• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pembelaan Penasihat Hukum Terdakwa di Dalam

1. Dasar Hukum Pembelaan Penasihat

Berdasarkan fakta peristiwa, fakta hukum, dan fakta yang terdapat di dalam persidangan maka Penasihat Hukum Terdakwa menyusun berkas Pembelaan/ Pledoi, sehingga diketahui dasar hukum pembelaan yang digunakan oleh Penasihat Hukum Terdakwa Lanjar Sriyanto, yakni :

a) Berdasarkan fakta peristiwa dan fakta yuridisnya.

Berdasarkan fakta peristiwa yang telah dipelajari oleh Penasihat Hukum Terdakwa maka disusunlah pembelaan dalam

commit to user

bentuk Pledoi yang dibacakan dalam persidangan.pada hari Kamis tanggal 25 Februari 2010. Sebagaimana yang didakwakan Jaksa Penunutut Umum kepada Terdakwa, dimana Terdakwa didakwa dengan dakwaan kumulatif, yaitu:

i) Dakwaan Kesatu: melanggar Pasal 359 KUHP.

ii) Dakwaan Kedua: melanggar Pasal 360 ayat (2) KUHP.

Selanjutnya dalam pledoi, agar dapat diketahui bersalah atau tidaknya Terdakwa, maka Penasihat Hukum Terdakwa melakukan analisis hukum terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut. Analisis hukum yang dilakukan oleh Penasihat Hukum Terdakwa pada intinya berisi tentang keberatan Tim Penasehat Hukum Terdakwa atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum yakni :

1. Dakwaan Error in Persona

Berdasarkan uraian Dakwaan Kesatu Jaksa Penuntut Umum disebutkan bahwa “….korban Saptaningsih terjatuh/ terpental ke arah selatan as jalan dan tertabrak oleh kendaraan Isuzu Panther No. Pol AE-1639-JA yang berjalan dari arah berlawanan pada jalurnya di sebelah selatan as jalan”. “Mobil Panther mempunyai peranan dalam kecelakaan ini yaitu sebagai yang menabrak sehingga menyebabkan matinya seseorang”.

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum kabur, tidak jelas dan tidak cermat (Obscuur Libel).

Bahwa dalam surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum adalah tidak jelas dan kabur. Hal ini dikarenakan : Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP menentukan syarat tentang isi surat dakwaan ialah “harus

commit to user

berupa uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan”. Bahwa yang dimaksud dengan cermat, jelas dan lengkap tidak saja menyebut seluruh unsur beserta dasar hukum (Pasal) dari peraturan perundangan pidana yang didakwakan, melainkan juga menyebut secara cermat, jelas, dan lengkap tentang unsur-unsur tindak pidana pasal yang didakwakan yang harus jelas pula cara tindak pidana dilakukan oleh Terdakwa dan kaitannya atau hubungannya dengan peristiwa atau kejadian nyata yang didakwakan.

Dalam dakwaannya Jaksa Penuntut Umum tidak menjelaskan mengenai “unsur karena salahnya menyebabkan matinya orang” sebagaimana yang disyaratkan dalam Pasal 359 KUHP. Padahal dalam kasus ini unsur kesalahan tidak ada pada diri Terdakwa. Mengingat, dalam teori hukum pidana ada prinsip aktual dan faktual, yaitu siapa yang secara langsung menabrak itu yang menjadi Terdakwa. Dalam kasus ini, di dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum justru menguraikan bahwa “….korban Saptaningsih terjatuh/ terpental ke arah selatan as jalan dan tertabrak oleh kendaraan Isuzu Panther No. Pol AE-1639-JA yang berjalan dari arah berlawanan pada jalurnya di sebelah selatan as jalan”. Hal ini tentu menunjukkan bahwa Dakwaan Jaksa Penuntut Umum kabur, tidak jelas dan tidak cermat (Obscuur Libel).Unsur barang siapa dalam kasus ini seharusnya bukan dialamatkan kepada Terdakwa. Melainkan, adalah sopir mobil Panther yang manabrak korban, sehingga menyebabkan matinya korban. Unsur karena salahnya menyebabkan matinya orang”, jelas tidak tepat jika dialamatkan kepada Terdakwa.

