• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Data Penampilan Reproduksi Induk Mencit Betina

Pengamatan terhadap penampilan reproduksi induk mencit betina pada perlakuan ekstrak N-heksan buah andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) yang diberikan pada umur kebuntingan 0-10 hari meliputi jumlah implantasi, kematian intra uterus: embrio resorb dan fetus mati, kehilangan praimplantasi dan jumlah korpus luteum dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Penampilan Reproduksi Induk Mencit Betina Perlakuan Ekstrak N-heksan Buah Andaliman. JI: Jumlah Implantasi, ER: Embrio Resorb, FM: Fetus Mati, KL: Korpus Luteum, KPI: Kehilangan Praimplantasi

Berdasarkan Gambar 4.1. dapat diketahui jumlah implantasi pada kelompok perlakuan KP (11,00), P1 (9,00), P2 (11,67), P3 (12,00) memiliki jumlah yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol K0 (12,57) dari hasil uji statistik (Lampiran A.1) menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) antara kelompok perlakuan dibanding dengan kelompok kontrol. Ekstrak N-heksan buah andaliman dapat menyebabkan terganggunya perkembangan embrio yang dicerminkan dengan menurunnya jumlah implantasi.

Penurunan jumlah implantasi seiring dengan meningkatnya kematian intrauterus dan kehilangan praimplantasi. Penurunan jumlah implantasi kemungkinan disebabkan oleh kandungan senyawa kimia aktif yang terkandung di dalam andaliman seperti steroid salah satunya betasitosteroid (Lampiran Hasil Uji Skrining). Senyawa tersebut tidak dapat didetoksifikasi oleh induk mencit sehingga dapat mempengaruhi proses cleavage dan penanaman embrio di dalam endometrium. Menurut Winarno & Sundari (1997), betasitosterol merupakan derivat steroid yang dapat menurunkan kadar esterogen, FSH, dan progesteron di dalam tubuh yang dapat mempengaruhi jumlah implantasi. Begitu juga dengan pernyataan Hadisaputra (1993 dalam

Tampubolon, 2000), penurunan jumlah implantasi disebabkan oleh konsentrasi esterogen dan progesteron menurun pada saat praimplantasi sehingga lingkungan steroidal tidak sesuai untuk implantasi.

Dari Gambar 4.1. dapat dilihat terjadi peningkatan persentase embrio resorb secara kualitatif yang sejalan dengan peningkatan konsentrasi perlakuan pada kelompok perlakuan KP (1,06), P1 (2,81), P2 (8,34), P3 (5,56) dibanding dengan kelompok kontrol K0 (1,74), hasil uji statistik (Lampiran A.2) menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) antara kelompok perlakuan dibanding dengan kelompok kontrol. Meskipun secara statistik tidak berbeda nyata namun terjadi peningkatan kejadian embrio resorb secara kualitatif sehingga ekstrak N-heksan buah andaliman dapat dikatakan bersifat embriotoksik. Hal ini kemungkinan karena lamanya pemberian senyawa kimia aktif ekstrak N-heksan buah andaliman seperti terpenoid dan steroid (Lampiran Hasil Uji Skrining) jika diberikan dari 0 sampai 10 hari kebuntingan bersifat teratogenik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harbinson (1980

dalam Susantin et al., 2006), bahwa suatu zat yang memiliki sifat teratogenik dapat menyebabkan kematian intra uterus diikuti dengan resorb. Menurut Winarno &

Sundari (1995), golongan steroid dan terpenoid memiliki sifat sebagai antifertilitas yang bekerja menurunkan kadar progesteron di dalam tubuh yang dapat meningkatkan kejadian embrio resorb.

Gambar 4.2. Embrio Resorb. ER: Embrio Resorb, KP : Kontrol Perlakuan CMC 1%, P1: Perlakuan 2% ekstrak N-heksan buah andaliman, P2: Perlakuan 4 % ekstrak N - heksan buah andaliman, P3: Perlakuan 6% ekstrak N-heksan buah andaliman.

Embrio resorb ialah embrio yang masih terlihat di uterus tetapi tidak mengalami perkembangan lanjut (Taylor, 1986). Seluruh zat yang masuk ke dalam tubuh induk dapat mempengaruhi perkembangan embrio karena setiap zat akan masuk melalui sistem pembuluh darah dan akan menembus plasenta sehingga dapat menyebabkan kelainan pada embrio (Partodiharjo, 1980). Menurut pernyataan Widyastuti et al., (2006), seluruh zat yang bersifat teratogen jika diberikan di awal perkembangan embrio dapat menyebabkan resorb. Sumarmin (1999 dalam Rusmiati, 2009), juga menyatakan bahwa jika ada suatu teratogen yang bekerja pada embrio tahap praimplantasi atau tahap praorganogenesis dapat menyebabkan embrio tersebut mati.

Hasil pengamatan fetus mati pada Gambar 4.1. yaitu terjadinya peningkatan persentase fetus mati pada kelompok perlakuan KP (0,37), P1 (1,00), P2 (0,31), P3

E E E E K P1 P2 P3

(3,53), jika dibandingkan dengan kelompok kontrol K0 (0,25). Hasil uji statistik (Lampiran A.3) menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) antara kelompok perlakuan dibanding dengan kelompok kontrol. Persentase fetus mati meningkat kemungkinan disebabkan oleh ekstrak N-heksan buah andaliman yang dapat mengganggu perkembangan sel-sel pada lapisan germinal dan perkembangan lanjut organ yang dapat menyebabkan kematian, sehingga dapat dikatakan bahwa ekstrak N-heksan buah andaliman bersifat fetotoksik. Menurut Bancin (2012), tingginya fetus mati kemungkinan disebabkan oleh senyawa kimia yang terkandung di dalam andaliman seperti terpenoid dan steroid yang bersifat toksik.

