• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKERASAN FISIK TERHADAP TOKOH LAUT DALAM NOVEL LAUT BERCERITA KARYA LEILA S. CHUDORI (TINJAUAN STRUKTURAL) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEKERASAN FISIK TERHADAP TOKOH LAUT DALAM NOVEL LAUT BERCERITA KARYA LEILA S. CHUDORI (TINJAUAN STRUKTURAL) SKRIPSI"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

i

KEKERASAN FISIK TERHADAP TOKOH LAUT DALAM NOVEL LAUT BERCERITA KARYA LEILA S. CHUDORI

(TINJAUAN STRUKTURAL)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia

Oleh

Frumensisus Remi Korebima 141224027

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2019

(2)
(3)

KEKERASAN FISJK TERHADAP TOKOH LAUT DALAM NOVEL LAUT BERCERITA KARYALEILA S. CHUDORI

Ketua Sekretaris Anggota 1 Anggota 2 Anggota 3

(TINJAUAN STRUKTURAL)

Dipersiapkan dan disusun oleh Frumensius Remi Korebima

141224027

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 3 September 2019 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap

: Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum.

: Danang Satria Nugraha, S.S., M.A.

: Drs. Petrus Hariyanto, M.Pd.

: Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum.

: Drs. B. Rahmanto, M.Hum.

111

Tangan

(4)

iv MOTO

Selama masih bernafas, saya akan berusaha karena di mana ada usaha, di sana ada kemenangan.

Kegagalan bukanlah jalan buntu, tapi hanya jalan memutar.

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

 Kedua orang tua saya, Bapak Yosep Ola Lema dan Ibu Goreti Kewa yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan dalam mengerjakan skripsi ini.

 Kakak saya, Ignasius Sili Korebima dan Yohanes Soge Korebima.

 Adik tersayang, Roswita Ero Korebima.

 Rini Purnamasari Harefa.

(5)

Saya menyatakan dengan sesunggu,lmya bahwa skripsi yang saya tulis ini, tidak memuat karya atau bagaian dari karya orang lain, kecuali yang disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya penulisan karya ilmiah.

v

Yogyakarta,O September 2019

semi Korebima

1-,,", '-'

\

(6)

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Frumensius Remi Korebima

Nomor Induk Mahasiswa : 141224027

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberika karya Ini kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dhanna yang berjudul:

KEKERASAN FISIK TERHADAP TOKOH LAUT DALAM NOVEL LAUT BERCERITA KARYA LEILA S. CHUDORI (TINJAUAN

STRUKTURAL)

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpoa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalt kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Y ogyakarta

Pada tanggal 3 September 2019 Yang meny takan,

VI

(7)

vii ABSTRAK

Korebima, Frumensius Remi. 2019. Kekerasan Fisik terhadap Laut dalam Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori (Tinjauan Struktural).

Skripsi Strata Satu (SI). Yogyakarta: PBSI, FKIP, USD.

Penelitian ini mengangkat topik kekerasan fisik yang dialami tokoh Laut dalam novel Laut Bercerita. Penelitian ini bertujuan untuk (i) mendeskripsikan unsur tokoh, penokohan dan alur dalam novel Laut Bercerita karya Leila S.

Chudori (ii) mendeskripsikan bentuk kekerasan fisik pada tokoh Laut dalam novel Laut Bercerita.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif sehingga menghasilkan data berupa kutipan-kutipan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Penelitian ini menggunakan kajian struktural dan teori kekerasan Johan Galtung. Kajian sruktural digunakan untuk menganalasis tokoh, penokohan, dan alur. Teori kekerasan Galtung digunakan untuk menganalisis bentuk-bentuk kekerasan fisik pada tokoh Laut dalam novel.

Berdasarkan hasil penelitian novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori, dapat diambil dua kesimpulan sebagai berikut. Pertama, menggunakan kajian struktural untuk mengetahui tokoh (utama), penokohan (tokoh utama) dan alur.

Dari analisis data dapat disimpulkan bahwa tokoh utama dalam novel ini adalah Biru Laut. Peneliti menganalisis penokohan pada tokoh utama yaitu Biru Laut.

Dalam cerita, Biru Laut digambarkan sebagai pria yang betubuh tinggi, sosok kakak yang menyebalkan bagi adiknya, merasa tidak cocok dengan Naratama dan menyesal karena telah mencurigai bahwa Naratama adalah orang yang berkhianat pada Winatra, jago memasak, suka menulis dan menyayangi keluarganya. Alur yang digunakan dalam novel Laut Bercerita adalah alur campuran atau maju mundur.

Kedua, analisis bentuk kekerasan fisik menggunakan teori yang dikembangkan Johan Gantung. Berdasarkan hasil analisis, peneliti menemukan kekerasan personal atau fisik dalam cerita. Analisis kekerasan fisik berdasarkan teori yang dikembangkan Johan Galtung dibagi menjadi dua bentuk kekerasan yatitu kekerasan anatomis dan kekerasan fisiologis. Dalam analisis yang dilakukan, peneliti menemukan 29 kekerasan fisik yang terjadi pada tokoh Laut.

Dari 29 kekerasan fisik, terdapat 26 bentuk kekerasan anatomis dan 13 bentuk kekerasan fisiologis.

Kekerasan anatomis dapat dilihat dari dua sisi, yakni pertama, cara yang digunakan dalam tindak kekerasan yakni menyakiti tubuh manusia dengan cara menonjok, menggebuk, menendang, mendorong, meninju, menginjak, menggampar, menonjok, mendorong, menggebuk, menggampar dan menyakiti dengan menggunakan benda seperti rokok, logam pipah (alat penyetrum), penggaris besi, alat untuk menggantung, kawat, sepatu, balok es, dan semut

(8)

viii

merah. Kedua, kekerasan ini dilakukan secara bergerombolan. Bentuk organisasi yang terlibat adalah Pasukan Elang.

Tindak kekerasan fisiologis dapat dilihat dari; cara yang digunakan, yakni menyakiti dengan menggunakan benda seperti kain hitam untuk menutup mata, borgol, kabel untuk mengikat tangan, menyekap (penjara), dan karung. Bentuk organisasi yang terlibat adalah Pasukan Elang.

(9)

ix

ABSTRACT

Korebima, Frumensius Remi. 2019. Physical Violence Against Laut in Laut Bercerita by Leila S. Chudori (A Structural Review). Essay. Yogyakarta:

PBSI, FKIP, USD.

This research concern about physical violence against Laut in Laut Bercerita. This study aims to (i) describe the elements of character, characterization, and plot, (ii) describe the forms of physical violence against Laut in Laut Bercerita.

This research is a qualitative research that produces data in the quotations.

The method in this research is descriptive method. This study used a structural review and Johan Galtung's theory of violence. The study of sctructural literature is used to analyze character, characterizations, and plot. Galtung's theory of violence was used to analyze the forms of physical violence of Laut in Laut Bercerita by Leila S. Chudori. There are two conclusions in this research. First, using the structural of literature approach to find the character Laut, characterization of Laut, and plot. It can be concluded that the main characters in this novel is Biru Laut. The researcher analyzed the characterizations of the main characters namely Biru Laut. In the story, Biru Laut is a tall man, an older brother who annoys his sister, feel unsuitable for Naratama and regrets because he has suspected that Naratama is a traitor to Winatra, good in cooking, likes writing, love his family. The plot of Laut bercerita is mixed plot.

Second, the analysis of forms of physical violence is used Johan Gantung’s theory. Based on the results of the analysis, researcher found that there is a personal or physical violence in the story. There are 29 physical violence happened to Laut that are 26 forms of anatomical violence and 13 forms of physiological violence.

There are two anatomic violence, the first is the way used to hurt human body like to beat, to kick, to push away, to punch, to thread, and to slap with hand and hurt other with an objects like cigarette, electric shock device, ruler iron, tools to hang, wire, shoes, ice cube, and red ant. The second, collective violence. The organisation which involved is Pasukan Elang.

The act physiological violence can be shown in the way used to hurt others especially by an objects like black clothes to shut eyes, handcuffs and cabels to binding hands, poison, and sack. The organisation which involved is Pasukan Elang.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah melimpahkan berkat, rahmat, dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kekerasan Fisik terhadap Tokoh Laut dalam Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori (Tinjauan Struktural)”. Skripsi ini juga dapat diselesaikan berkat peran, dukungan, bimbingan, dan nasihat dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Yohanes Harsoyo. S.Pd., M.Si., selaku Dekan Falkutas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum, selaku Ketua Program Studi PBSI yang telah memberikan saran dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi.

