• Tidak ada hasil yang ditemukan

Macam-Macam Ahli Waris Menurut Hukum Islam

BAB II KAJIAN TENTANG WARISAN MENURUT HUKUM ISLAM

C. Macam-Macam Ahli Waris Menurut Hukum Islam

Macam-macam ahli waris menurut pasal 174 Kompilasi Hukum Islam terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah:

1). Golongan laki-laki terdiri dari: ayah,anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek;

2) Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.50 Bagian ahli waris menurut sistem bilateral, sebagai berkut:

1)Ahli waris dzul faraid, yakni ahli waris yang bagiannya telah diatur dalam Alquran dan hadis yaitu ibu, bapak, duda, saudara laki-laki seibu, saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, kakek dan nenek.

2)Ahli waris dzul qarabat, yakni ahli waris yang mendapat bagian warisan yang tidak ditentukan jumlahnya dan mendapatkan sisa warisan. Ahli waris

49

F.Satriyo Wicaksono, Op. cit., h.86

50

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Buku II, Hukum Kewarisan, Op. cit., h.376

ini mempunyai hubungan dengan pewaris melalui garis laki-laki dan perempuan, yaitu anak laki-laki, anak perempuan yang mewaris bersama anak laki-laki, bapak, saudara laki-laki apabila pewaris tidak ada keturunan, dan saudara perempuan apabila pewaris tidak mempunyai keturunan. 3)Ahli waris mawali (pengganti), yakni ahli waris yang menggantikan

seseorang yang meninggal untuk mendapatkan bagian warisan yang akan didapatkan oleh orang yang digantikan seandainya ia hidup. Misalnya, cucu yang menggantikan ayahnya dalam mewarisi harta kekayaan dari kakeknya. Ahli waris menurut sitem waris patrilineal, sebagai berikut:

a) Ahli waris dzul faraid, yakni ahli waris yang mendapatkan bagian sesuai ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadits, antara lain: ibu, bapak, duda, saudara laki-laki seibu, saudara perempuan seibu, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, kakek dan nenek.

b)Ahli waris ashabah, yakni ahli waris yang tidak memperoleh bagian tertentu, tapi mendapatkan seluruh harta warisan apabila tidak ada ahli waris dzul faraid, dan mendapatkan seluruh sia harta warisan setelah dibagikan kepada ahli waris dzul faraid atau tidak menerima apapun jika telah halus dibagikan kepada ahli waris dzul faraid

Ahli waris ashabah terbagi dalam tiga golongan yakni:

(1) Asabah binafsihi, merupakan ahli waris ashabah karena dirinyya sendiri bukan karean bersama ahli waris lainnya, yaitu: anak laki-laki, bapak, kakek, cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki sebapak, paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki paman kandung, dan anak laki-laki paman sebapak.

(2) Asabah bil-ghairi, merupakan ahli waris ashabah karena bersama ahli waris lainnya, yaitu seorang wanita yang menjadi ahli waris asabah karena ditarik oleh ahli waris laki-laki, yaitu anak perempuan yang mewaris bersama anak laki, cucu perempuan yang mewaris bersama cucu laki-laki, saudara perempuan kandung yang mewaris dengan saudara laki-laki kandung, saudara perempuan sebapak yang dengan saudara yang mewaris bersama saudara laki-laki sebapak.

(3) Asabah ma’al-ghairi, yakni saudara peremouan kandung atau sebapak yang menjadi ahli waris asabah karena mewaris bersama dengan keturunan perempuan, yaitu: saudara perempuan kandung yang mewaris dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perem[uan sebapak yang mewaris dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.

Ahli waris dzul arham, yakni ahli waris yang mempunyai pertalian darah dengan pewaris lewat keluarga perempuan, yang termasuk ahli waris ini adalah cucu dari anak perempuan, anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan pama, paman seibu, saudara laki-laki ibu, dan bibi.

