• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan Aktualisasi Pemikiran Islam Multikultural

BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

B. Pendekatan Aktualisasi Pemikiran Islam Multikultural

Masyarakat

Terkadang terdapat beberapa pendekatan yang ditempuh dalam mendekati budaya kalangan minoritas, sebab ada perbedaan antara budaya orang-orang Islam dengan budaya kalangan minoritas di Indonesia. Untuk mendekati budaya mereka itu dibutuhkan pendekatan-pendekatan tertentu. Ketika pendekatan-pendekatan ini ditanyakan kepada Kiai Sholeh dalam mendekati budaya mereka, beliau memberikan jawaban:

Hanya pendekatan akhlak saja. Biasa-biasa saja. Dulu kerukunan itu diprotes, karena ngajinya kurang dalam. Hapus, hapus Qur’annya. Mereka tidak berani. Jangan protes saya. Gusti Allah yang seharusnya diprotes Qur’annya. Terus mereka diam. Kesimpulannya, orang masih bodoh keilmuannya. Hanya sampai di sini. Namun seneng dengan pak Ajeng. Pernah dapat salam dari Paus Paulus. Saya katakan terlalu besar. Saya ini orang kecil, kebesaran salamnya Paus Paulus bagi saya. Se Indonesia yang dikirimi salam hanya tiga, yaitu Habib Lutfi, kiai Mustofa Bisri, dan kebetulan saya hanya katut

saja. Saya justru sumpek menjaga hatinya.2 6

Kedekatan Kiai Sholeh dengan budaya kalangan minoritas bahkan dengan mereka bukan hanya kedekatan secara fisik, tetapi sesungguhnya merupakan kedekatan emosional dan teologis. Biasanya kalau mau bertugas jauh, mereka minta

restunya ke Kiai Sholeh. Wasil melaporkan bahwa rata-rata kalau Suster sama Romo, setelah melakukan kunjungan ke Pesantren Ngalah, mereka mendapatkan tugas ke luar negeri. Wasil menceritakan tentang orang yang sekolahnya di Malang, sekarang menjadi staf Kominfo di Vatikan. Orang tersebut kebetulan kenal baik sama Kiai

Sholeh.2 7

Sejatinya, induk pendekatan dalam mendekati budaya minoritas sebagai perwujudan dari aktualisasi pemikiran Islam multikultural dalam membangun harmonisasi masyarakat adalah pendekatan akhlak. Hanya saja pendekatan ini dapat dioperasionalkan menjadi beberapa pendekatan yang lebih spesifik lagi, seperti keterbukaan dalam menjalin hubungan dengan mereka, saling menghormati dan menghargai, perlakuan yang ramah terhadap orang lain, sikap egalitarianisme, dan sebagainya. Melalui cara-cara ini, kalangan minoritas itu bisa merasakan nyaman bersama orang-orang Islam.

Jika pendekatan yang ditempuh dalam mendekati budaya minoritas itu jumlahnya banyak, maka ada di antara pendekatan itu yang sering dipakai. Penulis menanyakan kepada Kiai Sholeh tentang pendekatan yang paling sering dipakai dalam mendekati budaya minoritas tersebut, dan ternyata jawabannya adalah

pendekatan akhlak.2 Hal ini dapat dimaklumi 8 karena pendekatan yang dipakai Kiai Sholeh dalam

mendekati budaya minoritas hanya satu, yaitu pendekatan akhlak, maka pendekatan ini juga yang selalu dipakai dalam mendekati budaya minoritas. Di samping itu, Kiai Sholeh merasa relevan ketika menggunakan pendekatan akhlak tersebut, karena sesuai dengan bakat, minat, kecenderungan, dan seleranya.

