• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

D. Dasar Pemikiran Multikulturalisme

Sebagai suatu paham politik yang telah dibangun dengan mengedepankan karakteristik tertentu berkaitan dengan perjuangan berkelanjutan terhadap budaya kelompok minoritas menghadapi hegemoni serta dominasi kelompok mayoritas dalam suatu masyarakat dan menghadapi sikap diskriminatif dari pemerintah suatu negara, konsep multikulturalisme tentu diletakkan di atas alasan-alasan rasional dan argumentatif tertentu sebagai dasar pemikiran dalam menjalankan misinya

Salah satu dasar multikulturalisme adalah penggalian kekuatan suatu bangsa yang terkandung dalam berbagai

jenis budaya yang mempunyai kekuatan budaya.4 5

Multikulturalisme bukanlah konsep baru. Diskusi dan debat

seputar konsep itu sudah lama bergulir dan sampai sekarang terus menghangat. Dunia global yang ditandai makin intensnya proses migrasi dan pertemuan-pertemuan kebudayaan yang berbeda makin mensignifikansikan

konsep multikulturalisme.4 6

Intensitas migrasi tersebut dalam masyarakat modern makin marak dengan dukungan tumbuh suburnya informasi yang mudah diakses, banyaknya relasi yang terjalin, dan kecanggihan transportasi. Intensitas migrasi itu otomatis membawa budaya-budaya aslinya ke dalam negara baru yang disinggahi sebagai budaya kelompok minoritas. Perjumpaan budaya-budaya tersebut membentuk keragaman atau kebhinekaan yang tidak jarang menimbulkan benturan-benturan antarbudaya manakala tidak dibentengi oleh kesadaran keragaman atau kesadaran kebhinekaan. Dalam perjumpaan budaya tersebut dapat ditemukan kekuatan-kekuatan tertentu yang dimiliki oleh suatu bangsa.

Ada lima faktor-faktor yang mempengaruhi multikulturalisme mencakuo: (1) Multikulturalisme baru mengandung hal-hal esensial dalam perjuangan perlakuan budaya terhadap yang berbeda (the other); (2) multikulturalisme telah menampung berbagai jenis pemikiran baru, antara lain pengaruh cultural studies; (3) globalisasi yang telah melahirkan budaya global yang memiskinkan potensi-potensi budaya asli; (4) Feminisme

4 Raihani, Pendidikan Islam dalam Masyarakat Multikultural, Sopyan M. 6

dan post-feminisme; dan (5) Post-strukturalisme.4 Maka 7 faktor-faktor yang mempengaruhi multikulturalisme

meliputi faktor politik, akademik, ideologis, dan sosial-politik.

Di samping itu, terdapat beberapa faktor yang mendorong semaraknya multikulturalisme antara lain:

pertama, keterbukaan masyarakat yang memiliki kekayaan

kultural, modal dan pengalaman sejarah; kedua, banyaknya lembaga pendidikan keagamaan yang membuat ‘wajah’ dunia pendidikan terasa lebih dinamis; ketiga, semakin menjamurnya berbagai industri di beberapa daerah, menjadikan latar belakang budaya yang makin beragam;

keenpat, adanya sejumlah lembaga pendidikan yang mampu

melahirkan generasi muda militan; dan kelima, semakin banyaknya daerah yang memiliki pluralitas dari berbagai

ras, etnis, agama, budaya dan bangsa.4 8

Dengan demikian faktor-faktor yang mempengaruhi konsep dan gerakan multikulturalisme itu ternyata kompleks sekali, mulai dari faktor politik, akademik, idealogis, sosial-politik, kultural, pendidikan, industri, dan geografis. Semua faktor ini memberikan kontribusi dalam mendukung keberadaan konsep dan gerakan multikulturalisme. Masing-masing faktor memiliki kepentingan terhadap keberadaan dan kekokohan

4 Imron Mashadi, “Reformasi Pendidikan Agama Islam (PAI) di Era 7

Multikultural’, dalam Zainal Abidin EP dan Neneng Habibah (eds.), Pendidikan

Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme, (Jakarta: Balai Litbang Agama

Jakarta Bekerjasama dengan PT. Saadah Cipta Mandiri, t.t.), h. 44-45

4 Sulalah, Pendidikan Multikultural Didaktika Nilai-nilai Universalitas 8

multikulturalisme dalam memperjuangkan budaya kelompok minoritas.

