BAB I PENDAHULUAN
1.6 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab 1 merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian. Bab II terdiri dari penelitian yang relevan, dan kajian teori. Bab III terdiri dari jenis penelitian, sumber data dan objek penelitan, teknik pengumpulan data, dan teknik analisi data. Bab IV terdiri dari deskripsi data, dan hasil pembahasan hasil analisis novel Laut Bercerita. Bab V terdiri dari kesimpulan, dan saran.
8 BAB II
LANDASAN TEORI 2.1 Penelitian Relevan
Peneliti menemukan tiga penelitian yang relevan dengan penelitian ini, yaitu: Pertama, novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori yang terdiri dari 379 halaman ini pernah diteliti oleh Esti Kurnia Dewi (2018) mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Semarang dengan judul Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Novel Laut Bercerita Karya Leila S. Chudori Dan Kemungkinannya Sebagai Alternatif Bahan Ajar Sastra Di SMA/SMK. Tujuan penelitian ini, yaitu (1) menganalisis struktur dalam novel Laut Bercerita. Dalam menganalisis struktur, peneliti mengungkapkan tema, alur atau plot, tokoh dan penokohan, latar atau seting, sudut pandang, dan amanat, (2) mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan karakter dalam novel Laut Bercerita.
Dalam menganalisis nilai pendidikan karakter, peneliti mengunggkapkan lima nilai dalam novel yaitu; nilai religius, nilai nasionalis, mandiri, gotong-royong, dan integritas, (3) mendeskripsikan kemungkinan novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori dapat dijadikan alternatif bahan ajar sastra di SMA/SMK.
Penelitian ini menganalisis tokoh, penokohan, latar, serta kekerasan struktural dan personal dalam novel Candik Ala 1965.
Adapun skripsi lain yang ditulis oleh Gita Yulansari (2019) mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas dengan judul skripsi Gerakan Mahasiswa Pra ReformasiDalam Novel Laut Bercerita Karya Leila S. CHudori (Tinjauan Sosiologi Sastra). Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mendeskripsikan gerakan mahasiswa pra reformasi serta dampak dari gerakan mahassiswa pra refoemasi dalam novel. Pembahasan mencakup analisis intrisik terhadap unsur yang membangun novel ini sebagai karya sastra.
Unsur yang dianalisis adalah tokoh dan penokohan, alur, latar, dan tema. Bentuk-bentuk gerakan mahasiswa pra reformasi serta dampak dari gerakan mahasiswa pra reformasi dalam novel.
Kedua, teori kekerasan Johan Galtung pernah dijadikan bahan skripsi oleh Aloysius (2013) mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma dengan judul skripsi Kekerasan Personal Terhadap Tokoh Utama, Mawa Dalam Novel Merajut Harkat Karya Putu Oka Sukanta (Tinjauan Sosiologi Sastra). Penelitian ini menganalisis tokoh, penokohan, dan kekerasan personal yang dialami tokoh Mawa dalam novel Merajut Harkat.
Adapun bahan skripsi lain yang ditulis oleh Marcellina Ungti Putri Utami (2018) mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma dengan judul skripsi Kekerasan Struktural dan Personal Dalam Novel Candik Ala 1965 Karya Tinuk R. Yampolsky. Penelitian ini menganalisis tokoh, penokohan, latar, serta kekerasan struktural dan personal dalam novel Candik Ala 1965.
Penelitian ini tidak menggunakan tinjauan sosiologi sastra.
Dalam penelitian novel Laut Bercerita peneliti mengkaji unsur intrisik novel yang terdiri atas tokoh, penokohan, alur, dan mendekripsikan bentuk-bentuk kekerasan fisik yang dialami tokoh Laut. Dari keempat penelitian yang relevan terebut dapat disimpulkan bahwa penelitian novel Laut Bercerita berbeda dengan penelitian terdahulu.
Penelitian pertama menggunakan novel yang sama tetapi, masalah yang diangkat berbeda. Hasil analisis struktur melitputi; tema, alur atau plot, tokoh dan penokohan, latar atau seting, sudut pandang, dan amanat. Dalam menganalisis nilai pendidikan karakter, peneliti mengunggkapkan lima nilai dalam novel yaitu;
nilai religius, nilai nasionalis, mandiri, gotong-royong, dan integritas serta, mendeskripsikan kemungkinan novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori dapat dijadikan alternatif bahan ajar sastra di SMA/SMK.