Gambar 4.3. Fetus mati. FM: Fetus Mati, P2: Perlakuan 4 % ekstrak N - heksan buah andaliman, P3: Perlakuan 6% ekstrak N-heksan buah andaliman.

Menurut Widyastuti et al., (2006), fetus mati disebabkan karena adanya kontraksi uterus selama masa organogenesis yang disebabkan oleh senyawa teratogen seperti alkaloid dimungkinkan dapat memacu kontraksi otot polos uterus sehingga menyebabkan gangguan proliferasi sel-sel yang terspesialisasi. Begitu juga dengan pernyataan Bancin (2012), kecilnya jumlah fetus hidup kemungkinan diakibatkan sel-sel embrio yang terganggu akibat perlakuan yang terlalu dini. Sel-sel-sel yang terganggu kehilangan kemampuan untuk pluripotensi sehingga sel-sel tidak mampu berkembang sebagaimana mestinya. Selanjutnya Yulianti & Nawir (2008), menyatakan bahwa fetus mati disebabkan oleh dosis teratogen terlampaui sehingga dapat mengganggu perkembangan sel-sel yang terspesialisasi.

Berdasarkan pengamatan Gambar 4.1. dapat diketahui bahwa persentase korpus luteum semakin meningkat pada kelompok perlakuan KP (14,17), P2 (15,33), P3 (15,50) bila dibandingkan dengan kelompok kontrol K0 (13,33) tetapi terjadi

FM FM

penurunan jumlah korpus luteum pada kelompok perlakuan P1 (13,17) bila dibanding dengan kelompok kontrol. Pada uji statistik (Lampiran A.4) antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Korpus luteum merupakan suatu cerminan ovum yang diovulasikan pada saat kopulasi.

Berdasarkan pernyataan Sabri (2007), bahwa korpus luteum merupakan tanda dari jumlah ovum yang diovulasikan oleh suatu individu dan kondisi ini akan tetap dipertahankan jika terjadi fertilisasi, hal tersebut karena korpus luteum menghasilkan progesteron yang digunakan mempertahankan implantasi. Demikian juga dinyatakan oleh Hutahaean (2002 dalam Rusmiati, 2009) bahwa jumlah korpus luteum sangat berkaitan dan bersesuaian dengan jumlah implantasi.

Hasil pengamatan Gambar 4.1. terlihat terjadi peningkatan persentase kehilangan praimplantasi pada kelompok perlakuan KP (3,69), P1 (4,35), P2 (4,02), P3 (4,15) dibanding dengan kelompok kontrol K0 (1,16), dan peningkatan persentasi tertinggi terjadi pada kelompok perlakuan P1 (4,35). Namun setelah hasil uji statistik (Lampiran A.5) menyatakan tidak berbeda nyata (P>0,05) antara kelompok perlakuan dibanding dengan kelompok kontrol. Terjadinya peningkatan kehilangan praimplantasi kemungkinan disebabkan oleh ketidakmampuan induk untuk mentolerir senyawa kimia yang terkandung di dalam andaliman seperti terpenoid dan steroid (Lampiran Hasil Uji Skrining) sehingga senyawa kimia tersebut dapat langsung menyerang embrio dan menyebakan sel-sel tersebut mati sebelum terimplantasi. Seperti penelitian yang telah dilakukan Bancin (2012), pemberian ekstrak andaliman sampai umur 14 hari kebuntingan akan menyebabkan perkembangan embrio terganggu sehingga tidak dapat mencapai tahap blastokista dengan sempurna dengan demikian embrio tidak dapat terimplan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan senyawa aktif andaliman seperti terpenoid, steroid, alkaloid dan flavonid yang dapat mengganggu proses proliferasi sel-sel embrional yang terjadi pada tahap

cleavage dari embriogenesis.

Begitu juga dengan penelitian Sabri (2007), bahwa pemberian ekstrak andaliman pada induk yang sedang bunting pada umur kebuntingan 0 sampai 13 hari berpengaruh terhadap fertilitas, ini disebabkan oleh pemberian ekstrak berlangsung

mulai tahap praimplantasi hingga organogenesis, dan induk tidak dapat mendetoksifikasi dan mengeleminasi senyawa-senyawa yang terkandung dalam andaliman dan akhirnya senyawa akan masuk ke dalam aliran pembuluh darah sehingga embrio yang sedang berada ditahap cleavage tidak mampu berkembang mencapai tahap blastokista dengan sempurna dengan demikian embrio tidak dapat terimplan.

Siswando (1993 dalam Samsuria, 2009) juga menyatakan bahwa adanya gangguan pada periode awal menyebabkan resiko yang sangat besar pada proses perkembangan selanjutnya. Gangguan yang selalu berulang pada tahap awal kehamilan sampai setengah periode kehamilan dapat menyebabkan terganggunya proses pembelahan sel yang akhirnya akan terjadi kegagalan implantasi.

4.2. Data Berat Badan Induk Mencit, Jumlah Fetus Hidup, dan Berat Badan

Dokumen terkait