• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data Wawancara Partisipan

Dalam dokumen Penyesuaian Diri Lansia Pasca Bercerai (Halaman 74-84)

BAB IV : ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

2. Data Wawancara Partisipan

Tabel 2. Waktu dan Lokasi Wawancara Partisipan

No Partisipan Hari dan Tanggal Wawancara

Waktu Wawancara

Lokasi Wawancara

1 S Selasa, 4 Maret 2014 17.00-17.32 WIB Rumah Partisipan

2 S Selasa, 11 Maret 2014 16.58-17.40 WIB Rumah Partisipan

3 S Senin, 24 Maret 2013 14.22-14.54 WIB Rumah Partisipan

a. Data Hasil Observasi

Partisipan tinggal di sebuah gang buntu yang hanya terdiri dari lima rumah. Rumah partisipan terletak paling belakang dan dikarenakan rumah partisipan terletak di bagian ujung dari gang, rumah partisipan adalah satu-satunya rumah yang dapat menampung sekitar satu hingga dua mobil di pekarangannya. Selain mobil, di pekarangan rumah partisipan juga terdapat sebuah ayunan besi yang diletakkan di pojok. Pekarangan rumah partisipan dipenuhi dengan bunga yang ditanam di dalam pot.

Peneliti dan partisipan melakukan sesi wawancara di ruang tamu di kediaman partisipan. Ruang tamu ini berukuran sekitar 2x4 meter. Dinding rumah dicat dengan warna coklat muda, dimana di tiap sisinya terdapat foto-foto anak maupun cucu partisipan. Di tengah ruangan tersebut terdapat 1 set

kursi dan meja yang terbuat dari kayu jepara berwarna coklat tua yang berlapis kain berwarna coklat muda. Di belakang salah satu kursi terdapat sebuah buffet berwarna hitam yang di atasnya juga tersusun foto anak dan cucu partisipan.

Hari pertama wawancara dilaksanakan pada tanggal 4 Maret 2014. Tinggi partisipan kurang lebih 155 cm. Badannya kurus dan kulitnya putih. Rambut partisipan yang berwarna putih seluruhnya diikat ke belakang. Di hari pertama wawancara ia memakai daster panjang berwarna hitam dengan motif bunga berwarna emas. Partisipan menyambut peneliti dengan hangat dan mempersilahkan peneliti untuk duduk.

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti memberikan informed consent kepada partisipan. Partisipan pun membacanya dengan seksama dan

kemudian menandatangani informed consent tersebut. Tidak berapa lama

kemudian, wawancara pun berlangsung.

Pada awal wawancara, partisipan menunjukkan ekspresi wajah malu-malu ketika ditanya mengenai kehidupan masa kecilnya. Ia merasa tidak pandai menceritakan sebuah kisah. Namun setelah wawancara berlangsung sekitar 5 menit, partisipan mulai bisa untuk diajak bekerja sama. Hal ini ditandai dengan kontak mata yang terjadi antara partisipan dan peneliti. Posisi duduk antara partisipan dan peneliti cukup dekat sehingga memungkinkan untuk melakukan kontak mata secara intens.

Ketika pertama kali ditanya soal alasan perceraiannya, partisipan sempat terdiam sebentar dan matanya menerawang. Namun tidak berapa lama

kemudian ia mulai menceritakan peristiwa-peristiwa yang mengawali proses perceraiannya. Pada akhirnya partisipan pun merasa nyaman bercerita. Tidak jarang cerita-cerita tersebut pun diselingi dengan suara tawa dari partisipan.

Hari kedua wawancara dilaksanakan pada tanggal 11 Maret 2014. Sore itu partisipan mengenakan baju daster panjang berwarna putih dihiasi corak bunga berwarna merah. Rambutnya pun dikuncir sama seperti hari sebelumnya. Ketika peneliti datang, partisipan sedang berbincang dengan teman dan makciknya di teras rumah sambil menikmati teh hangat dan kue. Kemudian peneliti dan partisipan pun masuk ke dalam rumah. Wawancara kedua juga dilakukan di ruang tamu partisipan.

Partisipan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan baik. Namun ketika disinggung mengenai awal perceraian, partisipan tidak menjawab untuk beberapa saat. Mata partisipan terlihat menerawang. Tetapi setelah itu partisipan mulai terbiasa untuk menceritakan masalah perceraiannya. Partisipan pun kerap tertawa ketika menceritakan kehidupan barunya pasca bercerai, terlebih ketika ditanya mengenai kedekatannya dengan anak dan cucunya.

Hari terkahir wawancara dilaksanakan pada hari Senin tanggal 24 Maret 2014. Pintu rumah partisipan terbuka ketika peneliti datang. Saat itu partisipan sedang menjahit bersama anaknya sementara cucunya belajar di ruangan yang sama sambil menonton televisi. Partisipan pun mempersilahkan peneliti untuk masuk.

