• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Kinerja Pelayanan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Tahun 2009-2013

2. Data Kekerasan Perempuan dan Anak

Di dalam masyarakat umumnya dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan kekerasan, seperti antara lain, “violence against women, “gender based violence”, “gender violence”,

“domestic violence” yang korbannya adalah perempuan, sementC.ara bagi anak-anak dikenal juga istilah, “working children”, “street childern”, “childern in armed conflict”, “urban war zones”, dan sebagainya. Perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan untuk menjadi korban kekerasan walaupun kecenderungan akhir-akhir ini kelompok ini juga menjadi kelompok pelaku pada perempuan dan anak lainnya.

a) Jenis dan Korban Tindak Kekerasan

Kekerasan pada perempuan dan anak jika dilihat dari jenis dan tempatnya dapat dilihat dari dua sumber di bawah ini.

Tabel 2.6

Jumlah Kasus Kekerasan Pada Perempuan dan Anak Yang Ditangani P2TP2A Provinsi Riau Tahun 2014-2016

No Jenis Kasus 2014 Tahun2015 2016 Jumlah

1 KDRT 50 41 72 163

2 Kekerasan Seksual 33 32 38 103

3 Hak Asuh Anak 9 14 26 26

4 Kekerasan Fisik 14 7 4 25

5 Kekerasan Psikis /

Bullying 3 8 6 17

6 ABH 7 1 10 18

7 Narkoba 0 3 3 6

8 Trafficking 3 5 3 11

9 Dll 17 21 13 51

Jumlah 136 132 175 443

Sumber : P2TP2A Provinsi Riau, 2016

Tren kekerasan yang terjadi di Riau yang datang ke P2TP2A adalah kekerasan pada perempuan dengan jumlah yang cukup tinggi adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Data tersebut hanya data yang langsung ditangani oleh P2Tp2A Provinsi saja, tidak termasuk yang ditangani langsung oleh P2TP2A Kabupaten/ Kota. Selanjutnya akan dilihat dalam bentuk persentase data tersebut.

Sumber : P2TP2A Provinsi Riau, 2016

Gambar 2.5 Kasus Kekerasan Pada Perempuan dan Anak Yang Ditangani P2TP2A Provinsi Riau, Tahun 2014-2016

P2TP2A merupakan lembaga independent yang dibentuk oleh DPPPA yang berfungsi menangani dan mendampingi kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak memperlihatkan bahwa data kekerasan lebih dominan kekerasan terjadi adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jika dilihat dari persentase maka KDRT mencapai 40%

dan diikuti dengan kekerasan seksual yang justru semakin ke sini semakin tinggi angka kekerasan seksual, yakni sampai bulan april saja sudah mencapai 42 % dari seluruh kasus yang terjadi. Hal ini memperlihatkan bahwamasyarakat sudah mulai memahami tentang hak-haknya, walaupun itu ranahnya adalah rumah tangga dan sangat sulit untuk dibuktikan.

Kekerasan dalam rumah tangga baik yang diterima oleh lembaga P2TP2A Provinsi maupun melalui unit PPA Polres dan Polresta, memperlihatkan bahwa masyarakat sudah berani melaporkan tentang hal-hal yang menyangkut pelanggaran

HAM atas dirinya. Selain keberanian dan pengetahuan masyarakat yang sudah tinggi ini juga dapat dilihat dari tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga lembaga yang ada, baik itu lembaga yang ada pada masyrakat (P2TP2A) maupun lembaga hukum (Kepolisian).

Apresiasi pada pihak berwajib karena telah berani mengungkapkan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak yang dahulunya diangkap kasus yang sulit untuk dibawa ke ranah hukum apalagi jika pelakunya adalah keluarga sendiri, karena biasanya kasus ini diminta untuk menunjukan saksi.Padahal khusus kasus kekerasan seksual pada anak apalagi jika korbannya dibawah umur 10 tahun sangat tidak mungkin bisa ditunjukan saksi selain saksi korban itu sendiri.

Selain itu juga biasanya diminta hasil visum, padahal kekerasan seksual bisa saja bentuknya macam-macam sehingga tidak meninggalkan bekas sama sekali.

Tindak kekerasan di dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum.Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sehingga tidak sedikit korban enggan melaporkan kekerasan yang mereka alami bahkan masih ada merasakan aib keluarga.

Bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindakkekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.Namun jika diamati secara rinci di Riau ada beberapa komintas atau kelompok masyarakat yang sering mengalami kekerasan.

Selanjutnya dapat dilihat kasus KDRT yang terjadi antara yang dilaporkan ke lembaga P2TP2A Provinsi langsung

dan juga yang dilaporkan ke Kepolisian yang kemudian dari pihak kepolisian jika belum ada unsur pidananya biasanya dirujuk ke P2TP2A untuk memidiasi kasus tersebut sampai P2TP2A merasa harus diproses secara hukum .

Faktanya antara Kepolisian dan P2TP2A telah melakukan sinerginitas kasus, khususnya mana kasus yang harus dibawa ke ranah hukum dan mana yang cukup dimediasi oleh P2TP2A, karena kasus KDRT adalah kasus yang spesifik dan lex specialis artinya perlakuan dan penerapan undang-undang tersebut secara khusus.

Sumber : Data Olahan 2016

Gambar 2.6 Persentase Kasus KDRT Berdasarkan Jenis Kasus Yang Ditangani P2TP2A Provinsi Riau Tahun 2016 Dari gambar diatas memperlihatkan bahwa kasus yang banyak masuk adalah kasus KDRT yang tren tiap tahun tetap tinggi, dan diikuti kekerasn psikisdan Fisik serta kekerasan penelantaran. Kekerasan yang paling banyak dilaporkan ke P2TP2A Provinsi termasuk pada kategori Psikis, yang mana kekerasan psikis atau dalam pasal 7 Undang-undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,

hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. lebih rinci dapat dijelaskan bahwa Kekerasan psikis memang sulit untuk dilihat, bahkan bisa jadi korban tidak menyadari bahwa dirinya mengalami kekerasan psikis. Secara umum, disebut sebagai kekerasan psikis apabila:

Ada pernyataan yang dilakukan dengan umpatan, amarah, penghinaan, pelabelan negative, atau sikap dan gaya tubuh yang merendahkan;

Tindakan tersebut menekan, mencemooh/menghina, merendahkan, membatasi, atau mengontrol korban agar memenuhi tuntutan pelaku;

Tindakan tersebut menimbulkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya

Kasus kekerasan fisik juga cukup tinggi yakni 23 % yang dilanjutkan dengan kasus kekerasan penelantaran. Kasus penelantaran ini lebih banyak dijumpai pada ayah atau suami yang tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.

Bahkan ditemukan bahwa setelah menikah jika hak asuh anak diberikan kepada ibu, maka sang ayah seolah-olah membuat statment gugurnya kewajiban ayah untuk menafkahi anaknya.

Padahal menurut undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jelas-jelas mengungkapkan bahwa Ayah berkewajiban memenuhi kebutuhan baik materi maupun non-materi pada anak.

Selain itu kasus KDRT juga banyak dijumpai kekerasan seksual, hal ini amatlah miris sekali ditengah-tengah masyarakat yang seharusnya lembaga keluarga adalah kelompok garda yang paling depan dalam melindungi anggota keluarganya dari korban kekerasan, justru di keluarga ini mereka mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh dari

anggota keluarga yang lain terutama kasus seksual. Kasus yang terjadi adalah kasus orang tua kandung, orang tua angkat dan abang kandung/angkat serta paman bahkan kakeknya sendiri sebagai pelaku kekerasan seksual (perkosaan) dan bahkan ada yang sampai memiliki anak.

Di ranah personal, institusi perkawinan belum menjadi tempat yang aman bagi perempuan yang dicirikan dengan tingginya kasus kekerasan terhadap istri.Banyak perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga mencari jalan keluar dari kekerasan yang dialaminya melalui perceraian.Dari data yang didapat dari pengadilan agama bahwa 80% perceraian yang diputuskan adalah Gugat cerai.

Artinya pengajuan perceraian dari pihak perempuan,. Jika dilihat dari alasan melakukan perceraian yang sangat dominan adalah faktor ekonomi dan suami tidak bertanggung jawab.

Selain itu faktor krisis akhlak dan ikut campurnya pihak ketiga. Jika dihubungkan dengan UU PKDRT, unsur tersebut masuk dalam kategori Penelantaran ekonoi, kekerasak psikis.