Didalam kewarisan patrilineal selalu memberikan kedudukan yang lebih kepada pihak laki-laki, termasuk bagian antara ibu dan bapak atas harta warisan dari anaknya sendiri.51

2. Menurut Hukum Adat

Menurut hukum adat, untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris digunakan dua macam garis pokok, yaitu:

a. Garis pokok keutamaan

51

F.Satriyo Wicaksono, Op. cit., h.129

b. Garis pokok pengganti

Garis pokok keutamaan adalah garis hukum yang menentukan urutan-urutan keutamaan diantara golongan-golongan dalam keluarga pewaris dengan penegrtian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan dari pada golongan yang lain. Dengan garis pokok keutamaan tadi, maka orang-orang yang mempunyai hubungan darah dibagi dalam golongan-golongan sebagai berikut:

1) Kelompok keutamaan I: keturunan pewaris, 2) Kelompok keutamaan II: orang tua pewaris,

3) Kelompok keutamaan III: saudara-saudara pewaris, dan keturunannya, 4) Kelompok keutamaan IV: kakek dan nenek pewaris,

5) dan seterusnya.

Garis pokok penggantian adalah garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa diantara orang-orang didalam kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris. Yang sungguh-sungguh menjadi ahli waris adalah:

a) Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris, b) Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris.

Di dalam pelaksanaan penetuan para ahli waris dengan mempergunakan garis pokok keutamaan dari penggantian, maka harus diperhatikan dengan seksama prinsip garis keturunan yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu. Demikian pula harus diperhatikan kedudukan pewaris, misalnya sebagai bujangan, janda, duda, dan seterusnya.52

Pada umumnya para waris ialah anak termasuk anak dalam kandungan ibunya jika lahir hidup, tetapi tidak semua anak adalah ahli waris, kemungkinan para waris lainnya seperti anak tiri, anak angkat, anak piara, waris balu, waris kemenakan, dan

52

Soerjono Soekanto, Op. cit., h.260

para waris pengganti seperti cucu, ayah-ibu, kakek-kakek, waris anggota kerabat dan waris lainnya. Kemudian berhak tidaknya para waris tersebut dipengaruhi oleh sistem kekerabatan bersangkutan dan mungkin juga karena pengaruh Agama, sehingga antara daerah yang satu dan yang lain terdapat perbedaan. Adapun rincian para ahli waris menurut hukum adat adalah53:

(1)Anak Kandung

Anak kandung adalah anak yang lahir dari kandungan ibu dan ayah kandungnya. Kedudukan anak kandung sebagai waris dipengaruhi oleh perkawinan yang dilakukan orang tuanya baik secara sah ataupun tidak sah. Di beberapa daerah terdapat perbedaan hukum waris adat yang berlaku mengenai kedudukan anak sebagai waris dari orangtuanya. Disamping itu terdapat pula perbedaan antara anak lelaki dan anak perempuan dalam pewarisan, atau juga anak sulung, anak tengah, anak bungsu dan anak pangkalan.

(a) Anak Sah

Di berbagai golongan masyarakat yang dikatakan anak sah ialah anak kandung yang lahir dari perkawinan orangtuanya yang sah menurut ajaran Agama. Sehingga anak yang lahir dari perkawinan yang tidak menurut hukum Agama pada dasarnya tidak berhak sebagai ahli waris yang sah dari orang tua kandungnya. Sedangkan anak yang sah baik anak lelaki maupun anak perempuan pada dasarnya adalah waris dari orang tua yang melahirkannya.

(b) Anak Tidak Sah

Anak tidak sah adalah anak yang lahir dari perbuatan orang tua yang tidak menurut ketentuan Agama. Anak-anak tidak sah ini mempunyai tidak hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya tetapi juga dengan ayah biologisnya,

53

Hilman Hadikusuma, Op. cit., h.67

melalui pembuktian yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Hal ini terdapat dalam putusan MK RI No. 46/PUU-VIII/2010.

