• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.2 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan adalah berupa kutipan-kutipan dari novel Laut Bercerita. Identitas sumber data yang digunakan adalah:

Judul : Laut Bercerita Pengarang : Leila S. Chudori

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta

Tahun Terbit : 2017 Tebal Buku : 379 halaman Ukuran :13,5 x 20 cm ISBN :978-602-424-698-5 3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah teknik baca dan teknik catat. Pengumpulan data pada penelitian ini diawali peneliti dengan membaca novel Laut Bercerita secara teliti kemudian mencatat hal yang berkaitan dengan tokoh, penokohan dan alur dalam novel tersebut, serta mengidentifikasi masalah yang akan dikupas, yaitu kekerasan fisik terhadap tokoh Laut.

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif yang artinya data terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar-gambar, bukan dalam bentuk angka-angka. Penggunaan kutipan-kutipan dalam novel juga diikutsertakan untuk mempermudah deskripsi data (Semi, 1993: 24).

Langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Membaca dan memahami isi novel Laut Bercerita karya Leila S.

Chudori secara berulang-ulang, cermat dan teliti.

2. Menentukan tokoh, penokohan, dan alur dalam novel.

3. Mengidentifikasi data yang berhubungan dengan bentuk kekerasan fisik yang akan dikaji dengan teori yang dikembangkan oleh Johan Galtung.

4. Menyajikan data dalam bentuk tabel dari hasil identifikasi.

5. Analisis data.

6. Mendeskripsikan data yang telah dianalisis ke dalam penelitian.

23 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Data

Dalam bab ini, secara keseluruhan hasil penelitian dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Hasil penelitian tersebut meliputi (1) analisis struktural meliputi; tokoh (tokoh utama), penokohan (tokoh utama) dan alur yang membentuk jalannya cerita dalam novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori.

(2) analisis bentuk kekerasan fisik yang dialami tokoh Laut.

4.2 Analisis Struktural 4.2.1 Tokoh

Yang dimaksud dengan tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1988:

16). Dalam novel Laut Bercerita, terdapat banyak tokoh. Dalam penelitian ini penulis hanya akan meneliti tokoh utama sebab, fokus dari penelitian ini adalah kekerasan fisik terhadap tokoh utama.

4.2.1.1 Tokoh Utama

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaanya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik dari segi pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian dan konflik. Peran tokoh utama adalah sebagai penentu perkembangan jalannya cerita secara keseluruhan.

Berdasarkan analisis yang dilakukan, tokoh utama dalam novel Laut Bercerita adalah Biru Laut.

Dalam novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori, Biru Laut berperan sebagai tokoh utama. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan dan menjadi perhatian pengarang. Ia dikenai kejadian dan menjadi penggerak jalannya cerita. Novel ini menceritakan kehidupan Laut yang tergabung dalam sebuah organisasi yang kemudian dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Laut kemudian ditangkap, disiksa secara keji dan dihilangkan secara paksa (dibunuh).

4.2.2 Penokohan Tokoh Utama

Menurut Nurgiyantoro (2007: 66) istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam cerita. Berdasarkan analisis yang dilakukan, penokohan tokoh utama dalam novel Laut Bercerita adalah sebagai berikut:

Secara fisik Laut digambarkan sebagai pria yang betubuh tinggi. Berikut kutipan yang menjelaskan Laut secara fisik:

Kakakku yang bertubuh tinggi, berbau matahari, berkeringat dan lapar (Chudori, 2017: 234).

Meski dari jauh, aku mengenali rambutnya yang berminyak, tak beraturan, dan pasti jarang menyentuh sisir (Chudori, 2017: 234).

Dalam kutipan-kutipan di atas, melalui Asmara Jati dapat diketahui bahwa secara fisik Laut adalah pria yang bertubuh tinggi, berbau matahari, memiliki rambut yang berminyak dan tak beraturan. ia adalah kakak sulung Asmara Jati. Ia merupakan Sosok kakak yang menyebalkan bagi adiknya. Berikut ini kutipannya:

Tapi Mas Laut adalah kakak sulung. Tentu saja bukan Mas Laut kalau dia tidak memecahkan gelembung fantasi yang tergambar begitu indah di antara kami berdua. Dengan suara keras–terus terang agak norak- dia berseru, Kami akan pindah ke Jakarta, Mar!”

