• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : KAJIAN TEOR

B. Kajian E-Learning

2. Dasar Teori Pengembangan E-Learning

Dalam penerapan dan pemanfaatan E-Learning di dalam pembelajarantidak akan terlepas dari peran teori belajar dan pembelajaran. Terdapat beberapa teori yang melandasi pengembangan E-Learning, antara

a. Teori Kognitif

Teori ini memandang kegiatan belajar dan mendapat pengetahuan sebagai sebuah proses. Dalam teori belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan proses belajarnya (Asri Budiningsih, 2008: 34).

Dalam teori Jerome Bruner yaitu discovery learning bependapat bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik jika pendidik memberikan kesempatan kepada siswa secara bebas untuk menemukan konsep, teori, maupun materi yang sedang ia pelajari di dalam kehidupannya sehari-hari. Menurut Bruner (Asri Budiningsih, 2008: 41), perkembangan kognitif seseorang di bagi ke dalam tiga tahap berdasarkan cara melihat lingkungannya, yaitu: Pertama, tahap enaktif. Tahap dimana seseorang melakukan aktivitas sehari-hari dalam rangka memahami lingkungan melalui pengetahuan motoriknya. Kedua, tahap ikonik. Tahap dimana seseorang memahami lingkungannya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Ketiga, tahap simbolik. Tahap dimana seseorang memahami lingkungannya melalui simbol-simbol, seperti bahasa, logika, matematika, dsb.

Berdasarkan teori kognitif, E-Learning lebih menekankan pembelajaran yang berpusat pada proses. Siswa menjadi subjek utama dalam belajar dan pendidik bertugas sebagai fasilitator. Pada pembelajaran E-Learning, siswa dapat belajar menggunakan media apa

saja untuk membangun pengetahuannya secara mandiri. Sumbangsih teori kognitif terhadap perkembangan E-Learning ditinjau melalui penekanan proses belajar, dimana posisi E-Learning bukan hanya sebagai instrumen penilaian tetapi juga instrumen selama proses pembelajaran berlangsung.

b. Teori Konstruktivistik

Teori ini mendefinisikan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi pengetahuan manusia terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Asri Budiningsih (2008: 56) mengatakan, bahwa manusia akan mengkonstruksi dan membentuk pengetahuan mereka sendiri.

Menurut teori konstruktivistik, pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema (jamak: skemata) yang baru. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus-menerus.

Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan

landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara mendadak. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

Asri Budiningsih (2008: 58) menambahkan bahwa siswa harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna terhadap hal-hal yang sedang dipelajarinya.

Hal ini sejalan dengan pendapat Woolfolk dalam Alex Kohang (2009: 92) yang mengemukakan bahwa “students actively construct their own knowledge: the mind of the student mediates input from the outside world to determine what the student will learn. Learning is active mental work, not passive reception of teaching”.

Berdasarkan keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri. Sumbangsih teori konstrustivistik terhadap perkembangan E-Learning memandang bahwa sasaran program bukanlah orang yang polos tanpa pengetahuan dasar melainkan individu yang terus merekonsturksi, mengembangkan dan merefleksikan pengetahuan yang didapat.

Model pembelajaran E-Learning menuntut pada keaktifan siswa di dalam proses pembelajaran. E-Learning memberikan kebebasan dan keleluasaan bagi siswa untuk melakukan penjajakan materi, sehingga pembelajaran dengan model teacher oriented bergeser ke arah student oriented. Hal ini sejalan dengan konsep dasar teori konstrustivistik dimana guru atau pendidik bertugas sebagai pemantik pengetahuan supaya diasimilasikan oleh siswa itu sendiri.

c. Teori Sibernetik

Teori ini relatif baru dibandingkan teori-teori pembelajaran lainnya. Asri Budiningsih (2008: 81) memaparkan asumsi teori sibernetik yaitu belajar adalah pengolahan informasi, hal ini berarti sistem informasi yang diproses yang akan dipelajari siswa harus sangat diperhatikan karena informasi inilah yang akan menentukan proses. Asumsi lain dari teori ini adalah tidak ada satu proses belajarpun yang ideal untuk segala situasi dan semua siswa. Hal ini juga berarti semua program dan proses pembelajaran disesuaikan dimana konteks pendidikan berlangsung.