(c) Waris Anak Lelaki

Anak lelaki sebagai waris dapat diketahui dalam sistim kekerabatan patrilinial dimana kebanyakan berlaku bentuk perkawinan jujur seperti terdapat di tanah Batak, Lampung, pepadun, di Bali dan juga di daerah Nafri Jayapura Irian Jaya. Sedangkan anak-anak perempuan tidak sebagai waris tetapi dapat sebagai penerima bagian harta warisan untuk dibawa sebagai harta bawaan kedalam perkawinannya mengikuti pihak suami.

Apabila pewaris tidak punya keturunan sama sekali, maka pewaris mengangkat anak lelaki dari saudara kandungnya lelaki yang terdekat, demikian seterusnya sehingga hanya anak lelaki yang menjadi waris, dimana segala sesuatunya harus didasarkan atas musyawarah dan mufakat para anggota kerabat.

(d) Waris Anak Perempuan

Sebagai kebalikan dari pewarisan dalam sistem kekerabatan patrilinial ialah pewarisan pada anak-anak wanita yang berlaku pada sistem kekerabatan matrilineal, dimana bentuk perkawinan semenda yang berlaku dan suami setelah perkawinan mengikuti kedudukan isteri atau tidak termasuk kekerabatan isteri seperti berlaku di Minangkabau.

Apabila pewaris tidak mempunyai anak wanita tetapi hanya mempunyai anak-anak laki-laki saja, sebagaimana berlaku di daerah semendo maka salah seorang

anak lelaki diambilkan wanita sebagai isterinya dalam bentuk perkawinan semendo ngangkit.

(e) Waris Anak Lelaki dan Anak Perempuan

Kedudukan anak lelaki dan anak perempuan sebagai waris yang berhak sama atas harta warisan orang tuanya berlaku dikalangan masyarakat dengan sistem kekeluargaan parental. Yang dimaksud semua anak lelaki dan perempuan adalah sama haknya atas harta warisan tidak berarti bahwa jenis atau jumlah harta warisan dibagi merata diantara semua waris, dapat dengan begitu saja dinilai harganya dengan uang.

(f) Waris Anak Sulung

Pada umumnya keluarga-keluarga Indonesia menghormati kedudukan anak tertua, ia patut dihargai sebagai pengganti orangtua setelah orangtua tidak ada lagi, kepadanyalah sepantasnya setiap anggota keluarga meminta petunjuk dan nasehat. Jika anak tertua masih kecil maka kakek atau nenek menggantikan tanggung jawab orang tua dan jika kakek dan nenek tidak ada lagi tanggung jawab diteruskan pada paman atau bibik. Diberbagai daerah ada hukum adat yang menegaskan kedudukan anak tertua lelaki dan anak tertua perempuan.

(g) Waris Anak Pangkalan dan Anak Bungsu

Dibeberapa daerah disamping kedudukan anak sulung yang menjadi penerus keturunan dan pengganti tanggung jawab orang tua sebagai kepala keluarga dalam mengurus rumah tangga, terdapat pula yang disebut anak pangkalan dan anak bungsu sebagia orang pertama da orang kedua dalam menentukan pewarisan harta warisan orang tua.

(2)Anak Tiri dan Anak Angkat

Pada dasarnya anak tiri bukan waris dari ayah tiri atau ibu tirinya, tetapi ia adalah waris dari ayah-ibu kandungnya sendiri.

(a) Anak tiri

Anak tiri jika anak kandung m,asih ada tidak akan menjadi waris dari orang tua tirinya. Namun dalam kehidupan rumah tangaga sehari-hari ia dapat ikut menikmati kesejahteraan rumah tangga bersama bapak tiri atau ibu tiri bersam dengan saudara-suadara tirinya. Ada kemungkinan anak kandung sebagai waris dapat disisihkan anak tiri.