Faktor politik memandang perlu memperjuangkan pengakuan terhadap budaya lain yang berposisi sebagai budaya kelompok minoritas dari tindakan diskriminatif pemerintah maupun perlakuan kelompok mayoritas, sehingga menciptakan konsep dan gerakan multikulturalisme; studi budaya sebagai bagian dari faktor akademik dapat mengakses pemikiran-pemikiran baru tentang budaya khususnya budaya minoritas yang selama ini sering mendapatkan perlakuan yang mengucilkan budaya minoritas tersebut, sehingga merekomendasikan perlunya merumuskan dan/atau memperkuat konsep maupun gerakan multikulturalisme; adanya globalisasi yang merancang dan mendesain penyeragaman budaya di seluruh dunia berdasarkan budaya yang dimiliki dunia Barat terhadap pola hidup manusia sejagat raya baik menyangkut makanan-minuman, model pakaian, hiburan, dan sebagainya merupakan ideologi baru yang bersifat universal. Pemaksaan dengan penyeragaman budaya manusia sedunia ini mengancam potensi budaya lokal sebagai budaya minoritas yang diperjuangkan multikulturalisme selama ini. Maka multikulturalisme harus berhadapan dengan misi globalisasi. Untuk menyelamatkan potensi budaya lokal tersebut, perlu dibangun dan diperkokoh multikulturalisme; faktor sosial yang beraroma politik belakangan ini muncul dalam bentuk gerakan-gerakan kontemporer seperti feminisme, post-feminisme, dan post-strukturalisme sangat lantang menyuarakan pembelaan terhadap budaya minoritas, sehingga gerakan-gerakan tersebut memberikan

dukungan penuh terhadap multikulturalisme; faktor kultural tampak pada masyarakat yang memiliki kekayaan budaya dan telah menyejarah memberikan kesadaran kepada mereka dalam mendukung multikulturalisme; faktor pendidikan tampak pada lembaga pendidikan maupun lembaga pendidikan keagamaan yang berhasil menciptakan tradisi dan budaya kritis peserta didiknya untuk memberikan dukungan terhadap konsep dan gerakan multikulturalisme; peningkatan jumlah industri yang tersebar di berbagai daerah menyebabkan lahirnya budaya yang beragam yang perlu dilindungi melalui jalur multikulturalisme; sedangkan faktor geografis tampak pada banyak daerah yang kebanjiran pendatang baru. Kehadiran pendatang baru ini tentu saja diiringi oleh kehadiran budaya baru sebagai budaya minoritas yang harus mendapatkan pengakuan dan penghargaan sehingga memberikan dukungan terhadap multikulturalisme.

Ancaman konflik dan kekerasan di tanah air seharusnya menumbuhkan kesadaran pentingnya memahami realitas masyarakat yang multikultur. Promosi wawasan multikultural dalam berbagai bentuknya termasuk dalam pendidikan dimaksudkan sebagai upaya transformasi dari budaya kekerasan, saling membenci dan merendahkan satu sama lain menuju kepada budaya perdamaian, cinta kasih,

dan saling menghargai.4 Budaya perdamaian, cinta kasih 9 dan saling menghargai ini merupakan budaya tingkat tinggi

4 Mudofar Mughni, “PAI Berwawasan Multikultural Kasus Pendidikan 9

Agama Islam (PAI) di SMK”, dalam Zainal Abidin EP dan Neneng Habibah (eds.),

Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme, (Jakarta: Balai

Litbang Agama Jakarta Bekerjasama dengan PT. Saadah Cipta Mandiri, t.t.), h. 124-125

yang dapat diwujudkan melalui dukungan berbagai pemikiran, tindakan maupun gerakan yang mengarah pada penguatan budaya tersebut, termasuk multikulturalisme.

Mujiburrahman menyatakan bahwa tingginya mobilitas manusia juga membuat manusia yang berlatarbelakang etnis, bangsa dan agama yang berbeda, berjumpa dan bergaul dalam satu kota. Semua ini jika tidak dikelola dengan

baik, bisa membawa petaka, konflik yang berbahaya.5 Untuk 0

membentengi supaya tidak terjadi konflik ini, perlu ditanamkan dan ditumbuhsuburkan kesadaran bahwa keragaman budaya, etnik, suku, bahasa bahkan agama itu merupakan suatu keniscayaan. Kesadaran keragaman ini menjadi salah satu misi dari multikulturalisme.

Mengingat bangsa Indonesia sangat majemuk dari segi agama, etnik dan budaya, maka pendidikan multikultural sangat penting ditanamkan kepada peserta didik. Sekolah sedapat mungkin tidak memperlakukan secara diskriminatif anak-anak yang berbeda identitas etnik, agama dan budayanya. Sekolah selayaknya mengakomodasi mereka secara adil. Identitas yang berbeda itu tidak boleh dihilangkan, tetapi pada saat yang sama tidak boleh dipertentangkan. Selalu diupayakan mencari titik temu

dalam perbedaan.5 1

Titik temu maupun persamaan mampu menutup pecahnya konflik horizontal maupun vertikal, setidaknya

5 Mujiburrahman, “Kata Pengantar Mendidik Generasi Elektronik”, 0

dalam Raihani, Pendidikan Islam dalam Masyarakat Multikultural, Sofyan M. Asyari (ed.), (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2019), h. xiv

menjadi jembatan diantara perbedaan dan keragaman. Apabila titik temu atau persamaan ini menjadi agenda utama yang ditonjolkan masing-masing pihak baik kelompok mayoritas maupun kelompok minoritas, maka kehidupan masyarakat menjadi harmonis, perpecahan bisa diminimalisir, budaya mayoritas tetap berjalan, dan budaya minoritas dihargai dan mendapat pengakuan dari kelompok mayoritas maupun pemerintah.

