• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dasar Hukum Penerbitan Kartu Kredit

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KARTU KREDIT

C. Dasar Hukum Penerbitan Kartu Kredit

Keppres No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan dan Keputusan Menteri Keuangan No.1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan menjadi titik awal perkembangan pengaturan kartu kredit sebagai lembaga bisnis pembiayaan di Indonesia.

Sumber hukum utama kartu kredit dapat ditinjau dari segi hukum perdata. Dari segi hukum perdata, sumber hukum utama kartu kredit adalah perjanjian. Penerbitan kartu kredit antara pihak bank dan nasabah tidak dapat dilepaskan dari perikatan yang dibuat di antara kedua belah pihak, yaitu bersumber dari perjanjian. Perjanjian dalam KUHPerdata diatur dalam Buku III tentang Perikatan, Bab Kedua, Bagian Kesatu sampai dengan Bagian Keempat.61 Pasal 1313 KUHPerdata merumuskan pengertian perjanjian yaitu “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Rumusan tentang perjanjian dalam pasal 1313 KUHPerdata tersebut tidak lengkap juga sangat luas. Dikatakan tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja, sedangkan dikatakan sangat luas karena digunakannya kata “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Oleh karenanya, rumusan tersebut perlu adanya perbaikan yakni :62

1. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;

2. Menambahkan kata “atau saling mengikatkan dirinya”.

61

Ibid.., hlm. 29

62 Ibid.

Dengan adanya perbaikan tersebut dapat dirumuskan bahwa persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.63

Abdulkadir Muhammad dan Rilda berpendapat bahwa kartu kredit sebagai salah satu bentuk bisnis pembiayaan yang bersumber dari berbagai ketentuan hukum, baik perjanjian maupun perundang-undangan.64 Ditinjau dari segi hukum perdata, ada 2 (dua) sumber hukum perdata untuk kegiatan pembiayaan kartu kredit yakni asas kebebasan berkontrak dan perundang-undangan di bidang hukum perdata.65

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Pelopor asas ini adalah Thomas Hobbes yang menyebutkan bahwa kebebasan berkontrak merupakan bagian dari kebebasan manusia. Konsep ini didukung pula oleh John Stuart Mill yang menggunakan konsep kebebasan berkontrak melalui dua asas.66

63 Ibid., hlm. 30 64 Sunaryo, Op.cit., hlm. 118 65 Ibid., 66

Johannes Ibrahim, Op. Cit., hlm. 40

Pertama, asas ini mengatakan bahwa “hukum tidak dapat membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak”. Hal ini mengandung arti bahwa hukum tidak boleh membatasi apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak yang telah mengadakan suatu perjanjian. Asas yang pertama ini menegaskan bahwa para pihak bebas untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang akan dibuat. Kedua, bahwa “pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjanjian”. Asas kedua ini menegaskan bahwa kebebasan berkontrak meliput kebebasan bagi para pihak

untuk menentukan dengan siapa dia berkeinginan atau tidak berkeinginan membuat suatu perjanjian.

Hugo Grotius mengatakan bahwa hak untuk membuat suatu perjanjian adalah salah satu dari hak-hak asasi manusia. Ia beranggapan bahwa suatu kontrak adalah suatu tindakan sukarela dari seseorang yang ia menjanjikan sesuatu kepada orang lain dengan maksud bahwa orang lain itu akan menerimanya.67

Menurut Bentham, ukuran yang menjadi patokan sehubungan dengan kebebasan berkontrak adalah bahwa setiap orang dapat bertindak bebas, tanpa dapat dihalangi hanya karena memiliki bargaining position atau posisi tawar untuk dapat memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhannya.68

Subekti juga berpendapat bahwa asas kebebasan berkontrak berarti bahwa para pihak dapat membuat perjanjian apa saja, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.69

Selanjutnya, asas kebebasan berkontrak dapat ditinjau dalam arti materil dan arti formil. Dalam arti materil bahwa kita memberi kepada sebuah persetujuan setiap isi atau substansi yang dikehendaki, dan kita tidak terikat pada tipe-tipe persetujuan tertentu dan dalam arti formil yakni sebuah persetujuan dapat diadakan menurut cara yang dikehendaki. Kebebasan berkontrak dalam arti formil sering dinamakan prinsip konsensualitas dimana persetujuan dianggap telah

67

Ibid., hlm. 39

68

Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 44 dalam Johannes Ibrahim, Loc. Cit.

69

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1984, hlm. 15 dalam Johannes Ibrahim,

tercapai apabila telah terjadi kesepakatan atau persesuaian kehendak antar para pihak.70

Hubungan hukum dalam kegiatan pembiayaan kartu kredit selalu dibuat secara tertulis (kontrak) sebagai dokumen hukum yang menjadi dasar kepastian hukum (legal certainty). Terdapat 2 (dua) perjanjian dalam hubungan hukum kartu kredit, yakni perjanjian penerbitan kartu kredit dan perjanjian penggunaan kartu kredit. Perjanjian penerbitan kartu kredit ini merupakan perjanjian pokok dan merupakan persetujuan antara bank/ perusahaan pembiayaan sebagai penerbit dan pemegang kartu kredit sebagai pihak peminjam uang. Perjanjian ini melibatkan 3 (tiga) pihak yakni bank/ perusahaan pembiayaan sebagai penerbit dan pembayar, pemegang kartu kredit sebagai pembeli, dan perusahaan dagang sebagai penjual. Perjanjian penggunaan kartu kredit merupakan perjanjian pelengkap (accesoir).71

