• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalaman Islam Menghadapi Multikulturalisme

BAB II KAJIAN TEORI

H. Membangun Harmonisasi Masyarakat

I. Pengalaman Islam Menghadapi Multikulturalisme

mereka yang memperjuangkan ide pluralisme–sejak awal berdirinya telah mempunyai kenyataan hidup dalam lingkungan plural, dan bahkan telah mengembangkan pluralisme dalam batas-batas kontekstual pada waktu itu. Ada yang disebut ‘akar pluralisme dalam Islam’. Akar-akar inilah yang telah, sedang, dan terus dikembangkan kalangan intelektual Islam inklusif, sehingga diharapkan bisa

mapan menjadi pandangan Islam tentang pluralisme.9 4

Kehidupan umat Islam di bawah kepemimpinan Nabi secara langsung di Madinah sebagai bukti dan saksi sejarah bahwa Islam sejak awal telah menghadapi kehidupan masyarakat yang plural dan multikultural. Nabi berupaya keras untuk mempertahankan kehidupan masyarakat plural dan multikultural itu dengan mengedepankan sikap toleransi terhadap kelompok lain, pemeluk agama lain, dan pemilik budaya lain meskipun tidak sejalan dengan ajaran Islam.

Islam dalam bergumul dengan masyarakat plural maupun multikultural bukan hanya secara kebetulan semata, melainkankan Islam telah memiliki pranata sosial dan politik yang terdesain secara rapi. Al-Qur’an sebagai

konsultan dan tempat konsultasi bagi umat Islam telah memberikan seperangkat aturan hidup bermasyarakat yang beragam kebudayaannya. Kemudian hadits Nabi mengimplementasikan pesan-pesan al-Qur’an itu secara mendetail dan memperkokoh pesan-pesan al-Qur’an tersebut sebagai undang-undang yang berlaku bagi umat Islam.

Menurut Muhammad Kasim, secara dogmatis, esensi multikultural dapat dilihat dari beberapa hal: (1) manusia memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah, yang membedakan adalah kualitas ketakwaannya (Q.S. al-Hujurat; 13); (2) umat Islam diperintahkan untuk senantiasa berbuat baik dan menegakkan keadilan meskipun kepada non Muslim (Q.S. al-Mumtahanah: 8); (3) Islam mengajarkan bahwa orang yang berhubungan baik secara vertikal (habl

min Allah) atau berhubungan baik secara horizontal (habl min a-nas) akan terhindar dari kehinaan (Q.S. Ali Imran:

112); dan (4) ajaran Islam memberikan perhatian yang amat

besar terhadap urusan sosial.9 Empat macam ketentuan ini 5 memiliki implikasi yang besar dalam mengarungi kehidupan

multikultural manakala dijadikan prinsip dalam kehidupan bermasyarakat yang penuh keragaman dan perbedaan.

Adapun secara historis juga banyak bukti bahwa umat Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap umat yang berbeda baik suku, adat istiadat maupun agama; (1) esensi Piagam Madinah yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW merupakan bukti konkrit bahwa Nabi telah membangun multikultural dalam konteks pluralisme umat

beragama dan budaya yang dihasilkan menjadi sesuatu yang sangat penting sebagai upaya membangun peradaban dan keharmonisan hidup sesama manusia; (2) Nabi Muhammad Saw., senantiasa memotivasi umatnya untuk belajar membaca dan menulis, meskipun kepada pihak non-Muslim; dan (3) sejarah juga membuktikan bahwa pada masa kejayaan umat Islam, kelompok non-Muslim diizinkan untuk