Penelitian kedua masih menggunakan novel Laut Bercerita yang dikaji dengan sosiologi sastra. Pembahasan mencakup tokoh dan penokohan, alur, latar, dan tema. Peneliti juga menganalisis bentuk-bentuk gerakan mahasiswa pra reformasi serta dampak dari gerakan mahasiswa pra reformasi dalam novel.
Berdasarkan analisis, peneliti menyimpulkan bahwa bentuk-bentuk gerakan mahasiswa pra reformasi dalam novel Laut Bercerita meliputi; 1) pertemuan antara aktivis mahasiswa, 2) demonstrasi, dan 3) melakukan pembelaan langsung terhadap petani. Dampak dari gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa pra reformasi adalah; 1) penculikan mahasiswa yang melakukan gerakan, 2) penyiksaan mahasiswa yang melakukan gerakan, 3) penghilangan secara paksa.
Penelitian ketiga menggunakan novel Merajut Harkat karya Putu Oka Sukanta. Penelitian ini menganalisis tokoh, penokohan, dan kekerasan personal yang dialami tokoh utama, Mawa dengan menggunakan tinjauan sosiologi sastra.
Hasil dari penelitian ini, yaitu (1) Tokoh Mawa, Nio, Hanja, Komandan, Pak Naryo, Peltu Macan, Hadi, Made, Yogi, Pardi, Tojib, Adar, Kuntek, Gigi
Kampak, Pak tiono, Hermawan, Togah, Mbah Roto, Ngkong, Mas Trim dan, Hopeng merupakan tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel. 2) Kekerasan personal yang terjadi pada Mawa terjadi karena adanya perbedaan status sosial.
Penelitian keempat menggunakan novel Candik Ala 1965 karya Tinuk R.
Yampolsky. Penelitian ini menganalisis tokoh, penokohan, latar serta kekerasan struktural dan personal dalam novel Candik Ala 1965. Hasil penelitian ini yaitu pertama, Nik, Ibu Kewa, Tokoh Tambahan Pak Kewa, Mas Cuk, Mas Kun, Yu Pani, Sarjo, Bu Arun, Nila, Tris, Si Gagap, Kamil, Pak Djo, Leaph, dan Ibu Sul merupakan tokoh dalam novel. Kedua, peneliti membagi unsur latar menjadi tiga bagian yaitu: latar tempat, latar waktu dan latar sosioal budaya. Latar tempat yang paling dominan adalah kota Solo, latar waktu yang paling dominan adalah tahun 1965, dan latar sosial budaya yang paling dominan adalah budaya masyarakat jawa. Ketiga, penelitian ini menemukan tiga jenis kekerasan struktural yang terdapat dalam novel, yaitu: (1) kekerasasn struktural tersebut ndialami oleh para simpatisan PKI, (2) kekerasan struktural terhadap masyarakat sipil masa orde baru, dan (3) kekerasan terhadap warga sipil di Kamboja.
Peneliti juga menemukan empat jenis kekerasan personal yang terdapat dalam cerita, yaitu sebagai berikut: (1) kekerasan personal terhadap organisasi kepemudaan, (2) kekerasan terhadap para simpatisan PKI, (3) kekerasan personal terhadap para wanita, dan (4) kekerasan personal terhadap warga sipil di Kamboja.
2.2 Kajian Teori
Kajian teori yaitu teori-teori yang digunakan sebagai dasar pijakan penelitian, adapun teori yang digunakan yaitu kajian struktural meliputi; tokoh, penokohan, alur dan kekerasan menurut Johan Galtung. Kedua teori tersebut dijabarkan sebagai berikut:
2.2.1 Kajian Struktural
Kajian struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secara cermat, teliti, semenditel serta mendalam akan keterkaitan dan keterjalinan semuan unsur dan aspek karya sastra yang sama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Analisis struktural karya sastra dalam karya fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur fiksi yang bersangkutan.