3. Drs. B. Rahmanto, M.Hum, selaku dosen pembimbing yang selalu setia dan sabar dalam memberikan bimbingan dan pengarahan dari awal penulisan hingga terselesaikannya skripsi ini.

4. Dosen-dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah mendidik dan membekali ilmu selama perkuliahan.

5. Kedua orangtua saya, Yosep Ola Lema dan Goreti Kewa yang selalu mendoakan dan mendukung saya.

6. Kakak saya, Ignasius Sili Korebima dan Yohanes Soge Korebima yang mendukung saya.

7. Adik saya, Roswita Ero Korebima yang selalu mendukung saya.

(11)

rnemberikan seman gat.

9. Ternan-ternan angkatan 2014 PBSI Universitas Sanata Dharma sebagai ternan seperjuangan kuliah, ternan layaknya saudara, ternan-ternan terdekat yang selalu rnernberikan dukungan.

Penulis juga rnengucapkan terirnakasih kepada semua pihak yang secara langsung atau tidak langsung telah rnernbantu. Sernoga kebaikan dan doa yang dipanjatkan untuk penulis mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis rnenyadari bahwa penelitian ini jauh dari sernpuma. Walau dernikian, besar harapan penulis bahwa peneiitian ini berguna dan menjadi inspirasi bagi peneliti selanjutnya.

Yogyakarta,3 September 2019

Xl

(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN KEASLIAN KARYA ... v

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Batasan Istilah ... 6

1.6 Sistematika Penyajian ... 7

BAB II LANDASA TEORI ... 8

2.1 Penelitian Relevan ... 8

2.2 Kajian Teori ... 12

(13)

xiii

2.2.1 Kajian Struktural ... 12

2.2.1.1 Tokoh ... 12

2.2.1.2 Penokohan ... 13

2.2.1.3 Alur ... 14

2.2.2 Teori Kekerasan Menurut Johan Galtung ... 16

2.3 Kerangka Berpikir ... 19

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 21

3.1 Jenis Penelitian ... 21

3.2 Data dan Sumber Data ... 21

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 22

3.4 Teknik Analisis Data ... 22

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 23

4.1 Deskripsi Data ... 23

4.2 Analisis Struktural ... 23

4.2.1 Tokoh Utama ... 23

4.2.2 Penokohan Tokoh Utama ... 24

4.2.3 Alur ... 26

4.3 Analisis Bentuk Kekerasan Fisik Terhadap Tokoh Laut ... 35

4.3. 1 Kekerasan Anatomis ... 35

4.3. 2 Kekerasan Fisiologis ... 50

BAB V PENUTUP ... 59

5.1 Kesimpulan ... 59

5.2 Saran ... 62

(14)

xiv

DAFTAR PUSTAKA ... 63 LAMPIRAN ... 65

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan masyarakat, manusia akan selalu berinteraksi dengan manusia yang lain dan pada saat proses itu berlangsung bukan tidak mungkin muncul suatu pertikaian atau konflik dalam mencapai sesuatu yang diinginkan.

Karya sastra sebagai ekspresi atau pernyataan kebudayaan akan mencerminkan tingkat sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini karya sastra tergambar sebagai referensi kehidupan. Karya sastra tercipta berdasarkan tradisi masyarakat yang bersangkutan. Dalam karya sastra, orang dapat membaca sejarah, pengalaman hidup, adat istiadat, kepercayaan, dan lain-lain yang terdapat di sekitar kehidupan pemilik kesusastraan itu.

Karya sastra dapat berupa pencerminan kehidupan manusia yang kompleks dengan segala permasalahan baik secara individu maupun sosial.

Dalam kehidupan, kenyataan perilaku yang tampak pada setiap orang belum sepenuhnya menggambarkan diri pribadi mereka. Apa yang diperlihatkan dan tampak belum tentu sama dengan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam diri si tokoh, karena manusia perilakunya sering menutupi hal-hal yang ada dalam pikirannya.

Novel merupakan salah satu karya sastra yang menceritakan kehidupan seseorang. Novel bukan sekadar bacaan, melainkan mengandung nilai-nilai yang bermanfaat bagi masyarakat bawah atau menengah. Novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter dan berbagai peristiwa ruwet yang

(16)

terjadi beberapa tahun silam secara mendetail. Ciri khas novel pada umumnya ada pada kemampuannya untuk menciptakan satu semesta yang lengkap sekaligus rumit (Stanton, 2007: 90).

Banyak novel Indonesia ditulis dengan berbagai macam tema, seperti tema tentang cinta, religius, kebenaran, ketiakadilan, kekerasan dan perjuangan, serta kemiskinan. Salah satunya terdapat dalam Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Novel Laut Bercerita merupakan salah satu karya Leila S. Chudori yang diterbitkan pada Oktober 2017. Novel ini mengangkat masalah sosial terutama masalah kekerasan dalam kehidupan. Novel Laut Bercerita yang ditulis oleh Leila S. Chudori mengisahkan tentang keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan makam anaknya, dan tentang cinta yang tak akan luntur.

Keistimewaan Leila S. Chudori dalam novel Laut Bercerita adalah bahwa tokoh yang terlibat dalam novel tersebut dapat terungkap dengan cermat dalam jalinan cerita, sehingga alur cerita tetap terjaga dari awal sampai akhir.

Selain itu, Leila S. Chudori mampu menggangkat sejarah, isu seputar kejadian tahun 1998, dan pada orde baru yang serba sulit dan kompleks terutama kekerasan yang dialami oleh para aktivis mahasiswa.

Laut Bercerita mengambil latar waktu antara 1991-2007. Cerita terbagi menjadi dua sudut pandang, dari kakak-beradik Biru Laut dan Asmara Jati.

Pada bagian Biru Laut, cerita terangkai meliputi “Seyegan, 1991” hingga “Di

(17)

Sebuah Tempat, di Dalam Kelam, 1998”, sedangkan Asmara Jati dimulai dengan “Ciputat tahun 2000” sampai “ Di Depan Istana Negara, 2007”.

Dalam novel Laut Bercerita, yang dicermati peneliti adalah bentuk kekerasan fisik pada tokoh Laut. Laut Bercerita karya Leila S. Chudori menyajikan latar kehidupan aktivis mahasiswa di tahun 1990-an yang tengah memperjuangkan perubahan. Dalam Laut Bercerita tokoh Biru Laut sebagai tokoh utama yang memosisikan diri sebagai orang di balik 98 ke belakang.

Dikisahkan Laut adalah sekjen Winatra, organisasi mahasiswa yang menuntut pemerintah sosial-demokrat dan berafiliasi dengan Wirasena. Ia adalah mahasiswa Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada yang tak gentar melakukan aksi bawah tanah bersama sejumlah temannya yang tergabung dalam gerakan mahasiswa Winatra dan Wirasena. Melalui organisasi tersebut, Laut dan kawan-kawannya merintis berbagai gerakan seperti mendistribusikan dan mendiskusikan buku-buku Pramodya, menggelar diskusi mengenai strategi- strategi perlawanan, hingga aksi tanam jagung di Blanguan sebagai bentuk solidaritas terhadap petani. Gerakan-gerakan tersebut disusun secara berhati- hati agar tidak tercium oleh aparat, tetapi akhirnya gagal akibat pengkhianatan dari dalam tubuh Winatra. Laut dan aktivis mahasiswa lainnya terpaksa bersembunyi dari kota ke kota menggunakan nama samaran karena, katanya Winatra dan Wirasena dinyatakan sebagai organisasi terlarang.

Jakarta, Maret 1998 di sebuah senja, di sebuah rumah susun di Jakarta, Biru Laut disergap empat laki-laki tak dikenal. Bersama kawan-kawannya, Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dia dibawa ke sebuah tempat

(18)

yang tak dikenal. Laut dan teman-temannya harus menghadapi keberingasan siksaan tentara dan juga kegelapan sel bawah tanah.

Berbulan-bulan mereka disekap, diinterogasi berjam-jam, dipukul, ditendang, digantung dan disetrum agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting: siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis mahasiswa saat itu?

Interogasi disertai penyiksaan terhadap Laut berujung pada pembunuhan. Laut dibawa pergi secara paksa dan dibunuh dengan cara tragis, yakni ditenggelamkan untuk bersemayam di dasar laut.