belajar di perguruan tinggi Islam.9 6

Madinah ketika itu terdiri dari pemeluk tiga agama besar: Muslimin, Musyrikin dan Yahudi. Muslim terdiri dari kaum Anshar dan Muhajirin; golongan Yahudi terdiri dari Bani Nadir, Bani Qunaiqa’, dan Bani Quraizhah; sementara golongan Musyrikin adalah orang-orang Arab penyembah berhala.9 Nabi telah memberikan contoh hidup dalam 7 masyarakat yang majemuk itu. Bahkan sambil mengutip penjelasan Rasyid Ridha, Masjfuk Zuhdi melaporkan bahwa untuk kepentingan politik mempersatukan suku-suku bangsa Arab di samping untuk menimbulkan simpati mereka agar masuk Islam, Nabi telah menikahi Juwairiyah, putri al-Haris Kepala suku Bani Musthaliq, dan Shafiyah, seorang

tokoh dari suku Bani Quraizah dan Bani Nadir.9 Maka 8 sebagai Kepala Negara Madinah, sebagai pengalaman

pertama, Nabi langsung berhadapan dengan masyarakat yang plural dan multikultural. Bahkan Nabi telah sukses mendamaikan perang saudara antara Suku Aus dan Suku

9 Ibid., h. 225 6

9 Husein Muhammad, Islam Tradisional yang Terus Bergerak Dinamika 7

NU, Pesantren, Tradisi, dan Realitas Zamannya, Muhammad Ali Fakih (ed.),

(Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), h. 273

9 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 8

Khazraj yang telah membara terus sebelumnya hingga padam di tangan Nabi yang bijaksana.

Piagam Madinah pada intinya merupakan perjanjian hidup bersama dalam kedamaian dan saling menghormati diantara penduduk Madinah, terlepas dari apa latar belakang

identitas sosial dan keyakinan agama warganya.9 Maka 9 Piagam Madinah itu merupakan piagam modern karena

berisi tentang cara-cara menempuh kehidupan sosial dan kehidupan politik dengan mengedepankan kesetaraan antara umat Islam dengan orang-orang Yahudi. Dalam piagam itu tidak ada diskriminasi sama sekali terhadap orang-orang Yahudi meskipun dirancang oleh Nabi. Demikian juga di dalamnya juga tidak ada klausul yang mengistimewakan umat Islam. Spirit Piagam Madinah ini dapat dijadikan model oleh pemimpin-pemimpin negara Muslim di era modern sekarang ini.

Mesir dapat dijadikan sebagai salah satu prototipe negara multikultural, yang mampu memadukan antara komunitas keagamaan dan komunitas kebudayaan. Bahkan akulturasi di antara pelbagai kebudayaan telah menjadikan Mesir sebagai salah satu negara yang mayoritas penduduknya Muslim, tetapi mampu mempertahankan

keragaman.1 Hanya saja sejarah mencatat Mesir gagal 0 0

mewujudkan demokrasi sebagai wadah multikulturalisme setelah mengkudeta pemerintahan Mursyi yang dihasilkan melalui Pemilihan Umum pertama di Mesir yang paling demokratis.

9 Muhammad, Islam Tradisional, h. 274 9

Indonesia lebih dari sekadar Mesir. Justru Indonesia adalah contoh terkemuka dalam mewujudkan negara maupun masyarakat multikultural. Indonesia telah memberikan contoh penerapan multikulturalisme baik dalam bermasyarakat maupun bernegara. Orang-orang Islam meskipun sebagai kelompok mayoritas, tetapi banyak di antara mereka yang gigih melakukan pembelaan terhadap kelangsungan budaya dan agama minoritas. Kelompok-kelompok Islam liberal, Islam progresif, Gusdurian, akademisi Muslim, tokoh-tokoh NU, tokoh-tokoh Muhammadiyah, dan sebagainya tidak diragukan lagi telah memperjuangkan budaya minoritas.

