• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PENGELOLAAN TANAH WAKAF DI PIMPINAN DAERAH MUHAMMADIYAH KOTA SALATIGA TAHUN 2013 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "STRATEGI PENGELOLAAN TANAH WAKAF DI PIMPINAN DAERAH MUHAMMADIYAH KOTA SALATIGA TAHUN 2013 SKRIPSI"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGELOLAAN TANAH WAKAF

DI PIMPINAN DAERAH MUHAMMADIYAH KOTA

SALATIGA TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum Islam

Oleh

MISRANTO

NIM : 21107011

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(2)
(3)
(4)
(5)

DEPARTEMEN AGAMA RI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Tentara Pelajar 02 Telp (0298) 323706 Fax 323433 Kode Pos 50721

Salatiga

http://www.stainsalatiga.ac.id e-mail: akademik@stainsalatiga.ac.id

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Misranto

NIM : 21107011

Jurusan : Syari’ah

Program studi : Ahwal Al-Syakhshiyyah

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya

saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan

orang lain yang terdapat dalam skripsi inidikutip atau dirujuk berdasarkan kode

etik ilmiah.

Salatiga, 1 Apri 2013

Yang menyatakan.

(6)

MOTTO

اًﺮ ْ ﺴُﻳِﺮ ْ ﺴُﻌْﻟا َﻊَﻣ ﱠنِإ

“ Sesungguhnya sesudah kesulit an ada kemudahan”

(Q.S. Al- Insyir ah (9 4): 6)

Musibah ter besar adalah keputusasaan

Rekr easi ter baik adalah beker ja

Keber anian ter besar adalah kesabar an

Gur u ter baik adalah pengalaman

Mister i ter besar adalah kematian

Kehor matan ter besar adalah kesetiaan

Kar unia ter besar adalah anak saleh

Sumbangan ter besar adalah ber par tisipasi

Modal ter besar adalah kemandir ian

(7)

PERSEM BAHAN

Karya sederhana ini penulis persembahkan unt uk…….

Orang-orang t erkasih:

Bapak dan ibu t ercint a, yang t elah menanamkan keislaman, keimanan,

keikhsanan, dalam diri ananda, sert a t elah berkorban siang dan malam, t anpa

mengharapkan imbalan. Terimalah persembahan karya ananda sebagai

perw ujudan pengabdian ananda, jasa bapak dan ibu t ak t erukir kat a, budi bapak

dan ibu t ak t erbat as masa, kasihmu sepanjang masa dan do’a-do’amu senada

nafas, hanya dengan cara ini ananda bisa sedikit mem balasnya.

Adik-adikku yang aku banggakan, Fifi Indrayani, Hani Tri Wahyuningsih dan

Choirul M ust hofa dengan adanya karya ini dapat menjadi mot ivasi bagi mereka

agar selalu semangat dalam meni mba ilmu seluas-luasnya.

Unt uk adik Ria Sunaevit a yang senant iasa memberiku semangat sert a

menghiburku di kala susah maupun senang, t et ap set ia m enemaniku dalam

menggapai sebuah impian.

Bapak dan Ibu Laksono besert a keluarga yang selalu mendukung dan

mendoakanku.

Unt uk M as M arno, M as Fauzi, M as Wahyu, M as Lut fi, M as Obet , M as Torik dan

M as Bebeng yang selalu memberikan dukungan dan t iada hent i-hent inya

memberi mot ivasi sert a t anpa ragu unt uk menelurkan ilmunya kepadaku.

Sahabat -sahabat ku seperjuangan di HM I yang t elah bersama-sama berjuang

dalam mencari ridho Allah.

(8)

KATA PENGANTAR

Bissmillaahirrahmaanirraahim

Puji syukur penulis panjat kan ke hadirat Allah S.W.T. yang t elah melimpahkan

rahmat , t auf ik dan hidayah-Nya sehingga bagi penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini

yang berjudul “ Prospek Wakaf Sebagai Pot ensi Pengambangan Ekonomi Umat Set elah

Dit et apkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tent ang Wakaf,

(St rat egi Pengembangan Tanah Wakaf di M uham madiyah Kot a Salat iga)” yang penulis

susun dalam rangka m em enuhi t ugas unt uk m enem puh gelar kesarjanaan dalam ilmu

Hukum Islam pada Jurusan Syari’ah STAIN Salat iga.

Shalaw at dan salam semoga t et ap t ercurahkan pada junjungan kit a nabi

M uhammad S.A.W., yang t elah memberikan penerangan kehidupan m elalui ajaran

agama Islam yang bersum ber dari Al-Quran.

Penulisan skripsi ini dapat t erselesaikan at as bant uan dari berbagai pihak,

ucapan t erimakasih yang t idak t erhingga penulis sampaikan sebagai balasan yang

t erhormat :

1. Ket ua STAIN Salat iga Dr. Imam Sutomo, M. Ag selaku penaggung jaw ab penuh

t erhadap berlangsungnya proses belajar m engajar di lingkungan STAIN Salat iga.

2. Bapak Ilyya M uhsin, S.H.I., M .Si selaku Ket ua Jurusan Syari’ah Program St udi

Ahw al Al-Syakhshiyyah, yang t elah berkenan menerima judul skripsi yang

penulis ajukan sekaligus memberi izin unt uk penulisan skripsi ini.

3. Bapak M unajat , Ph.D selaku dosen pembimbing yang t elah bersedia meluangkan

w akt u, t enaga dan pikiran unt uk m emberikan bimbingan dan pengarahan

sehingga t erselesaikannya penulisan skripsi ini.

4. Ket ua Pimpinan Daerah M uham madiyah Kot a Salat iga Dr. Imam Sut om o, M . Ag

besert a st af nya yang t elah mem berikan izin penelit ian dalam penyusunan skripsi

ini.

5. Para dosen pengajar di lingkungan STAIN Salat iga, yang t elah m embekali

berbagai penget ahuan sehingga penulis mampu m enyelesaikan penulisan skripsi

(9)

6. Kepada seluruh kanda-kanda alumni HM I Cabang Salat iga yang senant iasa

memberikan pendampingan dan bimbingannya hingga t erselesainya

penyusunan skripsi ini.

7. Sem ua t eman-t eman yang selalu penulis sayangi, kawan-kaw an HM I yang ada di

Cabang Salat iga, Komisariat Walisongo, Ganesha dan Komisariat Karnot o Zarkazi

yang selalu bersama-sama berjuang dalam pencarian suat u kebenaran.

8. Berbagai pihak yang secara t idak langsung t elah m embant u, baik moral maupun

mat eri dalam penyusunan skripsi yang t idak dapat disebut namanya sat u

persat u.

Kepada m ereka, penulis mengucapkan t erimakasih yang t ak t erhingga dan

perm ohonan maaf . Semoga Allah SWT m enerim a dan meridhoi segala macam

perbuat an dan selalu memperoleh rahmat , Taufik sert a hidayah-Nya.

Set elah melalui proses yang sangat panjang, penulis yakin bahw a semua yang

t erjadi dalam kehidupan penuh dengan hikmah. Alhamdulillah, dengan segala daya dan

upaya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang t ent unya masih banyak kekurangan

dan jauh dari kesempurnaan. Walau demikian penulis berharap skripsi ini dapat

bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya, sert a

penulis berharap, kajian t ent ang persoalan yang ada dalam pembahasan skripsi ini dapat

dilanjut kan dan dit umbuhkembangkan.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis dapat berserah diri dengan harapan

mudah-m udahan mendapat kan t aufiq, hidayah sert a ridho-Nya.

Salat iga, 01 April 2013

Penyusun

M isrant o

(10)

ABSTRAK

Misranto. 2013. Strategi Pengelolaan Tanah Wakaf di Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga Tahun 2013. Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Munajat, Ph.D.

Kata kunci: wakaf, pengelolaan wakaf, dan tradisional

Penelitian ini mencoba mengeksplorasi tentang pelaksanaan wakaf untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan wakaf di Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga, Apakah proses pengelolaan wakaf di Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga sudah sesuai dengan fiqh dan UU No. 41 Tahun 2004, serta bagaimana strategi pengelolaan yang dilakukan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga.

