi Hukum yang Paling Berat Dirasakan Oleh Masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas dalam Bidang Pembagian Warisan ... 113

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Negara Republik Indonesia terdiri dari beribu–ribu kepulauan yang mempunyai berbagai suku Bangsa, Bahasa, Agama dan Adat Istiadat yang memiliki banyak perbedaan dan persamaan. Demikian pula mengenai ketentuan pembagian waris dalam masing–masing suku budaya di Indonesia yang juga memiliki persamaan dan perbedaan. Hukum ini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia, karena Hukum Adat Indonesia telah dipatuhi dan di ikuti oleh masyarakat Indonesia sejak dahulu kala.

Masyarakat Indonesia didalam kehidupan sehari–harinya sudah hidup dalam suasana hukum adat, sehingga harus disadari bahwa hukum adat tersebut merupakan hukum yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Adat istiadat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam masyarakat. Kekuatan mengikatnya tergantung pada masyarakat yang mendukung adat istiadat tersebut yang terutama berpangkal tolak pada perasaan keadilannya.1

Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.

1

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012, h. 73.

(13)

Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak–hak dan kewajiban–kewajiban seeoarang yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban–kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris.2

Hukum waris adat berbeda dengan hukum waris lainnya, seperti dalam hukum waris Islam, Pada masyarakat adat di Indonesia tidak memiliki sifat kekeluargaan yang sama, tetapi dibeberapa daerah mempunyai perbedaan-perbedaan sifat kekeluargaan, yang mana hal ini membawa dampak pada keadaan warisan atau kekayaan dalam masyarakat itu sendiri.

Hukum waris adat Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.3 Hukum adat mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat, serta dapat pula menerima pengaruh dari berbagai agama dan kebudayaan. agama dan kebudayaan merupakan bagian dari adat istiadat yang ada dalam masyarakat Indonesia, oleh karena itu adanya perbedaan tersebut akan banyak membawa perbedaan pada sistem hukum adat di Indonesia. Perbedaan ini berdampak pada sistem pewarisan yang menganut sistem kekerabatan Patrilineal, seperti di daerah Batak Mandailing mereka berpedoman pada hukum waris adat Batak Mandailing daripada hukum waris Islam.

Umumnya bagian para ahli waris masih berdasarkan hukum adat walaupun ada bagian ahli waris berdasarkan hukum waris Islam, ayah dan ibu belum termasuk ahli waris utama. Cara pembagian harta warisan pada umumnya langsung

2

Erman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2007, h. 1

3

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012, h. 259

(14)

melaksanakan musyawarah. Padahal seharusnya ditentukan lebih dahulu bagian masing-masing ahli waris.

Dalam hukum waris adat, keturunan darah ayah sebagai titik tolak untuk menelusuri orang-orang pewaris. Hubungan keluarga terdekat dan jenis kelamin laki-laki merupakan golongan yang utama untuk mendapatkan hak waris terhadap harta benda, sehingga golongan anak laki–laki beserta turunannya menurut garis vertikal adalah menjadi golongan yang utama.

Prinsip hukum waris adat batak Mandailing adalah hanya pihak laki-laki saja yang dijadikan sebagai ahli waris, sedangkan pihak perempuan tidak dianggap sebagai ahli waris. Kalaupun ia dapat itu sifatnya sebagai pemberian rasa kasih sayang dari saudara laki–lakinya. Pemberian semacam ini dalam adat dinamakan Olong Ate (pemberian berdasarkan rasa kasih sayang semata). Dalam hukum waris adat batak Mandailing anak laki-laki bertanggung jawab melindugi keluarganya.

Akibat dari pengaruh perkembangan zaman yang menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan tidak lagi banyak dilakukan hukum adat batak Mandailing tersebut karena sudah merantau dan berpendidikan. Perkembangan ini sangat berpengaruh terhadap semua anak termasuk anak perempuan dalam hal warisan. Sehingga adanya persamaan gender dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Pembagian warisan dalam masyarakat adat batak Mandailing saat ini sudah mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan warisan. Tetapi bagaimanapun juga, dia akan menghargai asal usul leluhurnya itu. Hanya orang– orang yang tinggal di kampung atau daerahlah yang masih menggunakan hukum waris adat tersebut.4

4

http://rudini76ban.wordpress.com/2009/06/07/pembagian-warisan-dalam-adat-batak/ diakses tanggal 12 September 2014 pukul 18.00 WIB

(15)

Demikiannya dengan masyarakat adat Padang Lawas dimana mereka juga melaksanakan pembagian warisan memanfaatkan hukum adat setempat dengan tidak mengesampingkan hukum waris Islam yang berlaku, karena memang mereka mayoritas menganut agama Islam. Oleh karenanya pelaksanaan warisan pada masyarakat Padang Lawas tidak sepenuhnya menggunakan hukum waris Islam semata namun juga berpedoman pada hukum adat yang belaku, sehingga perlu dilakukan penelitian mendalam untuk mengetahui status hukum pembagian warisan semacam ini.

1

http://rudini76ban.wordpress.com/2009/06/07/pembagian-warisan-dalam-adat-batak/ diakses tanggal 12 September 2014 pukul 18.00 WIB

(16)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka terdapat beberapa permasalahan yang perlu diteliti sebagai berikut :

1. Bagaimana hukum waris yang hidup dalam masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas ?

2. Bagaimana pelaksanaan pembagian harta warisan yang berlaku pada masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas ?

3. Bagaimana penyelesaian sengketa warisan pada masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui hukum waris yang hidup dalam masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas.

b. Untuk mengetahui pelaksanaan pembagian harta warisan yang berlaku pada masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas.

c. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa warisan pada masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis antara lain :

1. Secara teoritis

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran dibidang ilmu hukum, khususnya dalam disiplin ilmu hukum dibidang hukum waris, baik dari segi

(17)

penerapannya khususnya tentang penerapan hukum waris adat dan hukum waris Islam pada masyarakat Adat Batak Mandailing di Padang Lawas.

