• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP DASAR TENTANG WAKAF

B. Konsep Wakaf dalam Perundang-Undangan

2. Dasar Hukum Wakaf dalam Undang-Undang No. 41

Sebagaimana halnya dengan ajaran-ajaran Islam yang lain seperti

sholat, zakat, puasa, haji, hibah serta wasiat yang didasari oleh Al-Quran

dan Sunnah, wakaf pun demikian halnya, hanya saja dalam wakaf ini

Al-Quran sebagai sumber pokok hukum Islam tidak menyebutkan ajaran

wakaf secara jelas dan tegas. Al-Quran hanya memerintahkan manusia

berbuat baik untuk kebaikan masyarakat yang masih berupa ayat-ayat

umum. Dari ayat-ayat umum seperti inilah para fuqoha menyandarkan hukum wakaf. Di antara ayat-ayat yang berbuat kebaikan itu antara lain:























Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ruku`lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan (Q.S. Al-Hajj (22): 77).



























…..

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu… (Q.S. Al-Baqarah (02): 267).































Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (Q.S. Ali Imran (03): 92).

ْ ﻦَﻋ

ِ ﰊَأ

َة َ ﺮْـﻳ َ ﺮ ُﻫ

َ ﻲ ِﺿَ ر

ﷲا

ِﻪْﻴَﻠ َﻋ

َ ﻢﱠﻠ َ ﺳ َ و

َلﺎَﻗ

:

ْنَأ

ﱡ ِ ﱯَﻨﻟا

ﻰّﻠ َﺻ

ﷲا

ِﻪ ْ ﻴَﻠ َﻋ

ﻢﱠﻠ َ ﺳ َ و

َلﺎَﻗ

:

اَذِإ

َتﺎ َﻣ

ُ ﻦْﺑا

َمَدآ

َ ﻊَﻄَﻘْـﻧِإ

ُﻪُﻠ َ ﻤَﻋ

ﱠﻻِإ

ْ ﻦِﻣ

ٍثَﻼَﺛ

:

ٍﺔَﻗ َﺪ َﺻ

ٍﺔﱠﻳِرﺎ َ ﺟ

ْ وَأ

ٍﻞ ْ ﻤِﻋ

ُ ـﻳ

َﻔَـﺘْﻨ

ُ ﻊ

ِﻪِﺑ

ْ وَأ

ٍﺪَﻟ َ و

ٍﺢِﻟﺎ َﺻ

ُﻪَﻟﻮُﻋ ْﺪَ ﻳ

)

ﻩاور

ىرﺎﲞ

و

ﻢﻠﺴﻣ

(

Artinya: Dari Abu Hurairah ra berkata, sesungguhnya Nabi SAW, bersabda: apabila manusia meninggal maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal; shodaqah jariyah, ilmu bermanfaat, dan anak sholeh yang mendo’akan untuk orang tuanya (Al-Bukhori: 196).

Nash-nash di atas sebenarnya tidak menyebutkan secara khusus istilah wakaf, tetapi para ulama menjadikannya sebagai sandaran bagi

pewakafan.

3. Penggunaan Wakaf

Dalam fiqh, tujuan penggunaan wakaf harus jelas, misalnya untuk

kepentingan umum, seperti mendirikan masjid, sekolah, rumah sakit, dan

amal-amal sosial yang lainnya, untuk menolong fakir miskin, orang-orang

dan tujuan wakaf itu harus dapat dimasukkan ke dalam kategori ibadah.

Yang lebih baik adalah kalau tujuan wakaf itu jelas diperuntukkan bagi

kepentingan umum, dan kemaslahatan masyarakat(Ali, 1988: 86).

Wakaf hukumnya sunah dan harta yang diwakafkan terlepas dari

pemiliknya, lalu menjadi hak Allah semata, tidak boleh dijual, dihibahkan,

diwariskan untuk perseorangan dan sebagainya, manfaat wakaf harus

digunakan menurut ketentuan akad wakaf pada waktu mewakafkan.

Apabila pewakaf mensyaratkan bahwa wakafnya itu tidak akan diberikan

kecuali kepada orang yang kaya, para ulama berselisih pendapat, yang

membolehkan beralasan karena tidak bertentangan dengan syari’at,

sedangkan yang tidak membolehkan karena syaratnya batal sebab

diberikan kepada yang tidak bermanfaat bagi pewakaf baik urusan dunia

maupun agamanya.