Metode penelitian ini menggunakan metode field research, interview, serta dokumentasi dengan obyek penelitin Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga tahun 2013. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pengelolaan wakaf yang ada di Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga selama ini hanya terfokus pada pengelolaan tanah wakaf yang digunakan untuk tempat pendidikan, ibadah, dan sosial.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN KEASLIAN TULISAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

F. Sistematika Penulisan Skripsi ... 13

BAB II KONSEP DASAR TENTANG WAKAF A. Konsep Wakaf dalam Fiqh ... 16

1. Pengertian Wakaf ... 16

(12)

3. Penggunaan Wakaf ... 18

4. Rukun dan Syarat Wakaf ... 20

5. Macam - Macam Wakaf ... 25

6. Tujuan Wakaf ... 27

B. Konsep Wakaf dalam Perundang-Undangan ... 29

1. Pengertian Wakaf Menurut UU No. 41 Tahun 2004 ... 29

2. Dasar Hukum Wakaf dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 ... 32

3. Macam-Macam Benda Wakaf dalam UU No. 41 Tahun 2004 ... 36

BAB III PROSES PERWAKAFAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN TANAH WAKAF DI PIMPINAN DAERAH MUHAMMADIYAH KOTA SALATIGA A. Sekilas Tentang Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga ... 39

1. Tokoh Pendiri Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga ... 39

2. Proses Berdirinya Pimpinan Daerah Muhammadiyah Salatiga ... 39

3. Perkembangan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga ... 40

4. Organisasi Otonom (ORTOM) dan Amal Usaha Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga ... 42

5. Struktur Pimpinan Daerah Muhammadiyah Salatiga ... 46

B. Tanah Wakaf Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga ... 47

1. Penyebaran tanah wakaf Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga ... 47

(13)

3. Peruntukan tanah wakaf Pimpinan Daerah

Muhammadiyah Kota Salatiga ... 58

C. Proses Perwakafandi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga ... 61

D. Strategi Pengelolaan Tanah Wakaf di Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga ... 66

1. Bidang Pendidikan ... 66

2. Bidang Sosial/Penyantunan Anak Yatim ... 68

3. Bidang Ibadah ... 70

BAB IV ANALISIS PENGELOLAAN TANAH WAKAF DI PIMPINAN DAERAH MUHAMMADIYAH KOTA SALATIGA A. Proses Perwakafan di Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga ... 72

B. Strategi Pengelolaan Tanah Wakaf di Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga ... 78

C. Fungsi dan Manfaat Pengelolaan Tanah Wakaf di Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga Dalam Kehidupan Masyarakat ... 81

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Lembaga Pendidikan Muhammadiyah Salatiga ... 44 2. Lembaga Amal Sosial Muhammadiyah Salatiga ... 45 3. Tempat Ibadah Muhammadiyah Salatiga ... 45 4. Penyebaran Tanah Wakaf Pimpinan Daerah

Muhammadiyah dI Tiap Kecamatan Salatiga ... 58 5. Peruntukan Tanah Wakaf Pimpinan Daerah

Muhammadiyah Salatiga ... 60 6. Wakif Tanah Wakaf di Pimpinan Daerah Muhammadiyah

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Struktur Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga

periode 2010-2015 ... 46

2. Denah Tanah Sesuai Dengan Sertifikat Tanah Wakaf No. 624 ... 49

3. Denah Tanah Sesuai Dengan Sertifikat Tanah Wakaf No. 565 ... 49

4. Denah Tanah Sesuai Dengan Sertifikat Tanah Wakaf No. 2191 ... 50

5. Denah Tanah Sesuai Dengan Sertifikat Tanah Wakaf No. 3302 ... 52

6. Denah Tanah Sesuai Dengan Sertifikat Tanah Wakaf No. 00003 ... 53

7. Denah Tanah Sesuai Dengan Sertifikat Tanah Wakaf No. 1980 ... 54

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Foto-foto Lokasi Tanah Wakaf dan Penggunaannya dalam Bidang Sosial.

2. Foto-foto Lokasi Tanah Wakaf dan Penggunaannya dalam Bidang Pendidikan.

3. Foto-foto Lokasi Tanah Wakaf dan Penggunaannya dalam Bidang Ibadah.

4. Data Sertifikat Tanah Wakaf Milik Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga.

5. Surat Ijin Penelitian di Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga.

(17)

TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi kata-kata bahasa Arab yang dipakai dalam penulisan skripsi ini berpedoman pada “Pedoman Transliterasi Arab-Latin” yang dikeluarkan berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan RI tahun 1987. Pedoman tersebut adalah sebagai berikut:

(18)

ط ta ṭ te (dengan titik di bawah)

ظ za ẓ zet (dengan titik di

bawah)

ع ‘ain …‘ koma terbalik di atas

غ gain g Ge

ف fa f Ef

ق qaf q Ki

ك kaf k Ka

ل lam l El

م mim m Em

ن nun n En

و wau w We

ه ha h Ha

ء hamzah …’ Apostrof

ي ya y Ye

b. Vokal

Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia terdiri dari vokal tunggal dan vokal rangkap.

1. Vokal Tunggal

Vokal tunggal bahasa Arab lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut:

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

ﹷ Fathah a a

ﹻ Kasrah i i

ﹹ Dhammah u u

(19)

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabunganantara hharakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu: huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

1. Ta Marbutah hidup, transliterasinya adaah /t/ Contohnya: ُﺔَﺿ ْ وَر : rauḍatu

2. Ta Marbutah mati, transliterasinya adalah /h/ Contohnya: ْﺔَﺿ ْ وَر: rauḍah

(20)

e. Syaddah (tasydid)

Syaddah atau tasydid dalam transliterasi dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah.

Contohnya: َﺎﻨﱠﺑَر : rabbanā

f. Kata Sandang

Transliterasi kata sandang dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Kata sandang syamsiyah, yaitu kata sandang yang ditransliterasikan sesuai dengan huruf bunyinya

Contohnya: ءﺎﻔﺸﻟا : asy-syifā’

2. Kata sandang qamariyah, yaitu kata sandang yang ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya huruf /l/.

Contohnya: ﻢﻠﻘﻟا : al-qalamu

g. Penulisan kata

Pada dasarnya setiap kata, baik itu fi’il, isim maupun hurf, ditulis terpisah, hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazimnya dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata lain yang mengikutinya.

Contohnya:

(21)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ajaran Islam tidak hanya mengandung nilai ibadah saja, namun juga

mengandung nilai sosial, dan ada pula yang mengandung keduanya. Dari salah

satu ajaran Islam yang mengandung keduanya adalah tentang wakaf. Ditinjau

dari nilai sosial, wakaf mempunyai tugas yang mempunyai peran penting

dalam sebagian masyarakat dalam beberapa kondisi. Kebijaksanaan Allah

SWT telah menciptakan manusia dengan sifat dan kemampuan yang

berbeda-beda menimbulkan adanya kaya dan miskin serta kuat dan lemah dalam

masyarakat. Oleh sebab itu Allah SWT memerintahkan supaya yang kaya

memperhatikan yang miskin serta yang kuat membantu yang lemah.

Menurut cendekiawan muslim Sayyid Ameer Ali, hukum wakaf

merupakan cabang yang terpenting dalam hukum Islam, karena ia terjalin ke

dalam seluruh kehidupan ibadah dan perekonomian sosial kaum muslim

(Usman, 2009: 119). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa wakaf

merupakan sumber daya ekonomi yang dapat dikembangkan untuk

meningkatkan kegiatan-kegiatan ekonomi. Artinya, pemanfaatan wakaf tidak

hanya sebatas untuk kegiatan keagamaan dan sosial belaka, namun juga dapat

digunakan untuk menopang perekonomian masyarakat.

Harta tidaklah hanya untuk dinikmati sendiri, melainkan harus

dinikmati bersama. Hal ini tidak berarti bahwa ajaran Islam itu melarang

(22)

manusia bahwa Islam mengajarkan fungsi sosial tentang harta benda, yaitu

dapat juga digunakan sebagai alat untuk menuju kemakmuran masyarakat.

Untuk mengembangkan kesejahteraan umat, Al-Quran telah

meletakkan dasar terutama agar harta yang dimiliki oleh individu-individu

tidak beredar diantara orang-orang kaya saja, yaitu dalam (Q.S. Al-Hasyr (59):

7) berbunyi: RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah SWT, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT amat keras hukumannya (Q.S. Al-Hasyr (59): 7).

Dari ayat di atas telah dijelaskan bahwa Islam melarang konsentrasi

kekayaan pada individu tertentu. Prinsip ajaran Islam ada pada sistem zakat,

shadaqah, hibah dan wakaf yaitu untuk mengeluarkan sebagian rejekinya

untuk menyantuni orang-orang fakir, miskin serta orang-orang lemah dalam

(23)

untuk membangun kesejahteraan umat dapat berperan aktif sehingga dapat

mengentaskan kemiskinan yang melanda selama ini.