Para peneliti seperti Gilroy, Benhabib, Wise dan Selvaraj menilai bahwa multikulturalisme di Indonesia lebih dipahami dan dipraktikkan bukan sebagai wacana filsafat dan politik yang diperdebatkan dalam lingkaran akademis dan dituangkan dalam jurnal-jurnal ilmiah. Juga bukan sebagai kebijakan publik seperti ‘affirmative action’ di Kanada, Australia, dan di beberapa negara Eropa, melainkan lebih sebagai ‘pengalaman dan perjumpaan yang hidup antar orang yang berbeda. Keseharian multikultur Indonesia dinilai cukup menyenangkan. Ideal kewarganegaraan multikultural dimainkan dalam konteks khusus tertentu, dengan cara-cara biasa dimana perbedaan budaya dipahami,

dibentuk, dialami dan dihargai.1 0 1

Tidak dapat diingkari bahwa dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, pesantren memainkan peranan transformasi sosial dan kultural. Pesantren selalu

menunjukkan apresiasi terhadap kebudayaan lokal. Pesantren mengambil sikap akomodatif terhadap kebudayaan-kebudayaan dan tradisi-tradisi lokal. Melalui ajaran-ajaran sufismenya, pesantren menganggap bahwa praktek-praktek tradisi dan ekpresi-ekpresi budaya dalam masyarakat bukanlah masalah sepanjang masih

mendasarkan diri pada prinsip tauhid.1 Sikap inklusif 0 2

pesantren ini mudah dipahami karena pesantren memiliki akar sejarah yang kuat. Sikap inklusif pesantren ini meneladani sikap yang telah ditunjukkan oleh para Wali khususnya Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang dalam bergumul dengan masyarakat yang majemuk.

Pranowo telah membuktikan, di Pesantren Tegalrejo, Islam tradisional dengan segenap ciri-ciri mistiknya, telah menciptakan ikatan yang begitu kuat antara pesantren dengan warga desa, termasuk mereka yang tidak melaksanakan ajaran Islam secara ketat, yang biasanya dikelompokkan oleh sebagian peneliti masyarakat Jawa

sebagai abangan.1 Uniknya di sini, meskipun pesantren 0 3

baik kiai, ustadz maupun santrinya menggelorakan semangat beribadah terutama ibadah shalat, tetapi pesantren bisa hidup berdampingan bahkan di tengah-tengah masyarakat abangan yang tidak melakukan shalat itu. Bagaimanapun ini merupakan bentuk sikap fleksibel yang diperankan oleh pesantren dalam memperkokoh multikulturalisme di Indonesia.

1 Muhammad, Islam Tradisional, h. 254-255 0 2

Pesantren relatif tidak pernah berkonflik dengan masyarakat Islam abangan itu, meskipun kulturnya berbeda. Pesantren membudayakan rajin beribadah, sedangkan Islam

abangan malas beribadah. Tampaknya malas beribadah ini

merupakan kata kunci yang membantu memahami hubungan harmonis antara pesantren dengan masyarakat Islam abangan itu. Setidaknya pesaantren dan masyarakat Islam abangan mampu mempertahankan kerukunan (tidak konflik) hingga sekarang ini. Malas beribadah itu memang kontras dengan rajin ibadah, tetapi Islam abangan itu karena faktor malas beribadah maka tidak mengusik dan tidak mengganggu pesantren secara keseluruhan. Nyatanya ketika putra-putri dari kalangan Islam abangan itu ikut shalat dan ngaji, ternyata orangtuanya yang Muslim abangan itu senang sekali dan merasa bangga.

Apabila dibanding kelompok Islam garis keras, kelompok Islam abangan dalam pandangan pesantren masih lebih bisa diajak hidup berdampingan. Karena Islam

abangan tidak mengganggu, sedangkan Islam garis keras

seringkali memvonis pesantren sebagai pencipta bid’ah dan tersesat. Bahkan jika memiliki kesempatan, Islam garis keras itu memiliki kemungkinan besar untuk menghancurkan tradisi dan budaya pesantren. Hanya sekarang belum melakukan karena komunitas pesantren dan para simpatisannya (jamaahnya) jauh lebih banyak daripada kelompok Islam garis keras.

75