Menurut Wellek dan Warren (1989: 283) kritikus yang menganalisis novel umunya membedakan tiga unsur pembentuk novel yaitu alur, penokohan, dan latar. Oleh karena itu, penelitian terhadap novel Laut Bercerita karya Leila S.
Chudori didahului dengan mengkaji unsur intrisik. Dalam penelitian ini, unsur-unsur yang dipilih untuk diteliti adalah tokoh, penokohan dan alur untuk menganalisis kekerasan fisik terhadadap tokoh Laut dalam novel.
2.2.1.1 Tokoh
Yang dimaksud dengan tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1988:
16). Menurut Nurgiyantoro (2007: 165) istilah tokoh merujuk pada orangnya, pelaku cerita. Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007: 165) tokoh adalah
orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Tokoh-tokoh dalam cerita fiksi dapat dibedakan kedalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari mana sudut penamaan itu dilakukan. Pembedaan itu antara lain, tokoh utama dan tokoh tambahan dilihat dari segi peran atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita. Tokoh protagonis dan tokoh antagonis dilihat dari fungsi penampilan tokoh. Tokoh sederhana dan tokoh bulat dilihat dari perwatakannya. Tokoh statis dan tokoh berkembang dilihat dari berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh dalam cerita. Tokoh tipikal dan tokoh netral dilihat dari segi kemungkinan pencerminan tokoh terhadap manusia dari kehidupan nyata (Nurgiyantoro, 2007: 176-193).
Dalam penelitian novel Laut Bercerita, analisis tokoh akan dilakukan pada tokoh utama. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaanya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik dari segi pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian dan konflik. Tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan.
2.2.1.2 Penokohan
Menurut Jones (dalam Nurgiyantoro, 2007: 165) penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Menurut Nurgiyantoro (2007: 66) istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup
masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam cerita.
Menurut Altenbernd dan Lewis, secara garis besar ada dua teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya, yakni teknik ekspositori (expository) dan teknik dramatik (dramatic). Teknik ekspositori adalah teknik pelukisan tokoh cerita dengan cara memberikan deskripsi, uraian dan penjelasan secara langsung, sedangkan teknik dramatik merupakan teknik pelukisan tokoh yang dilakukan secara tidak langsung, artinya pengarang tidak mendesripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh, menyasati para tokoh cerita untuk menunjukkan kehadirannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan baik secara verbal maupun non verbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro, 1995: 194-198).
Dalam novel Laut Bercerita, penulis hanya akan meneliti penokohan tokoh utama, sebab fokus dari penelitian ini adalah kekerasan fisik terhadap tokoh utama. Unsur penokohan dalam penelitian ini menggambarkan bagaimana kondisi fisik dan sifat pada tokoh utama.
2.2.1.3 Alur
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita.
Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau yang menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain yang tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya (Stanton, 2007:26).
Alur merupakan tulang punggung cerita. Berbeda dengan elemen-elemen lain, alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang lebar dalam sebuah analisis. Sebuah cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang mempertautkan alur, hubungan kausalitas, dan keberpengaruhannya. Sama halnya dengan elemen-elemen lain, alur-alur memiliki hukum-hukum sendiri; alur hendaknya memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinan dan logis, dapat menciptakan bermacam-macam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan (Stanton, 2007: 28).
Alur maju (kronologis) menurut (Nurgiyantoro, 2007: 153) yaitu apabila pengarang dalam mengerutkan peristiwa-peristiwa itu menggunakan urutan waktu maju dan lurus. Artinya, peristiwa-peristiwa itu diawali dengan pengenalan masalah dan diakhiri dengan pemecahan masalah. Alur mundur (flashback) terjadi apabila pengarang mengutkan peristiwa-peristiwa itu tidak dimulai dari peristiwa awal, melainkan mungkin dari peristiwa tengah atau akhir (Nurgiyantoro, 2007:
154). Alur campuran yaitu apabila cerita berjalan secara kronologis. Namun, sering terdapat adegan-adegan sorok balik.
Tahapan alur terdiri dari:
1. Tahap Pengengalan (Exposition atau Orientasi)
Tahap pengenalan merupakan tahapan awal cerita yang di gunakan untuk mengenalkan tokoh, latar situasi dan waktu dan lain sebagainya.