Dalam mendekati budaya kalangan minoritas dibutuhkan sarana tertentu yang menunjang efetivitas pendekatan yang ditempuh tersebut. Ketika sarana ini ditanyakan kepada Kiai Sholeh, jawabannya sebagai berikut:

Walisanga telah memberikan contoh. Misalnya, saya meniru Bapak saya. Dulu dengan Bapak, putranya sakit, memanggil kiainya Hindu, Budha. Ya anaknya sering dengan Bapak. Selesai dari pondok, saya kira saya ini sudah alim, ternyata masih belum. Saya pikir saya ini alumni Mranggen, diasuh Mbah Muslih Mranggen. Yang menandatangani Carat Gempol itu bapak. Kan geger ramai, bapak mendengar. Lalu diadakan dialog antara Bapak dengan para demonstran, kemudian dialog dilanjutkan dengan penggagas pendirian gereja. Akhinya gereja

didirikan atas restu Bapak.2 9

2 Wawancara dengan Kiai Sholeh, 07 Juli 2019. 8

Metode dakwah Walisanga seharusnya dijadikan fondasi dasar dalam berdakwah, yaitu dengan strategi berbasis tradisi di tengah kehidupan masyarakat yang multikultural, sehingga Islam menolak bentuk dakwah kekerasan dan mengabaikan nilai-nilai kedamaian, karena tidak sesuai dengan fungsi Islam sebagai rahmatan

li al-‘alamin, dan bertentangan dengan nilai-nilai

luhur budaya bangsa.3 Di sini sarana dakwah 0 Walisanga tersebut adalah tradisi yang telah

berjasa mengantarkan keberhasilan Walisanga dalam berdakwah di Jawa. Sarana demikian inilah yang ingin ditiru oleh Kiai Sholeh dalam mendekati budaya minoritas.

Sarana itu juga tampak pada nama bangunan yang digunakan oleh Kiai Sholeh. Nama tersebut kurang lazim karena menunjukkan nasionalisme maupun pluralisme. Misalnya gedung yang dimiliki diberi nama Gedung Nusantara, Gedung NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), dan

Sekolah Menengah Pertama Bhineka Tunggal Ika.3 1

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat ditegaskan bahwa sarana yang paling patut digunakan dalam mendukung keberhasilan mendekati budaya minoritas adalah sarana dialog/komunikasi, sarana tradisi, dan sarana penamaan bangunan pada gedung

3 Pesantren Ngalah, Koleksi Khutbah, h. 29. 0

sekolah/madrasah maupun perguruan tinggi. Sarana dialog/komunikasi tiga arah mampu melahirkan keputusan penting dalam mendirikan tempat ibadah, sarana tradisi mampu merealisasikan keberhasilan Walisanga dalam berdakwah di Jawa, sedangkan sarana nama bangunan lembaga pendidikan yang mencerminkan nasionalisme mampu mendekatkan orang-orang non Muslim dengan Pesantren Ngalah.

Reaksi kalangan minoritas (non Muslim) setelah kiai mendekati budaya mereka, menurut Kiai Sholeh, tidak ada reaksi negatif sama sekali. Reaksi yang muncul justru berbentuk reaksi positif, seperti mempererat tali persaudaraan, baik antartokoh agama maupun Kiai Sholeh dengan pemeluk agama minoritas, meningkatkan kepercayaan kalangan minoritas terhadap Kiai Sholeh, dan mereka merasakan mendapat

perhatian dari kelompok mayoritas.3 2

Dalam mengakrabi budaya kalangan minoritas itu berdasarkan pengalaman selama ini yang dirasakan, mungkin terdapat pendekatan tertentu yang dinilai paling ampuh (efektif) menjadi media keakraban. Ketika peneliti menanyakan pendekatan paling efektif ini, Kiai

Sholeh memberikan gambaran dialognya dengan Romo sebagai berikut:

Bagaimana ya, tidak ada. Biasa-biasa saja. Hanya saya bilangi dulu:

“Jangan masuk Islam lho ya” “Kenapa Pak Kiai”

“Kalau masuk Islam demo 212, aku sakit” ‘Minimal itu’

“Maksimalnya apa Pak Kiai?” “Ngebom”.