Dalam hal penggunaan wakaf perlu diperhatikan bahwa amalan

wakaf sangat tergantung pada dapat atau tidaknya harta wakaf itu

dipergunakan sesuai dengan tujuannya, oleh karena itu tidak ada halangan

untuk menjual, asalkan hasil penjualan dipakai kembali untuk pembelian

harta yang akan dijadikan wakaf seperti semula, sebab yang menjadi pokok

utama dalam wakaf adalah kemanfaatannya (Nasution, 1997: 68).

Salah seorang ulama madzhab Hambali yang dikenal dengan nama

Ibn Qudamah berpendapat bahwa apabila harta wakaf mengalami rusak

yang dibeli itu berkedudukan sebagai harta wakaf seperti semula (Suhendi,

2010: 246).

4. Rukun dan Syarat Wakaf

a. Rukun Wakaf

Wakaf mempunyai lima rukun, yaitu:

1) Waqif (orang yang memberikan wakaf). 2) Mauquf (barang atau benda yang diwakafkan). 3) Mauquf’alaih (penerima / tujuan / sasaran wakaf). 4) Sighat (pernyataan wakaf).

5) Nadzir (pengelola wakaf).

Untuk lebih jelasnya, kelima rukun wakaf tersebut akan penulis

jelaskan sebagai berikut:

1) Waqif (orang yang memberikan wakaf)

Menurut pasal 215 ayat (2) KHI, Pasal 1 ayat (2) PP. No. 28

tahun 1977, disebutkan bahwa wakif adalah orang atau orang-orang

atau badan hukum yang mewakafkan benda miliknya (Usman,

2009: 259).

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi wakif adalah

sebagai berikut:

a) Cakap bertabarru’ (mendermakan harta benda)

Yang dapat dijadikan tolak ukur apakah seseorang dapat

akal sempurna dan baligh dalam pelaksanaan akad wakaf sehingga wakafnya sah (Al-Kabisi, 2004: 219).

Dalam fiqh Islam, ukuran baligh adalah wanita yang sudah haid dan laki-laki yang pernah ihtilam (mimpi keluar mani). Atau kalau patokannya umur adalah 9 tahun bagi wanita

dan 15 tahun bagi laki-laki. Hal ini tidak mutlak karena ada

anak berumur 16 tahun yang dikarenakan perkembangan akal

yang lemah maka belum dapat berfikir jauh ke depan. Oleh

karena itu akan lebih tepat kiranya, apabila dalam menentukan

kecakapan tabarru’ itu adalah kematangan pertimbangan akal. Berangkat dari ketentuan demikian, tidaklah sah jika

wakaf diberikan oleh orang gila dan anak kecil serta orang yang

kurang akalnya, sebab dia tidak layak untuk melakukan

kesepakatan (akad) dan aturan (Al-Kabisi, 2004: 219).

b) Tidak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa

Orang yang mewakafkan hartanya itu dituntut supaya

perbuatannya dilakukan bukan secara terpaksa, tetapi haruslah

dengan kerelaan berdasarkan tabarru’ (melepaskan hak milik tanpa mengharapkan imbalan). Dalam hal ini, unsur kerelaan

atas kemauan sendiri merupakan salah satu syarat penting yang

harus dipunyai oleh pihak yang berwakaf. Bila ia melakukan

perbuatannya itu karena terancam, maupun keterpaksaan maka

c) Merupakan pemilik sah dari harta yang diwakafkannya

Dalam hal ini maka tidak boleh mewakafkan harta yang

bukan miliknya atau yang belum menjadi miliknya, contoh:

tidak boleh mewakafkan tanah hak guna usaha (HGU),

meskipun HGU tersebut jangka waktunya 25 tahun dan dapat

diperpanjang 25 tahun lagi, dan juga tidak boleh mewakafkan

harta warisan yang belum dibagi.

2) Mauquf (harta atau benda yang diwakafkan)

Pasal 215 ayat (4) KHI menyebutkan bahwa benda wakaf

adalah segala benda baik benda bergerak atau benda tidak bergerak

yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan

bernilai menurut ajaran Islam (Usman, 2009: 259).