2. Tahap Permunculan Konflik (Rising Action)
Tahap permunculan konflik merupakan tahap dimunculkannya masalah.
3. Tahap Konflik Memuncak ( Turning Point atau Klimaks)
Tahap konflik memuncak merupakan tahap dimana permasalahan atau ketegangan berada pada titik paling puncak.
4. Tahap Konflik Menurun (Antiklimaks)
Tahap konflik menurun (Antiklimaks) merupakan tahap dimana masalah mulai dapat diatasi dan ketegangan berangsur-angsur menghilang.
5. Tahap Penyelesaian (Resolsution)
Tahap penyelesaian merupakan tahap di mana konflik sudah terselesaikan sudah tidak ada permasalahan maupun ketegangan antar tokohnya karena telah menemukan penyelesaian.
2.2.2 Teori Kekerasan Menurut Johan Galtung
Kekerasan adalah semua bentuk tindakan, intensional dan / ataupun karena pembiaran dan kemasa bodohan, yang menyebabkan manusia (lain) mengalami luka, sakit, penghancuran, bukan cuma dalam arti fisik (Poerwandari, 2004: 13 - 14).
Menurut Galtung (dalam Windhu, 1992: 65) kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga relasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah relasi potensialnya. Pemahaman Galtung tentang kekerasan lebih lebih ditentukan pada segi akibat atau pengaruhnya.
Menurut Galtung (dalam Windhu, 1992: 64) kekerasan dibagi menjadi dua yaitu kekerasan struktural atau kekerasan tidak langsung dan kekerasan personal atau kekerasan langsung. Kekerasan struktural adalah kekerasan yang terjadi karena ketidaksamaan, terutama pada distribusi kekuasaan. Kekerasan struktural lebih dilihat sebagai kekerasan psikologis. Penyalahgunaan sumber-sumber daya, wawasan dan hasil kemajuan untuk tujuan lain atau dimonopoli oleh segelintir orang saja juga termasuk dalam kekerasan struktural.
Kekerasan struktural bersifat statis, memperlihatkan stabilitas tertentu dan tidak tampak. Dalam masyarakat statis, kekerasan struktural dianggap wajar.
Terdapat enam faktor yang mendukung kekerasan struktural, yaitu (a) urutan kedudukan linear, (b) pola imteraksi yang tidak siklis, (c) korelasi antara kedudukan, (d) persesuaian antar sistem, (e) keselarasan antarkedudukan dan (f) perangkapan yang tinggi antartingkat. Menurut Galtung, sistem-sistem sosial akan cenderung mengembangkan keenam mekanisme yang akhirnya memperbesar ketidaksamaan (Windhu, 1992: 75).
Selain kekerasan struktural, Galtung (dalam Windhu, 1992: 73) juga mengungkapkan kekerasan personal. Kekerasan personal disebut juga sebagai kekerasan langsung, contohnya melukai atau membunuh orang. Kekerasan personal bersifat dinamis, mudah diamati, memperlihatkan fluktuasi yang hebat yang dapat menimbulkan perubahan. Kekerasan personal bertitik berat pada
“realisasi jasmani aktual”. Galtung menampilkan tiga pendekatan untuk melihat tipologi kekerasan personal, yaitu: (a) cara yang digunakan mulai dengan badan manusia itu sendiri (tinju, karate, akido) sampai segala macam senjata mutakhir;
(b) bentuk organisasi, mulai dengan individu lain dalam bentuk gerombolan dan massa rakyat dan berakhir dengan organisasi gerilya modern atau pertempuran dengan menggunakan pasukan; dan (c) sasaran pendekatan yaitu manusia.
Kekerasan personal dapat dibedakan dari susunan anatomis (secara struktural) dan fisiologis (secara fungsional). Menurut Galtung, kekerasan anatomis itu bersifat menghancurkan (pertandingan tinju, katapel), merobek, (menggantung, menarik, memotong), menembus (pisau, tombak, peluru), membakar (pembakaran, nyala), meracuni (dalam air, makanan, gas), dan penguapan (seperti di dalam ledak nuklir).