Wakaf termasuk salah satu di antara sekian banyak penyerahan harta

atau hak milik secara ikhlas dari seorang kepada orang lain atau kepada suatu

kelompok misalnya yayasan untuk dimanfaatkan sebagai sarana ubudiyah dalam rangka jihad fi sabillilah. Oleh karena itu, manfaatnya sangat besar untuk perkembangan umat Islam. Di antara ayat-ayat Al-Quran yang

mendasari ibadah wakaf adalah Q.S. Ali Imron (03): 92, yang berbunyi:

Artinya: Kamu sekalian tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah SWT mengetahuinya (Q.S. Ali Imran (03): 92).

Berbeda dengan zakat, wakaf menurut Jumhur Ulama hukumnya

Ibadah wakaf tidak akan terputus pahalanya sepanjang manfaat harta

yang diwakafkan itu masih dapat diambil, meskipun Wakif sudah meninggal

(24)

mengalir), sebagaimana Rasulullah SAW. dalam sabdanya di hadits yang

diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah.

ْ ﻦَﻋ

manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak yang saleh yang mendoakan kedua orangnya (Al-Bukhari: 196).

Wakaf adakalanya untuk anak cucu atau kerabat dan kemudian sesudah

mereka itu untuk orang-orang lain. Wakaf yang demikian ini dinamakan wakaf

ahli atau wakaf dzuri. Terkandung pula wakaf itu diperuntukan bagi kebajikan semata-mata. Wakaf yang demikian dinamakan wakaf khairi (kebajikan) (Sabiq, 1997: 389), salah satu bentuk wakaf khairi itu adalah wakaf untuk ibadah yaitu panti asuhan.

Orang yang mewakafkan hartanya dalam istilah hukum Islam disebut

wakif. Pernyataan wakif yang merupakan tanda penyerahan barang atau benda

yang diwakafkan dapat dilakukan dengan lisan yang merupakan ijab. Sedangkan qabul dari orang yang menerima wakaf tidak diperlukan, karena tindakan mewakafkan sesuatu itu dipandang sebagai perbuatan hukum

(25)

Dalam KompilasiHukumIslam (KHI) disebutkan (buku III bab I pasal

215):

“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau kepentingan umum lain sesuai dengan ajaran Islam” (Usman, 2009: 259).

Sehubungan dengan ini, di Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota

Salatiga ada beberapa orang yang mewakafkan tanahnya untuk dikelola oleh

mereka. Pimpinan Daerah Muhammadiyah termasuk salah satu organisasi

Islam yang besar di Kota ini, pastinya kontribusi yang telah diberikan kepada

masyarakat untuk membantu mewujudkan kemakmuran umat yang ada di

Kota ini sudah dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui

amal usaha yang dilakukannya.

Begitu pula dengan tanah wakaf yang dipercayakan kepada Pimpinan

Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga diharapkan dapat dikelola dengan baik

sehingga dapat menjaga kelestarian harta wakaf (tanah wakaf) untuk diserap

aspek manfaatnya secara terus menerus bagi masyarakat sekitar. Kesemuanya

itu tergantung bagaimana Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga

menjalankan tugasnya dengan melakukan pengelolaan yang baik terhadap

tanah wakaf yang dipercayakan kepadanya.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis bermaksud

menganalisis strategi Pengelolaan wakaf di Pimpinan Daerah Muhammadiyah

(26)

Pengelolaan Wakaf di Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga Tahun 2013.

B. Perumusan Masalah

Untuk lebih mengetahui permasalahan tersebut di atas maka penulis

merumuskan permasalahan yang akan menjadi inti pembahasan dalam skripsi

ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses wakaf di Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota

Salatiga?

2. Apakah proses pengelolaan wakaf di Pimpinan Daerah Muhammadiyah

Kota Salatiga sudah sesuai dengan fiqh dan UU No. 41 Tahun 2004?

3. Bagaimana strategi pengelolaan wakaf di Pimpinan Daerah

Muhammadiyah Kota Salatiga?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Untuk Mengetahui proses wakaf yang ada di Pimpinan Daerah

Muhammadiyah Kota Salatiga.

2. Untuk mengetahuai proses perwakafan di Pimpinan Daerah

Muhammadiyah Kota Salatiga menurut fiqh dan UU No. 41 Tahun 2004.

3. Untuk mengetahui strategi pengelolaan wakaf di Pimpinan Daerah

Muhammadiyah Kota Salatiga untuk.

D. Telaah Pustaka

Telaah pustaka ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana

(27)

lain yang sudah membahas permasalahan yang telah dikaji dalam skripsi ini.

Dalam hal ini, penulis sedikit membuat garis besar tentang karya-karya lain

yang berkaitan erat tentang wakaf.

Dalam artikel yang ditulis oleh Muhyar Fanani, yang berjudul

Kelanggengan wujud fisik versus kelanggengan manfaat: kunci sukses manajemen wakaf produktif pondok modern Darussalam Gontor membahas tentang pengelolaan tanah wakaf secara produktif. Wakaf bagi lembaga ini, tidak hanya dipahami sebagai aset yang harus dijaga kelanggengan wujut

fisiknya, namun yang penting juga kelanggengan manfaatnya.

Kunci sukses dari perwakafan di Gontor adalah manejemen, yaitu

pembiayaan dalam bingkai proyek, kesejahteraan nazhir, dan transparansi serta

akuntabilitas publik. Sehingga dalam jangka waktu 82 tahun, aset wakaf

Gontor tumbuh berlipat-lipat, yang manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh

peserta didik dan juga masyarakat sekitar, serta berkembang pada bangsa

Inonesia (Fanani, 2008: 22).

Dalam artikel yang ditulis oleh Mubasirun, yang berjudul Wakaf Indonesia: Pemberdayaan dengan Paradigma Baru membahas tentang perubahan pemahaman dalam penerapan tanah wakaf sehingga dapat digunakan secara maksimal. Pengelolaan tanah wakaf sangat potensial dan strategis dalam pemberdayaan ekonomi umat. Akibat tradisi pemahaman

wakaf yang masih tradisional, perwakafan di Indonesia kurang dapat

(28)

bangunan madrasah, pesantren, masjid, makam, dan sangat sedikit bersifat

produktif yang secara langsung dapat mensejahterakan ekonomi umat.

Berangkat dari realita yang terjadi di lapangan secara langsung tersebut,

maka perlu dilakukan reinterpretasi dan pemahaman baru tentang wakaf. Hal

ini perlu dilakukan agar ajaran, konsep dan praktek wakaf dapat mengiringi

perkembangan persoalan yang semakin komleks. Agar reinterpretasi tentang

wakaf tersebut ada relevensinya dengan persoalan yang sedang berkembang,

maka teori wakaf harus dilatarbelakangi oleh teori perubahan sosial dan teori

pembangunan (Mubasirun, 2008: 200).

Dalam skripsi Farid Rahmat Setyawan dengan judul Penggunaan Tanah Wakaf oleh Pihak Ketiga tanpa Ijin Menteri Agama ditinjau dari UU 41 Tahun 2004 (Studi Kasus Tanah Wakaf Badan Kesejahteraan Masjid Kabupaten Demak), yang focus pembahasan tentang penggunaan tanah wakaf oleh pihak ketiga tanpa ijin menteri agama yang telah digunakan selama

bertahun-tahun hingga sekarang.

Menurut hukum Islam, penggunaan tanah wakaf tanpa ijin adalah tidak

sah. Serta menurut golongan Syafi’iyah, Malikiyah, dan juga sebagian

Hanafiyah, bahwa penyewaan barang wakaf tanpa batasan waktu mutlak tidak

sah. Sedangkan dalam UU No 41 tahun 2004 pasal 49, dalam penyewaan

kepada pihak ketiga adalah salah satu tugas BWI yaitu pengelolaan dan

pengembangan harta benda wakaf, sehingga setiap pihak ketiga yang ingin

menggunakan/menyewakan harta nadzir atas persetujuan Badan Wakaf

(29)

Skripsi Siti Hanifah tentang pelaksanaan perwakafan tanah milik di Desa Sruwen Kecamatan Tengaran tahun 2003 (analisa terhadap PP No 28 tahun 1977 dan hukum Islam), penelitian ini meneliti pelaksanaan perwakafan tanah milik yang belum bersertifikat. Fakor yang melatarbelakangi hal tersebut

dikarenakan asas keikhlasan dalam pelaksanaan wakaf tanpa diimbangi

administrasi yang baik. Di Desa Sruwen bila terjadi proses perwakafan tanah

dilakukan ikrar wakaf tanpa diikuatkan dengan bukti tertulis.