(Chudori, 2017: 272).

“Ya.” Alex berdiri dan pindah ke sebelahku.

“Sudah tahu mau ambil spesialis apa?” Mas Laut mendadak membelokkan pembicaran dengan brutal. Aku melirik jengkel. Dia pasti tak igin aku menyukai lelaki manapun di dunia ini. “Mas Laut selalu menganggap aku harus merancang masa depan. Mas Laut beresin aja dulu skripsinya, ngapain ngurusi residensi saya, huh.”

Alex tertawa karena tahu betul abangku sebetulnya hanya ingin menggangguku (Chudori, 2017: 274).

Dalam kutipan di atas, membuktikan bahwa Laut adalah kakak sulung Asmara Jati. Bagi Asmara Laut adalah sosok kakak yang menyebalkan. Ia juga merasa tidak cocok dengan Naratama dan menyesal karena telah mencurigai bahwa Naratama adalah orang yang berkhianat pada Winatra. Berikut ini kutipannya:

Sebetulnya aku ingin bertanya pada Tama, adakah yang menenangkan mereka dengan mengatakan aku masih hidup.Tapi mulutku tetap terkunci. Aku tak tahu bagaimana membentuk kalimat perkawanan karena bertahun-tahun menjadi bagian dari Winatra, aku selalu berbicara sedikit mungkin dengannya. Bukan hanya persoalan Anjani, tetapi lebih karena aku tak pernah merasa cocok dengan gayanya (Chudori, 2017: 192).

Sedangkan mimpiku bersama Naratama adalah mimpi buruk dan membuatku berkeringat ingin menjerit.

Ke mana Naratama? Mengapa dia selalu tak ada ketika kami dalam keadaan genting? (Chudori, 2017: 91).

Aku menangis karena ketololanku, kedugaanku, menyangka bahwa semua kawan di Winatra, kecuali tama, adalah orang-orang bercita-cita sama, bertujuan sama (Chudori, 2017: 195).

Dalam kutipan di atas, membuktikan bahwa Luat merasa tidak cocok dengan Naratama dan menyesal telah mencurigainnya sebagai pengkhianat. Ia juga jago memasak. Berikut ini kutipannya:

Mas Laut mengeluarkan ulekan ibu dari lemari bawah, menggerus dua buah cabe besar, satu cabe keriting, lima cabe rawit, dua siung bawang putih, dan tiga siung bawang merah, sedikit terasi bakar, garam dan dua tetes minyak jelantah. Dengan semangat dia menguleknya di bawah tatapan Alex dan aku yang penuh liur karena sambal itu adalah kunci segalanya (Chudori, 2017: 284).

Dalam kutipan di atas, membuktikan bahwa Laut jago memasak. ia mengeluarkan ulekan ibunya dari lemari bawah, menggerus dua buah cabe besar, satu cabe keriting, lima cabe rawit, dua siung bawang putih, dan tiga siung bawang merah, sedikit terasi bakar, garam dan dua tetes minyak jelantah. Dengan semangat dia menguleknya di bawah tatapan Alex dan Asmara yang penuh liur. Ia juga suka menulis. Berikut ini kutipannya:

(1) Surat untuk Anjani 16 Agustus 1996 (Chudori, 2017: 202-204).

(2) Tulisan Rumah Susun Klender, 13 Maret 1998 (Chudori, 2017:

219-221).

(3) Anjani 12 Desember 1996 (Chudori, 2017: 209-2011).

(4) Surat Untuk Anjani. Yogyakarta, Juli 1997 (Chudori, 2017: 215).

(5) Surat untuk Asmara (Chudori, 2017: 264-370).

Kutipan-kutipan di atas, dapat membuktikan bahwa Laut suka menulis. Ia menyayangi keluarganya dan menuangkannya melalui tulisan surat-surat diatas.

4.2.3 Alur

Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau yang menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain yang tidak dapat diabaikan

karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya (Stanton, 2007:26). Alur sebuah karya fiksi sering tidak menyajikan urutan peristiwa secara kronologis dan runtut, melainkan penyajian dapat dimulai dan diakhiri dengan kejadian yang mana pun juga, tanpa ada keharusan untuk memulai dan mengakhiri dengan kejadian awal dan akhir (Nurgiyantoro, 1998: 141).