Ada beberapa alasan novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori menarik untuk diteliti oleh peneliti. Pertama, Laut Bercerita memaparkan tragedi penculikkan, penyiksaan berujung pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap para aktivis mahasiswa di tahun 1990-an yang memperjuangkan sebuah perubahan. Kedua, Laut Bercerita menyajikan berbagai bentuk kekerasan fisik yang dialami para aktivis mahasiswa termasuk tokoh Laut. Ketiga, novel ini belum pernah dikaji dengan teori kekerasan menurut Johan Galtung. Dalam analisis novel Laut Bercerita, peneliti akan mengungkapkan tokoh utama, penokohan (tokoh utama), dan alur dalam novel serta bentuk-bentuk kekerasan fisik yang bertubi-tubi dialami tokoh Laut.

1.2 Rumusan Masalah

Peneliti membuat suatu rumusan masalah untuk lebih memfokuskan penelitian. Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan permasalahannya sebagai berikut.

(19)

1. Bagaimanakah tokoh, penokohan, dan alur dalam novel Laut Bercerita?

2. Bagaimanakah bentuk kekerasan fisik yang dialami tokoh Laut dalam novel Laut Bercerita?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan tokoh, penokohan, dan alur novel Laut Bercerita.

2. Mendeskripsikan bentuk kekerasan fisik yang dialami tokoh Laut dalam novel Laut Bercerita.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapka dapat bermanfaat bagi berbagai aspek, yakni:

1. Manfaat teoretis

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian sastra khususnya dengan pendekatan struktural dan penggunaanya di dalam menganalisis sebuah karya sastra.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan peneliti terkhususnya dan pembaca pada umumnya tentang seluk-beluk sebuah karya sastra. Selain itu, penelitian ini juga dapat diharapkan sebagai sarana untuk memahami nilai-nilai moral sosial yang terkandung dalam sebuah karya sastra.

(20)

1.5 Batasan Istilah

Berikut ini disajikan batasan istilah untuk menghindari kesalahpahaman. Istilah yang dibatasi pengertiannya, yaitu (1) novel, (2) kekerasan fisik, (3) kekerasan anatomis, (4) kekerasan fisiologis, (5) tokoh, (6) penokohan, (7) plot atau alur, (8) pendekatan struktural.

1. Novel

Novel adalah cerita rekaan yang menyajikan tentang aspek kehidupan manusia yang lebih mendalam yang senantiasa berubah-ubah dan merupakan kesatuan dinamis yang bermakna (Wahyuningtyas, 2010: 47).

2. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik; tindakan yang benar-benar merupakan gerakan fisik manusia untuk menyakiti tubuh atau merusak harta orang lain.

3. Kekerasan Anatomis

Kekerasan anatomis merupakan tindak kekerasan yang bersifat menghancurkan (pertandingan tinju, katapel), merobek, (menggantung, menarik, memotong), menembus (pisau, tombak, peluru), membakar (pembakaran, nyala), meracuni (dalam air, makanan, gas), dan penguapan (seperti di dalam ledak nuklir).

(21)

4. Kekerasan Fisiologis

Kekerasan fisiologis merupakan tindak kekerasan yang bertitik berat pada realisasi jasmani aktual yaitu, yang berfungsi untuk mencegah supaya mesin (manusia) itu tidak berfungsi.

5. Tokoh

Tokoh adalah pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi (Wiyatmi, 2006:

30).

6. Penokohan

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones Via Nurgiyantoro, 1995: 165).

7. Alur atau Plot

Alur atau Plot adalah rangkaian peristiwa yang susun berdasarkan hubungan kausalitas (Wiyatmi, 2006: 36).

1.6 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab 1 merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian. Bab II terdiri dari penelitian yang relevan, dan kajian teori. Bab III terdiri dari jenis penelitian, sumber data dan objek penelitan, teknik pengumpulan data, dan teknik analisi data. Bab IV terdiri dari deskripsi data, dan hasil pembahasan hasil analisis novel Laut Bercerita. Bab V terdiri dari kesimpulan, dan saran.

(22)

8 BAB II

LANDASAN TEORI 2.1 Penelitian Relevan

Peneliti menemukan tiga penelitian yang relevan dengan penelitian ini, yaitu: Pertama, novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori yang terdiri dari 379 halaman ini pernah diteliti oleh Esti Kurnia Dewi (2018) mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Semarang dengan judul Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Novel Laut Bercerita Karya Leila S. Chudori Dan Kemungkinannya Sebagai Alternatif Bahan Ajar Sastra Di SMA/SMK. Tujuan penelitian ini, yaitu (1) menganalisis struktur dalam novel Laut Bercerita. Dalam menganalisis struktur, peneliti mengungkapkan tema, alur atau plot, tokoh dan penokohan, latar atau seting, sudut pandang, dan amanat, (2) mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan karakter dalam novel Laut Bercerita.

Dalam menganalisis nilai pendidikan karakter, peneliti mengunggkapkan lima nilai dalam novel yaitu; nilai religius, nilai nasionalis, mandiri, gotong-royong, dan integritas, (3) mendeskripsikan kemungkinan novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori dapat dijadikan alternatif bahan ajar sastra di SMA/SMK.

Penelitian ini menganalisis tokoh, penokohan, latar, serta kekerasan struktural dan personal dalam novel Candik Ala 1965.

Adapun skripsi lain yang ditulis oleh Gita Yulansari (2019) mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas dengan judul skripsi Gerakan Mahasiswa Pra ReformasiDalam Novel Laut Bercerita Karya Leila S. CHudori (Tinjauan Sosiologi Sastra). Tujuan dari penelitian ini

(23)

adalah untuk mendeskripsikan gerakan mahasiswa pra reformasi serta dampak dari gerakan mahassiswa pra refoemasi dalam novel. Pembahasan mencakup analisis intrisik terhadap unsur yang membangun novel ini sebagai karya sastra.

Unsur yang dianalisis adalah tokoh dan penokohan, alur, latar, dan tema. Bentuk- bentuk gerakan mahasiswa pra reformasi serta dampak dari gerakan mahasiswa pra reformasi dalam novel.

Kedua, teori kekerasan Johan Galtung pernah dijadikan bahan skripsi oleh Aloysius (2013) mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma dengan judul skripsi Kekerasan Personal Terhadap Tokoh Utama, Mawa Dalam Novel Merajut Harkat Karya Putu Oka Sukanta (Tinjauan Sosiologi Sastra). Penelitian ini menganalisis tokoh, penokohan, dan kekerasan personal yang dialami tokoh Mawa dalam novel Merajut Harkat.

Adapun bahan skripsi lain yang ditulis oleh Marcellina Ungti Putri Utami (2018) mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma dengan judul skripsi Kekerasan Struktural dan Personal Dalam Novel Candik Ala 1965 Karya Tinuk R. Yampolsky. Penelitian ini menganalisis tokoh, penokohan, latar, serta kekerasan struktural dan personal dalam novel Candik Ala 1965.

Penelitian ini tidak menggunakan tinjauan sosiologi sastra.

Dalam penelitian novel Laut Bercerita peneliti mengkaji unsur intrisik novel yang terdiri atas tokoh, penokohan, alur, dan mendekripsikan bentuk-bentuk kekerasan fisik yang dialami tokoh Laut. Dari keempat penelitian yang relevan terebut dapat disimpulkan bahwa penelitian novel Laut Bercerita berbeda dengan penelitian terdahulu.

(24)

Penelitian pertama menggunakan novel yang sama tetapi, masalah yang diangkat berbeda. Hasil analisis struktur melitputi; tema, alur atau plot, tokoh dan penokohan, latar atau seting, sudut pandang, dan amanat. Dalam menganalisis nilai pendidikan karakter, peneliti mengunggkapkan lima nilai dalam novel yaitu;

nilai religius, nilai nasionalis, mandiri, gotong-royong, dan integritas serta, mendeskripsikan kemungkinan novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori dapat dijadikan alternatif bahan ajar sastra di SMA/SMK.

Penelitian kedua masih menggunakan novel Laut Bercerita yang dikaji dengan sosiologi sastra. Pembahasan mencakup tokoh dan penokohan, alur, latar, dan tema. Peneliti juga menganalisis bentuk-bentuk gerakan mahasiswa pra reformasi serta dampak dari gerakan mahasiswa pra reformasi dalam novel.