Secara umum, pelaksanaan perwakafan tanah milik di Desa Sruwen

telah sesuai dengan pandangan hukum Islam, karena rukun dan syarat wakaf

yang ditetapkan telah terpenuhi. Namun bila ditinjau dari PP No 28 tahun

1977, pelaksanaan perwakafan tanak milik belum berjalan dengan baik, sesuai

dengan peraturan yang berlaku, yaitu tertib administrasi (Hanifah, 2004: 79).

Dari beberapa kajian yang telah disebutkan di atas, penulis belum

menjumpai penelitian yang berjudul: Prospek Wakaf Sebagai Potensi

Pengambangan Ekonomi Umat Setelah Ditetapkan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf (Strategi Pengembangan

Tanah Wakaf di Muhammadiyah Kota Salatiga).

Dalam penelitian ini akan dibahas setrategi pengembangan wakaf tanah

yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejak

terjadinya krisis multi-dimensi dalam kehidupan bangsa kita yang dipicu oleh

krisis ekonomi, peran wakaf menjadi semakin penting sebagai salah satu

(30)

Pengelolaan wakaf tidak statis, namun selalu berkembang sejalan

dengan dinamika dan perubahan dalam masyarakat. Apalagi undang-undang

no 41 tahun 2004 tentang wakaf telah mengakomodasi pelaksanaan wakaf

benda bergerak seperti uang, saham dan lain-lain dalam pengembangan

ekonomi. Sehingga fokus penelitian ini adalah wakaf tanah milik

Muhammadiyah yang diterapkan untuk membantu mensejahterakan

masyarakat yang berada di Kota Salatiga.

E. Metode Penelitian

Adapun metode penulisan skripsi yang digunakan penulis dalam skripsi

ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field reseach). Field research adalah penelitian lapangan, field research ini untuk memperoleh data yang diperlukan obyek yang sebenarnya untuk

mempelajari secara intensif latar belakang, pengelolaan yang digunakan

lembaga atau komunitas (Azhar, 1998: 8).

2. Sumber Data

Obyek penelitian ini adalah strategi pengembangan tanah wakaf

milik Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga terutama yang

dikelola untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakat, baik

secara langsung maupun tidak langsung.

(31)

a. Sumber primer: yaitu dengan menggunakan informasi yang didapat

dari pengurus Muhammadiyah Kota Salatiga yang meliputi ketua atau

pengurus Muhammadiyah Kota Salatiga, Pembina Majlis Wakaf dan

Kehartabendaan Muhammadiyah Kota Salatiga, dan Pembina Majlis

Pelayanan Sosial Muhammadiyah Kota Salatiga, pengurus lembaga

diatas tanah wakaf yang menjelaskan masalah berkaitan dengan strategi

pengembangan tanah wakaf yang ada di Kota Salatiga. Maupun sumber

lain seperti, notaries, nadzir, dan wakif yang memperkuat data terkait

dengan perwakafan di Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga.

b. Sumber sekunder: yaitu data yang diambil dari sumber kedua yang

berupa buku panduan tentang Muhammadiyah Kota Salatiga dan

buku-buku lain yang sesuai/berkaitan dengan pembahasan penelitian tentang

strategi pengembangan tanah wakaf di Pimpinan Daerah

Muhammadiyah Kota Salatiga.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

a. Metode observasi

Metode observasi adalah metode dengan pengamatan atas suatu

variable yang dilakukan secara sistematis dan objektif dalam kondisi yang didefinisikan secara tepat dan hasil dicatat secara hati-hati

(32)

Dalam hal ini penulis menggunakan pendekatan pengamatan

langsung, dimana peran peneliti sebagai pengamat di lapangan. Metode

ini digunakan untuk mengetahui pelaksanaan program dan strategi

pengembangan tanah wakaf yang dimiliki Pimpinan Daerah

Muhammadiyah Kota Salatiga dan mencari data secara jelas terkait

pelaksanaan dan pengelolaan tanah wakaf yang digunakan untuk

pemberdayaan umat.

b. Metode wawancara (Interview)

Metode wawancara adalah metode pengumpulan data dengan

jalan tanya jawab sepihak yang dilakukan secara sistematis dan

berlandaskan kepada tujuan penelitian. Tanya jawab sepihak berarti

pengumpul data aktif bertanya, sementara pihak yang ditanya aktif

memberi jawaban (Aritonang, 2007: 163).

Dalam hal ini wawancara dilakukan kepada beberapa nara

sumber untuk mendapatkan data yang dibutuhkna, yaitu ketua dan

Sekretaris Muhammadiyah Kota Salatiga, Pembina Majlis Wakaf dan

Kehartabendaan Muhammadiyah Kota Salatiga, Pembina Majlis

Pelayanan Sosial Muhammadiyah Kota Salatiga, pengurus lembaga di

atas tanah wakaf, notaris, nadzir, dan wakif. Wawancara yang

dilakukan secara bebas tetapi dalam batas-batas tertentu atau tidak

(33)

c. Metode Analisis Data

Sebagai pegangan pengelolaan data penelitian serta keakuratan

sebuah data, maka penulis menggunakan analisis deskriptif yaitu

prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan

atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian (seseorang,

lembaga masyarakat, dan lain-lain). Pada saat sekarang berdasarkan

fakta yang tampak sebagaimana adanya (Nawawi, 1998: 61).

F. SistematikaPenulisanSkripsi

Skripsi ini, seperti tertera pada judulnya yang membahas seputar

Prospek Wakaf Sebagai Potensi Pengambangan Ekonomi Umat Setelah

Ditetapkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004

tentang Wakaf yang titik fokus penulisan ini adalah Strategi Pengembangan

Tanah Wakaf di Muhammadiyah Kota Salatiga untuk digunakan sebagai

pengembangan ekonomi masyarakat.

Memang dari pemerintah Kota Salatiga juga selalu mengupayakan

perbaikan ekonomi masyarakat melalui program pengentasan kemiskinan

yaitu seperti visi yang diemban dari Walikota Salatiga melalui program

Salatiga Sejahtera, Mandiri dan Bermartabat (SMART). Namun hal ini

tidaklah cukup untuk dapat mewujudkan citi-cita mulia tersebut tanpa peran

serta dari lembaga-lembaga masyarakat, maupun organisasi-organisai yang

hidup ditengah masyarakat untuk membantu kelangsungan program tersebut.

Muhammadiyah termasuk salah satu organisasi Islam yang besar di

(34)

untuk membantu dalam membenahi perekonomian yang ada di Kota ini sudah

dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam skripsi ini, penulis akan membahas panjang lebar terkait dengan

strategi pengembangan tanah wakaf yang dimiliki oleh Pimpinan Daerah

Muhammadiyah Kota Salatiga yang dikelola secara sistematis unuk

meningkatkan kemaslahatan umat.

Dalam hukum Islam, wakaf merupakan cabang yang terpenting, karena

terjalin kedalam seluruh kehidupan ibadah dan perekonomian sosial, oleh

sebab itu dengan pengelolaan yang baik, maka tanah wakaf dapat membantu

dalam mengurangi grafik angka kemiskinan yang semakin meningkat.

Namun sebelum kita membahas panjang lebar tentang strategi

pengelolaan tanah wakaf, perlu kiranya penulis tekankan untuk mengetahui

landasan teori secara hukum Islam maupun hukum Negara yang membahas

masalah wakaf. Oleh sebab itu pada bab II diuraikan secara jelas teori tentang

wakaf yang diberlakukan agar dapat berjalan sesuai jalur yang telah

ditentukan.

Dalam bab III, dibahas tentang strategi yang dilakukan oleh Pimpinan

Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga dalam mengelola tanah wakaf yang

dimiliki. Dalam hal ini, saya sebagai penulis akan menuturkan hasil penelitian

yang dilakukan secara langsung terhadap Pimpinan Daerah Muhammadiyah

Kota Salatiga, apakah dalam pengelolaan tanah wakaf mempengaruhi tingkat

perekonomian masyarakat Salatiga sehingga mereka dapat memperbaiki taraf

(35)

Selanjutnya pada bab IV merupakan analisis saya setelah melakukan

penelitian secara langsung terhadap pengelolaan tanah wakaf Pimpinan Daerah

Muhammadiyah Kota Salatiga. Dalam hal ini dapat dilihat atas peran serta

Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga dalam membantu

mengentaskan kemiskinan melalui pemberdayaan tanah wakaf yang telah

dimilikinya.