Kasus tertinggi yang kedua yang ditangani setelah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) P2TP2A adalah kekerasan Seksual yang terjadi pada perempuan dan anak.

Untuk jelasnya dapat dilihat gambar 2.7 tentang persentase usia dari koban kekerasan seksual sehingga akan terlihat korban pada anak dibawah umur ataupun pada perempuan dewasa.

Gambar 2.7 Persentase Kasus Kekerasan Seksual Berdasarkan Usia Korban, Tahun 2016

Gambar 2.7 diatas memperlihatkan data dimana jika dilihat dari usia korban kekerasan seksual justru hampir 80%

adalah anak-anak baik itu pada anak perempuan maupun pada anak laki-laki keduanya memiliki kerentanan yang sama tinggi. Dan bahkan ada korban berusia dibawah 3 (tiga tahun), dan data usia korban rata-rata trennya selalu tinggi di tiap tahun adalah anak yang berusia 13 tahun hingga 15 tahun . untuk jenis kelamin korban hampir sama saja, bahwa korban anak laki-laki sama rentannya dengan korban anak perempuan. Dahulu masyarakat lebih kuatir pada anak perempuan, namun sekarang kasus sudah dalam kondisi yang sama mengkuatirkannya.

Lebih jelasnya berikut akan ditampilkan gambar tentang kondisi atau tren kekerasan yang korbannya anak-anak yang berada pada usia dibawah 18 (delapan belas tahun).

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang mengklaster jenis kekerasan pada anak, antara lain :

Gambar 2.8 Persentase Kasus Kekerasan Pada Anak Berdasarkan Jenis Kekerasan Tahun 2016 Berbeda dengan kekerasan pada perempuan, pada anak lebih terlihat tinggi kasusnya adalah kekerasan seksual, bahkan hampir mencapai separohnya. Kemudian di susul dengan kasus kategori Dan lain-lain, hal ini antara lain termasuk Hak asuh anak, anak yang dilarikan, dan juga anak yang tidak mendapatkan hak dasarnya (pendidikan dan kesehatan). kemudian diikuti pada kekerasan fisik dan psikis.

Tahun 2016 ini kekerasan psikis lebih banyak terjadi pada anak, yang pelakunya bisa saja anak maupun orang dewasa.Dampak dari kekerasan psikis atau bullying hingga ada yang mencoba bunuh diri.Selanjutnya akan dipaparkan tentang persentase kasus kekerasan berdasarkan bentuk kekerasan yang dialami.

Sumber: Dinas PP dan PA Provinsi Riau, data diolah Tahun 2016

Gambar 2.9 Persentase Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak Tahun 2016

Pada gambar 2.9 menerangkan bahwa kekerasan tertinggi yang dialami anak adalah korban kekerasan seksual, dan tren ini pada tahun 2016 kasus pelecehan sangat tinggi yakni 71%. Pelecehan seksual pada anak adalah kondisi dimana anak terlibat dalam aktivitas seksual dimana anak sama sekali tidak menyadari, dan tidak mampu mengkomunikasikannya, atau bahkan tidak tahu arti tindakan yang diterimanya. Semua tindakan yang melibatkan anak dalam kesenangan seksual masuk dalam kategori ini:

Pelecehan seksual tanpa sentuhan, termasuk di dalamnya jika anak melihat pornografi, atau exhibitionisme, dsb.

Pelecehan seksual dengan sentuhan, semua tindakan anak menyentuh organ seksual orang dewasa termasuk dalam kategori ini. Atau adanya penetrasi ke dalam vagina atau anak dengan benda apapun yang tidak mempunyai tujuan

medis. Kasus ini yang sangat dominan dan malahan ada orang tua yang menyuruh melakukan oral seks pada anak kandungnya.

Eksploitasi seksual, meliputi semua tindakan yang menyebabkan anak masuk dalam tujuan prostitusi, atau menggunakan anak sebagai model foto atau film porno (kasus ini terjadi di kota Duri dan Pekanbaru) modus yang di duri adalah melalui media social (facebook) yang mengiklankan bahwa bisa menjadikan mereka artis.