Berdasarkan analisis, peneliti menyimpulkan bahwa bentuk-bentuk gerakan mahasiswa pra reformasi dalam novel Laut Bercerita meliputi; 1) pertemuan antara aktivis mahasiswa, 2) demonstrasi, dan 3) melakukan pembelaan langsung terhadap petani. Dampak dari gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa pra reformasi adalah; 1) penculikan mahasiswa yang melakukan gerakan, 2) penyiksaan mahasiswa yang melakukan gerakan, 3) penghilangan secara paksa.

Penelitian ketiga menggunakan novel Merajut Harkat karya Putu Oka Sukanta. Penelitian ini menganalisis tokoh, penokohan, dan kekerasan personal yang dialami tokoh utama, Mawa dengan menggunakan tinjauan sosiologi sastra.

Hasil dari penelitian ini, yaitu (1) Tokoh Mawa, Nio, Hanja, Komandan, Pak Naryo, Peltu Macan, Hadi, Made, Yogi, Pardi, Tojib, Adar, Kuntek, Gigi

(25)

Kampak, Pak tiono, Hermawan, Togah, Mbah Roto, Ngkong, Mas Trim dan, Hopeng merupakan tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel. 2) Kekerasan personal yang terjadi pada Mawa terjadi karena adanya perbedaan status sosial.

Penelitian keempat menggunakan novel Candik Ala 1965 karya Tinuk R.

Yampolsky. Penelitian ini menganalisis tokoh, penokohan, latar serta kekerasan struktural dan personal dalam novel Candik Ala 1965. Hasil penelitian ini yaitu pertama, Nik, Ibu Kewa, Tokoh Tambahan Pak Kewa, Mas Cuk, Mas Kun, Yu Pani, Sarjo, Bu Arun, Nila, Tris, Si Gagap, Kamil, Pak Djo, Leaph, dan Ibu Sul merupakan tokoh dalam novel. Kedua, peneliti membagi unsur latar menjadi tiga bagian yaitu: latar tempat, latar waktu dan latar sosioal budaya. Latar tempat yang paling dominan adalah kota Solo, latar waktu yang paling dominan adalah tahun 1965, dan latar sosial budaya yang paling dominan adalah budaya masyarakat jawa. Ketiga, penelitian ini menemukan tiga jenis kekerasan struktural yang terdapat dalam novel, yaitu: (1) kekerasasn struktural tersebut ndialami oleh para simpatisan PKI, (2) kekerasan struktural terhadap masyarakat sipil masa orde baru, dan (3) kekerasan terhadap warga sipil di Kamboja.

Peneliti juga menemukan empat jenis kekerasan personal yang terdapat dalam cerita, yaitu sebagai berikut: (1) kekerasan personal terhadap organisasi kepemudaan, (2) kekerasan terhadap para simpatisan PKI, (3) kekerasan personal terhadap para wanita, dan (4) kekerasan personal terhadap warga sipil di Kamboja.

(26)

2.2 Kajian Teori

Kajian teori yaitu teori-teori yang digunakan sebagai dasar pijakan penelitian, adapun teori yang digunakan yaitu kajian struktural meliputi; tokoh, penokohan, alur dan kekerasan menurut Johan Galtung. Kedua teori tersebut dijabarkan sebagai berikut:

2.2.1 Kajian Struktural

Kajian struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secara cermat, teliti, semenditel serta mendalam akan keterkaitan dan keterjalinan semuan unsur dan aspek karya sastra yang sama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Analisis struktural karya sastra dalam karya fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur fiksi yang bersangkutan.

Menurut Wellek dan Warren (1989: 283) kritikus yang menganalisis novel umunya membedakan tiga unsur pembentuk novel yaitu alur, penokohan, dan latar. Oleh karena itu, penelitian terhadap novel Laut Bercerita karya Leila S.

Chudori didahului dengan mengkaji unsur intrisik. Dalam penelitian ini, unsur- unsur yang dipilih untuk diteliti adalah tokoh, penokohan dan alur untuk menganalisis kekerasan fisik terhadadap tokoh Laut dalam novel.

2.2.1.1 Tokoh

Yang dimaksud dengan tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1988:

16). Menurut Nurgiyantoro (2007: 165) istilah tokoh merujuk pada orangnya, pelaku cerita. Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007: 165) tokoh adalah

(27)

orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Tokoh-tokoh dalam cerita fiksi dapat dibedakan kedalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari mana sudut penamaan itu dilakukan. Pembedaan itu antara lain, tokoh utama dan tokoh tambahan dilihat dari segi peran atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita. Tokoh protagonis dan tokoh antagonis dilihat dari fungsi penampilan tokoh. Tokoh sederhana dan tokoh bulat dilihat dari perwatakannya. Tokoh statis dan tokoh berkembang dilihat dari berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh dalam cerita. Tokoh tipikal dan tokoh netral dilihat dari segi kemungkinan pencerminan tokoh terhadap manusia dari kehidupan nyata (Nurgiyantoro, 2007: 176-193).

Dalam penelitian novel Laut Bercerita, analisis tokoh akan dilakukan pada tokoh utama. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaanya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik dari segi pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian dan konflik. Tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan.

2.2.1.2 Penokohan

Menurut Jones (dalam Nurgiyantoro, 2007: 165) penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Menurut Nurgiyantoro (2007: 66) istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup

(28)

masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam cerita.

Menurut Altenbernd dan Lewis, secara garis besar ada dua teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya, yakni teknik ekspositori (expository) dan teknik dramatik (dramatic). Teknik ekspositori adalah teknik pelukisan tokoh cerita dengan cara memberikan deskripsi, uraian dan penjelasan secara langsung, sedangkan teknik dramatik merupakan teknik pelukisan tokoh yang dilakukan secara tidak langsung, artinya pengarang tidak mendesripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh, menyasati para tokoh cerita untuk menunjukkan kehadirannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan baik secara verbal maupun non verbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro, 1995: 194-198).

Dalam novel Laut Bercerita, penulis hanya akan meneliti penokohan tokoh utama, sebab fokus dari penelitian ini adalah kekerasan fisik terhadap tokoh utama. Unsur penokohan dalam penelitian ini menggambarkan bagaimana kondisi fisik dan sifat pada tokoh utama.

2.2.1.3 Alur

Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita.

Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau yang menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain yang tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya (Stanton, 2007:26).

(29)

Alur merupakan tulang punggung cerita. Berbeda dengan elemen-elemen lain, alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang lebar dalam sebuah analisis. Sebuah cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang mempertautkan alur, hubungan kausalitas, dan keberpengaruhannya. Sama halnya dengan elemen- elemen lain, alur-alur memiliki hukum-hukum sendiri; alur hendaknya memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinan dan logis, dapat menciptakan bermacam-macam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan (Stanton, 2007: 28).

Alur maju (kronologis) menurut (Nurgiyantoro, 2007: 153) yaitu apabila pengarang dalam mengerutkan peristiwa-peristiwa itu menggunakan urutan waktu maju dan lurus. Artinya, peristiwa-peristiwa itu diawali dengan pengenalan masalah dan diakhiri dengan pemecahan masalah. Alur mundur (flashback) terjadi apabila pengarang mengutkan peristiwa-peristiwa itu tidak dimulai dari peristiwa awal, melainkan mungkin dari peristiwa tengah atau akhir (Nurgiyantoro, 2007:

154). Alur campuran yaitu apabila cerita berjalan secara kronologis. Namun, sering terdapat adegan-adegan sorok balik.

Tahapan alur terdiri dari:

1. Tahap Pengengalan (Exposition atau Orientasi)

Tahap pengenalan merupakan tahapan awal cerita yang di gunakan untuk mengenalkan tokoh, latar situasi dan waktu dan lain sebagainya.

(30)

2. Tahap Permunculan Konflik (Rising Action)

Tahap permunculan konflik merupakan tahap dimunculkannya masalah.

3. Tahap Konflik Memuncak ( Turning Point atau Klimaks)

Tahap konflik memuncak merupakan tahap dimana permasalahan atau ketegangan berada pada titik paling puncak.

4. Tahap Konflik Menurun (Antiklimaks)

Tahap konflik menurun (Antiklimaks) merupakan tahap dimana masalah mulai dapat diatasi dan ketegangan berangsur-angsur menghilang.

5. Tahap Penyelesaian (Resolsution)

Tahap penyelesaian merupakan tahap di mana konflik sudah terselesaikan sudah tidak ada permasalahan maupun ketegangan antar tokohnya karena telah menemukan penyelesaian.

