• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Daya Perkecambahan (%)

Data pengamatan daya perkecambahan benih Mucuna bracteata umur 3 – 7 HST pada berbagai pematahan dormansi dapat dilihat pada Lampiran 1 dan

Gambar 1.

Gambar 1. Persentase daya perkecambahan (%) Mucuna bracteata pada beberapa perlakuan pematahan dormansi umur 3 – 7 hari setelah tanam.

Gambar 1 menunjukkan pada umur 3 – 5 HST daya kecambah tertinggi terdapat pada perlakuan pengguntingan (M1) yaitu 51,82%, 11,08% dan 9,23%, diikuti oleh penggosokan (M2) yaitu 49,03%, 8,77% dan 2,77% dan perlakuan perendaman air panas (M3) yaitu 37,48%, 6,46% tetapi pada umur 5 HST perlakuan perendaman air panas tidak ada yang berkecambah dan daya kecambah terendah terdapat pada perlakuan tanpa pematahan dormansi (M0) yaitu 4,60%, 1,38% dan 0,93%. Pada umur 6 HST daya kecambah tertinggi terdapat pada perlakuan penggosokan (M2) yaitu 7,38% diikuti oleh perendaman air panas (M3) yaitu 5,53%, pengguntingan (M1) yaitu 3,23% dan terendah tanpa pematahan

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 3 4 5 6 7 D aya P er ke cam ba ha n ( % )

Hari Setelah Tanam

M0 (Kontrol)

M1 (Pengguntingan) M2 (Penggosokan) M3 (Perendaman)

dormansi (M0) yaitu 0,92% sedangkan pada umur 7 HST perlakuan perendaman air panas (M3) memiliki daya kecambah tertinggi yaitu 3,70%, diikuti oleh penggosokan (M2) yaitu 2,29%, pengguntingan (M1) yaitu 1,38% dan terendah tanpa pematahan dormansi (M0) yaitu 0,46%.

Perlakuan pengguntingan kulit biji, penggosokan benih pada kertas amplas dan perendaman air panas memberikan efek pada perbedaan laju perkecambahan mucuna (Gambar 1). Meskipun beberapa cara perlakuan mekanis untuk memecahkan dormansi telah dilakukan pada biji mucuna, masing-masing perlakuan memiliki perbedaan dalam daya serap air dan udara yang masuk ke dalam benih sehingga respon terhadap daya perkecambahan juga berbeda. Tujuan dari beberapa cara perlakuan mekanis yang dilakukan yaitu untuk menghilangkan atau menipiskan jaringan kulit benih mucuna yang keras sehingga dapat mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk air dan udara menembus kulit biji hingga biji mampu berkecambah. Juhanda dkk (2013) menjelaskan bahwa dengan proses metabolisme yang baik akan menghasilkan perkecambahan yang baik karena benih yang berkecambah dapat memanfaatkan cadangan makanan dalam benih dengan baik. Dengan adanya air, oksigen akan masuk ke dalam benih dan mengurai cadangan makanan yang digunakan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan kecambah normal dalam waktu yang cepat dan serentak.

Persentase daya perkecambahan terendah pada pengamatan 3 hari setelah tanam terdapat pada perlakuan tanpa pematahan dormansi (M0) yaitu 4,60%. Hal ini dikarenakan biji mucuna memiliki lapisan pelindung biji yang keras sehingga menghalangi proses imbibisi air. Dengan terhalangnya proses imbibisi air maka proses perkecambahan juga terhambat. Maka dilakukan pematahan dormansi

sehingga dapat mempersingkat waktu perkecambahan benih. Hal ini sesuai dengan Schimdt (2000) bahwa beberapa jenis benih tetap dorman disebabkan oleh kulit benihnya yang cukup kuat untuk menghalangi pertumbuhan dari embrio. Kulit benih tidak dapat dilalui air atau udara karena keras atau tertutup oleh gabus maupun lilin. Jika kulit benih dihilangkan maka akan terjadi perkecambahan. Dormansi juga dapat disebabkan keadaan fisiologi dari embrio antara lain akibat embrio yang rudimenter atau secara fisiologis belum masak, maksudnya belum mampu membentuk zat-zat yang diperlukan untuk perkecambahan misalnya zat tumbuh seperti giberelin.