Awalnya memang digiring anak-anak tersebut untuk capasitas mereka namun lama kelaman mereka mulai diarahkan untuk berfose telanjang. Kasus kedua adalah di Kota Pekanbaru, yang mana terbongkarnya sindikat prostitusi online yang terjadi terhadap anak-anak remaja pekanbaru.

b) Tempat Terjadinya Tindak Kekerasan

Secara kewilayahan, kekerasan pada perempuan dan anak secara garis bersar bisa dipetakan sebagai berikut :

Tabel 2.7

Jumlah Kekerasan Pada Perempuan dan Anak Berdasarkan Kabupaten/ Kota Tahun 2016

Kabupaten/Kota Tahun Jumlah

2015 2016

Kota Pekanbaru 78 75 153

Kabupaten Kampar 19 10 29

Kabupaten Bengkalis 15 25 40

Kota Dumai 2 8 10

Kabupaten Rokan Hulu 2 12 14

Kabupaten Rokan Hilir 3 15 18

Kabupaten Indragiri Hilir 3 7 10

Kabupaten Indragiri Hulu 1 5 6

Kabupaten Kep. Meranti 2 8 10

Kabupaten Siak 3 2 5

Kabupaten Kuantan Singingi 7 10 17

Kabupaten/Kota Tahun Jumlah 2015 2016

Kabupaten Pelalawan 7 9 16

Jumlah 142 186 328

Gambar selanjutnya menggambarkan tentang tingkat persentasenya diantara kabupaten tersebut dan yang dilihat adalah tren dua tahun terakhir, yakni tahun 2015 dan 2016.

Sumber: Dinas PP dan PA Provinsi Riau, data diolah Tahun 2016

Gambar 2.10 Persentase Kasus Kekerasan Pada Perempuan dan AnakBerdasarkan Kabupaten/Kota Tahun 2016 Perlu diingat dalam hal ini adalah data yang ada pada P2TP2A saja, artinya data yang ada pada Kabupaten Kota tidak termasuk. Tren yang terlihat adalah Kota Pekanbaru merupakan kota/kabupaten yang tertinggi terjadinya kekerasan pada perempuan dan anak yakni mencapai 67%.

Hal ini dapat dipahami selain kota pekanbaru adalah ibu kota dari Provinsi Riau dan juga sekretariat dari P2TP2A Provinsi juga berada di Kota Pekanbaru.

Selain itu untuk tahun 2016 Pemerintahan Kota Pekanbaru tidak menganggarkan sama sekali untuk operasional dari P2TP2A Kota Pekanbaru. Satu sisi bisa dilihat

bahwa kota pekanbaru kota yang sangat rentan dengan tindak kekerasan pada perempuan dan anak, namun disisi lain, tingginya angka kekerasan yang dicover baik dari kepolisian maupun di lembaga lain yang ada menunjukan keberanian dari masyarakat Kota Pekanbaru melaporkan tiap kejahatan yang dialami walaupun itu dilakukan oleh orang yang dekat dengan mereka bahkan keluarga inti mereka sendiri.

Kabupaten Kampar kabupaten yang kedua setelah Kota Pekanbaru, secara geografis kabupaten kampar berdekatan dengan kota pekanbaru, sehingga kaakteristik kota dan masyarakatnya hampir sama. Namun demikian, kabupaten kampar juga banyak perkebunan sawit yang cukup besar dan luas, serta kejadian kekerasan tersebut justru terjadi disekittar perkebunan tersebut.Selain itu wilayah kampar juga banyak pendatang dan merupakan lintas antara kabupaten dan ke provinsi lain (sumatera Barat).

Kabupaten Bengkalis juga tidak jauh berbeda dengan kondisi kota pekanbaru, kabupaten bengkalis juga merupakan kota industri dan perlintasan wilayah sumatera serta beberapa wilayahnya juga berbatasan langsung dengan negara tetangga (Rupat Utara). Kecamatan Mandau dan Pinggir adalah dua kecamatan yang cukup tinggi penyumbang tindakan kekerasan.