2.2.2 Teori Kekerasan Menurut Johan Galtung

Kekerasan adalah semua bentuk tindakan, intensional dan / ataupun karena pembiaran dan kemasa bodohan, yang menyebabkan manusia (lain) mengalami luka, sakit, penghancuran, bukan cuma dalam arti fisik (Poerwandari, 2004: 13 - 14).

Menurut Galtung (dalam Windhu, 1992: 65) kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga relasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah relasi potensialnya. Pemahaman Galtung tentang kekerasan lebih lebih ditentukan pada segi akibat atau pengaruhnya.

(31)

Menurut Galtung (dalam Windhu, 1992: 64) kekerasan dibagi menjadi dua yaitu kekerasan struktural atau kekerasan tidak langsung dan kekerasan personal atau kekerasan langsung. Kekerasan struktural adalah kekerasan yang terjadi karena ketidaksamaan, terutama pada distribusi kekuasaan. Kekerasan struktural lebih dilihat sebagai kekerasan psikologis. Penyalahgunaan sumber-sumber daya, wawasan dan hasil kemajuan untuk tujuan lain atau dimonopoli oleh segelintir orang saja juga termasuk dalam kekerasan struktural.

Kekerasan struktural bersifat statis, memperlihatkan stabilitas tertentu dan tidak tampak. Dalam masyarakat statis, kekerasan struktural dianggap wajar.

Terdapat enam faktor yang mendukung kekerasan struktural, yaitu (a) urutan kedudukan linear, (b) pola imteraksi yang tidak siklis, (c) korelasi antara kedudukan, (d) persesuaian antar sistem, (e) keselarasan antarkedudukan dan (f) perangkapan yang tinggi antartingkat. Menurut Galtung, sistem-sistem sosial akan cenderung mengembangkan keenam mekanisme yang akhirnya memperbesar ketidaksamaan (Windhu, 1992: 75).

Selain kekerasan struktural, Galtung (dalam Windhu, 1992: 73) juga mengungkapkan kekerasan personal. Kekerasan personal disebut juga sebagai kekerasan langsung, contohnya melukai atau membunuh orang. Kekerasan personal bersifat dinamis, mudah diamati, memperlihatkan fluktuasi yang hebat yang dapat menimbulkan perubahan. Kekerasan personal bertitik berat pada

“realisasi jasmani aktual”. Galtung menampilkan tiga pendekatan untuk melihat tipologi kekerasan personal, yaitu: (a) cara yang digunakan mulai dengan badan manusia itu sendiri (tinju, karate, akido) sampai segala macam senjata mutakhir;

(32)

(b) bentuk organisasi, mulai dengan individu lain dalam bentuk gerombolan dan massa rakyat dan berakhir dengan organisasi gerilya modern atau pertempuran dengan menggunakan pasukan; dan (c) sasaran pendekatan yaitu manusia.

Kekerasan personal dapat dibedakan dari susunan anatomis (secara struktural) dan fisiologis (secara fungsional). Menurut Galtung, kekerasan anatomis itu bersifat menghancurkan (pertandingan tinju, katapel), merobek, (menggantung, menarik, memotong), menembus (pisau, tombak, peluru), membakar (pembakaran, nyala), meracuni (dalam air, makanan, gas), dan penguapan (seperti di dalam ledak nuklir).

Menurut Galtung, kekerasan fisiologis merupakan tindak kekerasan yang bertitik berat pada realisasi jasmani aktual yaitu, yang berfungsi untuk mencegah supaya mesin (manusia) itu tidak berfungsi. Tindak kekerasan ini bersifat, meniadakan udara (mencekik, penyempitan), meniadakan air (dehidrasi), meniadakan makanan (kelaparan karena perang), dan meniadakan gerak dengan:

pembatasan badan (rantai, gas), pembatasan ruang (penjara, tahanan, dibuang), pengadilan otak (melemahkan syaraf, cuci otak).

Menurut Galtung (dalam Windhu, 1992: 74) perbedaan antara anatomis dan fisiologis terletak pada kenyataan bahwa yang pertama sebagai usaha menghancurkan mesin manusia sendiri (badan), yang kedua untuk mencegah supaya mesin itu tidak berfungsi. Dalam meneliti novel Laut Bercerita, penelitian ini terfokus pada kekerasan fisik yang dialami tokoh utama, Laut dalam novel.

Dalam meneliti bentuk-bentuk kekerasa fisik yang dialami tokoh Laut, peneliti menggunakan teori kekerasan yang dikembangkan oleh Johan Galtung.

(33)

Berdasarkan teori yang telah dipaparkan di atas, fokus penelitian ini meliputi kekerasan fisik yang bentuknya berupa; (1) kekerasan anatomis dan, (2) kekerasan fiisiologis.

2.3 Kerangka Berpikir

Karya sastra adalah ciptaan yang disampaikan dengan komunikatif tentang maksud penulis untuk tujuan estetika. Karya sastra dapat berupa pencerminan kehidupan manusia yang kompleks dengan segala permasalahan baik secara individu maupun sosial. Novel merupakan salah satu jenis karya sastra yang bersifat fiksi. pada dasarnya unsur pembangun novel di kelompokkan menjadi dua unsur, yaitu unsur intrisik dan ekstrisik. Unsur instrisik adalah unsur dalam cerita itu sendiri. Unsur intrisik terdiri atas; tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.

Penelitian yang dilakukan dalam novel Laut Bercerita karya Leila S.

Chudori menekankan pada aspek kekerasan fisik terhadap tokoh Laut dengan menggunakan teori yang dikembangkan Johan Galtung. Penelitian ini menggunakan tinjauan struktural untuk mengetahui tokoh utama, pekohan tokoh utama, dan alur dalam novel.

Secara sederhana kerangka penelitian ini digambarkan dalam bagan berikut ini:

(34)

Bagan I. Kerangka Berpikir

Karya Sastra

Teori Kekerasan Johan Galtung

Kajian Stuktural Novel Laut Bercerita Karya

Leila S. Chudori

Tokoh Utama Penokohan Tokoh Alur

Utama

Kekerasan Anatomis Kekerasan Anatomis

Kekerasan Fisik

(35)

21

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang berjudul Kekerasan Fisik Terhadap Tokoh Laut Dalam Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori: Pendekatan Struktural ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif karena data yang diambil berupa kata-kata yang digunakan untuk mendeskripsikan tokoh (tokoh utama), penokohan (tokoh utama) dan alur dalam novel. Penelitian ini juga mendeskripsikan kekerasan fisik terhadap tokoh Laut dalam novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori.

Bogdan dan Taylor (dalam J. Moleong, 1989: 3) mendefinisikan penelitian kulitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang dapat diamati. Metode deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia (Sukmadinata, 2006: 72). Berdasarkan metode tersebut, peneliti akan menggali masalah yang diangkat dalam novel Laut Bercerita karya Leila S.

Chudori.

3.2 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan adalah berupa kutipan-kutipan dari novel Laut Bercerita. Identitas sumber data yang digunakan adalah:

Judul : Laut Bercerita Pengarang : Leila S. Chudori

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta

(36)

Tahun Terbit : 2017 Tebal Buku : 379 halaman Ukuran :13,5 x 20 cm ISBN :978-602-424-698-5 3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah teknik baca dan teknik catat. Pengumpulan data pada penelitian ini diawali peneliti dengan membaca novel Laut Bercerita secara teliti kemudian mencatat hal yang berkaitan dengan tokoh, penokohan dan alur dalam novel tersebut, serta mengidentifikasi masalah yang akan dikupas, yaitu kekerasan fisik terhadap tokoh Laut.

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif yang artinya data terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar-gambar, bukan dalam bentuk angka-angka. Penggunaan kutipan-kutipan dalam novel juga diikutsertakan untuk mempermudah deskripsi data (Semi, 1993: 24).

Langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Membaca dan memahami isi novel Laut Bercerita karya Leila S.

Chudori secara berulang-ulang, cermat dan teliti.

2. Menentukan tokoh, penokohan, dan alur dalam novel.

3. Mengidentifikasi data yang berhubungan dengan bentuk kekerasan fisik yang akan dikaji dengan teori yang dikembangkan oleh Johan Galtung.

4. Menyajikan data dalam bentuk tabel dari hasil identifikasi.

5. Analisis data.

6. Mendeskripsikan data yang telah dianalisis ke dalam penelitian.

(37)

23 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Data

Dalam bab ini, secara keseluruhan hasil penelitian dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Hasil penelitian tersebut meliputi (1) analisis struktural meliputi; tokoh (tokoh utama), penokohan (tokoh utama) dan alur yang membentuk jalannya cerita dalam novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori.