Perlakuan pengguntingan kulit biji (M1) memiliki daya berkecambah lebih

tinggi dibandingkan pada penggosokan benih dan perendaman air panas (M2 dan M3). Persentase daya perkecambahan pada pengamatan 3 hari setelah

tanam pada perlakuan pengguntingan kulit biji (M1) yaitu 51,82%. Hal ini diduga bahwa pengguntingan kulit benih akan mengakibatkan terbukanya akses benih untuk mendapatkan air dan oksigen yang masuk ke dalam benih. Pengguntingan kulit biji dapat dilakukan dengan cara menggunting salah satu sisi biji dengan gunting kuku sehingga kulit terkupas dan air dapat dengan mudah masuk ke dalam biji (Harahap dkk, 2008).

Pada biji yang digosok dengan kertas amplas (M2) persentase daya berkecambah pada pengamatan 3 hari setelah tanam tergolong sedang yaitu 49,03%. Hal ini dikarenakan dengan dilakukannya penggerusan biji menyebabkan kulit biji menipis sehingga permeabilitas biji dan membran berubah, sehingga air lebih mudah masuk ke dalam biji. Menurut Bewley and Black (2006) bahwa skarifikasi mekanik dengan amplas menyebabkan terjadinya peningkatan

permeabilitas kulit benih sehingga laju imbibisi benih tinggi. Dengan laju imbibisi yang baik menyebabkan kebutuhan air untuk benih terpenuhi sehingga proses metabolisme benih dapat berjalan dengan baik. Proses metabolisme benih yang baik menyebabkan terjadinya perkecambahan yang baik.

Pada biji yang direndam dengan air panas (M3) persentase perkecambahan pada pengamatan 3 hari setelah tanam relatif lebih kecil, hal ini diduga karena ukuran benih yang sangat bervariasi saat dilakukan perendaman air panas. Benih yang relatif besar saat perendaman air panas mengakibatkan kulit biji mengembang dan mengerut sehingga menyebabkan pori dari dinding sel akan membesar yang dapat menyebabkan benih pecah. Keadaan tersebut menyebabkan metabolisme biji menjadi nonaktif sehingga biji menjadi busuk dan mati. Sedangkan pada benih yang relatif sedang, benih dapat dengan mudah menyerap cukup air dengan tekanan osmosis tertentu. Tetapi perendaman air panas justru dapat dijadikan pilihan karena lebih efisien dan ekonomis dibandingkan dengan pengguntingan dan penggosokan benih. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wirawan dan Wahyuni (2002) bahwa efektivitas penggunaan air panas untuk memecahkan dormansi biji berkulit keras tidaklah sama. Rendahnya proses perkecambahan pada benih dapat disebabkan oleh ketebalan, struktur anatomi dan morfologi kulit biji serta kualitas biji. Menurut Sutopo (2004) bahwa beberapa jenis benih terkadang diberi perlakuan perendaman dalam air dengan tujuan memudahkan penyerapan air oleh benih. Schimdt (2000) menyatakan perendaman merupakan prosedur yang sangat lambat untuk mengatasi dormansi fisik dan ada resiko besar bahwa benih akan mati jika dibiarkan dalam air sampai seluruh benih menjadi permiabel.

Biji mucuna dengan perlakuan tanpa pematahan dormansi sampai hari ke tujuh (akhir pengamatan) juga tidak mampu berkecambah. Hal ini dikarenakan benih mucuna yang keras tidak mendapat perlakuan benih sehingga air dan oksigen yang dibutuhkan untuk perkecambahan tidak dapat masuk ke benih sehingga benih tidak dapat berkecambah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Schmidt (2000) bahwa benih tanaman legum pada umumnya mengalami

dormansi fisik yang disebabkan oleh morfologis kulit benih yang menyebabkan kulit benih bersifat impermeabel. Hal ini didukung oleh pernyataan Maryani dan Irfandri (2008) menyatakan benih yang diskarifikasi memberikan

persentase kecambah yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanpa skarifikasi. Hal ini disebabkan karena benih yang diskarifikasi mempunyai celah yang lebih dalam sehingga air langsung menuju tempat dimana terjadinya pengaktifan reaksi-reaksi untuk perkecambahan.