commit to user

Mengingat, tidak ada hubungan kausalitas kekuranghati-hatian Terdakwa dengan penyebab matinya korban Saptaningsih. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa “Unsur-unsur Pasal 359 KUHP” adalah tidak terbukti. 3. Mengenai Unsur-unsur Dalam Dakwaan Kedua yang

menyatakan bahwa Terdakwa didakwa dalam dakwaan Kedua sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 360 ayat (2) KUHP.

Dalam hal ini, karena salahnya (kurang hati-hatinya) menyebabkan orang luka ringan (tidak ziek dan tidak terhalang pekerjaan sehari-hari), tidak dikenakan pasal ini (R.Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Penerbit Politeia, Tahun 1976). Berdasarkan Fakta Persidangan dan Keterangan Ahli dr. Rory Hartono menyatakan bahwa Visum et Repertum atas nama korban Samto Warih Waluyo termasuk derajat ringan. Dalam hal ini, derajat luka ditentukan dari luasnya luka, apakah luka tersebut mengganggu aktivitasnya atau tidak, dan memerlukan rawat inap atau tidak.

Berdasarkan fakta persidangan diketahui dengan jelas menyatakan bahwa korban Samto Warih Waluyo (anak Terdakwa) tidak menjalani rawat inap, melainkan hanya diberikan pengobatan pada dahi dan bibir untuk selanjutnya di bawa pulang ke rumah dan juga tidak sampai menghalangi aktivitas sehari-hari korban Samto Warih Waluyo (anak Terdakwa). Oleh karena itu, sesuai dengan fakta persidangan tersebut jelas menunjukkan bahwa korban Samto hanya mengalami luka ringan. Berdasarkan pendapat R.Soesilo di atas, bahwa karena

commit to user

salahnya (kurang hati-hatinya) menyebabkan orang luka ringan (tidak ziek dan tidak terhalang pekerjaan sehari-hari), tidak dikenakan pasal ini. Dengan demikian “Unsur-unsur Pasal 360 ayat (2) KUHP” adalah tidak terbukti dan tidak dapat digunakan untuk menjerat Terdakwa.

4. Dalam kasus ini menurut pendapat Penasihat Hukum Terdakwa, korban meninggal (Saptaningsih) bukan karena kecelakaan tunggal, sehingga Terdakwa harus mempertanggungjawabkan kesalahannya. Melainkan, ada kecelakaan lain yang menyebabkan matinya korban. Hal ini sesuai dengan keterangan saksi Karyanto selaku Penyidik dalam kecelakaan ini, yang menyatakan bahwa “Mobil Panther mempunyai peranan dalam kecelakaan ini yaitu sebagai yang menabrak sehingga menyebabkan matinya seseorang”.

Sehubungan dengan pledoi yang disampaikan oleh Penasihat Hukum Terdakwa seperti yang dipaparkan di atas maka Penasihat Hukum Terdakwa memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut :

a. Menyatakan bahwa Terdakwa Lanjar Sriyanto tidak terbukti kesalahannya secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana baik pada dakwaan Kesatu dan Dakwaan Kedua.

b. Membebaskan Terdakwa Lanjar Sriyanto dari semua tuntutan hukum (Vrijspraak) atau setidak-tidaknya melepaskan Terdakwa Lanjar Sriyanto dari semua tuntutan hukum (Ontslaag Van Alle Rechtsvervolging);

c. Memulihkan hak-hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya.

commit to user

d. Membebankan segala biaya yang timbul dalam perkara ini kepada negara.

b) Mengkombinasikan pembelaannya (pledoi) dengan pendapat pakar , ahli hukum dan teori-teori hukum (doktrin).