Sejak era reformasi, kecenderungan kita mengarah kepada multikulturalisme. Setiap identitas yang berbeda seperti etnis dan agama, dihormati dan diakui keberadaannya. Namun pada saat yang sama, mereka diikat oleh kesamaan berbagai warga negara dan umat manusia. Dalam jargon politik kita, multikulturalisme ini disebut

Bhineka Tunggal Ika, berbeda tetapi bersatu.5 Ketika jargon 2 ini benar-benar telah dipraktekkan, maka perbedaan yang

sebelumnya ditakutkan sebagai ancaman terhadap kerukunan masyarakat akan berubah (bertransformasi) menjadi kekayaan yang sangat berharga dan mencerahkan bagi masa depan bangsa dan negara.

Semakin disadari, masyarakat modern sebagai sebuah masyarakat ‘multikultural’, yakni sebuah masyarakat yang tersusun dari berbagai macam bentuk kehidupan dan orientasi nilai atau – mengacu pada istilah Geertz di atas –

sebuah ‘negeri’ dengan banyak ‘bangsa’.5 Hal ini telah 3 menjadi rumus sosial yang alami sebagai suatu keniscayaan,

dan dalam bahasa agama disebut sunnatullah (hukum Allah

5 Ibid., h. xiv-xv 2

yang berlaku pada semesta). Sebab mobilitas masyarakat makin tinggi pada era modern ini lantaran dukungan teknologi yang serba canggih.

Kesadaran keanekaragaman budaya, bangsa, kepentingan dan suara sekaligus pengakuan bahwa keanekaragaman itu bisa memantapkan pemahaman terhadap realitas dan gugus tindakan kita menjadi makin kaya dan kreatif hendaknya bisa menjadi titik pijak menolak model homogenisasi, penyeragaman dan penindasan baru yang dilancarkan oleh siapapun aktornya, apakah aparat negara, budaya patriarkal yang dominan dengan para sesepuh dan barisan penjaganya, agama dan agamawan, pasar dan korporasi.5 Semua bentuk tindakan penindasan 4 diperankan oleh siapapun, harus ditolak keberadaannya, dan jika tidak menghentikan penindasan itu, maka harus dilakukan perlawanan melalui saluran konsep dan gerakan multikulturalisme, termasuk dengan media pendidikan.

Alasan pentingnya pendidikan multikultural lantaran strategi pendidikan ini dipandang memiliki banyak keutamaan, terutama dalam (1) memberikan terobosan baru pembelajaran yang mampu meningkatkan empati dan mengurangi prasangka siswa atau mahasiswa sehingga tercipta warga negara antarbudaya yang mampu menyelesaikan konflik tanpa kekerasan; (2) menerapkan pendekatan dan strategi pembelajaran yang potensial dalam mengedepankan proses dialog mendalam (deep dialogue), berpikir kritis (critical thinking), dan memiliki kandungan

afeksi yang kuat; (3) model pembelajaran multikultural membantu guru dalam mengelola proses pembelajaran menjadi lebih efektif dan efisien, khususnya memberikan kemampuan peserta didik dalam membangun kolaborasi dan memiliki komitmen nilai yang tinggi dalam kehidupan masyarakat yang serba majemuk; dan (4) memberikan kontribusi bagi bangsa Indonesia dalam penyelesaian dan mengelola konflik yang bernuansa SARA yang timbul di masyarakat dengan cara meningkatkan empati dan

mengurangi prasangka.5 5

Dalam konteks Islam, setidaknya ada alasan yang sering diajukan untuk memperkuat pandangan moderat bahwa ‘semua agama adalah sama’, yaitu: (1) setiap agama bisa dikatakan sebagai ‘Islam’; (2) mereka meyakini bahwa setiap orang yang beriman dan berbuat kebaikan akan memperoleh pahala di sisi Allah Swt., meskipun di luar agama Islam; dan (3) mereka juga menganggap bahwa kata

kalimatin sawa dalam surat Ali Imran: 64 menunjukkan

bahwa al-Qur’an menginginkan bahwa semua agama bersatu dan bekerjasama.5 Agama bersatu dan bekerjasama bukan 6 berarti sinkritisme, melainkan memecahkan problem kemasyarakatan secara bersama-sama. Kebersamaan ini

5 Suparlan Al-Hakim dan Sri Untari, Pendidikan Multikultural Sebagai 5

Inovatif Pembelajaran dalam Pluralitas Masyarakat Indonesia, (Malang: Madani

Media, 2018), h. 3

5 Muhammad Kasim, “Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama islam 6

Berwawasan Multikultural”, dalam zainal Abidin EP dan Neneng Habibah (eds.),

Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif M ultikulturalisme, (Jakarta: Balai

litbang Agama JakartaBekerjasama dengan PT. Saadah Cipta Mandiri, t.t.), h. 228-230.

tidak perlu melibatkan teologi, tetapi melibatkan interaksi sosial antarumat beragama.