Dan yang terakhir pada bab V adalah kesimpulan yang berhubungan

dengan tulisan pada bab-bab sebelumnya sehingga penulis dapat memberikan

saran yang membangun yang dibutuhkan Pimpinan Daerah Muhammadiyah

Kota Salatiga dalam pengembangan tanah wakaf untuk kemaslahatan

(36)

BAB II

KONSEP DASAR TENTANG WAKAF

G. Konsep Wakaf dalam Fiqh 1. Pengertian Wakaf

Wakaf berasal dari bahasa Arab waqf, bentuk masdar dari kata ﻒﻗو

ﯾ ﻒﻘ

فﺎﻗو yang berarti berhenti atau berdiri. Kata ﻒﻗو mempunyai arti yang

sama dengan kata ﺲﺒﺣ yang berasal dari kata kerja ﺎﺴﺒﺣ ﺲﺒﺤﯾ ﺲﺒﺣ yang berarti menahan (Sabiq, 1977: 382).

Pengertian menurut istilah, Imam Takiyudin Abi Bakr lebih

menekankan dari segi tujuannya, yaitu menahan atau menghentikan harta

yang dapat diambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk

mendekatkan diri kepada Allah SWT ( Rofiq, 1995: 490).

Secara harfiah wakaf bermakna “pembatasan”, sehingga kata waqf digunakan dalam Islam untuk maksud “pemilikan dan pemeliharaan” harta

benda tertentu untuk kemanfaatan sosial tertentu yang ditetapkan dengan

maksud mencegah penggunaan wakaf tersebut diluar tujuan khusus yang

telah ditetapkan tersebut (Wadjdy, 2007: 30).

Sebenarnya masih banyak ulama yang memberikan definisi tentang

wakaf secara istilah, baik ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, Malikiyah,

Hanabillah ataupun ulama-ulama dari madzhab-madzhab lain. Mereka

mendefinisikan wakaf dengan arti yang beragam, sesuai dengan perbedaan

(37)

Dari beberapa definisi tersebut di atas terdapat dua pengertian

pokok yang menjadi esensi wakaf yaitu:

a. Menahan dan menghentikan harta dan hak kepemilikan.

b. Menyerahkan manfaat untuk tujuan-tujuan yang baik menurut ajaran

Islam.

2. Dasar Hukum Wakaf

Sebagaimana halnya dengan ajaran-ajaran Islam yang lain seperti

sholat, zakat, puasa, haji, hibah serta wasiat yang didasari oleh Al-Quran

dan Sunnah, wakaf pun demikian halnya, hanya saja dalam wakaf ini

Al-Quran sebagai sumber pokok hukum Islam tidak menyebutkan ajaran

wakaf secara jelas dan tegas. Al-Quran hanya memerintahkan manusia

berbuat baik untuk kebaikan masyarakat yang masih berupa ayat-ayat

umum. Dari ayat-ayat umum seperti inilah para fuqoha menyandarkan hukum wakaf. Di antara ayat-ayat yang berbuat kebaikan itu antara lain:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ruku`lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan (Q.S. Al-Hajj (22): 77).

(38)

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu… (Q.S.

Al-Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (Q.S. Ali Imran (03): 92).

ْ ﻦَﻋ

bersabda: apabila manusia meninggal maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal; shodaqah jariyah, ilmu bermanfaat, dan anak sholeh yang mendo’akan untuk orang tuanya (Al-Bukhori: 196).

Nash-nash di atas sebenarnya tidak menyebutkan secara khusus istilah wakaf, tetapi para ulama menjadikannya sebagai sandaran bagi

pewakafan.

3. Penggunaan Wakaf

Dalam fiqh, tujuan penggunaan wakaf harus jelas, misalnya untuk

kepentingan umum, seperti mendirikan masjid, sekolah, rumah sakit, dan

amal-amal sosial yang lainnya, untuk menolong fakir miskin, orang-orang

(39)

dan tujuan wakaf itu harus dapat dimasukkan ke dalam kategori ibadah.

Yang lebih baik adalah kalau tujuan wakaf itu jelas diperuntukkan bagi

kepentingan umum, dan kemaslahatan masyarakat(Ali, 1988: 86).

Wakaf hukumnya sunah dan harta yang diwakafkan terlepas dari

pemiliknya, lalu menjadi hak Allah semata, tidak boleh dijual, dihibahkan,

diwariskan untuk perseorangan dan sebagainya, manfaat wakaf harus

digunakan menurut ketentuan akad wakaf pada waktu mewakafkan.

Apabila pewakaf mensyaratkan bahwa wakafnya itu tidak akan diberikan

kecuali kepada orang yang kaya, para ulama berselisih pendapat, yang

membolehkan beralasan karena tidak bertentangan dengan syari’at,

sedangkan yang tidak membolehkan karena syaratnya batal sebab

diberikan kepada yang tidak bermanfaat bagi pewakaf baik urusan dunia

maupun agamanya.

Dalam hal penggunaan wakaf perlu diperhatikan bahwa amalan

wakaf sangat tergantung pada dapat atau tidaknya harta wakaf itu

dipergunakan sesuai dengan tujuannya, oleh karena itu tidak ada halangan

untuk menjual, asalkan hasil penjualan dipakai kembali untuk pembelian

harta yang akan dijadikan wakaf seperti semula, sebab yang menjadi pokok

utama dalam wakaf adalah kemanfaatannya (Nasution, 1997: 68).

Salah seorang ulama madzhab Hambali yang dikenal dengan nama

Ibn Qudamah berpendapat bahwa apabila harta wakaf mengalami rusak

(40)

yang dibeli itu berkedudukan sebagai harta wakaf seperti semula (Suhendi,

2010: 246).

4. Rukun dan Syarat Wakaf

a. Rukun Wakaf

Wakaf mempunyai lima rukun, yaitu:

1) Waqif (orang yang memberikan wakaf). 2) Mauquf (barang atau benda yang diwakafkan). 3) Mauquf’alaih (penerima / tujuan / sasaran wakaf). 4) Sighat (pernyataan wakaf).

5) Nadzir (pengelola wakaf).

Untuk lebih jelasnya, kelima rukun wakaf tersebut akan penulis

jelaskan sebagai berikut:

1) Waqif (orang yang memberikan wakaf)

Menurut pasal 215 ayat (2) KHI, Pasal 1 ayat (2) PP. No. 28

tahun 1977, disebutkan bahwa wakif adalah orang atau orang-orang

atau badan hukum yang mewakafkan benda miliknya (Usman,

2009: 259).

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi wakif adalah

sebagai berikut:

a) Cakap bertabarru’ (mendermakan harta benda)

Yang dapat dijadikan tolak ukur apakah seseorang dapat

(41)

akal sempurna dan baligh dalam pelaksanaan akad wakaf sehingga wakafnya sah (Al-Kabisi, 2004: 219).

Dalam fiqh Islam, ukuran baligh adalah wanita yang sudah haid dan laki-laki yang pernah ihtilam (mimpi keluar mani). Atau kalau patokannya umur adalah 9 tahun bagi wanita

dan 15 tahun bagi laki-laki. Hal ini tidak mutlak karena ada

anak berumur 16 tahun yang dikarenakan perkembangan akal

yang lemah maka belum dapat berfikir jauh ke depan. Oleh

karena itu akan lebih tepat kiranya, apabila dalam menentukan

kecakapan tabarru’ itu adalah kematangan pertimbangan akal. Berangkat dari ketentuan demikian, tidaklah sah jika

wakaf diberikan oleh orang gila dan anak kecil serta orang yang

kurang akalnya, sebab dia tidak layak untuk melakukan

kesepakatan (akad) dan aturan (Al-Kabisi, 2004: 219).

b) Tidak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa

Orang yang mewakafkan hartanya itu dituntut supaya

perbuatannya dilakukan bukan secara terpaksa, tetapi haruslah

dengan kerelaan berdasarkan tabarru’ (melepaskan hak milik tanpa mengharapkan imbalan). Dalam hal ini, unsur kerelaan

atas kemauan sendiri merupakan salah satu syarat penting yang

harus dipunyai oleh pihak yang berwakaf. Bila ia melakukan

perbuatannya itu karena terancam, maupun keterpaksaan maka

(42)

c) Merupakan pemilik sah dari harta yang diwakafkannya

Dalam hal ini maka tidak boleh mewakafkan harta yang

bukan miliknya atau yang belum menjadi miliknya, contoh:

tidak boleh mewakafkan tanah hak guna usaha (HGU),

meskipun HGU tersebut jangka waktunya 25 tahun dan dapat

diperpanjang 25 tahun lagi, dan juga tidak boleh mewakafkan

harta warisan yang belum dibagi.