2. Secara praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya hukum waris adat dan hukum waris Islam, sehingga dapat memberikan bahan hukum bagi kalangan yang berminat mempelajarinya.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelitian dan penelurusan yang telah dilakukan, baik hasil – hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan di Program Strata Satu (S1) Fakultas Hukum USU Medan, belum ada penelitian yang mengangkat masalah ‘ Kajian Yuridis Pelaksanaan Warisan Pada Masyarakat Adat Batak Mandailing di Padang Lawas “. Adapun penelitian yang terkait dengan pelaksanaan warisan yaitu :

1. Skripsi yang berjudul : Perbandingan pengalihan hak cipta kepada ahli waris secara pewarisan menurut KUHPerdata dan menurut undang – undang hak cipta, Penelitian ini dilakukan oleh Irwan Dwi H.P.D.Purba.

2. Skripsi yang berjudul : Kedudukan anak luar kawin dan akibat hukumnya dalam pewarisan menurut hukum perdata (BW) (studi kasus dikantor Catatan Sipil Medan dan Pengadilan Negeri Medan), Penelitian ini dilakukan oleh Sastra Yani Sinaga.

Berdasarkan hal tersebut diatas, objek kajian dalam penelitian ini merupakan suatu permasalahan yang belum pernah tersentuh secara komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah.oleh karenanya penelitian ini adalah asli.

E. Metode Penelitian

(18)

1. Sifat Penelitian dan Metode Penelitian

Penulisan ini bersifat deskriptif dalam arti tidak bertujuan menguji hipotesa penelitian tetapi memberikan gambaran reaalitas mengenai pelaksanaan warisan pada masyarakat adat batak Mandailing di Padang Lawas. Penelitian ini juga berupaya melakukan pencarian terhadap fakta dengan memberikan interpretasi yang tepat terhadap data dengan tujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis dan fakta-fakta mengenai persoalan.

Metode deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan keadaan objek semata-mata apa adanya. Langkah ini diambil sebagai awal yang penting karena menjadi dasar bagi metode pembahasan selanjutnya. Mengingat bahwa pemikiran senantiasa dipengaruhi oleh kondisi setempat, adalah perlu untuk menggambarkan latar belakang social yang relevan dengan judul di atas. Khususnya terhadap pelaksanaan warisan pada masyarakat adat batak Mandailing di Padang Lawas.

Metode penelitian yang dipakai adalah metode penilitian hukum empiris, karena penelitian empiris merupakan penelitian tentang hukum yang hidup di masyarakat, yang diterapkan atau dilaksanakan oleh anggota masyarakat, permasalahan yang diteliti menyangkut praktek nyata yang dilakukan masyarakat adat batak Mandailing di Padang Lawas terhadap pelaksanaan warisan. Sedangkan pendekatan yang dipakai adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris, yakni pendekatan kenyataan hukum masyarakat dengan mempelajari fenomena sosial dalam masyarakat yang tampak aspek hukumnya, mengingat permasalahan utama yang diteliti dan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1) identifikasi terhadap hukum waris yang hidup dalam masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas, 2) pelaksanaan pembagian harta warisan yang berlaku pada masyrakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas, 3)

(19)

penyelesaian sengketa warisan pada masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi 2 sumber, yaitu data primer dan data sekunder.

a. Sumber data primer

Merupakan sumber data yang diperoleh secara langsung dari para responden yang ditetapkan, terdiri dari:

1. Tokoh agama pada daerah penelitian; 2. Tokoh adat pada daerah penelitian;

3. Masyarakat adat batak mandailing pada daerah penelitian. b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder dimaksudkan adalah data yang diperoleh dari kepustakaan yang berkaitan dengan materi penelitian.

Dalam hal ini bahan kepustakaan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bahan hukum primer, berupa perundang–undangan yang berkaitan dengan masalah waris seperti hukum adat, kompilasi hukum Islam (KHI), dan lain sebagainya.

2. Bahan hukum sekunder, berupa hasil–hasil penelitian dari pakar hukum dan para ulama seperti jurnal ilmiah, buku-buku, teori-teori makalah-makalah dan lain- lain. 3. Bahan hukum tertier, berupa kamus umum serta ensiklopedia.

3. Lokasi Penelitian

(20)

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Padang Lawas Sumatera Utara, dimana terdiri dari 9 Kecamatan, dari 9 kecamatan tersebut di ambil satu kecamatan yakni kecamatan Barumun Tengah. Kecamatan Barumun Tengah terdiri dari 39 Desa dan dari 39 Desa tersebut diambil 1 Desa untuk dilakukan survey tentang keadaan wilayah, terutama menyangkut pelaksanaan warisan pada masyarakat adat batak Mandailing di Padang Lawas, maka lokasi penelitian dipilih pada Desa Binanga.

Penentuan lokasi di atas didasarkan atas beberapa pertimbangan berikut:

a. Banyaknya masyarakat Mandailing yang bertempat tinggal di daerah tersebut; b. Masyarakat yang tinggal pada daerah tersebut masih kuat menggunakan hukum adat; c. Daerah tersebut merupakan wilayah yang memiliki penduduk yang mayoritas

beragama Islam. 4. Populasi dan Sampel

Populasi yang digunakan dalam penilitian ini adalah Masyarakat Muslim Mandailing di Kabupaten Padang Lawas.

Prosedur penentuan sampling dalam penelitian kualitatif yang terpenting bagaimana menentukan informan kunci (key informan) atau situasi social tertentu yang sarat informasi sesuai dengan fokus penelitian. Untuk memilih sampel (didalam hal ini informan kunci atau situasi social) lebih tepat dilakukan secara sengaja (purposive sampling)

Untuk dapat menjamin keberhasilan pengumpulan data dalam penelitian ini, maka informan dibatasi dan ditentukan oleh mereka yang secara langsung terkait, yaitu pihak tokoh adat, tokoh agama, masyarakat adat batak muslim yang tersebar di wilayah penelitian.