Menurut Galtung, kekerasan fisiologis merupakan tindak kekerasan yang bertitik berat pada realisasi jasmani aktual yaitu, yang berfungsi untuk mencegah supaya mesin (manusia) itu tidak berfungsi. Tindak kekerasan ini bersifat, meniadakan udara (mencekik, penyempitan), meniadakan air (dehidrasi), meniadakan makanan (kelaparan karena perang), dan meniadakan gerak dengan:
pembatasan badan (rantai, gas), pembatasan ruang (penjara, tahanan, dibuang), pengadilan otak (melemahkan syaraf, cuci otak).
Menurut Galtung (dalam Windhu, 1992: 74) perbedaan antara anatomis dan fisiologis terletak pada kenyataan bahwa yang pertama sebagai usaha menghancurkan mesin manusia sendiri (badan), yang kedua untuk mencegah supaya mesin itu tidak berfungsi. Dalam meneliti novel Laut Bercerita, penelitian ini terfokus pada kekerasan fisik yang dialami tokoh utama, Laut dalam novel.
Dalam meneliti bentuk-bentuk kekerasa fisik yang dialami tokoh Laut, peneliti menggunakan teori kekerasan yang dikembangkan oleh Johan Galtung.
Berdasarkan teori yang telah dipaparkan di atas, fokus penelitian ini meliputi kekerasan fisik yang bentuknya berupa; (1) kekerasan anatomis dan, (2) kekerasan fiisiologis.
2.3 Kerangka Berpikir
Karya sastra adalah ciptaan yang disampaikan dengan komunikatif tentang maksud penulis untuk tujuan estetika. Karya sastra dapat berupa pencerminan kehidupan manusia yang kompleks dengan segala permasalahan baik secara individu maupun sosial. Novel merupakan salah satu jenis karya sastra yang bersifat fiksi. pada dasarnya unsur pembangun novel di kelompokkan menjadi dua unsur, yaitu unsur intrisik dan ekstrisik. Unsur instrisik adalah unsur dalam cerita itu sendiri. Unsur intrisik terdiri atas; tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.
Penelitian yang dilakukan dalam novel Laut Bercerita karya Leila S.
Chudori menekankan pada aspek kekerasan fisik terhadap tokoh Laut dengan menggunakan teori yang dikembangkan Johan Galtung. Penelitian ini menggunakan tinjauan struktural untuk mengetahui tokoh utama, pekohan tokoh utama, dan alur dalam novel.
Secara sederhana kerangka penelitian ini digambarkan dalam bagan berikut ini:
Bagan I. Kerangka Berpikir
Karya Sastra
Teori Kekerasan Johan Galtung
Kajian Stuktural Novel Laut Bercerita Karya
Leila S. Chudori
Tokoh Utama Penokohan Tokoh Alur
Utama
Kekerasan Anatomis Kekerasan Anatomis
Kekerasan Fisik
21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian yang berjudul Kekerasan Fisik Terhadap Tokoh Laut Dalam Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori: Pendekatan Struktural ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif karena data yang diambil berupa kata-kata yang digunakan untuk mendeskripsikan tokoh (tokoh utama), penokohan (tokoh utama) dan alur dalam novel. Penelitian ini juga mendeskripsikan kekerasan fisik terhadap tokoh Laut dalam novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori.
Bogdan dan Taylor (dalam J. Moleong, 1989: 3) mendefinisikan penelitian kulitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang dapat diamati. Metode deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia (Sukmadinata, 2006: 72). Berdasarkan metode tersebut, peneliti akan menggali masalah yang diangkat dalam novel Laut Bercerita karya Leila S.
Chudori.
3.2 Data dan Sumber Data
Data yang digunakan adalah berupa kutipan-kutipan dari novel Laut Bercerita. Identitas sumber data yang digunakan adalah:
Judul : Laut Bercerita Pengarang : Leila S. Chudori
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta
Tahun Terbit : 2017 Tebal Buku : 379 halaman Ukuran :13,5 x 20 cm ISBN :978-602-424-698-5 3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah teknik baca dan teknik catat. Pengumpulan data pada penelitian ini diawali peneliti dengan membaca novel Laut Bercerita secara teliti kemudian mencatat hal yang berkaitan dengan tokoh, penokohan dan alur dalam novel tersebut, serta mengidentifikasi masalah yang akan dikupas, yaitu kekerasan fisik terhadap tokoh Laut.