Lebih lanjut, syarat-syarat dari harta yang diwakafkan adalah

sebagai berikut:

a) Benda itu mestilah milik sah dari pihak yang berwakaf.

b) Benda yang diwakafkan itu mestilah tahan lama dan bisa

diambil manfaatnya. Tidak ada artinya mewakafkan sesuatu

yang tidak tahan lama atau tidak ada manfaatnya.

c) Benda yang diwakafkan itu mestilah sesuatu yang boleh dimiliki

dan dimanfaatkan. Karena itu tidak boleh mewakafkan seekor

babi atau benda-benda haram lainnya kepada umat Islam.

d) Bisa benda bergerak atau benda tidak bergerak seperti buku,

Melihat syarat-syarat harta wakaf sebagaimana disebutkan di

atas, maka harta yang diwakafkan dapat juga berupa uang yang

dimodalkan, berupa saham pada perusahaan dan berupa apa saja

yang lainnya, yang penting harta yang berupa modal dikelola

dengan sedemikian rupa (semaksimal mungkin) sehingga

mendatangkan kemaslahatan dan keuntungan (Suhendi, 2010: 243).

Dalam menjalankan modal yang merupakan harta wakaf itu

harus diperhatikan pula ketentuan hukum Islam agar jangan sampai

modal itu diperkembangkan dengan jalan yang bertentangan dengan

hukum Islam.

3) Mauquf’alaih (penerima wakaf/tujuan/sasaran wakaf)

Tujuan wakaf dipahamkan dari hadits Ibnu Umar: “….Ia menyedekahkan hasil hartanya itu kepada orang fakir, kepada kerabat, untuk memerdekakan budak, pada jalan Allah, orang terlantar dan tamu….” (Depak RI, 1986: 216).

Berkaitan dengan tujuan wakaf sesuai dengan sifat amalan

wakaf sebagai salah satu macam ibadah, yaitu salah satu amalan

shodaqah, maka tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan

nilai-nilai ibadah, seperti maksiat. Tujuan wakaf harus merupakan

hal-hal yang termasuk dalam kategori ibadah pada umumnya,

sekurang-kurangnya merupakan hal-hal yang mubah menurut ajaran

Islam yang dapat menjadi sarana ibadah dalam arti lusa, misalnya

mewakafkan tanah untuk lapangan olahraga, untuk pasar, dan

Lebih lanjut lagi, mauquf’alaih dipahami sebagai sasaran wakaf, maka harta yang diwakafkan harus jelas sasarannya. Dalam

hal ini ada dua sasaran wakaf yaitu:

a) Wakaf untuk mencari keridhoan Allah SWT. Wakaf jenis ini

tujuannya adalah untuk memajukan agama Islam atau karena

motivasi agama. Contohnya adalah berwakaf untuk kepentingan

rumah ibadah kaum muslimin.

b) Wakaf untuk meringankan atau untuk membantu seseorang atau

orang-orang tertentu atau masyarakat. Contohnya adalah

berwakaf untuk orang fakir miskin, atau berwakaf untuk

keluarga. Dalam sasaran wakaf ini yang perlu digaris bawahi

adalah bahwa wakaf tidak boleh untuk hal-hal yang

bertentangan dengan kepentingan agama Islam (Karim, 1993:

110).

4) Sighat (pernyataan wakaf)

Menurut Abdul Halim, sighat wakaf adalah pernyataan dari wakif sebagai tanda penyerahan barang atas benda yang

diwakafkan, baik secara lesan maupun tertulis (Halim, 2005: 20).

Lebih jelasnya, sighat adalah ucapan yang memungkinkan adanya wakaf. Sighat yang dipakai adalah kata-kata yang menunjukkan adanya wakaf meskipun tidak harus dengan redaksi

“wakaf”. Tentu saja yang paling utama adalah kata “wakaf”,

(Karim, 1993: 110), jadi intinya sighat atau pernyataan wakaf harus dinyatakan dengan baik secara lisan maupun tulisan, menggunakan

kata “aku wakafkan” atau aku menahan” atau kalimat semakna

lainnya (Rofiq, 1995: 497).

Wakaf dipandang telah terjadi apabila ada pernyataan wakif.

Oleh karena itu, Qobul (penerimaan) tidak diperlukan. Hal ini sesuai dengan pendapat golongan Hanafiyah dan Hanabillah

sebagaimana disebutkan oleh Abu Ya’la yang menyatakan bahwa

Qobul (penerimaan) dari Mauquf’alaih merupakan rukun wakaf dan juga bukan syarat sahnya wakaf, baik itu Mauquf’alaihnya tertentu

atau tidak tertentu. Ini dikarenakan ikrar wakaf adalah tindakan

yang bersifat deklaratif (sepihak) (Rofiq, 1995: 498).

b. Syarat Wakaf

Menurut hukum, untuk sahnya amalan wakaf diperlukan

syarat-syarat sebagaimana berikut:

1) Wakaf bersifat pribadi.