Peneliti menanyakan beberapa hal mengenai masa kecil partisipan hingga bagaimana partisipan bertemu dengan mantan suaminya. partisipan terlihat santai ketika ditanyai pertanyaan mengenai masa mudanya. Pertanyaan berikutnya mengenai permasalahan rumah tangga. Sebelum menjawab, partisipan sempat diam untuk beberapa saat. Partisipan seperti menerawang untuk mengingat kembali kejadian di kala itu kemudian ia pun menjawab pertanyaan yang diajukan dengan baik. Secara keseluruhan partisipan mampu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

b. Data Hasil Wawancara 1. Kehidupan Pernikahan

Partisipan menikah sekitar 44 tahun yang lalu. Perkenalan dengan mantan suaminya berawal dari beberapa kali pertemuan, mengingat partisipan dan mantan suaminya tinggal di lingkungan yang sama.

“eceknya kan satu-satu kampung. Gitulah, jadi kenalah satu-satu kampung namanya (tertawa). Karena lewat-lewat gitu, lama-lama kenalah gitu. Kenal kenal kenal, lama-lama jadilah gitu (tertawa).” (W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14/b28-29/h1)

Memiliki orang tua yang konservatif, partisipan tidak diperbolehkan untuk berteman dengan laki-laki. Teman partisipan hanya sebatas pada teman perempuan. Meskipun begitu, partisipan sempat menjalani masa berpacaran cukup lama dengan pria yang kini menjadi mantan suaminya. Orang tuanya sendiri mengenal calon suami partisipan ketika mendekati proses lamaran.

“ya tempat kawanlah. Orang kawan ke sini datang aja perempuan-perempuan. Orang itu suka karena ibu sendiri. Itulah datang, tidur-tidur di rumah ibu. Ha gitu, kawan-kawan pada datang perempuan.”

(W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14/b18-20/h1)

“orang tua ibu itu orang dia gak suka kalau memang sama kawan laki-laki jadi dia memang gak berapa kenalah, gak berapa tahulah. Ya udah nanti eceknya mau minang, barulah dikenalin. Kalau untuk berkawan-kawan gitu dia ya enggaklah. Soalnya kan gak boleh.” (W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14/b47-52/h2)

Kehidupan awal pernikahan partisipan berjalan normal. Setelah partisipan memiliki dua orang anak, sifat suami berubah menjadi pemarah. Kekerasan yang dilakukan suami hanya dalam bentuk kekerasan verbal. Suami kerap membentak partisipan namun partisipan hanya diam saja. Ia tidak berani melawan sebab ia takut suaminya akan menggunakan kekerasan fisik terhadapnya.

“ya udah ada anak-anak inilah, gitu. Apa (salah) sikit, marah. Gitulah. Salah sikit entah apa gitu marah.”

(W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14/b54-59/h2)

“marah aja memang, ngebentak karena ibu ini memang gak ngelawan. Kalau misalnya bangsa model ngelawan, mau main mukul dia (mantan suami). Memang bangsa maulah (memukul). Tapi kalau ibu memang ibu gak bisa melawan. Udah mau marah, ibu diam aja tu. Gak pernah ibu ladenin. Jadi gak pernahlah ibu diapainnya (dipukul). Kadang entah numbuk dinding, numbuk kaca, gitulah dia kalau udah marah. Nanti numbuk kaca, berdarah tangan itu. Gitu. Ibu gak bisalah orang ibu gak pernah ngelawan. Nanti kalau kita jawab, maulah (dipukul).”

(W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14/b62-67/h2)

Partisipan menuturkan bahwa penyebab suaminya menjadi pemarah karena alasan pekerjaan. Selain itu yang menjadi permasalahan dalam rumah tangganya karena suaminya tidak bertanggung jawab, terutama

terhadap keuangan rumah tangga. Selama menikah, suami partisipan tidak peduli terhadap biaya sekolah anak-anaknya.

“apa ya? (penyebab kemarahan) mungkin dia capek, entah pendapatannya kurang, gitulah. Udah itu ibu bukan menuntut kali juga cuma ya kewajiban. Kalau untuk menuntut kali pun enggak. Kewajibanlah yang ibu tuntut.”

(W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14/b209-212/h6)

“Sebetulnya dia memang tanggung jawabnya kurang. Kalau yang mau cerita itu kan tanggung jawabnya penuh, barulah dia bercerita. Kalau ini memang tanggung jawabnya kurang itulah makanya anak-anak ini tak nengok, kurang tanggung jawab. Dari awalnya gitulah tanggung jawab tadi kurang.”

(W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14/b215-220/h7)

Untuk mengatasi permasalahan keuangan, partisipan kerap dibantu oleh ibunya yang juga tinggal bersama partisipan beserta keluarganya. Ia memakai uang pensiun peninggalan ayahnya untuk biaya sehari-hari. Selain itu anak-anak partisipan yang telah beranjak dewasa juga membantu biaya sekolah adik-adiknya.