Kedua perjanjian ini dibuat berdasarkan atas asas kebebasan berkontrak oleh masing-masing pihak yang didalamnya memuat kehendak berupa hak dan kewajiban masing-masing pihak sekaligus merupakan dokumen hukum utama (main legal document) yang dibuat secara sah dengan memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.72

70 Ibid.

71

Sunaryo., Loc. Cit. 72

Ibid.,

Adapun akibat hukum yang timbul adalah bahwa perjanjian yang telah dibuat berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuat perjanjian tersebut. Ketentuan ini dikenal dengan Asas Pacta Sunt Servanda (Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata) yang berbunyi “Perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Konsekuensi yuridis selanjutnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan iktikad baik (in good faith/ goede trouw) dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak (unilateral unvoidable).73 Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi “ Perjanjian harus dibuat dengan iktikad baik”. Hal ini berarti bahwa para pihak harus melaksanakan substansi perjanjian/ kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.74

2. Undang-Undang di Bidang Hukum Perdata

Perjanjian kredit merupakan salah satu bentuk perjanjian khusus yang tunduk pada Buku III KUHPerdata dan bersumber pada ketentuan mengenai perjanjian pinjam pakai habis dan perjanjian jual beli bersyarat.

a. Perjanjian pinjam pakai habis

Perjanjian kartu kredit antara bank sebagai penerbit dengan pemegang kartu digolongkan sebagai perjanjian pinjam pakai habis yang diatur dalam Pasal 1754-1773 KUHPerdata.75

73 Ibid. 74

Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 11

75

Sunaryo, Op. Cit., hlm. 119

Pasal 1754 KUHPerdata menyatakan bahwa pinjam pakai habis adalah perjanjian, dengan mana pemberi pinjaman menyerahkan sejumlah barang habis pakai kepada peminjam dengan syarat bahwa peminjam akan mengembalikan barang tersebut kepada pemberi pinjaman dalam jumlah dan keadaan yang sama.

Pengertian “barang habis pakai” termasuk juga sejumlah uang yang dipinjamkan oleh pemberi pinjaman.

b. Perjanjian jual beli bersyarat

Perjanjian penggunaan kartu kredit sebagai perjanjian accesoir digolongkan ke dalam perjanjian jual beli yang diatur dalam Pasal 1457-1518 KUHPerdata. Akan tetapi dalam hal pelaksanaan pembayaran berdasarkan syarat yang telah disepakati dalam perjanjian pokok yaitu perjanjian penerbitan kartu kredit.76

a. UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila perusahaan kartu kredit melakukan pendaftaran perusahaan pada waktu pendirian, pendaftaran ulang dan pendaftaran likuidasi perusahaan.

Ditentukan dalam Pasal 1512 KUHPerdata, pembeli wajib membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat yang ditetapkan menurut perjanjian. Syarat dan waktu pembayaran yang telah ditentukan dalam Perjanjian Penerbitan Kartu Kredit, yaitu pembayaran dengan menggunakan kartu kredit, yang saat dan tempat pembayarannya ketika penjual menyerahkan kepada penerbit surat tanda pembelian yang ditandatangani oleh pemegang kartu.

Dari segi hukum publik, perundang-undangan yang bersifat publik yang berlaku bagi usaha kartu kredit terdiri atas undang-undang, keputusan presiden, dan keputusan menteri. Berbagai undang-undang di bidang publik yang menjadi sumber hukum utama kartu kredit adalah sebagai berikut :

76

b. UU No. 12 Tahun 1985, UU No. 7 Tahun 1991, UU No. 8 Tahun 1991 dan peraturan pelaksana lainnya tentang Perpajakan. Berlakunya undang-undang ini karena perusahaan kartu kredit wajib membayar pajak bumi dan bangunan, penghasilan dan pertambahan nilai serta pajak jenis lainnya.

c. UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini karena perusahaan kartu kredit melakukan pembukuan perusahaan dan pemeliharaan dokumen perusahaan.

d. UU No. 17 Tahun 1992 jo UU No. 19 Tahun 1998 tentang Perbankan. Berlakunya undang-undang ini apabila perusahaan lartu kredit adalah bank atau berurusan dengan bank.

e. Peraturan lainnya tentang Lembaga Pembiayaan yakni :

1) Keppres No. 61 Tahun 1988 ttg Lembaga Pembiayaan. Didalamnya memuat ketentuan tentang pengakuan bahwa kartu kredit sebagai salah satu bentuk usaha dari lembaga pembiayaan.

2) Kepmenkeu No. 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan yang kemudian diubah dengan Kepmenkeu No. 468 Tahun 1995. Undang-undang ini mengatur tentang kegiatan perusahaan kartu kredit, izin usaha, besaran modal, pembinaan dan pengawasan, serta sanksi apabila perusahaan kartu kredit melakukan kegiatan yang bertentangan

dengan ketentuan-ketentuan dari Keputusan Menteri Keuangan diatas.

Dokumen terkait