(21)

Sampel penelitian ditentukan berdasarkan purposive sampling, karena penelitian ini dikelompokkan berdasarkan keterlibatan pihak-pihak atas penggunaan hukum adat sebagai pedoman pelaksanaan warisan di daerah penelitian. Penentuan sampel tidak merujuk sesuatu perwakilan formal, tetapi lebih merujuk kepada kesesuaian melalui ciri atau kriteria yang perlu ada pada sampel.

Adapun jumlah responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 15 orang yang terdiri dari 9 orang laki-laki dan 6 orang perempuan yang diambil dari masyarakat Desa Binanga dengan syarat sebagai berikut:

a. Mereka pernah melakukan pembagian warisan di dalam keluarganya;

b. Mereka bergama Islam tetapi masih menggunakan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari, dan

c. Mereka merupakan penduduk tetap di Desa Binanga.

F. Sistematika Penulisan

Suatu penulisan ilmiah perlu dibatasi ruang lingkupnya agar hasil yang akan diuraikan terarah dan data yang diperoleh relevan untuk menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Agar materi ini dapat diikuti dan di mengerti dengan baik, maka disusun secara sistematis dalam pembahasan yang semakin meningkat bab per bab. Secara keseluruhan sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Merupakan pendahuluan yang menguraikan apa yang menjadi alasan pemilihan skripsi ini, sekaligus merumuskan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

(22)

keaslian penulisan, metode penulisan, sistematika penulisan serta memaparkan cara untuk mencapai tujuan pembahasan skripsi ini dan juga membatasi ruang lingkup pembahasan.

BAB II : KAJIAN TENTANG WARISAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT

Bab ini berisikan uraian teoritis secara umum,dimana akan diuraikan mengenai Pengertian Warisan Hukum Islam dan Hukum Adat,Dasar Hukum Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat,Macam– Macam Ahli Waris Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat, Sebab–Sebab Terhalangnya Seseorang Mendapatkan Warisan.

BAB III : TANGGUNG JAWAB AHLI WARIS TERHADAP HARTA WARISAN

Bab ini berisikan uraian teoritis secara umum mengenai Hak dan Kewajiban Ahli Waris, Syarat–Syarat Orang Yang Menerima Warisan,Cara Pemindahan Hak Kepemilikan Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat.

BAB IV : PELAKSANAAN WARISAN PADA MASYARAKAT ADAT BATAK MANDAILING DI PADANG LAWAS

Bab ini memuat tentang pembahasan dan hasil penelitian tentang hukum waris yang hidup dalam masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas, cara pelaksanaan pembagian harta warisan yang berlaku pada masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas dan cara penyelesaian sengketa warisan pada masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Berisi kesimpulan dan saran yang ditarik berdasarkan apa yang telah dijabarkan secara jelas di dalam BAB Pembahasan. Berdasarkan kesimpulan ini

(23)

kemudisn diberikan saran yang dianggap dapat memberikan masukan– masukan, minimal untuk memperluas cakrawala pengetahuan dan pemikiran dalam bidang Hukum Waris.

(24)

BAB II

KAJIAN TENTANG WARISAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM

ADAT

A. Pengertian Warisan Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat

1. Menurut Hukum Islam

Kata waris berasal dari bahasa arab yaitu warasa-yarisu-warisan yang berarti berpindahnya harta seseorang kepada seseorang setelah meninggal dunia. Adapun dalam Al-Qur’an ditemukan banyak kata warasa yang berarti menggantikan kedudukan, memberi atau menganugerahkan, dan menerima warisan. Sedangkan Al-miras menurut istilah para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup baik yang ditinggalkan itu berupa harta,tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.5

Istilah kewarisan berasal dari bahasa arab Al-irts yang secara leksikal berarti perpindahan sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Dan secara terminologi, ia berarti pengalihan harta dan hak seseorang yang telah wafat kepada seseorang yang amsih hidup dengan bagian-bagian tertentu, tanpa terjadi Aqad lebih dahulu.6

Kewarisan (Al-miras) yang disebut juga sebagai faraidh berarti bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana telah diatur dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadits, Sehingga dalam konteks ini dapat disimpulkan bahwa pewarisan adalah pepindahan hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia terhadap orang-orang yang masih hidup dengan bagian-bagian yang telah ditetapkan dalam nash-nash baik Al-Qur’an dan Al-Hadits.7

Yang dimaksud dengan hukum kewarisan Islam disini adalah hukum kewarisan yang diatur dalam Al-Qur’an. Sunnah Rasul dan fikih sebagai hasil ijtihad

5

Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, h.17

6

Ali Parman, Kewarisan Dalam Alquran, Raja Grafindo Persada, 1995 , h.9

7

Habiburrahman., loc. cit.