Dalam novel Laut Bercerita dapat diketahui bahwa jalan cerita atau alur cerita yang disajikan tidak berurutan secara kronologis namun memiliki hubungan kausalitas. Setiap pergantian bab menampilkan latar tempat, waktu maupun peristiwa yang berbeda, menimbulkan jalan cerita terlihat seperti terpotong-potong. Apabila dicermati dan ditelusuri alur yang ada dalam novel Laut Bercerita, maka sebenarnya ada dua bagian cerita yang terpisah tetapi memiliki kausalitas dan penyatuan yang utuh. Kedua bagian cerita tersebut memiliki peristiwa-peristiwa yang tidak sama, namun saling berhubungan erat satu dengan lainnya.

Dalam bagian cerita pertama, pengarang mengisah tokoh Laut sebagai tokoh utama. Tokoh Laut diceritakan sebagai mahasiswa Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada yang tak gentar melakukan aksi bawah tanah bersama sejumlah teman-temannya yang tergabung dalam gerakan mahasiswa Winatra dan Wirasena. Melalui organisasi tersebut, Laut dan kawan-kawannya merintis berbagai gerakan seperti mendistribusikan dan mediskusikan buku-buku Pramodya, menggelar diskusi mengenai strategi-strategi perlawanan, hingga aksi tanam jagung di Blanguan sebagai bentuk solidaritas terhadap petani. Gerakan-gerakan tersebut disusun secara berhati-hati agar tidak tercium oleh aparat, tetapi

akhirnya gagal akibat pengkhianatan dari dalam tubuh Winatra. Laut dan aktivis mahasiswa lainnya terpaksa bersembunyi dari kota ke kota menggunakan nama samaran karena Winatra dan Wirasena dinyatakan sebagai organisasi terlarang.

Jakarta, Maret 1998 di sebuah senja, di sebuah rumah susun di Jakarta, Biru Laut disergap empat laki-laki tak dikenal. Bersama kawan-kawannya, Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dia di bawa ke sebuah tempat yang tak dikenal. Laut dan teman-temannya harus menghadapi keberingasan siksaan tentara dan juga kegelapan sel bawah tanah. Berbulan-bulan mereka disekap, diinterogasi berjam-jam, dipukul, ditendang, digantung dan disetrum agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting: siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu. Dan akhirnya ketika Laut dibawa pergi secara paksa dan dibunuh dengan cara yang paling tragis, ditenggelamkan untuk bersemayam di dasar laut.

Pada bagian cerita kedua, pengarang memosisikan tokoh Asmara Jati sebagai narator setelah kematian Biru Laut. Dalam novel bagian kedua, pengarang menceritakan keadaan keluarga melalui tokoh Asmara Jati. Diceritakan bahwa keluarga Arya Wibosono menagalami trauma berat akibat kehilangan anak, kakak, teman, dan kekasih tercinta Biru Laut bersama kawan-kawannya. Di dalam novel diceritakan bahwa keluarga Arya Wibisono, seperti biasa, pada hari minggu sore memasak bersama, menyediakan makanan kesukaan Biru Laut.

Sang ayah akan meletakkan satu piring untuk dirinya, satu piring untuk sang ibu, satu piring untuk Biru Laut, dan satu piring untuk si bungsu Asmara Jati.

Mereka duduk menanti dan menanti. Tapi Biru Laut tak kunjung muncul. Selain

itu, pada latar Jakarta tahun 2000, pengarang menceritakan Asmara Jati, adik Biru Laut, bersama Tim Komisi Orang Hilang yang di pimpin Aswin Pradana mencomba mencari jejak mereka yang hilang serta merekam dan mempelajari testimoni mereka yang kembali. Anjani, kekasih Laut, para orang tua dan istri aktivis yang hilang menuntut kejelasan tentang anggota keluarga mereka.

Hal yang dapat disimpulkan pada penelitian alur tersebut adalah untuk mengetahui kisah tentang tokoh Laut. Kisah hidupnya bersama teman-teman yang tergabung dalam gerakan Winatra dan Wirasena penuh dengan kekerasan dan penderitaan yang di alami. Dari penelitian alur dapat diketahui Laut di culik, di siksa dan di hilangkan secara paksa (Dibunuh).