3.4 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif yang artinya data terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar-gambar, bukan dalam bentuk angka-angka. Penggunaan kutipan-kutipan dalam novel juga diikutsertakan untuk mempermudah deskripsi data (Semi, 1993: 24).
Langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Membaca dan memahami isi novel Laut Bercerita karya Leila S.
Chudori secara berulang-ulang, cermat dan teliti.
2. Menentukan tokoh, penokohan, dan alur dalam novel.
3. Mengidentifikasi data yang berhubungan dengan bentuk kekerasan fisik yang akan dikaji dengan teori yang dikembangkan oleh Johan Galtung.
4. Menyajikan data dalam bentuk tabel dari hasil identifikasi.
5. Analisis data.
6. Mendeskripsikan data yang telah dianalisis ke dalam penelitian.
23 BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Data
Dalam bab ini, secara keseluruhan hasil penelitian dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Hasil penelitian tersebut meliputi (1) analisis struktural meliputi; tokoh (tokoh utama), penokohan (tokoh utama) dan alur yang membentuk jalannya cerita dalam novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori.
(2) analisis bentuk kekerasan fisik yang dialami tokoh Laut.
4.2 Analisis Struktural 4.2.1 Tokoh
Yang dimaksud dengan tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1988:
16). Dalam novel Laut Bercerita, terdapat banyak tokoh. Dalam penelitian ini penulis hanya akan meneliti tokoh utama sebab, fokus dari penelitian ini adalah kekerasan fisik terhadap tokoh utama.
4.2.1.1 Tokoh Utama
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaanya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik dari segi pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian dan konflik. Peran tokoh utama adalah sebagai penentu perkembangan jalannya cerita secara keseluruhan.
Berdasarkan analisis yang dilakukan, tokoh utama dalam novel Laut Bercerita adalah Biru Laut.
Dalam novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori, Biru Laut berperan sebagai tokoh utama. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan dan menjadi perhatian pengarang. Ia dikenai kejadian dan menjadi penggerak jalannya cerita. Novel ini menceritakan kehidupan Laut yang tergabung dalam sebuah organisasi yang kemudian dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Laut kemudian ditangkap, disiksa secara keji dan dihilangkan secara paksa (dibunuh).
4.2.2 Penokohan Tokoh Utama
Menurut Nurgiyantoro (2007: 66) istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam cerita. Berdasarkan analisis yang dilakukan, penokohan tokoh utama dalam novel Laut Bercerita adalah sebagai berikut:
Secara fisik Laut digambarkan sebagai pria yang betubuh tinggi. Berikut kutipan yang menjelaskan Laut secara fisik:
Kakakku yang bertubuh tinggi, berbau matahari, berkeringat dan lapar (Chudori, 2017: 234).
Meski dari jauh, aku mengenali rambutnya yang berminyak, tak beraturan, dan pasti jarang menyentuh sisir (Chudori, 2017: 234).
Dalam kutipan-kutipan di atas, melalui Asmara Jati dapat diketahui bahwa secara fisik Laut adalah pria yang bertubuh tinggi, berbau matahari, memiliki rambut yang berminyak dan tak beraturan. ia adalah kakak sulung Asmara Jati. Ia merupakan Sosok kakak yang menyebalkan bagi adiknya. Berikut ini kutipannya:
Tapi Mas Laut adalah kakak sulung. Tentu saja bukan Mas Laut kalau dia tidak memecahkan gelembung fantasi yang tergambar begitu indah di antara kami berdua. Dengan suara keras–terus terang agak norak- dia berseru, Kami akan pindah ke Jakarta, Mar!”
Tapi Mas Laut adalah kakak sulung. Tentu saja bukan Mas Laut kalau dia tidak memecahkan gelembung fantasi yang tergambar begitu indah di antara kami berdua. Dengan suara keras–terus terang agak norak- dia berseru, Kami akan pindah ke Jakarta, Mar!”