(25)

para fukaha dalam memahami ketentuan Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Dengan demikian, hukum kewarisan Islam merupakan bagian dari agama Islam. Oleh karenanya, tidak aneh jika bagi umat Islam, tunduk kepada hukum kewarisan Islam itu merupakan tuntutan keimanannya kepada Allah swt.8

Dalam hubungan ini QS An Nisaa’ (4) : 65 mengajarkan,

Maka demi Tuhanmu, mereka ( pada hakikatnya ) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” Kewarisan menurut hukum Islam ialah proses pemindahan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal, baik yang berupa benda yang wujud maupun yang berupa hak kebendaan, kepada keluarganya yang dinyatakan berhak menurut hukum.9

Bertolak dari batasan ini, terlihat bahwa harta milik seseorang baru dikatakan

berpindah apabila pewaris telah wafat dan ada dalil warisnya. Ahli waris memperoleh saham secara pasti sesuai ketentuan Al-Qur’an, apabila mereka telah memenuhi segala syarat pewarisan. Ada syarat yang melekat pada pewaris, ahli waris, dan bahkan ada syarat pada harta yang akan di wariskan.10

Batasan tersebut menegaskan juga bahwa menurut hukum Islam, yang tergolong ahli waris hanyalah keluarga, yaitu yang berhubungan dengan pewaris dengan jalan perkawinan (suami atau isteri) atau dengan adanya hubungan darah (anak, cucu, orang tua, saudara, kakek, nenek, dan sebagainya).11

8

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, UII Pres, Yogyakarta, 2001., h.130

(26)

Ringkasnya hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (hirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.12

Sedangkan harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris. Harta itu adalah sisa setelah diambil untuk berbagai kepentingan, yaitu biaya perawatan jenazah hutang-hutang dan penunaian wasiat.13

Hukum Islam adalah hukum Allah yang menciptakan alam semesta ini,termasuk manusia didalamnya. Hukumnya pun meliputi semua ciptaan Nya itu.Hanya, ada yang jelas sebagaimana yang ‘tersirat’ di balik hukum yang tersurat dalam Alquran itu. Selain yang tersurat dan tersirat itu, ada lagi hukum Allah yang ‘tersenbunyi’ dibalik Al-Qur’an. Hukum yang tersirat dan tersembunyi inilah yang harus dicari, digali dan ditemukan oleh manusia yang memenuhi syarat melalui penalarannya. Untuk menemukan hukum yang tersirat dan tersembunyi tersebut di perlukan wawasan yang jelas dan kemampuan untuk mencari dan menggali hakikat hukum ilahi serta tujuan Allah menciptakan hukum-hukum Nya.14

Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam hukum Islam. Ayat Alquran mengatur hukum hukum waris dengan jelas dan terperinci. Hal ini dapat di mengerti sebab masalah warisan pasti di alami oleh setiap orang. Kecuali itu, hukum waris langsung menyangkut harta benda apabila tidak diberikan ketentuan pasti, amat mudah menimbulkan sengketa diantara ahli waris. Setiap terjadi peristiwa kematian seseorang, segera timbul pertanyaan bagaimana harta peninggalannya

12

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Buku II, Hukum Kewarisan, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 171, Citra Umbara, Bandung, 2013, h.375

13

Abdul Ghofur Anshori., Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Ekonisia, Yogyakarta, 2002, h.20

14

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h.124

(27)

harus diperlakukan dan kepada siapa saja harta itu dipindahkan, serta bagaimana caranya. Inilah yang diatur dalam hukum waris.15

Hukum kewarisan, termasuk salah satu aspek yang diatur secara jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini membuktikan bahwa, masalah kewarisan cukup penting dalam agama Islam.16

Dari seluruh hukum yang berlaku dalam masyarakat, maka hukum perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang sekaligus merupakan salah satu bagian dari hukum perdata.17

2. Menurut Hukum Adat

Hukum waris adat meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses penerusan dan peralihan kekayaan materiel dan immaterieel dari turunan ke tururunan. Hanya tinggal ditunjukkan saja sampai dimana berlakunya pengaruh lain aturan hukum atas lapangan hukum waris dalam masing-masing lingkungan hukum.18

Istilah waris di dalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa di dalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.19

Sebagaimana telah dikemukakan di atas hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikkannya dari pewaris kepada waris. Hukum waris

Ter Haar Bzn Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat,

Pradnya Paramita, Jakarta, h.231

19

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, h.7

(28)

adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada turunannya.20

Dalam hal ini adapun pendapat para ahli hukum adat di masa lampau tentang hukum waris adat yakni:

…Soepomo, menyatakan bahwa hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang-barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses tersebut tidak menjadi akuut oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut.21

…Ter Haar, merumuskan hukum waris adat meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materiil, dan immaterial dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.22

…Wirjono Prodjodikoro, memberi pengertian bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.23

Dengan demikian hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dekat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia.24

Mengartikan waris dari sudut hukum adat maka pada kenyataannya sebelum pewaris wafat sudah dapat terjadi perbuatan penerusan atau pengalihan harta kekayaan waris. Perbuatan penerusan atau pengalihan harta dari pewaris kepada

20

Hilman Hadikusuma, loc. cit. 21

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, h.259

22

Soerojo Wignojodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta, 1988, h.161

23

Soerojo Wignojodipoero, loc. cit.

24

Hilman Hadikusuma, op.cit., h.8

(29)

waris sebelum pewaris wafatdapat terjadi dengan cara penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada waris.25

Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya terletak dari latar belakang alam fikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang Bhineka Tunggal Ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersamayang bersifat tolong menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian didalam hidup.26

Bangsa Indonesia yang murni alam fikirannya berazas kekeluargaan dimana kepentingan hidup yang rukun damai lebih diutamakan dari sifat-sifat kebendaan dan mementingkan diri sendiri. Jika pada belakangan ini Nampak sudah banyak kecenderungan adanya keluarga-keluarga yang mementingkan kebendaan dengan merusak kerukunan hidup kekerabatan atau ketetanggan maka hal itu merupakan suatu krisis akhlak, antara lain disebabkan pengaruh kebudayaan asing yang menjajah alam fikiran bangsa Indonesia.27

25 Ibid. 26

Ibid., h.9

27 Ibid.

(30)

B. Dasar Hukum Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam dan Hukum

Adat

1. Menurut Hukum Islam

Hukum kewarisan Islam di Indonesia adalah hukum waris yang bersumber kepada Al Qur’an dan Hadits, hukum yang berlaku universal di bumi mana pun di dunia ini.28 Hukum kewarisan Islam disebut juga hukum fara’id, jamak dari kata farida, erat sekali hubungannya dengan kata fard yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan.29