Asri Budiningsih (2008: 93) juga menambahkan bahwa teori sibernetik menyatakan adanya proses penyandian informasi (encoding), diikuti dengan penyimpanan informasi (storage), dan diakhiri dengan mengungkapkan kembali informasi yang telah disimpan dalam ingatan (retrieval).

Pask dan Scott dalam Asri Budiningsih (2008: 94) membagi tipe siswa dalam teori sibernetik kedalam wholist dan serialist. Siswa dengan tipe wholist mempelajari sesuatu dari yang paling umum menuju khusus sedangkan serialist berpikir menggunakan cara bertahap atau linear.

Berlandaskan pada teori sibernetik, maka E-Learning hendaknya juga melibatkan penekanan peran pentingnya sistem informasi yang disampaikan kepada siswa atau peserta didik untuk lebih mudah dipahami dengan memperhatikan karateristik siswa dalam memahami materi.

d. Teori Digital Native – Digital Immigrant

Pada kajian landasan teori kali, istilah digital native yang diperkenalkan Marc Prensky (2001) belum sepenuhnya menjadi teori namun untuk merujuk ke sebuah generasi yang berbeda dari apa yang ia sebut digital immigrants (pendatang digital). Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan dalam cara berpikir dan cara menggunakan pikiran untuk memroses informasi. Anak-anak yang digital sejak lahir terterpa teknologi komputer sejak usia amat dini sehingga Prensky bahkan yakin bahwa otak atau di dalam benak mereka berbeda dari generasi sebelumnya. Sebagai seorang pendidik, Prensky amat risau melihat kenyataan bahwa perbedaan ini tak disadari oleh sekolah-sekolah dan masyarakat secara umum, sehingga sering terjadi kesenjangan antara peserta didik dan pendidik.

Selwyn (2009: 32) mengkaji budaya dan gaya hidup yang khas di kalangan generasi muda dengan istilah seperti born digital (lahir sudah digital) dan net savvy (fasih berjaringan), ia menganggap bahwa konsep digital native tak dapat secara objektif menggambarkan budaya generasi muda dan teknologi yang mereka gunakan. Banyak klaim Prensky tentang keterampilan dan kefasihan generasi muda dalam menggunakan teknologi komputer tidak didukung oleh bukti-bukti empirik. Selain itu, diskusi tentang karakteristik digital native ini juga seringkali diwarnai oleh debat tentang moral dan ideologi sehingga lebih mencerminkan "kepanikan moral” (moral panic) di masyarakat katimbang konsep ilmiah tentang perilaku generasi muda saat ini.

Pernyataan Williams dalam Putu Laxman (2014: 4-5) menegaskan bahwa bagaimana teknologi sesungguhnya digunakan sehari-hari dan – jika teknologi itu adalah sebuah media – apa isi yang disampaikannya, tak dapat diabaikan dalam upaya memahami kehadiran maupun efeknya di sebuah masyarakat. Selain itu, Williams sangat berpegang pada pandangan bahwa semua teknologi muncul karena ada maksud dan tujuan, serta ada peran manusia sebagai pihak (dalam sosiologi, disebut agent) yang punya kuasa untuk menentukan. Maksud dan tujuan ini juga ada di dalam kelompok sosial untuk memenuhi hasrat atau tujuan mereka, sehingga setiap teknologi sebenarnya mengandung aspek historis dan budaya yang spesifik.

Oleh karena itu, kesimpulan yang didapatkan dari berbagai literatur yang melandasi pemikiran digital native – digital immigrant, bahwasannya dalam kajian teori ini menekankan peran perkembangan pengaruh teknologi terhadap kebutuhan psikologis, sosial, dan budaya yang secara perlahan mempengaruhi semua aspek pelaku pendidikan terutama pola berfikir siswa. Hal ini akan senantiasa berdampingan seiring berkembangnya inovasi dalam pendidikan baik melalui program pembelajaran maupun metode-metode pembelajaran.

Dokumen terkait