(b) Anak Angkat

Menurut hukum Islam anak angkat tidak diakui untuk dijadikan sebagai dasar dan sebab mewaris, Karena prinsip pokok dalam kewarisan adalah hubungan darah atau arham. Tetapi nampaknya diberbagai daerah yang masyarakat adatnya menganut agama Islam, masih terdapat dan berlaku pengangkatan anak dimana si anak angkat dapat mewarisi harta kekayaan orang tua angkatnya. Bahkan karena sayangnya pada anak angkat pewarisan bagi anka angkat telah berjakan sejak pewaris masih hidup. Sejauhmana anak angkat dapat mewarisi orang tua nagkatnya dapat dilihat dari katar belakang sebab terjadinya anak angkat itu.

(c) Anak Angkat Mewaris

Hanya didalam pewarisan jika anak kandung masih ada maka anak angkat mendapat warisan yang tidak sebanyak anak kandung, dan jika orang yua angjat takut anak angkat tidak mendapat bagian tyang wajar atau mungkin tersisih sama sekali oleh anak kandung dengan menggunakan dasar hukum Islam, maka sudah menjadi adat kebiasaan orang tua angkat itu member bagian harta warisan kepada

anak anagkat sebelum ia wafat dengan cara penunjukan, atau hibah/wasiat. Betapapun anak angkat itu berhak mewaris dari orang tua angkatnya, namun ia tidak boleh melebihi anak kandung.

(d) Waris Balu, Janda Atau Duda

Sesungguhnya kedudukan balu sebagai waris atau bukan waris dipengaruhi oleh sistem kekerabatan dan masyarakat bersangkutan dan bentuk perkawinan yang berlaku diantara mereka.

Dalam masyarakat adat batak ahli waris janda selama ia masih tetap tinggal dikampung dimana suaminya berada, biasanya harta peninggalan suami yang telah meninggal diserahkan sepenuhnya kepada kepada istrinya (janda) selama ia belum menikah dan selama ia tidak meninggalkan perkampungan suaminya, tetapi jika ia menikah kembali atau pindah dari kampung suaminya maka harta peninggalan suaminya beralih pada anak kandungnya yang di amanahkan kepada mertua atau keluarga mertuanya.

Khusus untuk duda harta warisan peninggalan istri sepenuhnya dikuasainya sebatas ia belum menikah dengan orang lain, karena ia merupakan tulang punggung dalam menghidupi anak-anak dan keluarganya. Jika ia menikah kembali maka harta peninggalan istrinya tetap menjadi penguasaannya selama ia masih membiayai dan memelihara anak-anaknya, jika kalau ada tuntutan dari pihak keluarga istrinya biasanya diberikan sebagian harta peninggalan istrinya sekedar pemberian kasih sayang dan penghormatan pada mertuanya.

D. Sebab-Sebab Terhalangnya Seseorang Mendapatkan Warisan Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat

1. Menurut Hukum Islam

Memperoleh hak mewaris tidak cukup hanya karena adanya penyebab kewarisan, tetapi pada seseorang itu juga harus tidak ada penyebab yang dapat menghalangnya untuk menerima warisan. Karena itu, orang yang dilihat dari aspek penyebab-penyebab kalau kewarisan sudah memenuhi syarat untuk menerima warisan, tetapi kalau ia dalam keadaan dan atau melakukan sesuatu yang menyebabkan dia tersingkir sebagai ahli waris, maka pemenuhan terhadap aspek pertama tadi tidak ada artinya. Faktor-faktor penghalang kewarisan itu ialah54:

a. Faktor pembunuhan b. Faktor beda Agama c. Faktor perbudakan d. Faktor murtad

e. Faktor berlainan Negara

f. Faktor mati bersama-sama antara anak dan bapak. 1) Faktor Pembunuhan

Islam secara tegas melarang pembunuhan, khususnya sesama muslim (QS Al-Baqarah (2) : 176) karena pembunuhan termasuk salah satu dari bentuk kejahatan (dosa besar) dan mendapat hukuman didunia. Sangsi hukumannya ialah qishosh yaitu dalam proses pembunuhan, kecuali jika pembunuh dapat pemaafan dari ahli waris terbunuh dengan cara membayar diat (ganti rugi). Dalam kaitannya dengan hak waris mewaris, maka orang yang membunuh pewaris ia tidak mendapat hak mewarisi dari pewaris tersebut. Hal ini tercatum secara tegas dalam sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa, Seseorang yang membunuh tidak berhak menerima