Sebelum datangnya agama Islam, isteri ataupun anak perempuan bukanlah dipandang sebagai orang-orang yang memilik hak waris. Sebaliknya mereka dianggap sebagai harta warisan, dan oleh karena itu boleh diwariskan. Wahyu Al-Qur’an kemudian di turunkan dalam hal waris-mewaris sebagai perbaikan terhadap keadaan-keadaan sebelumnya dimana pada masa itu wanita merupakan kekayaan, begitu juga laki-laki yang tidak mampu ke medan perang untuk bertempur juga dianggap bukan sebagai orang-orang yang berhak mewaris. Munculnya Islam dengan peraturan baru tentang hukum waris untuk perempuan dan anak-anak kecil telah memberikan perubahan yang sangat signifikan bagi status kaum perempuan dan anak-anak.30

Hak waris bagi wanita maupun laki-laki, diatur dalam berbagai ayat seperti dalam Surat An-Nisaa’ ayat 7, 11, 12, 176, yang mengatur tentang hak-hak seseorang dalam pewarisan. Sebsgai surat pertama tentang hak pewarisan ayat ini

28

Habiburrahman, op. cit.,h.79

29

Mohammad Daud Ali, op. cit., h. 313

30

Habiburrahman, Op. cit.,h.80

(31)

merupakan perrbaikan, khususnya bagi wanita termasuk anak perempuan, isteri, dan ibu.31

Untuk lebih jelasnya ayat-ayat kewarisan inti ini,secara berurutan dapat dicantumkan terjemahannya sebagai berikut:

a. Surat An-Nisaa’ ayat 7, yang artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan kerabatnya, dan bagiorang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan kerabatnya,baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”32

b. Surat An-Nisaa’ ayat 11, yang artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan; dan jika anak itu semuanys perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggalkan itu mempunyai anak; jika yang meninggalkan itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian tersebut diatas) sesudah di penuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya, (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”33

c. Surat An-Nisaa’ ayat 12, yang artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istri itu mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya seusfah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harga yang ditinggalkan kamu jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dibayar huyang-hutangmu. Jika sseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu iu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang spertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan yidak member madharat (kepada ahli waris). (Allah) menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.34

d. Surat An-Nisaa’ ayat 33, yang artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu-bapaknya dari karib-kerabatnya, kami jadikan pewaris-pewarisnya Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah

(32)

setiap dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”35

e. Surat An-Nisaa’ ayat 176, yang artinya: ‘’Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah). Katakanlah: Allah member fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan. Dan perempuan maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika tidak mempunyai anak: tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari hrta yang ditunggalkan oleh orang yang meninggal. Dan jka mereka (ahli waris itu sendiri) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki seabnyak bagian dua orang saudara perempua. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”36

Surat An-Nisaa’ ayat 11 dan Surat An-Nisaa’ ayat 12 kedua ayat tersebut merupakan pendahuluan tentang ketentuan memberi kepada setiap pemilik hak-hak sah mereka, juga menegaskan bahwa ada hak buat lelaki dan perempuan berupa bagian tertentu dari warisan ibu, bapak, dan kerabat yang akan diatur oleh Allah. Kedua ayat tersebut kemudian memerinci ketetapan-ketetapan mengenai ahli waris dan bagiannya, yaitu bagian anak seorang anak lelaki dan anak kamu, kalau bersamanya ada anak-anak perempuan dan tidak ada halangan yag ditetapkan agama baginya untuk memperoleh warisan, misalnya membunuh pewaris atau bebeda agama dengannya, maka dia berhak memperoleh warisan yang kadarnya sama dengan dua orang anak perempuan.37

Ketentuan hukum waris Islam hendaknya tidak berakibat mudharat kepada ahli waris, beberapa tindakan yang tidak diperbolehkan dan dianggap bertentangan dengan syariat adalah:

1) Mewariskan lebih dari sepertiga harta pusaka;

(33)

2) Berwasiat dengan mkasud mnegurangi harta warisan, sekalipun kurang dari sepertiga, dianggap sebagai hal yang memberi mudharat dan tidak diperbolehkan.38

Hadits yang berhubungan dengan hukum waris:

“…Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang yang berhak, sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama.” (HR.bukhari dan Muslim). “…Berikanlah 2/3 untuk dua anak Saad, 1/8 untuk jandanya dan sisanya adalah untukmu (paman).” (HR. Abu Dawud At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad). “…1/3 adalah banyak atau besar (untuk pelaksanaan wasiat) jika kamu meninggalkan ahli warisanmu dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.” (HR.Bukhari dan Muslim).

Pembagian warisan menurut hukum waris Islam dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a) Dilakukan terlebih dahulu pembayaran utang-utang dari pewaris diselesaikan, termasuk biaya rumah sakit dan biaya pemakaman.

b) Pada saat pembagian warisan, dihadiri oleh pejabat Balai Harta Peninggalan dan dilakukan di depan notaris yang dipilih oleh ahli waris sendiri. Bila tidak ada kesepakatan tentang notaris mana yang dipilih, pengadilan agama menunjuk seorang notaris untuk pencatatan pembagian warisan tersebut. c) Dibuat daftar harta benda warisan baik yang berwujud maupun tidak

berwujud, bergerak maupun tetap. Bila terdapat perubahan harta benda warisan, harus dinyatakan perubahannya itu dikuatkan oleh notaries.

d) Harta benda warisan di atas ditaksir nilainya oleh yang berkompeten di bidangnya.

e) Ahli waris yang satu terhadap yang lain dapat mengajukan pembatalan pembagian warisan atas pembagian warisan yang dilakukan dengan tekanan,

38 Ibid.

(34)

paksaan, penipuan dan dapat menimbulkan kerugian hingga ¼ bagian yang dikarenakan kesalahan penaksiran nilai harta benda warisan.

f) Apabila salah seorang ahli waris tidak memasukkan harta warisan dalam daftar warisan, diadakan pembagian warisan lanjutan.

g) Jangka waktu pembatalan adalah dalam rentang waktu tiga tahun sejak warisan dibagikan. Atas pembatalan ini, keadaan warisan kembali pada keadaan semula yang tidak terbagi, untuk kemudian diulangi kembali pembagian warisan seperti di atas.39

Adapun dasar pembagian warisan menurut Kompilasi Hukum Islam yakni:

Pasal 176: Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.