Baiknya Islam di Jawa seperti itu. Guyonannya dengan pendeta saya omongi.

“Mo, sesekali coba mengebom Mo” “Kenapa Kiai”

“Ya supaya berkurang, supaya tidak orang Islam 100% rek”

“Manakala yang ngebom itu Pendeta atau Romonya berarti tinggal 99,9%”

“Setidaknya ada penguranganlah” “Di mana Pak Kiai?”

“Sini saja dibom, jangan tempat lain” “Terus, kalau urusan bareng Pak Kiai?” “Bersama-sama dengan saya, silahkan di Polda. Nanti dihukum bareng”.

“Maaf pak Kiai, tidak bisa bikin bom”.3 3

Lebih lanjut Amin menceritakan, karena melihat teroris itu hampir semuanya dari Islam, Kiai Sholeh itu bergurau minta bantuan. Kalau yang datang tokoh Kristen, beliau bergurau kepada

orang Kristen itu untuk memproduk teroris, Kristen yang ekstrim. Jika yang datang Konghucu, hal yang sama juga beliau guyonkan. Kiai merasa prihatin dengan stigma bahwa hanya Islam saja yang menjadi teroris. Kiai Sholeh merasa sungkan. Menurut Amin, Kiai Sholeh sebenarnya ketika memandang orang Islam sebagai teroris itu beliau

menangis.3 4

Materi dan lirik dialog tersebut memberikan gambaran bahwa pendekatan yang paling ampuh dalam mengaktualisasikan pemikiran Islam multikultural guna membangun harmonisasi masyarakat dengan cara mendekati budaya minoritas tersebut berarti pendekatan keterbukaan, keakraban, persaudaraan dan kemanusiaan. Keempat macam pendekatan itu sangat potensial mencairkan suasana penuh kedekatan, tenggang rasa, saling memahami, saling menghormati, saling tukar pengalaman, rasa sepenanggungjawaban, dan sebagainya.

Adakalanya dalam mendekati budaya kelompok minoritas digunakan pendekatan ganda. Artinya menggabungkan dua macam pendekatan atau lebih dalam mengefektifkan kedekatan dengan budaya kelompok minoritas. Hal ini sering dilakukan Kiai Sholeh. Dia menandaskan bahwa sebenarnya dalam suatu kegiatan seringkali secara tidak sengaja ternyata menggunakan beberapa

pendekatan bercampur menjadi satu, misalnya ada pendekatan akhlak, kemanusiaan, keterbukaan,

keakraban, persaudaraan dan teposliro.3 5

Penggabungan pendekatan ini terkadang tidak disengaja maupun disengaja. Penggabungan pendekatan yang tidak disengaja agak sulit dideteksi, sedangkan penggabungan pendekatan yang dilakukan secara sengaja dengan desain tertentu relatif lebih mudah mendeteksinya.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam mengaktualisasikan pemikiran Islam multikultural yang dilakukan dengan cara mendekati budaya kelompok minoritas, sehingga Kiai Sholeh benar-benar bisa akrab dengan tokoh-tokoh dan orang-orang non Muslim, adalah ditempuh dengan menggunakan penggabungan beberapa pendekatan dalam satu kegiatan dan bersinergi mensukseskan kegiatan tersebut.

c. Tantangan Aktualisasi Pemikiran

Multikul-tural dalam Membangun Harmonisasi

Masyarakat

Upaya mengaktualisasikan pemikiran Islam multikultural seringkali menghadapi sejumlah tantangan meskipun merupakan upaya yang mulia karena dalam rangka membangun harmonisasi masyarakat. Hanya saja upaya tersebut dilakukan dengan mendekati budaya minoritas, yang sensitif bagi orang-orang tertentu sehingga mereka

menentangnya kendatipun yang mendekati budaya itu kiai. Kasus yang lazim terjadi bahwa dalam mendekati budaya minoritas terdapat tantangan dari jamaah sendiri, karena mereka belum bisa memahami sepenuhnya terhadap pemikiran kiainya. Dalam hal ini Kiai Sholeh mengatakan:

Tantangan memang ada. Akhirnya saya jawab dalam kitab Jawabul Masail itu. Kalau soal dalil ini, tetapi kalau praktek ingin rukun, aku contohnya. Aku pernah bodoh, ketika masih menjadi Gus dulu. Kalau Gus masih bodoh

pantes. Tapi kalau kiai tidak boleh bodoh.3 6

Saling menghormati dan saling melindungi merupakan sikap dan perilaku yang luhur dan mulia. Hal ini juga diajarkan Nabi Muhammad Saw pada seluruh umat manusia agar dalam kehidupan ini terasa indah dan menyejukkan, tercipta kedamaian dan ketenteraman. Ajaran ini tercermin ketika Nabi Muhammad menyambut kedatangan tamu Kristen dari Najran. Ketika itu Nabi memperlakukan mereka dengan sangat hormat, bahkan surbannya dibentangkan dan mereka dipersilahkan duduk di atasnya sambil berbincang-bincang dengan penuh keharmonisan tanpa

adanya perbedaan.3 7

3 Wawancara dengan Kiai Sholeh, 07 Juli 2019. 6

3 Santri Pondok Pesantren Ngalah, Ensiklopedi Fiqih Jawabul Masail 7

Bermadzhab Empat Menjawab Masalah Lokal, Nasional, dan Internasional,

Meskipun demikian bukan berarti pemikiran Kiai Sholeh tidak ada tantangannya. Amin melaporkan bahwa kalau ada yang pernah mondok dan pernah kuliah lalu dia sering kontra dengan Kiai Sholeh. Dia sesungguhnya alumni tetapi tidak sempat lulus dari Pesantren Ngalah. Hanya sekolah SMK terus keluar dan mendapatkan pekerjaan di Bandung. Kakaknya ikut FPI. Sekarang alumni tersebut pulang ke Purwosari. Lha up load-an FB alumni tersebut terus saja menentang pemikiran dari Pesantren Ngalah. Dia itu FPI minded, akhirnya

menolak pemikiran Kiai Sholeh.3 8

Adanya tantangan dari jamaahnya sendiri terhadap pemikiran Islamnya Kiai Sholeh yang direalisasikan dalam wujud mendekati budaya minoritas menunjukkan bahwa terdapat jamaah yang tidak sepaham dan tidak segaris dengan model pemikiran dan kebijaksanaan Kiai Sholeh, sehingga dia harus menolak pemikiran Kiai Sholeh itu sebagai konsekuensinya. Dalam posisi demikian, ia tidak mungkin bertahan di Pesantren Ngalah sehingga ia keluar untuk menghindari benturan-benturan pemikiran yang lebih keras lagi. Kemudian ia mengembangkan pemikiran radikalis dan eksklusif yang bertentangan secara diametral dengan pemikiran Islamnya Kiai Sholeh yang dikenal multikulturalis dan inklusif.

Di samping tantangan terhadap aktualisasi pemikiran multikultural berasal dari jamaahnya sendiri, tidak jarang tantangan justru mengembang yang bisa muncul dari umat Islam yang berada di luar jamaahnya. Apalagi aktualisasi pemikiran Islam tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap mendekati budaya minoritas. Kiai Sholeh pernah menghadapi tantangan semacam ini.