1.2.3.1 Tahapan Alur

1. Pengenalan (Exposition atau Orientasi).

Tahap pengenalan merupakan tahapan awal cerita yang di gunakan untuk mengenalkan tokoh, latar situasi dan waktu dan lain sebagainya. Dalam bagian pertama novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori memiliki beberapa tokoh yang mempengaruhi alur cerita diantaranya ada tokoh utama yaitu Laut serta tokoh tambahan Sunu, Daniel, Alex, Kinan dan Gusi. Alur cerita yang digunakan pada tahap ini adalah alur campuran. Melalui flashback Laut menceritakan kisah masa lalunya bersama teman-temannya ketika mencari tempat untuk berdiskusi dan bermalam dengan aman, jauh dari intaian Intel, karena peristiwa penangkapan tiga aktivis di Yogyakarta masih menghantui mereka. Berikut ini kutipannya:

Suara ketukan itu berirama. Aku baru menyadari, bunyi ketukan halus itu datang dari jari-jari Sunu pada pintu calon rumah kami di Seyengan (Laut Bercerita, 2017: 10).

Ah...rambut Sunu masih pendek dan rapi. Tahun berapakah ini?

Kawan-kawanku tampak masih muda, aku terlempar ke masa mahasiswa ketika kami masih mencari-cari tempat untuk berdiskusi sekaligus bermalam dengan aman, jauh dari intaian intel. Peristiwa penangkapan tiga aktivis Yogyakarta tiga tahun sebelumnya masih terasa panas dan menghantui kami (Chudori, 2017: 10).

Pada tahap ini melalui cerita Laut, Chudori mengenalkan kepada pembaca bagaimana situasi rumah hantu di Seyengan yang menjadi markas Winatra selain itu, pada tahap ini Chudori juga mengenalkan tokoh lain sebagai tokoh tambahan lewat tokoh Laut. Berikut ini kutipannya:

Selain itu, Kinan adalah senior kami. Usianya dua tahun lebih tua mengenal Kasih Kinanti setahun lalu di kios Mas Yunus, langganan kami berbuat dosa (Chudori, 2017: 17).

2. Tahap Permunculan Konflik (Rising Action).

Tahap permunculan konflik merupakan tahap dimunculkannya masalah.

Pada tahap ini sudah ada permunculan konflik. Alur campur digunakan pada tahap ini. Melalui flashback Laut menceritakan kembali masa lalu bersama kawan-kawannya mengalami masa-masa sulit saat berencana menjalan aksi tanam jagung di Blangguan tahun 1993. Kemudian diikuti cerita Laut di grebek dan ditangkap oleh empat orang di sebuah rumah susun di Jakarta tahun 1998. Berikut ini kutipannya:

Kami semua duduk diatas tikar tanpa bersuara karena Kinan dan Sunu meletakkan telunjuk ke atas bibir. Tentara sudah mulai masuk dan mengecek rumah-rumah mengecek rumah-rumah para petani satu per satu. Mereka menanyakan di rumah manakah para mahasiswa menginap dan tentu saja para petani berlagak heran.

Seketika entah bagaimana aku merasa bisa mendengar debar semua kawan-kawanu secara serempak (Chudori, 2017: 130).

Langkah mereka terasa semakin dekat rumah Bu Sumantri. Saat ini mereka tengah menggedorgedor rumah petani yang hanya beberapa puiluh meter dari kami. Senu dan aku samasama bangun dan mengintip dari balik jendela. Hanya dalam dua detik kami segera menghalau kawan-kawan untuk bersembunyi di mana saja, di bawah dipan, di balik lemari, atau di bilik Bu Sumantri karena beberapa orang tentara tampak berjalan kearah kami (Chudori, 2017: 131).

Tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pada pintu. Suara ketukan yang terdengar keras dan tak sabar. Aku langsung tak membukanya.

Jantungku mulai berdebar-debar. Perlahan aku melangkah ke kamar dan melongok ke arah luar jendela. Karena kamar kami berada di lantai dua rumah susun, aku bisa mengintip ke bawah. Kulihat ada beberapa lelaki berbadan kekar mengenakan seibo, penutup wajah wol (Chudori, 2017:52).