54

Abdul Ghofur Anshori, Op.cit., h.31

warisan dari orang yang dibunuhnya (HR Abu Daud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

2) Faktor Beda Agama

Berbeda Agama disini ialah perbedaan agama antara pewaris dengan ahli waris, satu pihak beragama Islam sedangkan yang lain beragama bukan Islam. Dasar hukumnya seperti yang disabdakan Rasulullah melalui Usamah Ibnu Zaid yang diriwayatkan Bukhari Muslim. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah bahwa seorang muslim tidak menerima warisan dari yang bukan muslim dan sebaliknya seorang bukan muslim tidak mewarisi dari seorang muslim.

3) Faktor Perbudakan

Seorang budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi dan diwarisi. Hal ini sedikitnya karena dua hal yaitu, seorang budak dipandang tidak memiliki kecakapan untuk mengelola harta benda (QS An-Nahl (16): 75). Disamping itu status kekeluargaan dari kerabatnya dianggap putus karena ia sudah termasuk keluarga asing (Idris Ramulya, 1984 : 40).

4) Faktor Murtad

Orang murtad ialah orang yang keluar dari Agama Islam karena ia telah keluar dari Islam, maka ia tidak dapat mewarisi harta peninggalan keluarganya, alasannya karena salah satu faktor terjadinya pewarisan adalah hubungan keagamaan (Islam) di antara individu (yang berkeluarga).

5) Faktor Berlainan Negara

Perbedaan Negara didasarkan pada kateristik yaitu angkatan perangnya, kepala negaranya berbeda, dan tidak ada kekuasaan (diplomatik) satu sama lain. Dimaksud dengan “ tidak ada ikatan kekuasaan” adalah tidak ada hubungan diplomatik atau kerjasama untuk saling membantu dalam berbagai bidang.

Kendatipun demikian perlu dicatat bahwa, dalam kasus berlainan yang kebetulan bermukim di negara berbeda, dapat digolongkan dalam dua macam yaitu:

a) Berbeda Negara antar orang-orang non muslim

b) Berbeda Negara antar orang-orang atau keluarga muslim

Dengan demikian faktor berlainan Negara bisa tidak dijadikan sebagai faktor yang menghalangi hak kewarisan.

6) Faktor Mati Bersama Antara Anak dan Bapak

Faktor ini sebenarnya telah diuraikan pada pembahasan tentang persoalan-persoalan sekitar syarat kewarisan. Dalam kasus ini karena antara pewaris dan ahli waris mati mendadak tidak bisa ditemtukan siapa dari mereka yang mati terlebih dahulu, misalnya mati karena tenggelam atau kebakaran. Dengan matinya mereka secara bersamaan, maka sudah jelas bapak tidak bisa mewarisi anaknya dan sebaliknya, tetapi kalau anak yang mati berasamaan bapak itu memiliki anak, maka anak tersebut yang memiliki hak mewarisi (sebagai mawali).