Memang pernah ada tantangan itu. Tapi saya biarkan saja, sebab begitu mengetahui pemikiran Abah saya maka langsung paham. Jadi fatabluhu (sampaikanlah ia). Ini dalam masalah praktek lho. Apabila saya bukan keturunan Kiai, mereka pasti protes: ini pikiran aneh-aneh saja, sikat saja. Saya itu hanya mengikuti saja. Numpang ikut. Sekarang ini juga sekedar ikut. Kamu ini ikut

Kiai Sholeh.3 9

Akhirnya, tantangan itu meredup dengan sendirinya lantaran tidak ditanggapi secara serius oleh Kiai Sholeh. Untungnya dahulu di Pesantren Ngalah telah muncul pemikiran Islam multikulturalis yang dirintis oleh Abah maupun Embahnya Kiai Sholeh. Kiai Sholeh beruntung karena meneruskan perjuangan leluhurnya. Andaikan pemikiran dan tindakan multikulturalis itu pertama kali ditampilkan Kiai Sholeh, kemungkinan besar tantangan yang bersumber dari umat Islam lebih keras lagi. Apalagi posisi Kiai

Sholeh berada di Pasuruan yang banyak juga pemikiran Islam fundamentalis dan radikalis.

Selanjutnya tantangan-tantangan itu muncul dari tokoh-tokoh agama Islam (ustadz, kiai, atau habib) yang memiliki pandangan berbeda apalagi bertentangan dengan pandangan Kiai Sholeh dalam mempersepsi budaya minoritas. Ketika hal ini peneliti tanyakan kepada Kiai Sholeh, terang-terangan mengakui:

Iya pernah, bahkan sering. Saya dianggap tersesat, karena sering ke gereja. Kalau saya ini dikritik kiai-kiai Pasuruan, saya hanya ingat bahwa dulu saya pernah bodoh di hadapan Bapak. Aku pernah bodoh seperti anda sekalian ini. Persis bodohnya. Ketika dipanggil Gus, maklumlah masih bodoh, lha

kalau dipanggil kiai harus pinter.4 0

Amin melaporkan bahwa habib atau kiai lain memprotes secara terbuka itu juga pernah. Kiai pernah menanggapinya dengan kata-kata: Wong kiai jamaahnya hanya sepuluh, santrinya hanya lima puluh”. Kiai menantang perjuangannya dengan proses mendirikan TK sampai dengan Universitas ketika merespons tantangan dari orang-orang luar. Protes orang-orang luar itu menyerang pemikiran non Muslim dan kedatangan artis-artis bercelana pendek, kemudian menyanyikan Haleloya di depan rumah Kiai itu

sambil berfoto ria. Sang pastur mengatakan, “lagu

Haleloya ya?”, “Iya, silahkan-silahkan”. Akhirnya

sambil gitaran terus nyanyi Haleloya. Akhirnya kiai dari luar memprotes, “Kiai cap apa itu kok seperti

itu?”4 1

Kasus ini menunjukkan adanya pertentangan pemikiran, pemahaman dan tindakan antara sesama tokoh agama Islam. Hal ini akibat adanya perbedaan mendasar antara Kiai Sholeh dengan kiai-kiai maupun habib-habib yang menentangnya itu. Perbedaan itu terletak pada metode berpikir dalam mempersepsi minoritas dan budaya yang berkembang di kalangan mereka. Sepanjang metode berpikir itu tidak berhasil disatukan, maka pertentangan pemikiran Islam itu senantiasa berlangsung terus.

Sementara itu mengenai tantangan dari kalangan minoritas terhadap pemikiran dan tindakan Kiai Sholeh, misalnya semacam kecurigaan mereka terhadap Kiai Sholeh, karena tidak lazim ditempuh oleh kiai pada umumnya. Hal ini mendorong peneliti untuk menanyakan kepada Kiai Sholeh.

Tidak pernah ada. Sebab mereka sudah memahami perilaku Bapak. Justru kalau saya menjauhi minoritas itu, mereka malah menegur saya sambil mengingatkan bahwa Kiai Bahruddin dulu tidak seperti itu. Lha ini sering diajak ke

rumah orang-orang Kristen seperti Pak Asra, Pak Dullah, Bu Ifa. Kalau hari raya Bapak itu biasa sowan ke teman-temannya Kristen. Di Gresik juga disowani.4 Maka cara yang saya tempuh itu sudah 2 dibangun Bapak saya. Bapak itu akrab sekali dengan Romo-romo itu. Sementara itu mereka sudah saya omongi. Jangan masuk Islam supaya jangan salah paham. Nanti kalau anda masuk Islam, terjadi demo 212. Itu minimal, sedangkan maksimalnya ngebom. Pernah ada kasus rame-rame karena bikin gereja, sebagaimana dialog antara Abahnya Kiai Sholeh (kiai Bahruddin) dengan orang Kristen itu sebagai berikut:

Kiai Bahruddin : katanya mau bikin gereja. Orang Kristen : Betul pak Kiai.