2) Mauquf (harta atau benda yang diwakafkan)

Pasal 215 ayat (4) KHI menyebutkan bahwa benda wakaf

adalah segala benda baik benda bergerak atau benda tidak bergerak

yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan

bernilai menurut ajaran Islam (Usman, 2009: 259).

Lebih lanjut, syarat-syarat dari harta yang diwakafkan adalah

sebagai berikut:

a) Benda itu mestilah milik sah dari pihak yang berwakaf.

b) Benda yang diwakafkan itu mestilah tahan lama dan bisa

diambil manfaatnya. Tidak ada artinya mewakafkan sesuatu

yang tidak tahan lama atau tidak ada manfaatnya.

c) Benda yang diwakafkan itu mestilah sesuatu yang boleh dimiliki

dan dimanfaatkan. Karena itu tidak boleh mewakafkan seekor

babi atau benda-benda haram lainnya kepada umat Islam.

d) Bisa benda bergerak atau benda tidak bergerak seperti buku,

(43)

Melihat syarat-syarat harta wakaf sebagaimana disebutkan di

atas, maka harta yang diwakafkan dapat juga berupa uang yang

dimodalkan, berupa saham pada perusahaan dan berupa apa saja

yang lainnya, yang penting harta yang berupa modal dikelola

dengan sedemikian rupa (semaksimal mungkin) sehingga

mendatangkan kemaslahatan dan keuntungan (Suhendi, 2010: 243).

Dalam menjalankan modal yang merupakan harta wakaf itu

harus diperhatikan pula ketentuan hukum Islam agar jangan sampai

modal itu diperkembangkan dengan jalan yang bertentangan dengan

hukum Islam.

3) Mauquf’alaih (penerima wakaf/tujuan/sasaran wakaf)

Tujuan wakaf dipahamkan dari hadits Ibnu Umar: “….Ia menyedekahkan hasil hartanya itu kepada orang fakir, kepada kerabat, untuk memerdekakan budak, pada jalan Allah, orang terlantar dan tamu….” (Depak RI, 1986: 216).

Berkaitan dengan tujuan wakaf sesuai dengan sifat amalan

wakaf sebagai salah satu macam ibadah, yaitu salah satu amalan

shodaqah, maka tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan

nilai-nilai ibadah, seperti maksiat. Tujuan wakaf harus merupakan

hal-hal yang termasuk dalam kategori ibadah pada umumnya,

sekurang-kurangnya merupakan hal-hal yang mubah menurut ajaran

Islam yang dapat menjadi sarana ibadah dalam arti lusa, misalnya

mewakafkan tanah untuk lapangan olahraga, untuk pasar, dan

(44)

Lebih lanjut lagi, mauquf’alaih dipahami sebagai sasaran wakaf, maka harta yang diwakafkan harus jelas sasarannya. Dalam

hal ini ada dua sasaran wakaf yaitu:

a) Wakaf untuk mencari keridhoan Allah SWT. Wakaf jenis ini

tujuannya adalah untuk memajukan agama Islam atau karena

motivasi agama. Contohnya adalah berwakaf untuk kepentingan

rumah ibadah kaum muslimin.

b) Wakaf untuk meringankan atau untuk membantu seseorang atau

orang-orang tertentu atau masyarakat. Contohnya adalah

berwakaf untuk orang fakir miskin, atau berwakaf untuk

keluarga. Dalam sasaran wakaf ini yang perlu digaris bawahi

adalah bahwa wakaf tidak boleh untuk hal-hal yang

bertentangan dengan kepentingan agama Islam (Karim, 1993:

110).

4) Sighat (pernyataan wakaf)

Menurut Abdul Halim, sighat wakaf adalah pernyataan dari wakif sebagai tanda penyerahan barang atas benda yang

diwakafkan, baik secara lesan maupun tertulis (Halim, 2005: 20).

Lebih jelasnya, sighat adalah ucapan yang memungkinkan adanya wakaf. Sighat yang dipakai adalah kata-kata yang menunjukkan adanya wakaf meskipun tidak harus dengan redaksi

“wakaf”. Tentu saja yang paling utama adalah kata “wakaf”,

(45)

(Karim, 1993: 110), jadi intinya sighat atau pernyataan wakaf harus dinyatakan dengan baik secara lisan maupun tulisan, menggunakan

kata “aku wakafkan” atau aku menahan” atau kalimat semakna

lainnya (Rofiq, 1995: 497).

Wakaf dipandang telah terjadi apabila ada pernyataan wakif.

Oleh karena itu, Qobul (penerimaan) tidak diperlukan. Hal ini sesuai dengan pendapat golongan Hanafiyah dan Hanabillah

sebagaimana disebutkan oleh Abu Ya’la yang menyatakan bahwa

Qobul (penerimaan) dari Mauquf’alaih merupakan rukun wakaf dan juga bukan syarat sahnya wakaf, baik itu Mauquf’alaihnya tertentu

atau tidak tertentu. Ini dikarenakan ikrar wakaf adalah tindakan

yang bersifat deklaratif (sepihak) (Rofiq, 1995: 498).

b. Syarat Wakaf

Menurut hukum, untuk sahnya amalan wakaf diperlukan

syarat-syarat sebagaimana berikut:

1) Wakaf bersifat pribadi.

2) Tujuan harus jelas.

3) Wakaf tidak boleh digantungkan.

4) Wakaf yang sah harus dilaksanakan.

5. Macam-macam Wakaf

Untuk macam-macam wakaf harta wakaf bisa ditinjau dari dua segi

yang ditinjau dari tujuan wakaf dari ditinjau dari harta wakaf. Bila ditinjau

(46)

a. Wakaf Ahli

Wakaf ahli atau wakaf keluarga atau dapat dinamakan wakaf khusus ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu,

seseorang atau lebih, baik keluarga maupun bukan. Misalnya

seseorang menyatakan mewakafkan buku-bukunya untuk

anak-anaknya yang mampu mempergunakan, kemudian cucu-cucunya dan

seterusnya (Depag RI, 1986: 220).

Wakaf semacam ini dipandang sah dan yang berhak menikmati

harta wakaf itu adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf.

Dan bila terjadi munqothi’ intiha’ (habisnya mauquf’alaih), maka wakaf dikembalikan kepada adanya syarat bahwa wakaf tidak boleh

dibatasi dengan waktu tertentu. Dengan demikian meskipun anak

keturunan wakif yang menjadi tujuan wakif itu tidak ada lagi yang

mampu mempergunakan atau menjadi punah, maka harta wakaf tetap

berkedudukan sebagai harta wakaf yang dipergunakan keluarga wakif

yang lebih jauh atau dipergunakan untuk umum (Suhendi, 2010: 244).

b. Wakaf Khoiri

Adalah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan

umum dan tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu.

Wakaf khoiri inilah yang sejalan dengan amalan wakaf yang sangat digembirakan dalam ajaran Islam, yang dinyatakan bahwa

pahalanya akan terus mengalir hingga wakif meninggal. Selama harta

(47)

benar-benar dapat dinikmati hasilnya oleh masyarakat luas dan

merupakan salah satu sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan

masyarakat, baik dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan,

kebudayaan maupun keagamaan (Suhendi, 2002: 245).

1) Harta atau benda tak bergerak, seperti: tanah, sawah dan bangunan.

Benda macam inilah yang sangat dianjurkan untuk diwakafkan,

karena mempunyai nilai jariyah yang lebih lama. Ini sejalan dengan

praktek wakaf yang dilakukan oleh sahabat Umar Ibn Khattab atas

tanah Khaibar atas perintah Rasul SAW. demikian juga yang

dilakukan oleh Bani al-Naijir yang mewakafkan bangunan dinding

bangunannya untuk kepentingan masjid.

2) Benda bergerak, seperti: mobil, sepeda motor, binatang, ternak,

atau benda-benda lainnya. Yang terakhir ini juga dapat diwakafkan.

Namun demikian, nilai jariyahnya terbatas hingga nilai

benda-benda itu tidak dapat dipertahankan keberadaannya. Maka

selesailah wakaf tersebut, kecuali apabila masih memungkinkan

diupayakan ditukar atau diganti dengan benda baru yang lain

(Rofiq, 1995: 205).