2) Tujuan harus jelas.

3) Wakaf tidak boleh digantungkan.

4) Wakaf yang sah harus dilaksanakan.

5. Macam-macam Wakaf

Untuk macam-macam wakaf harta wakaf bisa ditinjau dari dua segi

yang ditinjau dari tujuan wakaf dari ditinjau dari harta wakaf. Bila ditinjau

a. Wakaf Ahli

Wakaf ahli atau wakaf keluarga atau dapat dinamakan wakaf khusus ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu,

seseorang atau lebih, baik keluarga maupun bukan. Misalnya

seseorang menyatakan mewakafkan buku-bukunya untuk

anak-anaknya yang mampu mempergunakan, kemudian cucu-cucunya dan

seterusnya (Depag RI, 1986: 220).

Wakaf semacam ini dipandang sah dan yang berhak menikmati

harta wakaf itu adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf.

Dan bila terjadi munqothi’ intiha’ (habisnya mauquf’alaih), maka wakaf dikembalikan kepada adanya syarat bahwa wakaf tidak boleh

dibatasi dengan waktu tertentu. Dengan demikian meskipun anak

keturunan wakif yang menjadi tujuan wakif itu tidak ada lagi yang

mampu mempergunakan atau menjadi punah, maka harta wakaf tetap

berkedudukan sebagai harta wakaf yang dipergunakan keluarga wakif

yang lebih jauh atau dipergunakan untuk umum (Suhendi, 2010: 244).

b. Wakaf Khoiri

Adalah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan

umum dan tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu.

Wakaf khoiri inilah yang sejalan dengan amalan wakaf yang sangat digembirakan dalam ajaran Islam, yang dinyatakan bahwa

pahalanya akan terus mengalir hingga wakif meninggal. Selama harta

benar-benar dapat dinikmati hasilnya oleh masyarakat luas dan

merupakan salah satu sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan

masyarakat, baik dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan,

kebudayaan maupun keagamaan (Suhendi, 2002: 245).

1) Harta atau benda tak bergerak, seperti: tanah, sawah dan bangunan.

Benda macam inilah yang sangat dianjurkan untuk diwakafkan,

karena mempunyai nilai jariyah yang lebih lama. Ini sejalan dengan

praktek wakaf yang dilakukan oleh sahabat Umar Ibn Khattab atas

tanah Khaibar atas perintah Rasul SAW. demikian juga yang

dilakukan oleh Bani al-Naijir yang mewakafkan bangunan dinding

bangunannya untuk kepentingan masjid.

2) Benda bergerak, seperti: mobil, sepeda motor, binatang, ternak,

atau benda-benda lainnya. Yang terakhir ini juga dapat diwakafkan.

Namun demikian, nilai jariyahnya terbatas hingga nilai

benda-benda itu tidak dapat dipertahankan keberadaannya. Maka

selesailah wakaf tersebut, kecuali apabila masih memungkinkan

diupayakan ditukar atau diganti dengan benda baru yang lain

(Rofiq, 1995: 205).

6. Tujuan Wakaf

Imam Abu Hanifah, sebagaimana dikutip oleh Juhaya S. Praja

menerangkan benda yang diwakafkan itu tetap menjadi milik wakif

Abu Hanifah mendasarkan argumennya atas al-ro’yu yang didasarkan atas konsep wakaf yaitu habs al-‘ain ‘ala milk al-waaqif. Hal ini berkaitan dengan pengertian milik dalam teori Hanfiah. Menurut Abu

Hanifah, milik adalah milik sepenuhnya. Oleh karena si wakif sebagai

pemilik benda wakaf mempunyai hak “menggunakan” (tashorruf) sepenuh-penuhnya (Praja, 1997: 16).

Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik menyatakan bahwa

wakaf itu mengikat dalam arti lazim, tidak meski dilembagakan secara

abadi dalam arti mu’abbad dan boleh saja diwakafkan untuk tenggang waktu tertentu yang disebut mu’aqqod. Beliau juga berpendapat bahwa harta atau benda yang diwakafkan adalah benda yang mempunyai nilai

ekonomis dan tahan lama. Harta itu berstatus milik si wakif, akan tetapi si

wakif tidak mempunyai hak untuk menggunakan harta tersebut (tashorruf) selama masa wakafnya belum habis. Jika dalam sighat atau ikrar wakaf itu si wakif tidak menyatakan dengan tegas tenggang waktu perwakafan yang

ia kehendaki, maka dapat diartikan bahwa ia bermaksud mewakafkan

hartanya itu untuk selamanya (mu’abbad).

Alasan yang dikemukakan Imam Malik mengapa wakaf itu

berstatus milik si wakif berdasarkan kasus Ibnu Umar sebagai pemilih

benda yang diwakafkan yang diperintahkan Rasulallah untuk

mengeluarkan miliknya itu. Sementara itu alasan keabsahan wakaf untuk

sementara waktu ialah berdasarkan kontekstual apabila wakaf yang

untuk waktu sementara saja, maka wakaf itu boleh dijual dengan

pertimbangan al-maslahat al-mursalah. Jadi, teknik pengekalan harta wakaf itu ialah dengan menjual harta wakaf yang tidak atau kurang

mempunyai nilai manfaat (Praja, 1997: 18). Sedangkan jumhur ulama

Syafi’iyah dan Hambaliyah berpendapat bahwa telah mengeluarkan harta

dari kepemilikan wakif dan harta itu akan menjadi milik Allah SWT.

Oleh sebab itu si wakif tercegah untuk menggunakannya

(tashorruf), hal ini didasarkan pada hadits yang menceritakan wakaf Ibnu Khattab yang menyebutkan bahwa tanah wakaf yang diberikan tidak boleh

dijual, dihibahkan dan diwariskan (Wadjdy, 2007: 34).

Perbedaan pendapat di atas, ternyata masih dapat diambil satu

persamaan persepsi bahwa wakaf adalah penahanan suatu harta milik pihak

yang berwakaf dan menyedekahkan segala manfaat dan hasil yang bisa

diambil dari harta tersebut untuk kebijakan dalam rangka mencari

keridhoan Allah SWT.

H. KonsepWakaf dalam Perundang-Undangan

1. Pengertian Wakaf Menurut UU No. 41 Tahun 2004

Dalam undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Pasal 1

ayat (1) menyatakan bahwa:

“Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum menurut syari'ah” (Depag RI, 2007: 347).

Di dalam konsideran UU No. 41 Tahun 2004 disebutkan bahwa

lembaga wakaf mempunyai peran sebagai pranata keagamaan yang

memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan

efisien untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan

umum.

Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum UU No. 41 Tahun

2004 angka 1 yakni sebagai berikut: Tujuan Negara Kesatuan Republik

Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD Negara RI

Tahun 1945 antara lain adalah memajukan kesejahteraan umum. Untuk

mencapai tujuan tersebut, perlu menggali dan mengembangkan potensi

yang terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis.

Wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan

dilaksanakan dalam masyarakat yang pengaturannya belum lengkap serta

masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Kehadiran Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf

merupakan saat dinanti-nantikan. Karena itu, hadirnya Undang-Undang

tentang Wakaf mendapat sambutan yang hangat, tidak hanya oleh mereka

yang terkait langsung dengan pengelolaan wakaf, tetapi juga kalangan

lainnya termasuk DPR. Hal ini nampak pada saat RUU tentang wakaf ini

dibahas di DPR dengan pemerintah pada tanggal 6 September 2004 yang

lalu. Secara kuantitas jumlah tanah wakaf di Indonesia cukup banyak,

tetapi saat ini keberadaan wakaf belum berdampak positif bagi

Mengenai pengertian wakaf, undang-undang No. 41 Tahun 2004,

ini membuat suatu pengertian yaitu:

a. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau

menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan

selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan

kepentingannya guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum

menurut syar’iah.

b. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.

c. Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara

lisan dan/ atau tulisan kepada nadzir untuk mewakafkan harta benda

miliknya.

d. Nadzir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif

untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukkannya.

e. Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama

dan/ atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi

menurut syari'ah yang diwakafkan oleh wakif.

f. Pejabat pembuat akta ikrar wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW, adalah

pejabat berwenang yang ditetapkan oleh menteri untuk membuat akta

ikrar wakaf.

g. Badan wakaf Indonesia adalah lembaga independen untuk

mengembangkan perwakafan di Indonesia.

h. Pemerintah adalah perangkat Negara kesatuan Republik Indonesia yang

i. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang agama

(Depag. 2007: 3).