Pasal 177: Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.

Pasal 178: Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.

Pasal 179: Duda dari pewaris mendapat separoh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meningaglkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian.

39

Ibid., h.128

(35)

Pasal 180: Janda dari pewaris mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda dari pewaris mendapat seperdelapan bagian.

Pasal 181: Bila seorang meninggal tanpa menimggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.

Pasal 182: Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separuh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berabnding satu dengan saudara perempuan.

Pasal 183: Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.

Pasal 184: Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya, maka baginya diangkat wai berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga.

Pasal 185: Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikkan oleh anaknya. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Pasal 186: Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.

(36)

Pasal 187: Bilamana pewaris mennggalkan harta peninggalan maka oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas:

- Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerka yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang.

- Menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris.

Selanjutnya dari pengeluaran dimaksud diatas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.

Pasal 188: Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan iyu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan.

Pasal 189: Bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan. Bila ketentuan tersebut tidak dimungkinkan karena diantara para hali waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimilik oleh seorang atau lebih ahli waris dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.

Pasal 190: Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya,

(37)

Pasal 191: Bila pewaris tidak meningglkan ahli waris samas sekali,ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum.

2. Menurut Hukum Adat

Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang menentukan harta kekayaan baik yang materil maupun yang inmateriil yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya.40 Hukum adat waris menunjukkan corak-corak yang khas dari aliran pikiran tradisional Indonesia.41

Hukum adat waris menetapkan dasar persamaan hak, hak sama ini mengandung hak untuk diperlakukan sama oleh orangtuanya di dalam proses meneruskan dan mengoperkan harta benda keluarga. Disamping dasar persamaan hak hukum adat waris juga meletakkan dasar kerukunan pada proses pelaksanaan pembagian berjalan secara rukun dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap waris. Harta warisan tidak boleh di paksakan untuk dibagi antara para ahli waris. Harta peninggalan dapat bersifat tidak dapat dibagi atau pelaksanaan pembagiannya ditunda untuk waktu yang cukup lama ataupun hanya sebagian yang dibagi-bagi. Pembagiannya merupakan tindakan bersama, berjlan secara rukun dalam suasana ramah-tamah dengan memperhatikan keadaan khusus tiap waris. Harta peninggalan tidak merupakan satu kesatuan harta warisan, melainkan waib diperhatikan sifat/macam, asal dan kedudukan hukum dari pada barang-barang masing-masing yang terdapat dalam harta peninggalan itu.42

40

Soerojo Wignojodipoero, loc. cit. 41

Ibid., h.163

42 Ibid.

(38)

Pembagian warisan menurut hukum adat dilaksanakan menurut daerah masing masing, yang berarti pula mempunyai adat masing-masing.43 Hukum waris adat diwarnai oleh sistem kekeluargaan dalam masyarakat, sistem tersebut dibedakan sebagai berikut:

a. Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang meraik garis keturuanan pihak nenek moyang laki-laki. Didalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol.

b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang meraik garis keturunan pihak nenek moyang perempuan. Didalam sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya. Anak-anak mereka merupakan bagian dari bagian keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih merupakan anggota keluarganya sendiri.

c. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem ynag menarik garis keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Didalam sistem iini kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam hukum waris sama dan sejajar. Artinya baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli waris dari harta peninggalan orangtua mereka.44

Pada umumnya hukum adat tidak menentukan kapan waktu harta warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknuya diadakan pembagian, begitu pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuannya. Menurut adat kebiasaan waktu pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekah atau selamatan yang disebut waktu nujuh hari, waktu empat puluh hari, nyeratus hari atau waktu

43

F.Satriyo Wicaksono, Hukum Waris, Visimedia, Jakarta, 2012, h.85

44

Habiburrahman, Op. cit.,h.89

(39)

seribu hari setelah pewaris wafat, oleh karena pada waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul.45

Apabila harta warisan akan dibagi maka yang menjadi juru bagi dapat ditentukan anatara lain adalah:

1) Orang tua yang masih hidup (janda atau duda dari pewaris), atau 2) Anak tertua lelaki atau perempuan,atau

3) Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur adil dan bijaksana, atau 4) Anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat atau pemuka

Agama yang diminta, ditunjuk atau dipilih para waris untuk bertindak sebagai juru bagi.46

Selama pembagian warisan itu berjalan baik, rukun dan damai diantara para waris, maka tidak diperlukan adanya campur tangan dari orang luar keluarga bersangkutan. Campur tangan dan kesaksian petua adat atau para pemuka masyarakat hanya diperlukan apabila ternyata jalannya musyawarah untuk mencapai mufakat menjadi seret dan tidak lancar.47

Hukum adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan matematika, tetapi selalu didasarkan atas pertimbangan mengingat wujud benda dan kebutuhan waris bersangkutan. Jadi walaupun hukum waris adat mengenal asas kesamaan hak tidak berarti bahwa setiap waris akan mendapat bagian warisan dalam jumlah yang sama, dengan nilai harga yang sama atau menurut banyaknya bagian yang sudah tertentu.48

45

Hilman Hadikusuma, Op.cit., h.104

46 Ibid.

47

Ibid., h.105

48 Ibid.

(40)