“Tak usa tanya-tanya, ikut saja”! bentak salah seorang yang bertubuh besar dan tinggi seperi pohon beringin. Jika aku sok rewel paasti pasti dia mudah sekali mencabut nyawaku. Jadi dengan dua lelaki kekar yang langsung mengiringiku, satu seperti pohon dan satunya lagi seperti raksasa, aku berusaha menggeliat memberontak. Tapi salah seorang dari mereka menodongkan sebuah benda dingin ke punggungku. Seluruh tubuhku terasa kaku karena aku tahu itu adalah moncong pistol (Chudori, 2017:52).

3. Tahap Konflik Memuncak (Turning Point atau Klimaks).

Tahap konflik memuncak merupakan tahap dimana permasalahan atau ketegangan berada pada titik paling puncak. Pada tahap ini konflik memuncak pada tahun 1993 sampai 1998 ketika Laut dan teman-temannya yang terjaring mendapat perlakuan kekerasan fisik yang berujung pada pembunuhan atau menghilangan secara paksa terhadap beberapa mahasiwa aktivis termasuk Laut.

Peristiwa kekerasan itu terjadi di sebuah markas tentara.

Pada tahap ini melalui tokoh Asmara Jati, Chudori menceritakan keadaan keluarga, kekasih yang mengalami trauma akibat penculikan tersebut. Berikut ini kutipannya:

“BANGUN LU!!”

Seember air es disiram ke sekujur tubuhku. Bangsat! Dengan segera sepasang tangan mengikat kain hitam penutup mataku dengan erat.

Aku dipaksa berdiri. Lantas sepasang tangan mengiringiku ke sebuah tempat tidur atau velbed, aku merasa tak jelas sampai akhirnya mereka memaksaku untuk berbaring. Tangan kiriku diborgol ke sisi velbed sedangkan kakiku diikat kabel (Chudori, 2017: 56).

Si Mata Merah memerintahkan mulutku untuk dibebat kembali.

Akhirnya ketika mobil berhenti, si Manusia Pohon menarikku keluar mobil. Aku mendengar debu ombak yang pecah, mencium aroma asin laut di antara angin yang mengacak rambut. Lalu di dalam kegelapan itu aku membayangkan ribuan ikan kecil berwarna kuning dan biru berkerumunan menantikan kedatangannku; puluhan ikan pari loncat ke atas permukaan laut menyambutku seperti seorang saudara yang telah lama pergi (Chudori, 2017: 229).

Sementara menanti, aku mengutak atik letak letak piring, sendok dan garpuku, barangkali kurang lurus, lalu duduk dan diam. Menanti.

Dan menanti (Chudori, 2017: 233).

Kami mulai mengunyah dan menanti. Menanti Biru Laut yang barangkali saja tiba-tiba saja muncul di permukaan pintu atau siapa tahu dia iseng meloncat melalui jendela. Kakakku yang bertubuh tinggi, berbau matahari, berkeringat dan lapar. Tetapi ini sudah tahun kedua kakak sulungku yang menghilang. Dan Biru Laut tak kunjung di muka pintu (Chudori, 2017: 234).

4. Tahap Konflik Menurun (Antiklimaks).

Tahap konflik menurun (Antiklimaks) merupakan tahap dimana masalah mulai dapat diatasi dan ketegangan berangsur-angsur menghilang. Dalam bagian ke dua novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori memiliki beberapa tokoh-tokoh yang mempengaruhi alur cerita diantaranya tokoh-tokoh Asmara Jati. Pada bagian kedua novel, Asmara Jati memosisikan diri sebagai narator setelah kematian Laut.

Selain Asmara Jati, adapun tokoh Alex, Anjani, Ibu, Bapak, Aswin yang kehadirannya juga ikut mempengaruhi alur cerita.

Pada tahap ini konflik mulai mereda pada tanggal 32 April 1998 ketika tokoh Asmara Jati mendapat kabar bahwa sebagian mahasiswa aktivis yang diculik dipulangkan. Berikut ini kutipannya:

Pada tanggal 32 April 1998, Aswin menelponku pada suatu subuh.

Alex selamat. Dia sudah pulang ke Pamangkayo. Aku begitu terkejut hingga hampir saja terjatuh dan segera bertumpu pada pegangan kursi (Chudori, 2017: 249).