Kiai Bahruddin : Ini suamimu, ayo Salim begini ya, kalau membikin gereja maka ngomong dulu sama saya supaya tidak gejolak seperti ini Nduk. Kenapa tidak memberi tahu aku?

Orang Kristen : Takut pak Kiai?

Kiai Bahruddin : Lha kenapa takut. Ya sudah saya tanda tangani, teruskan membangun gereja, sampaikan kepada orang-orang yang bergejolak itu. Waktu itu saya (Kiai Sholeh) baru pulang dari mondok di Mranggen langsung protes:

Abah bagaimana kok begini keputusannya. Abah ini tidak bener.

Kiai Bahruddin : Kamu ini dari pondok, dari Kiai Mustain, dari Mranggen, Semarang. Saya pondokkan lagi nanti kamu.

Kiai Sholeh : Saya ini sering benturan sama bapak. Saya kira, saya ini sudah alim, alumni Batokan Mranggen. Saya kira bapak yang salah, ternyata ilmu saya masih jauh dari bapak.

Kiai Bahruddin : Jika kamu tetap bodoh, saya pondokkan lagi kamu. Kiai Sholeh : Begitu katanya bapak. Di

kitab ada, Sanatul Islam. Bapak itu kalau memarahi saya serius sekali. Maka kalau ada kiai-kiai yang protes terhadap pikiran dan tindakan saya tersebut, saya hanya tersenyum. Sebab aku juga pernah bodoh seperti kamu. Ini pengalaman dari

bapak.4 3

Tidak adanya tantangan maupun reaksi negatif dari minoritas ketika Kiai Sholeh mendekati budaya mereka sangat bisa dipahami, sebab tindakan Kiai Sholeh itu justru menguntungkan keberadaan dan kelangsungan minoritas maupun

budayanya. Keraguan dan kecurigaan pun tidak muncul, karena leluhurnya Kiai Sholeh telah terkenal di masyarakat sebagai kiai-kiai yang memiliki pandangan multikulturalis dan inklusif, sehingga berkawan akrab dengan minoritas. Kiai Sholeh hanyalah meneruskan pola dan strategi perjuangan leluhurnya itu.

Mengenai tantangan kecurigaan umat Islam terhadap pemikiran dan tindakan Kiai Sholeh dalam mendekati budaya minoritas sebenarnya bagi yang mengenal sepak terjang leluhurnya tidak kaget. Kiai Sholeh menceritakan bahwa kalau ada orang menanyakan tentang beliau. Intinya bertanya apakah beliau putra dari Kiai Bahruddin. Ketika dijawab “ya”, maka orang langsung paham. Kiai Bahrudin memiliki karakter mirip dengan Kiai Sholeh. Bapak beliau ternyata mendapatkan sikap yang sama dari Embahnya Kiai Sholeh. Jadi sesungguhnya telah ada fondasi dari para sesepuh sebelumnya. Kiai Sholeh mengakui bahwa kalau tidak dibangun oleh para sesepuh, beliau tentu akan menghadapi kesulitan. Kiai Sholeh bercerita bahwa Gereja Ngoro Mojokerto itu yang menandatangi adalah Embah beliau. Kuburan Cina di Juwet Porong itu juga Embah beliau karena jaraknya dengan pondoknya Embah beliau hanya 100 meter. Maka Embah beliau tanda tangan. Karena latar belakang yang semacam ini maka Kiai Sholeh menyatakan bahwa sempat muncul ungkapan, “Maklum putranya Kiai Bahrudin. Justru