Di Indonesia yang menjunjung tinggi musyawarah untuk mufakat, menetapkan pembagian warisan menurut musyawarah diantara ahli waris, dengan cara sebagai berikut:

a) Pembagian warisan dilaksanakan dalam waktu menurut adat kebiasaan masyarakat setempat, ada yang 40 hari setelah pewaris meninggal dunia dan ada pula 100 hari setelah pewaris meninggal dunia. Hal ini dilakukan untuk ketenangan almarhum/almarhumah pewaris dan mencerminkan sifat masyarakat yang tidak matrealistik.

b) Selama anak-anak pewaris belum dewasa, harta warisan tidak akan dibagi. c) Dilakukan musyawarah yang diwarnai rasa kekeluargaan, agar dalam

membagi waris dapat menghasilkan pembagian yang adil bagi ahli waris. d) Adakalanya dalam pembagian waris tersebut diperlukan bantuan dari ulama

untuk mengingatkan rasa keadilan dalam membagi waris serta telah terpunhinya hukum Agama yang dianutnya. Para ahli waris dapat memilih untuk menggunakan hukum waris adat atau hukum waris Islam.

e) Apabila musyawarah tidak menemui kesepakatan, diselesaikan melalui pengadilan negeri.

f) Sebelum harta warisan dibagi kemasing-masing ahli waris, para ahli waris bertanggung jawab untuk melunasi utang dari pewaris. Harta warisan dipakai untuk melunasi uatng dari pewaris setelah itu dibagi keahli waris. Hibah yang telah dilakukan pewaris semasa hidupnya dapat dipakai untuk melunasi utang pewaris apabila harta warisan tidak cukup. Namun di beberapa daerah adat tidak dapat dipakai untuk melunasi uatang pewaris.

g) Besarnya bagian masing-masing ahli waris sebagai berikut:

(1) Anak kandung baik laki-laki maupun perempuan mendapatkan pembagian yang sama, tetapi ada kalanya berlaku prinsip sepikul

(41)

segendong (yang artinya 2:1), bagian anak perempuan separuh dari bagian anak laki-laki.

(2) Anak angkat mendapatkan harta warisan bersifat serelanya dan ahli waris yang lain atas harta warisan yang ada, dapat pula berlaku hanya berhak atas harta pencaharian orang tua angkatnya. Apabila anak anak angkat menerima wasiat atau hibah ada adat tertentu menetukan tidak boleh lebih dari ½ seluruh harta warisan.

(3) Anak tiri mendapatkan harta warisan bersifat serelanya dari ahli waris yang lain atas harta warisan orang tua tirinya, atau adakalanya hanya dapat mewarisi harta dari orang tua kandungnya saja.

(4) Anak tidak sah hanya mewarisi dari ibu kandungnya saja. Dibeberapa adat menetapkan bahwa anak tidak sah, walaupun pada akhirnya ibu menikah dengan ayah biologisnya.

(5) Janda/duda menerima bagian warisan sama besar dengan seorang anak, apabila tidak ada anak, harta warisan jatuh semua pada Janda/menerima wasiat atau hibah ada adat tertentu menetukan tidak boleh lebih dari ½ seluruh harta warisan.

(6) Anak tiri mendapatkan harta warisan bersifat serelanya dari ahli waris yang lain atas harta warisan orang tua tirinya, atau adakalanya hanya dapat mewarisi harta dari orang tua kandungnya saja.

(7) Anak tidak sah hanya mewarisi dari ibu kandungnya saja. Dibeberapa adat menetapkan bahwa anak tidak sah,walaupun pada akhirnya ibu menikah dengan ayah biologisnya.

(8) Janda/duda menerima bagian warisan sama besar dengan seorang anak, apabila tidak ada anak, harta warisan jatuh semua pada Janda/duda, sedangkan harta pusaka kembali ke asal. Janda/duda berhak atas ½ harta pencaharian.

(42)

Hukum waris adat di Indonesia banyak terpengaruh oleh hukum Islam, ahli waris hanya bertanggung jawab sebatas pada harta peninggalan saja. Sehingga, ahli waris harus menyelesaikan kewajiban dari pewaris atas seluruh utang-utangnya dari para kreditur.49

C. Macam-Macam Ahli Waris Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat

1. Menurut Hukum Islam

Macam-macam ahli waris menurut pasal 174 Kompilasi Hukum Islam terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah:

1). Golongan laki-laki terdiri dari: ayah,anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek;

2) Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.50

Bagian ahli waris menurut sistem bilateral, sebagai berkut:

1)Ahli waris dzul faraid, yakni ahli waris yang bagiannya telah diatur dalam Alquran dan hadis yaitu ibu, bapak, duda, saudara laki-laki seibu, saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, kakek dan nenek.

2)Ahli waris dzul qarabat, yakni ahli waris yang mendapat bagian warisan yang tidak ditentukan jumlahnya dan mendapatkan sisa warisan. Ahli waris

49

F.Satriyo Wicaksono, Op. cit., h.86

50

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Buku II, Hukum Kewarisan, Op. cit., h.376

(43)

ini mempunyai hubungan dengan pewaris melalui garis laki-laki dan perempuan, yaitu anak laki-laki, anak perempuan yang mewaris bersama anak laki-laki, bapak, saudara laki-laki apabila pewaris tidak ada keturunan, dan saudara perempuan apabila pewaris tidak mempunyai keturunan. 3)Ahli waris mawali (pengganti), yakni ahli waris yang menggantikan

seseorang yang meninggal untuk mendapatkan bagian warisan yang akan didapatkan oleh orang yang digantikan seandainya ia hidup. Misalnya, cucu yang menggantikan ayahnya dalam mewarisi harta kekayaan dari kakeknya.