2. Menurut Hukum Adat

Setiap orang pada dasarnya adalah waris dari pewaris orang tua kandung atau orang tua angkatnya berdasarkan hukum adat yang berlaku baginya. Namun demikian ada kalanya seseorang dapat kehilangan hak mewarisi dikarenakan perbuatannya yang bertentangan dengan hukum adat. Perbuatan salah yang memungkinkan hilangnya hak mewaris seseorang terhadap harta warisan orang tuanya atau dari pewaris lainnya adalah misalnya dikarenakan antara lain sebagai berikut55:

a. Membunuh atau berusaha menghilangkan nyawa pewaris atau anggota keluarga pewaris

55

Hilman Hadikusuma, op. cit., h.108

b. Melakukan penganiayaan atau berbuat merugikan kehidupan pewaris

c. Melakukan perbuatan tidak baik, menjatuhkan nama baik pewaris atau nama kerabat pewaris karena perbuatan yang tercela

d. Murtad dari agama atau berpindah dari agama dan kepercayaan, dan sebagainya.

Perbuatan salah yang dimaksud dapat dibatalkan memberi ampunan dengan nyata dalam perkataan atau perbuatan, sebelum atau ketika warisan dilakukan pembagian. Pengampunan atas kesalahan waris yang bersalah dapat berlaku atas semua harta warisan atau hanya untuk pembagian saja. Misalnya waris masih diperkenankan menerima bagian dari harta pencaharian tetapi tidak diperkenankan mewarisi harta asal, atau hanya mendapat bagian harta pencaharian yang lebih sedikit dari bagian waris lainnya.

BAB III

TANGGUNG JAWAB AHLI WARIS TERHADAP HARTA WARISAN

E. Hak dan Kewajiban Ahli Waris 3. Menurut Hukum Islam

a. Hak Ahli Waris

Menurut hukum Islam semua keluarga dari pewaris berhak atas harta peninggalan dari pewaris, dan harta warisan itu akan terbuka setelah pewaris meninggal dunia. Allah Yang Maha Adil tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli waris dengan adil serta penuh kebijaksanaan. Maha suci Allah, menerapkan hal ini dengan tujuan mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia, meniadakan kezaliman di kalangan mereka, menutup ruang gerak para pelaku kezaliman, serta tidak membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari hati orang-orang yang lemah.

Didalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang menyebutkan masalah hak waris bagi para kerabat (nasab), akan tetapi tentang besar-kecilnya hak waris yang maesri diterima mereka tidak dijelaskan secara rinci. Di antaranya adalah firman Allah berikut:

“…Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”(An_Nisa’:7)

“…Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(Al-Anfal:75) “…Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewaris) di dalam Kitab Allah dari pada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Allah).”(Al-Ahzab:6)

Pada ayat kedua dan ketiga (Al-Anfal:75 dan Al-Ahzab:6) dureagskan bahwa kerabat pewaris (sang mayit) lebih berhak untuk mendapatkan bagian dibandingkan lainnya yang bukan kerabat atau tidak mempunyai tali kekerabatan dengannya. Mereka lebih berhak daripada orang mukmin umumnya dan kaum Muhajirin.

b. Kewajiban Ahli Waris

Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah56:

1) Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai

2) Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang. Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pasa jumlah atau nilai harta peninggalannya

3) Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak. 4. Menurut Hukum Adat

Menurut hukum adat semua anggota keluarga dari pewaris berhak menerima harta peninggalan dari pewaris, dan menurut ketentuan dari hukum adat menolak warisan dari pewaris adalah terhalang atau tidaklah diperbolehkan. Maka dari itu semua hak dan kewajiban dari harta pewaris menjadi tanggung jawab sepenuhnya bagi ahli waris tanpa ada kecualinya. Kewajiban para ahli menurut hukum adat memiliki kesamaan dengan kewajiban menurut hukum perdata, yakni dimana kewajiban ahli waris sebagai berikut57:

a. Memelihara keutuhan harta peninggalan sebelum harta peninggalan dibagi b. Mencari cara pembagian yang sesuai dengan ketentuan dan lain-lain c. Melunasi hutang pewaris jika pewaris meninggalkan hutang

56

Ramon Menik Siregar, Skripsi, Fungsi Hibah dalam Perlindungan Bagi Anak Pada Pembagian

Dokumen terkait