6. Tujuan Wakaf

Imam Abu Hanifah, sebagaimana dikutip oleh Juhaya S. Praja

menerangkan benda yang diwakafkan itu tetap menjadi milik wakif

(48)

Abu Hanifah mendasarkan argumennya atas al-ro’yu yang didasarkan atas konsep wakaf yaitu habs al-‘ain ‘ala milk al-waaqif. Hal ini berkaitan dengan pengertian milik dalam teori Hanfiah. Menurut Abu

Hanifah, milik adalah milik sepenuhnya. Oleh karena si wakif sebagai

pemilik benda wakaf mempunyai hak “menggunakan” (tashorruf) sepenuh-penuhnya (Praja, 1997: 16).

Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik menyatakan bahwa

wakaf itu mengikat dalam arti lazim, tidak meski dilembagakan secara

abadi dalam arti mu’abbad dan boleh saja diwakafkan untuk tenggang waktu tertentu yang disebut mu’aqqod. Beliau juga berpendapat bahwa harta atau benda yang diwakafkan adalah benda yang mempunyai nilai

ekonomis dan tahan lama. Harta itu berstatus milik si wakif, akan tetapi si

wakif tidak mempunyai hak untuk menggunakan harta tersebut (tashorruf) selama masa wakafnya belum habis. Jika dalam sighat atau ikrar wakaf itu si wakif tidak menyatakan dengan tegas tenggang waktu perwakafan yang

ia kehendaki, maka dapat diartikan bahwa ia bermaksud mewakafkan

hartanya itu untuk selamanya (mu’abbad).

Alasan yang dikemukakan Imam Malik mengapa wakaf itu

berstatus milik si wakif berdasarkan kasus Ibnu Umar sebagai pemilih

benda yang diwakafkan yang diperintahkan Rasulallah untuk

mengeluarkan miliknya itu. Sementara itu alasan keabsahan wakaf untuk

sementara waktu ialah berdasarkan kontekstual apabila wakaf yang

(49)

untuk waktu sementara saja, maka wakaf itu boleh dijual dengan

pertimbangan al-maslahat al-mursalah. Jadi, teknik pengekalan harta wakaf itu ialah dengan menjual harta wakaf yang tidak atau kurang

mempunyai nilai manfaat (Praja, 1997: 18). Sedangkan jumhur ulama

Syafi’iyah dan Hambaliyah berpendapat bahwa telah mengeluarkan harta

dari kepemilikan wakif dan harta itu akan menjadi milik Allah SWT.

Oleh sebab itu si wakif tercegah untuk menggunakannya

(tashorruf), hal ini didasarkan pada hadits yang menceritakan wakaf Ibnu Khattab yang menyebutkan bahwa tanah wakaf yang diberikan tidak boleh

dijual, dihibahkan dan diwariskan (Wadjdy, 2007: 34).

Perbedaan pendapat di atas, ternyata masih dapat diambil satu

persamaan persepsi bahwa wakaf adalah penahanan suatu harta milik pihak

yang berwakaf dan menyedekahkan segala manfaat dan hasil yang bisa

diambil dari harta tersebut untuk kebijakan dalam rangka mencari

keridhoan Allah SWT.

H. KonsepWakaf dalam Perundang-Undangan

1. Pengertian Wakaf Menurut UU No. 41 Tahun 2004

Dalam undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Pasal 1

ayat (1) menyatakan bahwa:

(50)

Di dalam konsideran UU No. 41 Tahun 2004 disebutkan bahwa

lembaga wakaf mempunyai peran sebagai pranata keagamaan yang

memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan

efisien untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan

umum.

Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum UU No. 41 Tahun

2004 angka 1 yakni sebagai berikut: Tujuan Negara Kesatuan Republik

Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD Negara RI

Tahun 1945 antara lain adalah memajukan kesejahteraan umum. Untuk

mencapai tujuan tersebut, perlu menggali dan mengembangkan potensi

yang terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis.

Wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan

dilaksanakan dalam masyarakat yang pengaturannya belum lengkap serta

masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Kehadiran Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf

merupakan saat dinanti-nantikan. Karena itu, hadirnya Undang-Undang

tentang Wakaf mendapat sambutan yang hangat, tidak hanya oleh mereka

yang terkait langsung dengan pengelolaan wakaf, tetapi juga kalangan

lainnya termasuk DPR. Hal ini nampak pada saat RUU tentang wakaf ini

dibahas di DPR dengan pemerintah pada tanggal 6 September 2004 yang

lalu. Secara kuantitas jumlah tanah wakaf di Indonesia cukup banyak,

tetapi saat ini keberadaan wakaf belum berdampak positif bagi

(51)

Mengenai pengertian wakaf, undang-undang No. 41 Tahun 2004,

ini membuat suatu pengertian yaitu:

a. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau

menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan

selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan

kepentingannya guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum

menurut syar’iah.

b. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.

c. Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara

lisan dan/ atau tulisan kepada nadzir untuk mewakafkan harta benda

miliknya.

d. Nadzir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif

untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukkannya.

e. Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama

dan/ atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi

menurut syari'ah yang diwakafkan oleh wakif.

f. Pejabat pembuat akta ikrar wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW, adalah

pejabat berwenang yang ditetapkan oleh menteri untuk membuat akta

ikrar wakaf.

g. Badan wakaf Indonesia adalah lembaga independen untuk

mengembangkan perwakafan di Indonesia.

h. Pemerintah adalah perangkat Negara kesatuan Republik Indonesia yang

(52)

i. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang agama

(Depag. 2007: 3).

Dalam penjelasan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang

Wakaf dijelaskan praktek wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat

belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai

kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar

atau beralih ketangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan

demikian itu tidak hanya karena kelalaian ataupun ketidakmampuan nadzir

dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, tetapi juga

sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta

benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum

sesuai dengan tujuan atau fungsi dan peruntukkan wakaf (Anshori, 2005:

176).

Oleh karena itu, undang-undang wakaf ini patut didukung oleh

semua pihak, baik ulama', kaum profesional, cendekiawan, pengusaha,

lembaga perbankan, serta masyarakat umum, khususnya umat Islam

diseluruh Indonesia.

2. Dasar Hukum Wakaf dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004

Menurut undang-undang No. 41 Tahun 2004 dasar-dasar wakaf ada

dua bagian: menurut pasal (2) wakaf sah apabila dilaksanakan menurut

syari'ah, sedangkan pasal (3) wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat

(53)

dan pasal 33 undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

(Halim, 2005: 127).

Untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna

melindungi harta benda wakaf, pemerintah dengan persetujuan DPR pada

tanggal 27 Oktober 2004, mengeluarkan sebuah peraturan baru yaitu

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Undang-undang ini

merupakan undang-undang pertama yang secara khusus mengatur wakaf.

Dengan berlakunya undang-undang ini, semua peraturan mengenai

perwakafan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/ atau belum

diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan undang-undang ini.

Undang-Undang No. 41/ 2004 ini memuat substansi hukum tentang

perwakafan yang terdiri dari II bab dan 71 pasal sebagai berikut:

Bab I Berisi ketentuan umum (pasal 1).

Bab II Memuat dasar-dasar wakaf (pasal 2 sampai dengan 31).

Bab III Memuat tentang tata cara pendaftaran dan pengumuman harta

benda wakaf (pasal 32 sampai dengan 39).

Bab IV Memuat tentang perubahan status harta benda wakaf (pasal 40

sampai dengan 41).

Bab V Memuat tentang pengelolaan dan pengembangan harta benda

wakaf (pasal 42 sampai dengan 46).

Baba VI Memuat tentang badan wakaf Indonesia (pasal 47 sampai

dengan 61).

(54)

Bab VIII Memuat tentang pembinaan dan pengawasan (pasal 63 sampai

dengan 66).

Bab IX Memuat tentang ketentuan pidana dan sanksi administratif

(pasal 67 sampai dengan 68).

Bab X Memuat tentang ketentuan peralihan (pasal 69 sampai dengan

70).

Bab XI Memuat tentang ketentuan penutup (pasal 71).

Secara umum banyak hal baru dan berbeda yang terdapat dalam UU

No. 41 Tahun 2004 ini bila dibandingkan dengan PP. No. 28/ 1977

maupun KHI, walaupun banyak pula kesamaannya. Dapat dikatakan

bahwa UU No. 41/ 2004 mengatur substansi yang lebih luas dan luwes bila

dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang ada sebelumnya

(Anshori, 2005: 52).