Data pengamatan daya perkecambahan benih Mucuna bracteata umur 3 – 7 HST pada beberapa konsentrasi zat pengatur tumbuh giberelin dapat dilihat

pada Gambar 2.

Gambar 2. Persentase daya perkecambahan (%) Mucuna bracteata pada beberapa konsentrasi giberelin umur 3 – 7 hari setalah tanam.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 3 4 5 6 7 D aya P er ke cam ba ha n ( % )

Hari Setelah Tanam

G0 (0 ppm) G1 (150 ppm) G2 (300 ppm) G3 (450 ppm)

Gambar 2 menunjukkan daya kecambah tertinggi pada 3 – 5 HST diperoleh pada konsentrasi 300 ppm (G2) yaitu 40,70%, 8,76% dan 6,01%, diikuti oleh konsentrasi 150 ppm (G1) yaitu 39,78%, 8,32% dan 3,69% dan tanpa pemberian giberelin (G0) yaitu 37,93%, 7,38% dan 3,23% dan daya kecambah terendah pada konsentrasi 450 ppm (G3) yaitu 24,52%, 3,23% dan 0%. Tanpa pemberian giberelin (G0) memiliki daya kecambah tertinggi pada umur 6 HST yaitu 7,83%, diikuti oleh konsentrasi 300 ppm (G2) yaitu 4,61%, konsentrasi 450 ppm (G3) yaitu 3,23% dan terendah pada konsentrasi 150 ppm (G1) yaitu 1,38%. Pada umur 7 HST diperoleh daya kecambah tertinggi pada konsentrasi 450 ppm (G3) yaitu 3,23%, diikuti oleh perlakuan tanpa pemberian giberelin (G0) yaitu 2,30% dan konsentrasi 300 ppm (G2) yaitu 1,83% dan terendah pada konsentrasi 150 ppm (G1) yaitu 0,46%.

Daya berkecambah pada perlakuan 300 ppm GA3 lebih tinggi dibandingkan dengan yang diperoleh pada 450 ppm GA3. Berdasarkan hasil penelitian pada perlakuan 300 ppm GA3 diperoleh daya berkecambah yaitu 43,01% sedangkan pada perlakuan 450 ppm diperoleh daya berkecambah 24,52%. Menurut Weiss dan Ori (2007) menyebutkan bahwa salah satu efek fisiologis dari giberelin adalah mendorong aktivitas enzim-enzim hidrolitik pada proses perkecambahan benih. Selama proses perkecambahan benih, embrio yang sedang berkembang melepaskan giberelin ke lapisan aleuron. Giberelin tersebut menyebabkan terjadinya transkripsi beberapa gen penanda enzim-enzim hidrolitik diantaranya ɑ amilase. Kemudian enzim tersebut masuk ke endosperma dan menghidrolisis pati dan protein sebagai sumber makanan bagi perkembangan embrio. Sedangkan bila dibandingkan dengan benih yang direndam dalam larutan

GA3 konsentrasi 450 ppm, mempunyai daya tumbuh dan perkecambahan yang

lebih rendah. Hal ini dikarenakan terlalu tinggi kepekatan/konsentrasi larutan GA3 yang diberikan akan menjadi penghambat atau inhibitor. Copeland dan Mc Donald (2001) menyatakan bahwa zat tumbuh yang termasuk di

dalam giberelin, auksin, sitokinin dan beberapa herbisida, selain berfungsi sebagai perangsang pertumbuhan (promotor) juga dapat berfungsi sebagai penghambat (inhibitor) dalam proses perkecambahan bila konsentrasi larutannya tinggi.