Pendapat pakar dan ahli hukum serta teori-teori hukum. yang digunakan oleh Penasihat Hukum yaitu sebagai berikut : 1. Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Penerbit Politeia, dijelaskan bahwa mati orang disini tidak dimaksud sama sekali oleh Terdakwa. Akan tetapi, kematian tersebut hanya merupakan akibat daripada kurang hati-hati atau lalainya Terdakwa (delik culpa). Dalam hal ini, yang dimaksud karena salahnya adalah kurang hati-hati, lalai, lupa, amat kurang perhatian. Berdasarkan fakta persidangan diketahui bahwa sebelum kecelakaan terjadi, kondisi sepeda motor saat itu adalah normal dengan kecepatan 50-60 km/jam dan karena Mobil Suzuki Carry secara mendadak mengurangi lajunya tanpa ada tanda dari lampu stopper mobil, maka terjadilah tabrakan tersebut. Padahal, Terdakwa Sriyanto sudah mengerem dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, tidak bisa menghentikan laju motor yang oleng dan akhirnya bemper motornya menabrak mobil Carry (mengenai bemper belakang). Hal ini tentu menunjukkan bahwa Terdakwa sudah sangat berhati-hati pada saat kecelakaan tersebut terjadi. Hal yang patut menjadi pertanyaan di sini adalah penyebab matinya korban. Apakah karena kecelakaan

tunggal, sehingga Terdakwa harus

mempertanggungjawabkan kesalahannya ataukah ada kecelakaan lain yang menyebabkan matinya korban? Hal ini sangat penting untuk membuktikan unsur “karena salahnya menyebabkan matinya orang”, sehingga orang yang dimintai pertanggungjawaban adalah orang yang tepat dan bukan orang yang dikorbankan akibat rekayasa hukum yang tidak memiliki akses keadilan.

2. Bahwa menurut Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Profesor Satjipto Rahardjo (Alm), menyatakan: Hukum bukan teks semata, tetapi terkait alam

pikiran dan nurani manusia yang menjalankan (Harian

KOMPAS, 19/12/2008). “Seorang Hakim dapat berbeda pendapat dengan polisi dan jaksa, dalam mengambil

commit to user

keputusan. Berhukum itu tak hanya berbasis teks, tetapi juga akal sehat dan nurani”. Berhukum berdasarkan

book-rule amat tidak cukup dan dibutuhkan berhukum dengan

nurani (Harian Kompas, Senin 08/06/2009).

3. Bahwa menurut Mantan Hakim Agung, Bismar Siregar selalu mengatakan, ”Saya akan mendahulukan keadilan daripada hukum”. Dasar seorang hakim dalam mengambil putusan adalah ”Demi Keadilan”, bukan demi hukum semata. (Buku: Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan, Penerbit: Gema Insani, Jakarta, 1995, hal. 19-20).

4. Bahwa menurut Ketua Mahkamah Konstitusi, Profesor Moh. Mahfud, MD, menyatakan: Penegakan hukum harus mengutamakan rasa keadilan dan berlandaskan hari nurani. Karena itu, ketika penerapan peraturan hukum (formal) tidak menunjukkan rasa keadilan dan hati nurani, peraturan itu dapat dilanggar. ”Saat proses hukum secara formalitas sudah diterapkan dengan benar, tetapi dalam penerapannya ternyata juga melanggar keadilan, hati nurani, dan hak asasi manusia maka hakim harus memproritaskan keputusan berdasarkan keadilan, hati

nurani, dan hak asasi manusia”. Inilah yang disebut

dengan keadilan subtantif bukan normatif-legalistik formalistik (Harian KOMPAS, Kamis, 07/01/2010, hal. 2). 5. Bahwa menurut Ahli hukum pidana dari Universitas

Indonesia, Profesor Indriyanto Seno Aji, berpendapat dalam kasus ini: korban tak layak dan tak bisa dijadikan terdakwa. ”Ia justru korban. Jika majelis hakim yang mengadilinya cermat, saat dakwaan dibacakan, hakim sudah bisa menyatakan dakwaan harus dibatalkan karena kabur dan tidak cermat,”. Oleh karena kasusnya terlanjur berjalan di pengadilan, hakim harus membebaskan Terdakwa. Sebagai gantinya, pengemudi mobil Panther itu yang harus dijadikan terdakwa, sebab dalam hukum pidana ada prinsip aktual dan faktual, siapa yang secara langsung menabrak itu yang menjadi terdakwa (Harian KOMPAS, Senin, 11/01/2010, hal. 1).