Dalam Undang-undang No.41 Tahun 2004 tentang wakaf yang

telah disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 7

Oktober 2004, sudah diatur berbagai hal penting dalam pengembangan

wakaf berdasarkan pertimbangan dan untuk memenuhi kebutuhan hukum

dalam rangka pembangunan hukum nasional(Halim, 2005: 118).

Pada dasarnya ketentuan mengenai perwakafan berdasarkan syari'ah

dan peraturan perundang-undangan dicantumkan kembali dalam UU ini,

namun terdapat pula berbagai pokok pengaturan yang baru antara lain

(55)

a. Untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna

melindungi harta benda wakaf, UU ini menegaskan bahwa untuk

sahnya perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan didaftarkan dalam

akta ikrar wakaf serta diumumkan yang pelaksanaannya dilakukan

sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf dan harus dilaksanakan.

Undang-Undang ini tidak memisahkan antara wakaf ahli yang pada

umumnya pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf terbatas

untuk kaum kerabat (ahli waris) dengan wakaf khairi yang dimaksudkan untuk kepentingan masyarakat umum sesuai dengan

tujuan dan fungsi wakaf.

b. Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum

cenderung terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan

bangunan, menurut UU ini wakif dapat pula mewakafkan sebagian

kekayaannya berupa harta benda wakaf bergerak, baik berwujud atau

tidak berwujud yaitu uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak

sewa, dan benda bergerak lainnya.

c. Peruntukkan harta benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan

sarana ibadah dan sosial tetapi juga diarahkan untuk memajukan

kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat

(56)

d. Untuk mengamankan harta benda wakaf dari campur tangan pihak

ketiga yang merugikan kepentingan wakaf, perlu meningkatkan

kemampuan profesional nadzir.

e. Undang-undang ini juga mengatur pembentukan badan wakaf

Indonesia yang dapat mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan

kebutuhan (Halim, 2005: 99-101).

3. Macam-Macam Benda Wakaf dalam UU No. 41 Tahun 2004

Pasal 16 dalam UU No. 41 Tahun 2004 menjelaskan secara

enumeratif bahwa harta benda wakaf terdiri dari:

a. Benda tidak bergerak.

b. Benda bergerak.

Untuk lebih jelasnya, kedua benda wakaf tersebut akan penulis

jelaskan sebagai berikut:

a. Yang dimaksud dengan benda tidak bergerak disini meliputi:

1) Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum

terdaftar.

2) Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri atas tanah

sebagaimana dimaksud pada huruf a.

3) Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah.

4) Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan syariah

(57)

b. Benda gerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta

benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:

1) Uang.

2) Logam mulia.

3) Surat berharga.

4) Kendaraan.

5) Hak atas kekayaan inteletual.

6) Hak sewa.

7) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku (Anshori, 2005: 154).

Menurut pasal (21) dalam PP. No. 42 Tahun 2006 tentang

pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, benda bergerak selain

uang karena peraturan prundang-undangan yang dapat diwakafkan

sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syari'ah sebagai berikut:

a. Surat berharga yang berupa

1) Saham.

2) Surat utang Negara.

3) Obligasi pada umumnya.

4) Surat berharga lainnya yang dapat dinilai dengan uang.

b. Hak atas kekayaan intelekual yang berupa:

1) Hak cipta.

2) Hak merk.

(58)

4) Hak desain industry.

5) Hak rahasia dagang.

6) Hak sirkuit terpadu.

7) Hak perlindungan varietas tanaman.

8) Hak lainnya.

c. Hak atas benda bergerak lainnya yang berupa:

1) Hak sewa, hak pakai dan hak pakai hasil atas benda bergerak.

2) Perikatan, tuntutan atas jumlah uang yang dapat ditagih atas benda

(59)

BAB III

PROSES PERWAKAFAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN WAKAF DI PIMPINAN DAERAH MUHAMMADIYAH KOTA SALATIGA I. Sekilas Tentang Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga

1. Tokoh Pendiri Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga

Kelahiran sebuah organisasi tidak bisa terlepas dari tiga pilar yakni

adanya kelompok manusia, kerja sama, dan tujuan. Muhammadiyah

sebagai organisasi kemasyarakatan dilahirkan atas dasar tiga pilar tersebut

baik dari tingkat pusat maupun ranting. Dalam setiap tingkatan organisasi

Muhammadiyah baik ranting, cabang, daerah proses awal berdirinya selalu

diikuti oleh tokoh-tokoh pendiri sebagai founding father-nya dari latar belakang sosial ekonomi dan pendidikan yang beragam dengan komitmen

untuk bekerja sama dan mempunyai tujuan yang sama.

Proses kelahiran Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga

juga tidak terlepas dari tokoh-tokoh yang berkiprah saat itu. Dari

merekalah sejarah Muhammadiyah Salatiga terukir dan berkibar hingga

saat ini, mereka adalah Tirto Husodo (Pekalongan), H. Asnawi, H. Nur, H.

Abdul Mu’in, Kyai Irsyam, Kyai Hasyim, KH. Dachlan (Suruh), KH.

Mansyur (Ambarawa), H. Qulyubi, H. Syamsul hadi (Suruh), H. Suwiryo,

dan Suryani (Buku Saku PDM Salatiga, 2010: 1).

2. Proses Berdirinya Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga

Kurang lebih pada tahun 1930-an para tokoh tersebut berkumpul

(60)

Muhammadiyah untuk wilayah Kab. Semarang dan Kota Salatiga yang

ditandai dengan adanya sekolah HIS Muhammadiyah, kini berubah

menjadi SD Muhammadiyah Plus Salatiga.

Para tokoh pendiri Muhammadiyah kala itu tidak hanya sebatas

berkumpul dan bersepakat mendirikan Muhammadiyah, namun sebagai

bentuk kongretnya mereka bersegera melakukan gerakan dakwah amal

makruf nahi munkar dengan mendirikan amal usaha sebagai bukti

aktifitasnya. Amal usaha pertama didirikan adalah pendidikan formal HIS

Muhammadiyah pada tahun 1932 yang merupakan cikal bakal

perkembangan lembaga pendidikan sampai saat ini.

Keberadaan HIS Muhammadiyah yang bangunannya didirikan di

atas tanah wakaf almarhum bapak Tirto Husodo (sekarang di Jl. Adisucipto

13 Salatiga dan digunakan sebagai TK Aisyiyah Bustanul Atfal Pembina)

kala itu sangat strategis dalam rangka kaderisasi dan dakwah

Muhammadiyah karena ia berada ditengah-tengah masyarakat Salatiga

yang kental dengan nuansa Kristen. Hal tersebut nampak jelas dari tata

kota yang tidak ada masjid disekitar alun-alun dan banyak

lembaga-lembaga Kristen ditempat-tempat strategis, sehingga dengan alasan

tersebut didirikan pendidikan HIS Muhammadiyah (Buku Saku PDM

Salatiga, 2010: 2).

3. Perkembangan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga

Sejarah Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga tidak bisa

Gambar

Tabel
Tabel 3.3 Tempat Ibadah Pimpinan Daerah Muhammadiyah Salatiga
Gambar 3.1 Struktur Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Salatiga periode
Tabel 3.4 Penyebaran Tanah Wakaf Pimpinan Daerah Muhammadiyah di Tiap
+4

Referensi

Dokumen terkait

Cilj ovog istraživanja je ustanoviti kako primjena živog ektomikoriznog micelija na korijen vinove loze (podloga Vitis berlandieri x Vitis riparia SO4), utječe na

Pada sampel 2A memiliki tingkat homogenitas yang baik antara tepung gipsum, serbuk daun tembakau, dan PVA tetapi dari matriks tersebut tidak merekat sempurna dengan filler

berjalan di PLN Area Pekanbaru, dimana mayoritas masih merasakan fasilias kerja yang kurang memuaskan, bonus kurang tranparan dan juga tunjangan yang kurang

Penelitian yang dilakukan Arora dkk.2008 tentang perbadaan daun kubis dengan kompres hangat dan dingin untuk pengobatan pembengkakan payudara didapatkan hasil daun kubis

Puji dan syukur ke hadirat Allah swt, karena dengan petunjuk dan hidayah- Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Kinerja

Praktik pemberian ASI eksklusif pada ibu dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan tenaga ke- sehatan, tetapi praktik pemberian ASI eksklusif dan promosi sampel susu formula

(1) Kepala Desa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf f dan huruf m serta telah ditetapkan sebagai tersangka yang dilanjutkan dengan

 Berdasarkan Hasil Penilaian Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) PT.Karya Inti Malindo diputuskan bahwa PT.Karya Inti Malindo dinyatakan Lulus karena dapat