Hasil daya kecambah secara konvensional lebih meningkatkan persentase daya perkecambahan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1 yang menunjukkan pengguntingan kulit benih meningkatkan persentase perkecambahan 50% pada waktu 3 hari setelah tanam. Hal ini dikarenakan perlakuan pengguntingan kulit biji mempunyai celah yang lebih dalam sehingga air langsung menuju tempat dimana terjadinya pengaktifan reaksi-reaksi untuk perkecambahan. Menurut Sutopo (2004) menjelaskan bahwa tahap pertama suatu perkecambahan benih dimulai dengan proses penyerapan air, melunaknya kulit benih dan hidrasi dari protoplasma. Perendaman dengan GA3 merupakan perlakuan kimiawi dalam pematahan dormansi benih. Hal ini dikarenakan asam giberelin dapat mempercepat aktivitas enzim hidrolisis untuk perombakan endosperma. Menurut Maryani dan Irfandri (2008) bahwa peranan giberelin selama perkecambahan yaitu memobilisasi cadangan makanan dan membantu pertumbuhan embrio. Peranan giberelin dalam memobilisasi cadangan makanan melalui pengaktifan enzim hidrolisis, sehingga benih dapat mudah berkecambah. Akan tetapi, proses masuknya air dari perlakuan kimia ini tidak secepat pada perlakuan pengguntingan kulit benih. Peningkatan daya kecambah pada 3 hari setelah tanam

pada perendaman bahan kimia juga tidak sebesar pada perlakuan pengguntingan benih.

Panjang Sulur (cm)

Data analisis sidik ragam panjang sulur Mucuna bracteata 1 – 10 MSPT pada beberapa perlakuan pematahan dormansi dan zat pengatur tumbuh dapat dilihat pada Lampiran 2 – 31, yang menunjukkan perlakuan pematahan dormansi berpengaruh nyata. Sedangkan perlakuan zat pengatur tumbuh dan interaksi antar perlakuan berpengaruh tidak nyata.

Data panjang sulur Mucuna bracteata pada umur 1 – 10 MSPT akibat

perlakuan pematahan dormansi dan zat pengatur tumbuh dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Panjang sulur Mucuna bracteata (cm) pada berbagai pematahan dormansi dan zat pengatur tumbuh umur 1 – 10 MSPT

Perlakuan Panjang Sulur* Umur Pengamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 ... ... ... ... ... ...cm... ... ... ... ... ... Dormansi M0 0,58 c 0,73 b 0,91 c 1,36 c 1,75 c 2,15 c 4,51 c 7,67 b 16,57 b 21,08 b M1 10,14 a 12,97 a 16,38 b 22,01 a 24,98 a 40,76 a 93,51 a 132,75 a 189,92 a 221,52 a M2 9,26 ab 12,14 a 16,79 ab 21,71 a 24,73 ab 33,98 b 81,71 b 126,91 a 186,18 a 211,77 a M3 8,57 b 12,20 a 17,53 a 20,62 b 23,64 b 39,29 ab 89,48 a 130,22 a 187,08 a 219,60 a Giberelin G0 6,49 8,89 12,34 16,44 18,57 30,72 65,23 99,01 141,04 162,25 G1 7,44 9,90 13,08 16,01 18,62 32,99 70,00 103,19 146,60 170,42 G2 7,58 9,76 13,13 16,78 19,26 27,48 67,18 97,08 144,11 169,60 G3 7,04 9,50 13,06 16,47 18,64 25,00 66,81 98,26 148,00 171,71

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom menunjukan berbeda nyata menurut Uji Duncan pada taraf uji 5%.

Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi pada 1 – 10 MSPT memberikan pengaruh nyata terhadap panjang sulur. Pertumbuhan sulur tertinggi terdapat pada perlakuan pengguntingan kulit biji (M1) yaitu 221,52 cm, diikuti oleh perendaman air panas (M3) yaitu 219,60 cm, penggosokan benih (M2) yaitu 211,77 cm dan terendah tanpa pematahan dormansi (M0) yaitu 21,08 cm. Pada 10 MSPT perlakuan pengguntingan (M1) berbeda tidak nyata dengan perendaman air panas (M3) dan berbeda tidak nyata dengan penggosokan (M2), tetapi berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pematahan dormansi (M0).

Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan giberelin pada 1 – 10 MSPT memberikan pengaruh tidak nyata terhadap panjang sulur. Pertumbuhan sulur terpanjang terdapat pada perlakuan giberelin 450 ppm (G3) yaitu 171,71 cm, diikuti oleh 150 ppm (G1) yaitu 170,42 cm, 300 ppm (G2) yaitu 169,60 cm dan terendah tanpa giberelin (G0) yaitu 162,25 cm.

Hubungan panjang sulur Mucuna bracteata 10 MSPT dengan pematahan dormansi dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Hubungan panjang sulur dengan pematahan dormansi umur 10 MSPT 0 50 100 150 200 250 M0 (Kontrol) M1 (Pengguntingan) M2 (Penggosokan) M3 (Perendaman) P anj ang S ul ur 10 M S T ( cm ) Pematahan Dormansi

Gambar 3 dapat dilihat bahwa perlakuan pematahan dormansi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan panjang sulur. Pertumbuhan sulur tertinggi terdapat pada perlakuan pengguntingan kulit biji (M1) yaitu 221,52 cm, diikuti oleh perendaman air panas (M3) yaitu 219,60 cm, penggosokan benih (M2) yaitu 211,77 cm dan terendah tanpa pematahan dormansi (M0) yaitu 21,08 cm. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa benih yang diskarifikasi menghasilkan panjang sulur tertinggi dibandingkan tanpa skarifikasi. Hal ini dikarenakan benih yang diskarifikasi dengan cara pengguntingan kulit biji akan menghasilkan proses imbibisi yang semakin baik. Air yang masuk ke dalam benih karena kulit benih yang permeabel. Air yang masuk ke dalam benih menyebabkan proses metabolisme dalam benih berjalan lebih cepat, akibatnya perkecambahan yang dihasilkan semakin baik dan pertumbuhan yang dihasilkan akan berjalan cepat dan serentak sedangkan benih tanpa skarifikasi tidak mengalami peningkatan laju imbibisi karena sifat kulit benih yang masih tetap impermeabel sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk berkecambah dan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Schmidt (2000) yang menyatakan bahwa skarifikasi merupakan salah satu upaya pretreatment atau perlakuan awal pada benih yang ditujukan untuk mematahkan dormansi dan mempercepat terjadinya perkecambahan benih yang seragam. Skarifikasi (pelukaan kulit benih) adalah cara untuk memberikan kondisi benih yang impermeabel menjadi permeabel melalui penusukan, pemecahan, pengikiran dan penggoresan dengan bantuan pisau, gunting dan alat lainnya. Benih yang diskarifikasi akan menghasilkan proses imbibisi yang semakin baik. Laju imbibisi yang baik menyebabkan kebutuhan air untuk benih terpenuhi sehingga proses

metabolisme benih dapat berjalan dengan baik. Dengan adanya air, oksigen akan masuk ke dalam benih dan mengurai cadangan makanan yang digunakan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan dalam waktu yang cepat dan serentak (Juhanda dkk., 2013).

Hubungan panjang sulur Mucuna bracteata 10 MSPT pada berbagai konsentrasi giberelin dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Hubungan panjang sulur dengan zat pengatur tumbuh GA3 umur 10 MSPT

Gambar 4 dapat dilihat bahwa perlakuan zat pengatur tumbuh GA3 berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan panjang sulur. Perlakuan pemberian GA3 tertinggi terdapat pada konsentrasi 450 ppm (G3) yaitu 171,71 cm, diikuti oleh 150 ppm (G1) yaitu 170,42 cm, 300 ppm (G2) yaitu 169,60 cm dan terendah tanpa giberelin (G0) yaitu 162,25 cm. Efek GA3 yaitu dapat memacu peningkatan tinggi tanaman, dapat memacu induksi pembungaan dan pematahan dormansi. Pada penelitian ini pemberian beberapa konsentrasi zat pengatur tumbuh giberelin memberikan pengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan panjang sulur. Hal ini diduga karena konsentrasi giberelin yang belum sesuai