6. Bahwa menurut Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia yang lain, Dr. Rudi Satrio, berpendapat dalam kasus ini: langkah yang dilakukan polisi dinilai kurang tepat. “Sebetulnya kesalahan tidak ada, karena istrinya tewas ditindas sama orang lain (Mobil Isuzu Panther). Kepada suami tersebut (terdakwa Lanjar) tidak dapat

commit to user

dipertanggungjawabkan karena dia juga jadi korban dalam

kasus ini”. Dia bukan penyebab kematian istrinya (Harian

SOLOPOS, Rabu, 13/01/2010 hal. 8), (Putusan PN. Kra. No. 249/Pid.B/2009).

c) Berdasarkan kasus posisi dan keterangan yang diberikan oleh Terdakwa Lanjar Sriyanto yang oleh Penasihat Hukum Terdakwa diminta menuturkan fakta peristiwa dan kronologi dari kecelakaan lalu lintas yang dialaminya dengan terbuka dan sejujur-jujurnya yang didapat ketika menjalani pemeriksaan di persidangan.

d) Mendasarkan pembelaannya pada teori pemidanaan gabungan dan teori restorative justice.

Teori Gabungan (multifungsi/ vernegings theorien) yang bercirikan bahwa pembalasan sebagai asas pidana dan beratnya pidana tidak boleh melampaui pembalasan yang adil. Dalam ajaran ini diperhitungkan adanya pembalasan, prevensi general, serta perbaikan sebagai tujuan pidana. Teori Gabungan mengakui restorative justice yang lebih memihak kepada pengembalian kedudukan seorang Terdakwa dalam hak-haknya sebagai seorang manusia yang perlu dilindungi hak-hak asasinya. “The role of the lawyer is considered central to protecting the rights of a person accused of a crime, but the lawyer standing alone would be of little use were it not for the bundle of codified rights that are there for the accused person's protection (Precedent and Analogy in Legal Reasoning, Stanford Encyclopedia Of Philosophy, First published Tue 20

Jun, 2006”, yang berarti peran Penasihat Hukum dianggap

pusat untuk melindungi hak-hak orang yang dituduh melakukan kejahatan, tetapi Penasihat Hukum sendiri akan digunakan kecil itu tidak untuk hak dikodifikasikan yang ada untuk perlindungan kepada seorang

commit to user

Terdakwa, (Precedent and Analogy in Legal Reasoning, Stanford Encyclopedia Of Philosophy, cetakan pertama pada Selasa tanggal 20 Juni tahun 2006).

Dalam perkara kecelakaan lalu lintas yang dihadapi oleh Terdakwa Lanjar Sriyanto, Penasihat Hukum Terdakwa mengutamakan teori ini dengan alasan restorative justice dapat mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling terkena pengaruh yaitu korban, dalam hal ini adalah Terdakwa Lanjar Sriyanto. Tidak semua orang yang melakukan kejahatan harus dihukum.,bukan hanya dalam lingkup hukum pidana saja tetapi juga ada nuansa hukum perdata. Hukum bukan hanya milik negara dan korban juga berhak mendapat keringanan hukuman dari negara. Teori restorative justice juga menaungi bahwa tujuan hukum itu sendiri bersifat Progesif (Teori Hukum Progesif), yakni sanksi hukum yang diberikan kepada Terdakwa Lanjar Sriyanto berfungsi untuk memulihkan serta pembelaan hukum menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

2. TEKNIK PEMBELAAN PENASIHAT HUKUM TERDAKWA

Dokumen terkait