Sumber: Dinas PP dan PA Provinsi Riau, data olahan Tahun 2016

Gambar 2.11 Persentase Kasus Kekerasan Pada Perempuan dan AnakBerdasarkan Lokasi Kejadian Tahun 2016 Berdasarkan tempat kejadian tindakan kekerasan pada perempuan dan anak, terlihat pada gambar 9 diatas, bahwa yang tertinggi adalah tempat umum.Tempat umum ini bisa di jalan yang sangat sepi, seperti yang dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa di Provinsi riau banyak terdapat perkebunan sawit baik yang dikelola oleh pihak perusahaan maupun yang dikelola oleh individu/ masyarakat, artinya wilayah itu sangat jauh dari pemukiman masyarakat dan sangat sepi, sehingga sangat rawan terjadi tindak kekerasan terutama bagi peremuan dan anak. Selain dari perkebuanan di riau juga banyak daerah yang sepi misalnya eksplorasi pertambangan, serta pelabuhan.Ini merupakan wilayah yang sangat rentan terjadi tindak kekerasan. Di perkotaan dalam hal ini kota pekanbaru tempat umum banyak terjadi di areal taman bermain anak-anak, atau di tempat perbelanjaan, dan tempat umum lainnya.

Di dalam rumah tangga juga cukup tinggi lokasi kejadiannya, ini memperlihatkan bahwa kasus KDRT cukup tinggi, artinya bahwa kekerasan di ranah personal dilakukan

oleh orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban. Ironisnya, angka kekerasan di ranah personal, lebih tinggi dari ranah lainnya, ini mematahkan mitos bahwa rumah adalah tempat yang aman bagi perempuan dan anak.

c) Pelaku Tindak Kekerasan

Pelaku kekerasan biasanya adalah orang yang terdekat dengan perempuan dan anak tersebut, karena biasanya perempuan dan anak tidak akan berada jauh dari rutinitas aktifitasnya sehari-hari, yakni lingkup rumah tangga, tetangga, tempat umum (ke pasar, kantor, sekolah dll). Sehingga dapat ditebak bahwa dominan pelaku dari tindak kekerasan pada perempuan dan anak lebih banyak orang yang berada disekitas perempuan dan anak tersebut, dengan kata lain rerata pelaku sudah dikenal sebelumnya.

Gambar 2.12 menggambarkan kondisi kekerasan perempuan dan anak di Provinsi Riau dilihat dari hubungan korban dengan pelaku kekerasan tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

Sumber: Dinas PP dan PA Provinsi Riau, data olahan Tahun 2016

Gambar 2.12 Persentase Kasus Kekerasan Pada Perempuan dan AnakBerdasarkan Hubungan Pelaku dengan Korban Tahun 2016

Dapat dilihat bahwa yang menjadi pelaku dari kekerasan ternyata bahwa benar pelaku adalah orang yang dikenal bahkan orang yang dekat dengan korban, yaitu suami, ayah dan ibu baik kandung maupun tiri atau angkat..Ini bisa dikategorikan pada kasus KDRT, baik berbentuk fisik, penelantaran maupun kekerasan psikis.

Jika dilihat dari tren kasus kekerasan pada perempuan dan anak adalah kekerasan seksual, maka tabel berikut memperlihatkan hubungan antara pelaku dengan korban kekerasan seksual yang dapat digambarkan pada grafik selanjutnya.

Sumber: Dinas PP dan PA Provinsi Riau, data olahan Tahun 2016

Gambar 2.13 Persentase Kasus Kekerasan Seksual Pada Perempuan dan AnakBerdasarkan Hubungan Pelaku dengan Korban Tahun 2016

Pada bagian terdahulu sudah dijelaskan bahwa pelaku dari kekerasan pada anak khusunya adalah orang yang dikenal, bahkan orang yang terdekat dengan korban. Data diatas memperlihatkan hal tersebut, bahwa pelakunya ada dari keluarga sendiri yang seharusnya melindungi mereka. Selain itu juga bisa dilihat dari status pekerjaan dari pelaku, yakni dosen dan guru yang merupakan orang yang berpendidikan dan tidak jarang orang yang sangat dipercaya oleh korban.

Selain dari hubungan pelaku dengan korban, berikut akan dipaparkan tentang usia dari pelaku tindak kekerasan seksual pada perempuan dan anak.

Sumber: Dinas PP dan PA Provinsi Riau, data olahan Tahun 2016

Gambar 2.14 Persentase Kasus Kekerasan Seksual Pada Perempuan dan AnakBerdasarkan Usia Pelaku, Tahun 2016

Keprihatinan tidak saja ditujukan untuk korban kekerasan seksual, jika diperhatikan gambar 10 diatas adalah cukup tingginya persentase pelaku anak dibawah 10 tahun.