Dalam penjelasan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang

Wakaf dijelaskan praktek wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat

belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai

kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar

atau beralih ketangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan

demikian itu tidak hanya karena kelalaian ataupun ketidakmampuan nadzir

dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, tetapi juga

sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta

benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum

sesuai dengan tujuan atau fungsi dan peruntukkan wakaf (Anshori, 2005:

176).

Oleh karena itu, undang-undang wakaf ini patut didukung oleh

semua pihak, baik ulama', kaum profesional, cendekiawan, pengusaha,

lembaga perbankan, serta masyarakat umum, khususnya umat Islam

diseluruh Indonesia.

2. Dasar Hukum Wakaf dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004

Menurut undang-undang No. 41 Tahun 2004 dasar-dasar wakaf ada

dua bagian: menurut pasal (2) wakaf sah apabila dilaksanakan menurut

syari'ah, sedangkan pasal (3) wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat

dan pasal 33 undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

(Halim, 2005: 127).

Untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna

melindungi harta benda wakaf, pemerintah dengan persetujuan DPR pada

tanggal 27 Oktober 2004, mengeluarkan sebuah peraturan baru yaitu

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Undang-undang ini

merupakan undang-undang pertama yang secara khusus mengatur wakaf.

Dengan berlakunya undang-undang ini, semua peraturan mengenai

perwakafan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/ atau belum

diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan undang-undang ini.

Undang-Undang No. 41/ 2004 ini memuat substansi hukum tentang

perwakafan yang terdiri dari II bab dan 71 pasal sebagai berikut:

Bab I Berisi ketentuan umum (pasal 1).

Bab II Memuat dasar-dasar wakaf (pasal 2 sampai dengan 31).

Bab III Memuat tentang tata cara pendaftaran dan pengumuman harta

benda wakaf (pasal 32 sampai dengan 39).

Bab IV Memuat tentang perubahan status harta benda wakaf (pasal 40

sampai dengan 41).

Bab V Memuat tentang pengelolaan dan pengembangan harta benda

wakaf (pasal 42 sampai dengan 46).

Baba VI Memuat tentang badan wakaf Indonesia (pasal 47 sampai

dengan 61).

Bab VIII Memuat tentang pembinaan dan pengawasan (pasal 63 sampai

dengan 66).

Bab IX Memuat tentang ketentuan pidana dan sanksi administratif

(pasal 67 sampai dengan 68).

Bab X Memuat tentang ketentuan peralihan (pasal 69 sampai dengan

70).

Bab XI Memuat tentang ketentuan penutup (pasal 71).

Secara umum banyak hal baru dan berbeda yang terdapat dalam UU

No. 41 Tahun 2004 ini bila dibandingkan dengan PP. No. 28/ 1977

maupun KHI, walaupun banyak pula kesamaannya. Dapat dikatakan

bahwa UU No. 41/ 2004 mengatur substansi yang lebih luas dan luwes bila

dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang ada sebelumnya

(Anshori, 2005: 52).

Dalam Undang-undang No.41 Tahun 2004 tentang wakaf yang

telah disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 7

Oktober 2004, sudah diatur berbagai hal penting dalam pengembangan

wakaf berdasarkan pertimbangan dan untuk memenuhi kebutuhan hukum

dalam rangka pembangunan hukum nasional(Halim, 2005: 118).

Pada dasarnya ketentuan mengenai perwakafan berdasarkan syari'ah

dan peraturan perundang-undangan dicantumkan kembali dalam UU ini,

namun terdapat pula berbagai pokok pengaturan yang baru antara lain

a. Untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna

melindungi harta benda wakaf, UU ini menegaskan bahwa untuk

sahnya perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan didaftarkan dalam

akta ikrar wakaf serta diumumkan yang pelaksanaannya dilakukan

sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf dan harus dilaksanakan.

Undang-Undang ini tidak memisahkan antara wakaf ahli yang pada

umumnya pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf terbatas

untuk kaum kerabat (ahli waris) dengan wakaf khairi yang dimaksudkan untuk kepentingan masyarakat umum sesuai dengan

tujuan dan fungsi wakaf.

b. Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum

Dokumen terkait