Ahli waris menurut sitem waris patrilineal, sebagai berikut:

a) Ahli waris dzul faraid, yakni ahli waris yang mendapatkan bagian sesuai ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadits, antara lain: ibu, bapak, duda, saudara laki-laki seibu, saudara perempuan seibu, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, kakek dan nenek.

b)Ahli waris ashabah, yakni ahli waris yang tidak memperoleh bagian tertentu, tapi mendapatkan seluruh harta warisan apabila tidak ada ahli waris dzul faraid, dan mendapatkan seluruh sia harta warisan setelah dibagikan kepada ahli waris dzul faraid atau tidak menerima apapun jika telah halus dibagikan kepada ahli waris dzul faraid

Ahli waris ashabah terbagi dalam tiga golongan yakni:

(1) Asabah binafsihi, merupakan ahli waris ashabah karena dirinyya sendiri bukan karean bersama ahli waris lainnya, yaitu: anak laki-laki, bapak, kakek, cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki sebapak, paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki paman kandung, dan anak laki-laki paman sebapak.

(44)

(2) Asabah bil-ghairi, merupakan ahli waris ashabah karena bersama ahli waris lainnya, yaitu seorang wanita yang menjadi ahli waris asabah karena ditarik oleh ahli waris laki-laki, yaitu anak perempuan yang mewaris bersama anak laki, cucu perempuan yang mewaris bersama cucu laki-laki, saudara perempuan kandung yang mewaris dengan saudara laki-laki kandung, saudara perempuan sebapak yang dengan saudara yang mewaris bersama saudara laki-laki sebapak.

(3) Asabah ma’al-ghairi, yakni saudara peremouan kandung atau sebapak yang menjadi ahli waris asabah karena mewaris bersama dengan keturunan perempuan, yaitu: saudara perempuan kandung yang mewaris dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perem[uan sebapak yang mewaris dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.

Ahli waris dzul arham, yakni ahli waris yang mempunyai pertalian darah dengan pewaris lewat keluarga perempuan, yang termasuk ahli waris ini adalah cucu dari anak perempuan, anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan pama, paman seibu, saudara laki-laki ibu, dan bibi.

Didalam kewarisan patrilineal selalu memberikan kedudukan yang lebih kepada pihak laki-laki, termasuk bagian antara ibu dan bapak atas harta warisan dari anaknya sendiri.51

2. Menurut Hukum Adat

Menurut hukum adat, untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris digunakan dua macam garis pokok, yaitu:

a. Garis pokok keutamaan

51

F.Satriyo Wicaksono, Op. cit., h.129

(45)

b. Garis pokok pengganti

Garis pokok keutamaan adalah garis hukum yang menentukan urutan-urutan keutamaan diantara golongan-golongan dalam keluarga pewaris dengan penegrtian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan dari pada golongan yang lain. Dengan garis pokok keutamaan tadi, maka orang-orang yang mempunyai hubungan darah dibagi dalam golongan-golongan sebagai berikut:

1) Kelompok keutamaan I: keturunan pewaris, 2) Kelompok keutamaan II: orang tua pewaris,

3) Kelompok keutamaan III: saudara-saudara pewaris, dan keturunannya, 4) Kelompok keutamaan IV: kakek dan nenek pewaris,

5) dan seterusnya.

Garis pokok penggantian adalah garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa diantara orang-orang didalam kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris. Yang sungguh-sungguh menjadi ahli waris adalah:

a) Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris, b) Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris.

Di dalam pelaksanaan penetuan para ahli waris dengan mempergunakan garis pokok keutamaan dari penggantian, maka harus diperhatikan dengan seksama prinsip garis keturunan yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu. Demikian pula harus diperhatikan kedudukan pewaris, misalnya sebagai bujangan, janda, duda, dan seterusnya.52

Pada umumnya para waris ialah anak termasuk anak dalam kandungan ibunya jika lahir hidup, tetapi tidak semua anak adalah ahli waris, kemungkinan para waris lainnya seperti anak tiri, anak angkat, anak piara, waris balu, waris kemenakan, dan

52

Soerjono Soekanto, Op. cit., h.260

Gambar

Tabel1. Jawaban responden tentang pilihan hukum yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat mandailing di Kabupaten Padang Lawas
Tabel 2. Jawaban responden tentang pilhan hukum masyarakat Mandailing di
Tabel 3. Jawaban responden tentang alasan masyarakat Mandailing di
Tabel 4. Jawaban responden tentang pilihan peradilan dalam penyelesaian
+2

Referensi

Dokumen terkait

(c) Jika seorang perempuan bersuami diangkat sebagai wali, baik oleh hakim Maupun oleh salah satu orang tua dari kedua orang tuanya pada saat ia dengan bantuan atau kuasa dari

Yaitu: tuhor, indahan tungkus, parkayan, abit tonun patani, indahan nagorsing, horis, sipulut, bulung ujung, amak lampisan, piramanuk, burangir, gulaen, silalat, udang,

Konsep, konsep ini sangat berperan dalam mengkontruksikan makna suatu denotatum atau objek yang disebut dengan signified.. Tanda adalah yang mewakili sesuatu

Sehingga terlihat bahwa proses peralihan harta dalam hukum kewarisan Islam itu adalah merupakan suatu hal yang wajib, karenanya bagi si pewaris sebenarnya sebelum ia meninggal

19 Menurut Hukum Adat Bali yang berhak mewaris baik pada Harta Pusaka dan Harta Guna Kaya adalah anak laki-laki apabila di dalam perkawinan tidak memiliki anak

Maka ia tak merupakan ahli waris dari orang tuanya yang meninggal dunia. Anak laki-laki dapat warisan dari bapak dan ibunya dan pada asalnya berhak atas semua harta benda yang

dalam proses pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal dunia akan dilakukan dengan cara musyawarah dengan dihadari semua ahli waris, baik anak laki-laki dan anak

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seseorang yang penulis sayangi dan cintai Suci Praningtiastuti yang selalu mendengarkan keluh kesah penulis dalam penyusunan skripsi ini