156 159 162 165 168 171 174 0 150 300 450 P anj ang S ul ur 10 M S P T ( cm ) Giberelin (ppm)

sehingga tanaman tidak respon terhadap panjang sulur tanaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Weaver (1972) dalam Mubarok (2003) menyatakan bahwa aktivitas GA3 dalam hal pemanjangan batang tidak lepas dari aktivitas hormon lainnya yaitu auksin, dimana dengan pemberian GA3 pada konsentrasi yang sesuai

mampu meningkatkan kandungan auksin pada tanaman itu khususnya di daerah pucuk bagian atas tanaman. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Sutater dan Sanjaya (1996) yang menyatakan bahwa peningkatan tinggi tanaman

akibat pemberian GA3 pada konsentrasi yang sesuai disebabkan oleh peningkatan kandungan auksin di daerah pucuk bagian atas tanaman. Hal ini didukung penelitian Ginting (2013) bahwa pemberian beberapa konsentrasi giberelin terhadap tanaman kentang belum mampu berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman.

Jumlah Daun (Helai)

Data analisis sidik ragam jumlah daun Mucuna bracteata 2 – 10 MSPT pada beberapa perlakuan pematahan dormansi dan zat pengatur tumbuh dapat dilihat pada Lampiran 32 – 58, yang menunjukkan perlakuan pematahan dormansi berpengaruh nyata. Sedangkan perlakuan zat pengatur tumbuh dan interaksi antar perlakuan berpengaruh tidak nyata.

Data jumlah daun Mucuna bracteata pada umur 2 – 10 MSPT akibat

perlakuan pematahan dormansi dan zat pengatur tumbuh dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah daun (helai) Mucuna bracteata pada berbagai pematahan dormansi dan zat pengatur tumbuh umur 2 – 10 MSPT

Perlakuan Helai Daun* Umur Pengamatan 2 3 4 5 6 7 8 9 10 ... ... ... ... ... ...Helai... ... ... ... ... ... Dormansi M0 0,10 b 0,17 c 0,27 b 0,48 c 0,63 c 0,75 c 0,92 c 1,33 c 1,56 b M1 2,71 a 3,40 b 4,48 a 5,29 a 6,15 a 7,94 a 10,02 a 12,58 a 14,10 a M2 2,58 a 3,48 ab 4,33 a 4,92 ab 5,31 b 6,96 b 9,04 b 10,92 b 13,38 a M3 2,79 a 3,81 a 4,25 a 4,71 b 5,48 b 6,77 b 9,31 b 11,83 a 13,60 a Giberelin G0 1,92 2,50 3,33 3,69 4,52 5,48 7,29 9,10 10,38 G1 2,25 2,75 3,15 3,96 4,71 5,79 7,67 9,25 10,79 G2 2,00 2,77 3,58 4,00 4,29 5,56 7,13 9,19 10,67 G3 2,02 2,83 3,27 3,75 4,04 5,58 7,21 9,13 10,81

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom menunjukan berbeda nyata menurut Uji Duncan pada taraf uji 5%.

* data ditransformasi √X + 0,5

Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi pada 2 – 10 MSPT memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah daun. Jumlah daun tertinggi terdapat pada perlakuan pengguntingan kulit biji (M1) yaitu 14,10 helai, diikuti oleh perendaman air panas (M3) yaitu 13,60 helai, penggosokan benih (M2) yaitu 13,38 helai dan terendah tanpa pematahan dormansi (M0) yaitu 1,56 helai. Pada 10 MSPT perlakuan pengguntingan (M1) berbeda tidak nyata dengan perendaman air panas (M3) dan berbeda tidak nyata dengan penggosokan (M2), tetapi berbeda nyata dengan tanpa pematahan dormansi (M0).

Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan giberelin pada 2 – 10 MSPT memberikan pengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun. Jumlah daun tertinggi terdapat pada perlakuan giberelin 450 ppm (G3) yaitu 10,81 helai, diikuti oleh 150 ppm (G1) yaitu 10,79 helai, 300 ppm (G2) yaitu 10,67 helai dan terendah tanpa giberelin (G0) yaitu 10,38 helai.