(2) analisis bentuk kekerasan fisik yang dialami tokoh Laut.

4.2 Analisis Struktural 4.2.1 Tokoh

Yang dimaksud dengan tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1988:

16). Dalam novel Laut Bercerita, terdapat banyak tokoh. Dalam penelitian ini penulis hanya akan meneliti tokoh utama sebab, fokus dari penelitian ini adalah kekerasan fisik terhadap tokoh utama.

4.2.1.1 Tokoh Utama

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaanya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik dari segi pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian dan konflik. Peran tokoh utama adalah sebagai penentu perkembangan jalannya cerita secara keseluruhan.

Berdasarkan analisis yang dilakukan, tokoh utama dalam novel Laut Bercerita adalah Biru Laut.

(38)

Dalam novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori, Biru Laut berperan sebagai tokoh utama. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan dan menjadi perhatian pengarang. Ia dikenai kejadian dan menjadi penggerak jalannya cerita. Novel ini menceritakan kehidupan Laut yang tergabung dalam sebuah organisasi yang kemudian dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Laut kemudian ditangkap, disiksa secara keji dan dihilangkan secara paksa (dibunuh).

4.2.2 Penokohan Tokoh Utama

Menurut Nurgiyantoro (2007: 66) istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam cerita. Berdasarkan analisis yang dilakukan, penokohan tokoh utama dalam novel Laut Bercerita adalah sebagai berikut:

Secara fisik Laut digambarkan sebagai pria yang betubuh tinggi. Berikut kutipan yang menjelaskan Laut secara fisik:

Kakakku yang bertubuh tinggi, berbau matahari, berkeringat dan lapar (Chudori, 2017: 234).

Meski dari jauh, aku mengenali rambutnya yang berminyak, tak beraturan, dan pasti jarang menyentuh sisir (Chudori, 2017: 234).

Dalam kutipan-kutipan di atas, melalui Asmara Jati dapat diketahui bahwa secara fisik Laut adalah pria yang bertubuh tinggi, berbau matahari, memiliki rambut yang berminyak dan tak beraturan. ia adalah kakak sulung Asmara Jati. Ia merupakan Sosok kakak yang menyebalkan bagi adiknya. Berikut ini kutipannya:

(39)

Tapi Mas Laut adalah kakak sulung. Tentu saja bukan Mas Laut kalau dia tidak memecahkan gelembung fantasi yang tergambar begitu indah di antara kami berdua. Dengan suara keras–terus terang agak norak- dia berseru, Kami akan pindah ke Jakarta, Mar!”

(Chudori, 2017: 272).

“Ya.” Alex berdiri dan pindah ke sebelahku.

“Sudah tahu mau ambil spesialis apa?” Mas Laut mendadak membelokkan pembicaran dengan brutal. Aku melirik jengkel. Dia pasti tak igin aku menyukai lelaki manapun di dunia ini. “Mas Laut selalu menganggap aku harus merancang masa depan. Mas Laut beresin aja dulu skripsinya, ngapain ngurusi residensi saya, huh.”

Alex tertawa karena tahu betul abangku sebetulnya hanya ingin menggangguku (Chudori, 2017: 274).

Dalam kutipan di atas, membuktikan bahwa Laut adalah kakak sulung Asmara Jati. Bagi Asmara Laut adalah sosok kakak yang menyebalkan. Ia juga merasa tidak cocok dengan Naratama dan menyesal karena telah mencurigai bahwa Naratama adalah orang yang berkhianat pada Winatra. Berikut ini kutipannya:

Sebetulnya aku ingin bertanya pada Tama, adakah yang menenangkan mereka dengan mengatakan aku masih hidup.Tapi mulutku tetap terkunci. Aku tak tahu bagaimana membentuk kalimat perkawanan karena bertahun-tahun menjadi bagian dari Winatra, aku selalu berbicara sedikit mungkin dengannya. Bukan hanya persoalan Anjani, tetapi lebih karena aku tak pernah merasa cocok dengan gayanya (Chudori, 2017: 192).

Sedangkan mimpiku bersama Naratama adalah mimpi buruk dan membuatku berkeringat ingin menjerit.

Ke mana Naratama? Mengapa dia selalu tak ada ketika kami dalam keadaan genting? (Chudori, 2017: 91).

Aku menangis karena ketololanku, kedugaanku, menyangka bahwa semua kawan di Winatra, kecuali tama, adalah orang-orang bercita- cita sama, bertujuan sama (Chudori, 2017: 195).

(40)

Dalam kutipan di atas, membuktikan bahwa Luat merasa tidak cocok dengan Naratama dan menyesal telah mencurigainnya sebagai pengkhianat. Ia juga jago memasak. Berikut ini kutipannya:

Mas Laut mengeluarkan ulekan ibu dari lemari bawah, menggerus dua buah cabe besar, satu cabe keriting, lima cabe rawit, dua siung bawang putih, dan tiga siung bawang merah, sedikit terasi bakar, garam dan dua tetes minyak jelantah. Dengan semangat dia menguleknya di bawah tatapan Alex dan aku yang penuh liur karena sambal itu adalah kunci segalanya (Chudori, 2017: 284).

Dalam kutipan di atas, membuktikan bahwa Laut jago memasak. ia mengeluarkan ulekan ibunya dari lemari bawah, menggerus dua buah cabe besar, satu cabe keriting, lima cabe rawit, dua siung bawang putih, dan tiga siung bawang merah, sedikit terasi bakar, garam dan dua tetes minyak jelantah. Dengan semangat dia menguleknya di bawah tatapan Alex dan Asmara yang penuh liur. Ia juga suka menulis. Berikut ini kutipannya:

(1) Surat untuk Anjani 16 Agustus 1996 (Chudori, 2017: 202- 204).

(2) Tulisan Rumah Susun Klender, 13 Maret 1998 (Chudori, 2017:

219-221).

(3) Anjani 12 Desember 1996 (Chudori, 2017: 209-2011).

(4) Surat Untuk Anjani. Yogyakarta, Juli 1997 (Chudori, 2017: 215).

(5) Surat untuk Asmara (Chudori, 2017: 264-370).

Kutipan-kutipan di atas, dapat membuktikan bahwa Laut suka menulis. Ia menyayangi keluarganya dan menuangkannya melalui tulisan surat-surat diatas.

4.2.3 Alur

Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau yang menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain yang tidak dapat diabaikan

(41)

karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya (Stanton, 2007:26). Alur sebuah karya fiksi sering tidak menyajikan urutan peristiwa secara kronologis dan runtut, melainkan penyajian dapat dimulai dan diakhiri dengan kejadian yang mana pun juga, tanpa ada keharusan untuk memulai dan mengakhiri dengan kejadian awal dan akhir (Nurgiyantoro, 1998: 141).

Dalam novel Laut Bercerita dapat diketahui bahwa jalan cerita atau alur cerita yang disajikan tidak berurutan secara kronologis namun memiliki hubungan kausalitas. Setiap pergantian bab menampilkan latar tempat, waktu maupun peristiwa yang berbeda, menimbulkan jalan cerita terlihat seperti terpotong- potong. Apabila dicermati dan ditelusuri alur yang ada dalam novel Laut Bercerita, maka sebenarnya ada dua bagian cerita yang terpisah tetapi memiliki kausalitas dan penyatuan yang utuh. Kedua bagian cerita tersebut memiliki peristiwa-peristiwa yang tidak sama, namun saling berhubungan erat satu dengan lainnya.

Dalam bagian cerita pertama, pengarang mengisah tokoh Laut sebagai tokoh utama. Tokoh Laut diceritakan sebagai mahasiswa Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada yang tak gentar melakukan aksi bawah tanah bersama sejumlah teman-temannya yang tergabung dalam gerakan mahasiswa Winatra dan Wirasena. Melalui organisasi tersebut, Laut dan kawan-kawannya merintis berbagai gerakan seperti mendistribusikan dan mediskusikan buku-buku Pramodya, menggelar diskusi mengenai strategi-strategi perlawanan, hingga aksi tanam jagung di Blanguan sebagai bentuk solidaritas terhadap petani. Gerakan- gerakan tersebut disusun secara berhati-hati agar tidak tercium oleh aparat, tetapi

(42)

akhirnya gagal akibat pengkhianatan dari dalam tubuh Winatra. Laut dan aktivis mahasiswa lainnya terpaksa bersembunyi dari kota ke kota menggunakan nama samaran karena Winatra dan Wirasena dinyatakan sebagai organisasi terlarang.