kalau putranya Kiai Bahrudin tidak seperti ini

aneh”.4 4

Selain menghormati dan melindungi semua orang baik sesama maupun berbeda agama, al-Qur’an pun juga memerintahkan kepada umat Islam untuk melindungi tempat-tempat ibadah agama lain, dalam arti tidak merusaknya, tidak

membakarnya, atau tidak menghancurkannya.4 5

Al-Qur’an memerintahkan kaum Muslim agar melindungi non Muslim beserta tempat-tempat ibadah mereka, dan melarang untuk merusak, membakar, apalagi menghancurkan tempat-tempat ibadah agama lainnya. Sebagaimana firman

Allah dalam surat al-Hajj: 40.4 6

Dengan demikian, tantangan lantaran kecurigaan terhadap Kiai Sholeh itu riil ada. Hanya saja tantangan kecurigaan itu berasal dari orang-orang Islam yang belum pernah mengenali leluhur Kiai Sholeh, sebagai kiai-kiai besar bahkan mursyid

thariqah. Bagi Muslim yang belum mengenalinya

atau pendatang baru merasa kaget dengan pemikiran, pemahaman, perilaku dan tindakan Kiai Sholeh dalam hubungannya dengan minoritas dan budayanya. Namun tidak demikian bagi orang-orang Islam yang telah mengenal apalagi dari jarak dekat dengan leluhurnya Kiai Sholeh. Maka beban

4 Wawancara dengan Kiai Sholeh, 07 Juli 2019. 4

4 Pesantren Ngalah, Insiklopedi Fiqih, h. 19. 5

psikologis pengasuh Pesantren Ngalah ini menjadi teringankan karena rintisan dari para leluhurnya. Sementara Allah sendiri memerintahkan untuk melindungi orang-orang non Muslim berikut tempat-tempat ibadah mereka dan melarang untuk merusaknya.

Mengenai tantangan pemahaman umat Islam terhadap aktualisasi pemikiran Islam multikultural yang ditampilkan Kiai Sholeh dalam membangun kehidupan masyarakat yang harmonis yang dilakukan dengan cara mendekati budaya minoritas itu, perlu memahami latar belakang pemikiran leluhurnya. Kiai Sholeh mencerikan tentang sikap kakeknya:

Embah dulu tahun 1918 mulai berada di Juwet Babad. Apabila jumatan di masjid Jami’ Porong, pulang dengan Cina-cina yang ngajak mampir. “Mampir Mbah”, sudah semuanya,

al-fatihah, laris. Bagi yang bukan Muslim,

dikatakan: sudah laris-laris. Maka pulang dari jumatan, sakunya itu penuh duwit, disangoni Cina-cina itu, bisa digunakan membangun

pondok dan masjid. 4 7

Ini kisah kakeknya Kiai Sholeh, dan dijadikan pegangan oleh Kiai Sholeh dalam mendekati budaya minoritas. Bagaimana seharusnya bersikap kepada pemeluk agama lain dan budaya mereka, Kiai Sholeh memiliki contoh yang baik dan

benar dipraktikkan dalam membangun relasi dengan berbagai pemeluk agama lainnya. Kisah tersebut memberikan pemahaman bahwa semua orang dari pemeluk agama apapun harus diperlakukan melalui sikap yang baik, sikap yang menimbulkan rasa senang pada orang lain yang diperlakukan tersebut. Dalam kisah tersebut, orang-orang Cina merasa senang dengan perilaku kakeknya Kiai Sholeh sehingga banyak yang memberikan uang untuk membangun tempat ibadah maupun tempat pendidikan.

Adapun tentang tantangan perilaku umat Islam ketika Kiai Sholeh mendekati budaya kalangan minoritas sebagai upaya mewujudkan kehidupan masyarakat yang harmonis, ternyata