Hubungan jumlah daun Mucuna bracteata 10 MSPT dengan pematahan dormansi dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Hubungan jumlah daun dengan pematahan dormansi umur 10 MSPT Gambar 5 menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi berpengaruh nyata terhadap jumlah daun. Jumlah daun tertinggi terdapat pada perlakuan pengguntingan kulit biji (M1) yaitu 14,10 helai, diikuti oleh perendaman air panas (M3) yaitu 13,60 helai, penggosokan benih (M2) yaitu 13,38 helai dan terendah tanpa pematahan dormansi (M0) yaitu 1,56 helai. Hal ini dikarenakan perlakuan skarifikasi berpengaruh terhadap pertumbuhan panjang sulur sehingga pertumbuhan vegetatif tangkai daun menjadi lebih cepat terbentuk. Menurut Haryati (2002) menyatakan bahwa pertambahan daun seiring dengan pertambahan tinggi tanaman. Berdasarkan hasil penelitian Ani (2006) menyatakan bahwa perlakuan skarifikasi menunjukan pengaruh yang sangat nyata pada tinggi tanaman, jumlah daun dan panjang akar.

Hubungan jumlah daun Mucuna bracteata 10 MSPT pada berbagai konsentrasi giberelin dapat dilihat pada Gambar 6.

0 4 8 12 16 M0 (Kontrol) M1 (Pengguntingan) M2 (Penggosokan) M3 (Perendaman) Jum la h D aun 10 M S T ( T angka i) Pematahan Dormansi

Gambar 6. Hubungan jumlah daun dengan zat pengatur tumbuh GA3 umur 10 MSPT

Gambar 6 menunjukkan bahwa perlakuan giberelin berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun. Jumlah daun tertinggi terdapat pada perlakuan giberelin 450 ppm (G3) yaitu 10,81 helai, diikuti oleh 150 ppm (G1) yaitu 10,79 helai, 300 ppm (G2) yaitu 10,67 helai dan terendah tanpa giberelin (G0) yaitu 10,38 helai. Jumlah daun dipengaruhi oleh faktor genetik (genotip) dan lingkungan. Hal ini menunjukan bahwa tanaman yang berada pada lingkungan dengan penyinaran yang kurang baik akan menghasilkan jumlah daun yang sedikit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mudyantini (2008) yang menyatakan bahwa salah satu faktor lingkungan adalah cahaya. Tanaman yang berada pada lingkungan dengan penyinaran yang baik bisa menghasilkan jumlah daun yang lebih banyak sebagai akibat dari proses fotosintesis yang berjalan lancar sehingga fotosintat yang dihasilkan banyak. Adanya fotosintat yang banyak salah satunya digunakan untuk meningkatkan aktivitas meristematis pada pembentukan primordia daun. Hal ini sesuai dengan penelitian Peni (2004) yang menyatakan bahwa jumlah dan ukuran daun dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 0 150 300 450 Jum la h D aun 10 M S P T ( T angka i) Giberelin (ppm)

Jumlah daun Acalypha indica menunjukkan bahwa pemberian beberapa konsentrasi GA3 tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah daun. Hal ini juga diduga karena hasil fotosintesis lebih banyak digunakan untuk pertambahan tinggi tanaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lakitan (1996) menyatakan bahwa pertumbuhan tidak berlangsung secara seragam pada seluruh bagian tanaman. Pertumbuhan dimungkinkan terfokus pada jaringan meristem batang sehingga pembesaran sel yang dihasilkan dari pembelahan sel tersebut yang menyebabkan pertambahan ukuran tanaman.

Bobot Basah Tajuk (g)

Data analisis sidik ragam dari bobot basah tajuk Mucuna bracteata dapat dilihat pada Lampiran 59 – 61, yang menunjukkan perlakuan pematahan dormansi dan zat pengatur tumbuh serta interaksi berpengaruh nyata terhadap bobot basah tajuk.