Walaupun persentase tersebut menurun pada tahun 2016 namun bukan berarti hilang, artinya masih terdapat anak-anak dibawah umur 10 tahun menjadi pelaku.

d) Faktor Pendorong/Penyebab Terjadinya Tindak Kekerasan Kekerasan terhadap perempuan adalah Segala bentuk kekerasan berbasis jender yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan pada perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi. (Deklarasi PBB tentang anti kekerasan terhadap perempuan pasal 1, 1983).

Seringkali kekerasan pada perempuan terjadi karena adanya relasi atau hubungan yang tidak seimbangn antara

perempaun dan laki- laki hal ini disebut ketimpangan atau ketidak adilan jender.Ketimpangan jender adalah perbedaan peran dan hak perempuan dan laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dari laki-laki. “Hak istimewa” yang dimiliki laki-laki ini seolah-olah menjadikan perempuan sebagai “barang” milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan

Berbagai literatur banyak membahas tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan pada perempuan dan anak, khususnya di ranah domestik.Berbagai teori dan perspektif juga di jadikan dasar dalam menganalisa fenomena kekerasan tersebut. Perspektif gender beranggapan tindak kekerasan terhadap istri dapat dipahami melalui konteks sosial. Menurut Berger (1990), perilaku individu sesungguhnya merupakan produk sosial, dengan demikian nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat turut membentuk prilaku individu artinya apabila nilai yang dianut suatu masyarakat bersifat patriakal yang muncul adalah superioritas laki-laki dihadapan perempuan, manifestasi nilai tersebut dalam kehidupan keluarga adalah dominasi suami atas istri.

Mave Cormack dan Stathern menjelaskan terbentuknya dominasi laki-laki atas perempuan ditinjau dari teori nature and culture. Dalam proses transformasi dari nature ke culture sering terjadi penaklukan. Laki-laki sebagai culture mempunyai wewenang menaklukan dan memaksakan kehendak kepada perempuan (nature).

Secara kultural laki-laki ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari perempuan, karena itu memiliki legitimasi untuk menaklukan dan memaksa perempuan. Dari dua teori ini

social structure yang kondusif bagi dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga mempengaruhi prilaku individu dalam kehidupan berkeluarga.

Secara garis besar tindak kekerasan terhadap perempuan dalam hal ini adalah istri, terjadi karena beberapa faktor, faktor tersebut antara lain :

1. Budaya Patriarkhi.

Budaya yang mendudukan laki-laki sebagai makhluk superior dan perempuan sebagai makhluk imferior (lemah).

Dengan dominasi budaya patriarki yang masih melekat, perempuan dewasa, remaja, maupun anak menjadi golongan paling rentan menjadi sasaran kekerasan, dalam berbagai bentuk. Terutama anak perempuan, karena anak masih memiliki ketergantungan terhadap orang dewasa di lingkungannya.

2. Interprestasi yang keliru terhadap Ajaran Agama.

Seringkali ajaran agama yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin perempuan di-interpretasikan sebagai pembolehan bahkan harus dalam mengontor dan menguasai istrinya secara berlebihan atau tidak sewajarnya. Sehingga sering menjadi alasan istri yang durhaka jika berani membantah walaupun untuk hal-hal yang tidak pantut.

3. Pengaruh Role Model

Laki-laki sebagai pelaku seringkali mengekspresikan kemarahan mereka dengan melakukan tindak kekerasan karena pengalaman yang diperoleh dari keluarga asalnya.

Anak laki-laki tumbuh didalam lingkungan keluarga dimana ayah sering memukul atau berperilaku kasar terhadap ibunya pada umumnya cenderung akan meniru pola tersebut kepada pasangannya.

Jika dihubungkan antara pandangan dan perspektif diatas dengan kondisi dilapangan hampir tidak ada

perbedaannya, dimana faktor utama dari penyebab atau pemicu terjadinya kekerasan pada perempuan dan anak khususnya dalam lingkup rumah tangga antara lain :

perbedaannya, dimana faktor utama dari penyebab atau pemicu terjadinya kekerasan pada perempuan dan anak khususnya dalam lingkup rumah tangga antara lain :

Dokumen terkait