Jakarta, Maret 1998 di sebuah senja, di sebuah rumah susun di Jakarta, Biru Laut disergap empat laki-laki tak dikenal. Bersama kawan-kawannya, Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dia di bawa ke sebuah tempat yang tak dikenal. Laut dan teman-temannya harus menghadapi keberingasan siksaan tentara dan juga kegelapan sel bawah tanah. Berbulan-bulan mereka disekap, diinterogasi berjam-jam, dipukul, ditendang, digantung dan disetrum agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting: siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu. Dan akhirnya ketika Laut dibawa pergi secara paksa dan dibunuh dengan cara yang paling tragis, ditenggelamkan untuk bersemayam di dasar laut.

Pada bagian cerita kedua, pengarang memosisikan tokoh Asmara Jati sebagai narator setelah kematian Biru Laut. Dalam novel bagian kedua, pengarang menceritakan keadaan keluarga melalui tokoh Asmara Jati. Diceritakan bahwa keluarga Arya Wibosono menagalami trauma berat akibat kehilangan anak, kakak, teman, dan kekasih tercinta Biru Laut bersama kawan-kawannya. Di dalam novel diceritakan bahwa keluarga Arya Wibisono, seperti biasa, pada hari minggu sore memasak bersama, menyediakan makanan kesukaan Biru Laut.

Sang ayah akan meletakkan satu piring untuk dirinya, satu piring untuk sang ibu, satu piring untuk Biru Laut, dan satu piring untuk si bungsu Asmara Jati.

Mereka duduk menanti dan menanti. Tapi Biru Laut tak kunjung muncul. Selain

(43)

itu, pada latar Jakarta tahun 2000, pengarang menceritakan Asmara Jati, adik Biru Laut, bersama Tim Komisi Orang Hilang yang di pimpin Aswin Pradana mencomba mencari jejak mereka yang hilang serta merekam dan mempelajari testimoni mereka yang kembali. Anjani, kekasih Laut, para orang tua dan istri aktivis yang hilang menuntut kejelasan tentang anggota keluarga mereka.

Hal yang dapat disimpulkan pada penelitian alur tersebut adalah untuk mengetahui kisah tentang tokoh Laut. Kisah hidupnya bersama teman-teman yang tergabung dalam gerakan Winatra dan Wirasena penuh dengan kekerasan dan penderitaan yang di alami. Dari penelitian alur dapat diketahui Laut di culik, di siksa dan di hilangkan secara paksa (Dibunuh).

1.2.3.1 Tahapan Alur

1. Pengenalan (Exposition atau Orientasi).

Tahap pengenalan merupakan tahapan awal cerita yang di gunakan untuk mengenalkan tokoh, latar situasi dan waktu dan lain sebagainya. Dalam bagian pertama novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori memiliki beberapa tokoh yang mempengaruhi alur cerita diantaranya ada tokoh utama yaitu Laut serta tokoh tambahan Sunu, Daniel, Alex, Kinan dan Gusi. Alur cerita yang digunakan pada tahap ini adalah alur campuran. Melalui flashback Laut menceritakan kisah masa lalunya bersama teman-temannya ketika mencari tempat untuk berdiskusi dan bermalam dengan aman, jauh dari intaian Intel, karena peristiwa penangkapan tiga aktivis di Yogyakarta masih menghantui mereka. Berikut ini kutipannya:

Suara ketukan itu berirama. Aku baru menyadari, bunyi ketukan halus itu datang dari jari-jari Sunu pada pintu calon rumah kami di Seyengan (Laut Bercerita, 2017: 10).

(44)

Ah...rambut Sunu masih pendek dan rapi. Tahun berapakah ini?

Kawan-kawanku tampak masih muda, aku terlempar ke masa mahasiswa ketika kami masih mencari-cari tempat untuk berdiskusi sekaligus bermalam dengan aman, jauh dari intaian intel. Peristiwa penangkapan tiga aktivis Yogyakarta tiga tahun sebelumnya masih terasa panas dan menghantui kami (Chudori, 2017: 10).

Pada tahap ini melalui cerita Laut, Chudori mengenalkan kepada pembaca bagaimana situasi rumah hantu di Seyengan yang menjadi markas Winatra selain itu, pada tahap ini Chudori juga mengenalkan tokoh lain sebagai tokoh tambahan lewat tokoh Laut. Berikut ini kutipannya:

Selain itu, Kinan adalah senior kami. Usianya dua tahun lebih tua dari kami. Dia adalah jembatan kami kepada Arifin Bramantyo, senior aktifis Wirasena yang menjadi induk Winatra. Sunu dan Daniel tentu saja mengenal Bram dari berbagai cara kegiatan pers mahasiswa beberapa tahun lalu ketika Bram masih rajin kuliah.

Tetapi aku baru mengenal Bram secara dekat melalui Kinan. Aku mengenal Kasih Kinanti setahun lalu di kios Mas Yunus, langganan kami berbuat dosa (Chudori, 2017: 17).

2. Tahap Permunculan Konflik (Rising Action).

Tahap permunculan konflik merupakan tahap dimunculkannya masalah.

Pada tahap ini sudah ada permunculan konflik. Alur campur digunakan pada tahap ini. Melalui flashback Laut menceritakan kembali masa lalu bersama kawan- kawannya mengalami masa-masa sulit saat berencana menjalan aksi tanam jagung di Blangguan tahun 1993. Kemudian diikuti cerita Laut di grebek dan ditangkap oleh empat orang di sebuah rumah susun di Jakarta tahun 1998. Berikut ini kutipannya:

Kami semua duduk diatas tikar tanpa bersuara karena Kinan dan Sunu meletakkan telunjuk ke atas bibir. Tentara sudah mulai masuk dan mengecek rumah-rumah mengecek rumah-rumah para petani satu per satu. Mereka menanyakan di rumah manakah para mahasiswa menginap dan tentu saja para petani berlagak heran.

(45)

Seketika entah bagaimana aku merasa bisa mendengar debar semua kawan-kawanu secara serempak (Chudori, 2017: 130).

Langkah mereka terasa semakin dekat rumah Bu Sumantri. Saat ini mereka tengah menggedorgedor rumah petani yang hanya beberapa puiluh meter dari kami. Senu dan aku samasama bangun dan mengintip dari balik jendela. Hanya dalam dua detik kami segera menghalau kawan-kawan untuk bersembunyi di mana saja, di bawah dipan, di balik lemari, atau di bilik Bu Sumantri karena beberapa orang tentara tampak berjalan kearah kami (Chudori, 2017: 131).

Tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pada pintu. Suara ketukan yang terdengar keras dan tak sabar. Aku langsung tak membukanya.

Jantungku mulai berdebar-debar. Perlahan aku melangkah ke kamar dan melongok ke arah luar jendela. Karena kamar kami berada di lantai dua rumah susun, aku bisa mengintip ke bawah. Kulihat ada beberapa lelaki berbadan kekar mengenakan seibo, penutup wajah wol (Chudori, 2017:52).

“Tak usa tanya-tanya, ikut saja”! bentak salah seorang yang bertubuh besar dan tinggi seperi pohon beringin. Jika aku sok rewel paasti pasti dia mudah sekali mencabut nyawaku. Jadi dengan dua lelaki kekar yang langsung mengiringiku, satu seperti pohon dan satunya lagi seperti raksasa, aku berusaha menggeliat memberontak. Tapi salah seorang dari mereka menodongkan sebuah benda dingin ke punggungku. Seluruh tubuhku terasa kaku karena aku tahu itu adalah moncong pistol (Chudori, 2017:52).

3. Tahap Konflik Memuncak (Turning Point atau Klimaks).

Tahap konflik memuncak merupakan tahap dimana permasalahan atau ketegangan berada pada titik paling puncak. Pada tahap ini konflik memuncak pada tahun 1993 sampai 1998 ketika Laut dan teman-temannya yang terjaring mendapat perlakuan kekerasan fisik yang berujung pada pembunuhan atau menghilangan secara paksa terhadap beberapa mahasiwa aktivis termasuk Laut.

Peristiwa kekerasan itu terjadi di sebuah markas tentara.