Data bobot basah tajuk 10 MSPT akibat perlakuan pematahan dormansi dan zat pengatur tumbuh dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Bobot basah tajuk Mucuna bracteata (g) pada berbagai pematahan dormansi dan zat pengatur tumbuh umur 10 MSPT

Pematahan Dormansi Giberelin* Rataan G0 G1 G2 G3 M0 2,27 g 5,03 g 3,38 g 0 g 2,67 c M1 34,16 d 50,06 abc 43,66 cd 31,86 de 39,93 a M2 15,07 f 31,69 de 55,89 a 32,28 d 33,73 b M3 22,80 ef 35,15 d 54,22 ab 46,21 bc 39,60 a Rataan 18,58 c 30,48 b 39,29 a 27,59 b Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom menunjukan

berbeda nyata menurut Uji Duncan pada taraf uji 5%. * data ditransformasi √X

pada perlakuan pengguntingan kulit biji (M1) yaitu 39,93 gram, diikuti oleh perendaman air panas (M3) yaitu 39,60 gram, penggosokan benih (M2) yaitu 33,73 gram dan terendah tanpa pematahan dormansi (M0) yaitu 2,67 gram. Perlakuan pengguntingan (M1) berbeda tidak nyata dengan perendaman air panas (M3). Perlakuan pengguntingan (M1) berbeda nyata dengan penggosokan (M2) dan tanpa pematahan dormansi (M0).

Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan giberelin memberikan pengaruh nyata terhadap bobot basah tajuk. Bobot basah tajuk tertinggi terdapat pada perlakuan giberelin 300 ppm (G2) yaitu 39,29 gram, diikuti oleh 150 ppm (G1) yaitu 30,48 gram, 450 ppm (G3) yaitu 27,59 gram dan terendah tanpa giberelin (G0) yaitu 18,58 gram. Perlakuan giberelin 300 ppm (G2) berpengaruh nyata dengan giberelin 150 ppm (G1), 450 ppm (G3) dan tanpa giberelin (G0). Perlakuan giberelin 150 ppm (G1) berpengaruh tidak nyata dengan giberelin 450 ppm (G3). Perlakuan giberelin 150 ppm (G1) berpengaruh nyata dengan giberelin 300 ppm (G2) dan tanpa giberelin (G0).

Tabel 3 menunjukkan bahwa interaksi pematahan dormansi dan zat pengatur tumbuh GA3 memberikan pengaruh nyata terhadap bobot basah tajuk. Bobot basah tajuk tertinggi terdapat pada perlakuan penggosokan dan giberelin 300 ppm (M2G2) yaitu 55,89 gram dan terendah pada perlakuan tanpa pematahan dormansi dan tanpa giberelin (M0G0) yaitu 0 gram. Perlakuan penggosokan dan GA3 300 ppm (M2G2) tidak berbeda nyata dengan perlakuan perendaman air panas dan GA3 300 ppm (M3G2).

Hubungan bobot basah tajuk Mucuna bracteata 10 MSPT dengan pematahan dormansi dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Hubungan bobot basah tajuk dengan pematahan dormansi umur 10 MSPT

Gambar 7 menunjukkan perlakuan pematahan dormansi berpengaruh nyata terhadap bobot basah tajuk. Bobot basah tajuk tertinggi terdapat pada perlakuan pengguntingan kulit biji (M1) yaitu 39,93 gram, diikuti oleh perendaman air panas (M3) yaitu 39,60 gram, penggosokan benih (M2) yaitu 33,73 gram dan terendah tanpa pematahan dormansi (M0) yaitu 2,67 gram. Hal ini dikarenakan dengan proses metabolisme yang baik akan menghasilkan perkecambahan yang baik karena benih yang berkecambah dapat memanfaatkan cadangan makanan dalam benih dengan baik. Dengan adanya skarifikasi, air dan oksigen akan masuk dengan mudah ke dalam benih dan mengurai cadangan makanan yang digunakan sebagai sumber energi untuk perkecambahan dan pertumbuhan tanaman dalam waktu yang cepat dan serentak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutopo (2004) menyatakan bahwa perkecambahan benih merupakan suatu rangkaian kompleks dari perubahan-perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia. Metabolisme sel-sel embrio benih dimulai setelah menyerap air, yang meliputi reaksi-reaksi perombakan (katabolisme) dan sintesa komponen-komponen sel untuk pertumbuhan (anabolisme). Proses metabolisme

Dokumen terkait