Hanya beberapa hari sesudah kembalinya Alex, kami mendengar dari Tante Martha, ibunda Daniel bahwa dia juga sudah pulang ke rumah orang tuanya di Bogor. Semua komunitas Lembaga Swadaya Masyarakat baik yang berperan dalam berdirinya Komisi Orang Hilang membantu memastikan agar ada sebuah safehouse, karena kami mendengar kawan-kaawan yang hilang mulai berdatangan:

Naratama, Coki, Hamdan, Arga, Masagi, Hakim Subali, Harun da Widi Yulianto (Chudori, 2017: 294-250).

5. Tahap Penyelesaian (Resolsution).

Tahap penyelesaian merupakan tahap dimana konflik sudah terselesaikan sudah tidak adah permasalahan maupun ketegangan antar tokohnya karena telah menemukan penyelesaian. Pada tahap ini konflik mulai menghilang. Alur maju mundur digunakan pada tahap ini. Melalui flashback, penyelesaian konflik pada tahap ini di tandai dengan pengakuan Alex terhadap media, orangtua Laut dan Asmara Jati tentang apa yang terjadi. Cerita kemudian dilanjutkan pada tahun 2007 ketika para keluarga dan sahabat berorasi menuntut ham dihadapan Istana Negara setelah presiden Soeharto di lengserkan. Berikut ini kutipannya:

“Selama ini aku tak mampu membicarakan pesan Laut padamu karena hal itu mengingatkan hari-hari kami disekap di bawah tanah.

Maafkan cukup lama ini semua kusimpan. Alex menarik kursinya ke hadapan kursiku. Dia memegang tanganku dan menghela nafas (Chudori, 2017: 338)”.

“Aku sudah menceritakan kepada keluargamu ketika kami disekap di kerangkeng bawah tanah. Ada dua hal yang belum kuceritakan, karena terlalu mengganggu tidurku...Daniel dan aku hampir tak pernah membicarakan masa-masa kelam itubukan karena kami takut, tapi karena terlalu menusuk. Sudah empat tahun kami menympan sendiri kisah ini keji ini... aku rasa sudah waktunya aku berbagi denganmu” (Chudori, 2017: 338).

Pada kamis keempat, di awal tahun 2007 itu, dibawah matahari senja, dihadapan Istana Negara, kami berdiri dengan baju hitam dinaungi ratusan payung hitam. Kami tak berteriak atau melonjak, melainkan bersuara dalam diam. Keringat matahati sore membuat baju kami kuyup. Tapi itu malah membuat suasana semakin guyub.

Baram dan Aswin memberi pengarahan pada awal, sementara Daniel memegang toa sesekali memberi orasi pendek meski satu dua polisi gelisah karena para pengemudi mobil yang belalu jadi berjalan perlahan karena kepingin menonton. Naratama dan beberapa wartawan asing dan lokal bergerombolan memotret, merekam, dan mewawancarai para orang tua, Bram dan Aswin. Alex mencoba merekam foto para ibu, kakak, adik, keponakan, istri, kekasih yang memegang 13 foto-foto mereka yang belum kembali, diantaranya Sunu Dyantoro, Julius Sasongko, Gala Pranaya, Widi Yulianto, Kasih Kinanti, Narendra Jaya..(Chudori: 2017: 362-363).

Tiba-tiba, bahuku disentuh seseorang. Aku menoleh. Astaga! Ibu dan Anjani. Mereka mengenakan blus hitam, rok hitam, dan membawa foto Mas Laut. Ah....aku memeluk mereka seerat-eratnya (Chudori, 2017: 363).

Ini sebuah langkah baru untuk ibu. Seperti Anjani, ibu perlahan telah membuka pintu jagatnya yang selama ini tertutup dan bergabung bersama kami menuntut jawaban (Chudori, 2017: 363).

4.3 Analisis Bentuk Kekerasan Fisik Terhadap Tokoh Laut

Tindak kekerasan fisik bentuknya berupa kekerasan anatomis dan kekerasan fisiologis. Kekerasan anatomis bersifat menghancurkan, merobek, menembus, membakar, meracuni dan penguapan, sedangkan kekerasan fisiologis merupakan tindak kekerasan yang bertitik berat pada realisasi jasmani aktual yaitu, yang berfungsi untuk mencegah supaya mesin (manusia) itu tidak berfungsi.

Tindak kekerasan ini bersifat, meniadakan udara, meniadakan air, meniadakan

Tindak kekerasan ini bersifat, meniadakan udara, meniadakan air, meniadakan

Dokumen terkait