(46)

Pada tahap ini melalui tokoh Asmara Jati, Chudori menceritakan keadaan keluarga, kekasih yang mengalami trauma akibat penculikan tersebut. Berikut ini kutipannya:

“BANGUN LU!!”

Seember air es disiram ke sekujur tubuhku. Bangsat! Dengan segera sepasang tangan mengikat kain hitam penutup mataku dengan erat.

Aku dipaksa berdiri. Lantas sepasang tangan mengiringiku ke sebuah tempat tidur atau velbed, aku merasa tak jelas sampai akhirnya mereka memaksaku untuk berbaring. Tangan kiriku diborgol ke sisi velbed sedangkan kakiku diikat kabel (Chudori, 2017: 56).

Si Mata Merah memerintahkan mulutku untuk dibebat kembali.

Akhirnya ketika mobil berhenti, si Manusia Pohon menarikku keluar mobil. Aku mendengar debu ombak yang pecah, mencium aroma asin laut di antara angin yang mengacak rambut. Lalu di dalam kegelapan itu aku membayangkan ribuan ikan kecil berwarna kuning dan biru berkerumunan menantikan kedatangannku; puluhan ikan pari loncat ke atas permukaan laut menyambutku seperti seorang saudara yang telah lama pergi (Chudori, 2017: 229).

Sementara menanti, aku mengutak atik letak letak piring, sendok dan garpuku, barangkali kurang lurus, lalu duduk dan diam. Menanti.

Dan menanti (Chudori, 2017: 233).

Kami mulai mengunyah dan menanti. Menanti Biru Laut yang barangkali saja tiba-tiba saja muncul di permukaan pintu atau siapa tahu dia iseng meloncat melalui jendela. Kakakku yang bertubuh tinggi, berbau matahari, berkeringat dan lapar. Tetapi ini sudah tahun kedua kakak sulungku yang menghilang. Dan Biru Laut tak kunjung di muka pintu (Chudori, 2017: 234).

4. Tahap Konflik Menurun (Antiklimaks).

Tahap konflik menurun (Antiklimaks) merupakan tahap dimana masalah mulai dapat diatasi dan ketegangan berangsur-angsur menghilang. Dalam bagian ke dua novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori memiliki beberapa tokoh- tokoh yang mempengaruhi alur cerita diantaranya tokoh Asmara Jati. Pada bagian kedua novel, Asmara Jati memosisikan diri sebagai narator setelah kematian Laut.

(47)

Selain Asmara Jati, adapun tokoh Alex, Anjani, Ibu, Bapak, Aswin yang kehadirannya juga ikut mempengaruhi alur cerita.

Pada tahap ini konflik mulai mereda pada tanggal 32 April 1998 ketika tokoh Asmara Jati mendapat kabar bahwa sebagian mahasiswa aktivis yang diculik dipulangkan. Berikut ini kutipannya:

Pada tanggal 32 April 1998, Aswin menelponku pada suatu subuh.

Alex selamat. Dia sudah pulang ke Pamangkayo. Aku begitu terkejut hingga hampir saja terjatuh dan segera bertumpu pada pegangan kursi (Chudori, 2017: 249).

Hanya beberapa hari sesudah kembalinya Alex, kami mendengar dari Tante Martha, ibunda Daniel bahwa dia juga sudah pulang ke rumah orang tuanya di Bogor. Semua komunitas Lembaga Swadaya Masyarakat baik yang berperan dalam berdirinya Komisi Orang Hilang membantu memastikan agar ada sebuah safehouse, karena kami mendengar kawan-kaawan yang hilang mulai berdatangan:

Naratama, Coki, Hamdan, Arga, Masagi, Hakim Subali, Harun da Widi Yulianto (Chudori, 2017: 294-250).

5. Tahap Penyelesaian (Resolsution).

Tahap penyelesaian merupakan tahap dimana konflik sudah terselesaikan sudah tidak adah permasalahan maupun ketegangan antar tokohnya karena telah menemukan penyelesaian. Pada tahap ini konflik mulai menghilang. Alur maju mundur digunakan pada tahap ini. Melalui flashback, penyelesaian konflik pada tahap ini di tandai dengan pengakuan Alex terhadap media, orangtua Laut dan Asmara Jati tentang apa yang terjadi. Cerita kemudian dilanjutkan pada tahun 2007 ketika para keluarga dan sahabat berorasi menuntut ham dihadapan Istana Negara setelah presiden Soeharto di lengserkan. Berikut ini kutipannya:

“Selama ini aku tak mampu membicarakan pesan Laut padamu karena hal itu mengingatkan hari-hari kami disekap di bawah tanah.

(48)

Maafkan cukup lama ini semua kusimpan. Alex menarik kursinya ke hadapan kursiku. Dia memegang tanganku dan menghela nafas (Chudori, 2017: 338)”.

“Aku sudah menceritakan kepada keluargamu ketika kami disekap di kerangkeng bawah tanah. Ada dua hal yang belum kuceritakan, karena terlalu mengganggu tidurku...Daniel dan aku hampir tak pernah membicarakan masa-masa kelam itubukan karena kami takut, tapi karena terlalu menusuk. Sudah empat tahun kami menympan sendiri kisah ini keji ini... aku rasa sudah waktunya aku berbagi denganmu” (Chudori, 2017: 338).

Pada kamis keempat, di awal tahun 2007 itu, dibawah matahari senja, dihadapan Istana Negara, kami berdiri dengan baju hitam dinaungi ratusan payung hitam. Kami tak berteriak atau melonjak, melainkan bersuara dalam diam. Keringat matahati sore membuat baju kami kuyup. Tapi itu malah membuat suasana semakin guyub.

Baram dan Aswin memberi pengarahan pada awal, sementara Daniel memegang toa sesekali memberi orasi pendek meski satu dua polisi gelisah karena para pengemudi mobil yang belalu jadi berjalan perlahan karena kepingin menonton. Naratama dan beberapa wartawan asing dan lokal bergerombolan memotret, merekam, dan mewawancarai para orang tua, Bram dan Aswin. Alex mencoba merekam foto para ibu, kakak, adik, keponakan, istri, kekasih yang memegang 13 foto-foto mereka yang belum kembali, diantaranya Sunu Dyantoro, Julius Sasongko, Gala Pranaya, Widi Yulianto, Kasih Kinanti, Narendra Jaya..(Chudori: 2017: 362-363).

Tiba-tiba, bahuku disentuh seseorang. Aku menoleh. Astaga! Ibu dan Anjani. Mereka mengenakan blus hitam, rok hitam, dan membawa foto Mas Laut. Ah....aku memeluk mereka seerat-eratnya (Chudori, 2017: 363).

Ini sebuah langkah baru untuk ibu. Seperti Anjani, ibu perlahan telah membuka pintu jagatnya yang selama ini tertutup dan bergabung bersama kami menuntut jawaban (Chudori, 2017: 363).

Referensi

Dokumen terkait

REKAP SURAT PERINGATAN KESATU PENYELENGGARA POS/JASA TITIPAN KARENA BELUM MENGIRIMKAN LKO SEMESTER I TAHUN 2015.

ج‌ ؼرشملا ريرقت ة يعمالجا ثحبلا اذى نإ بلاطلا اهمدق يذلا : مسلاا : وطنام رافوس توبيرتأ بلطلا دييقت مقر : ٔٔٔٔٔ٥ٓ۰٤٥ ناونعلا :

β -karoten dapat menjaga sistem imun dari kerusakan yang disebabkan oleh ROS (Reactive Oxygen Species) sehingga sistem imun dapat menjalankan tugasnya dengan

Klien dengan resiko perilaku kekerasan mekanisme koping regulator yang digunakan adalah adanya terjadinya reaksi tubuh akibat klien mengalami putus obat atau dalam kondisi

Wakaf Produktif yakni harta benda wakaf yang dikelola lebih profesional dan berkembang. Dalam hal ini, yakni Yayasan Baiturrahmah mengembangkan harta benda wakaf dari

Range Finding Test addalah tahap yang bertujuan untuk mencari kisaran kadar toksikan air lindi secara kasar yang dapat menyebabkan kematian 50% terhadap biota

Berdasarkan hasil konsentrasi logam Pb yang dihasilkan, pada hari ke nol sudah terdapat logam Pb di daging ikan yang diambil dari bak perlakuan dengan rata-rata konsentrasi

Dari beberapa hasil penelitian yang dikemukakan diatas, dapat dirumuskan suatu mekanisme aktivitas antikanker senyawa kurkumin pada tingkat molekul seperti yang ditunjukkan