“keuangan lagi. Sekolah aja enggak. Tapi kan sekolah anak biasanya (biaya) diperlukan. Ini enggak. Orang ini biaya sekolah sendirilah. Kakaknya sekolahkan adik, adiknya sekolahkan adik. Gitu semua.”

(W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14/b320-323/h9)

“Sudah anak-anak ini besar-besar, udah sekolah, gak berapa gitu. Gak begitu diopenkannya. Gak begitu peduli, gitu. Mau sekolah, mau apa, suka hati ibulah yang menanggulangi macemana caranya. Haa, dulu ada emak ibu. Emak ibu ada pensiunnya. Jadi emak ibu tadilah mengapakan (membantu) ibu.”

(W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14/b174-177-h5)

Meskipun didera berbagai masalah dalam kehidupan rumah tangganya, partisipan tidak pernah bercerita kepada siapapun. Ia tidak ingin hal ini membuat ibunya khawatir. Ia juga tidak menceritakan perkara rumah

tangganya kepada anak-anaknya karena ia tidak mau anak-anaknya melawan ayahnya sendiri. Pada akhirnya ia tetap memilih untuk memendam sendiri semua perasaannya.

“Anak-anak ibu rupanya tahulah macemana ibu dibikin sama bapak itu. Ibu tapi gak cerita. Takut ibu gara-gara ibu nanti anak ibu ngelawan sama orang tuanya, kan. Jadi ibu itu gak mau bilang dulu. Cemana pun ibu tahan, ibu diam.”

(W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14/b52-57/h2)

“jadi itu ibu terlalu sayang sama emak ibu itu. Jadi ibu gak mau begadoh jangan tahu emak ibu, padahal dia tahunya macemana ibu. Tapi ibu janganlah gara-gara ibu, dia (emak) susah. Padahal susah juganya akhirnya kan.”

(W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14/b64-67/h2)

Pertengkaran partisipan dan suaminya berlanjut hingga usia pernikahan ke 25 tahun. Pihak keluarga dari kedua belah pihak berusaha mendamaikan partisipan dan suaminya, namun partisipan tetap bersikeras untuk berpisah. Partisipan mengatakan kepada suaminya bahwa berpisah merupakan jalan yang terbaik bagi mereka berdua.

“Gitu ajalah berulang balik. Tapi situ udah 25 tahun ibu udah meninggal emak ibu itu. Jadi itulah teruslah ibu bertengkarlah. Ibu bilang (kepada mantan suami), “udahlah, pigilah dulu”. Soalnya rumah (ini) rumah ibu kan? Pigilah dia ke rumah emaknya”

(W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14/b63/h2)

Akhirnya sang suami pun pindah ke kediaman orang tuanya sementara partisipan pergi ke Aceh bersama cucu dan anaknya yang dipindahtugaskan. Tidak berapa lama kemudian partisipan mendengar kabar bahwa suaminya menikah kembali. Partisipan merasa ia tidak memiliki

perasaan apa-apa terhadap suaminya sehingga ia tidak terlalu memikirkan kabar pernikahan tersebut.

“Lama-lama dia kan laki-lakilah kan, berumah tangga. Udahlah, ibu udah berumah tangga dia, udah syukur.”

(W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14/b78/h3)

Begitu kembali dari Aceh, partisipan mengetahui bahwa suaminya sudah bercerai dengan istri keduanya dan kembali menempati rumah partisipan. Namun partisipan tidak tega untuk mengusir suaminya. Di sisi lain partisipan merasa bahwa ia dan suaminya sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk tinggal bersama anak ketiganya sementara suaminya tinggal di rumah partisipan yang terletak bersebelahan.

“Jadi udah itu eceknya dia udah gak baik lagilah dia sama istrinya yang kedua itu. Jadi balik lagi dia di sini. Tinggal dia sama ibu. Pulang dari Aceh itu, di sinilah dia. Ibu orangnya gak bisa ibu ngusir.”

(W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14/b82-87/h3)

“Jadi ibu gak maulah. Jadi tetap dari situ dia di sebelah, ibu di sinilah. Dibikinkan dulu belum ada kamar di belakang itu, ditambah lagi kamar untuk tempat ibu.”

(W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14/b91-94/h3)

2. Perceraian

Setelah berpisah bertahun-tahun yang lalu, partisipan merasa hubungan pernikahannya sudah berakhir. Namun suami partisipan berpikir bahwa partisipan masih mau untuk berbaikan dengannya. Partisipan tetap mau untuk mengurusi kebutuhan sehari-hari suaminya meskipun mereka

suami partisipan tidak kunjung berubah. Ia bahkan bisa melakukan kekerasan fisik di depan anak dan cucu partisipan.

“Jadi tetap dari situ dia di sebelah, ibu di sinilah. Dibikinkan dulu belum ada kamar di belakang itu, ditambah lagi kamar untuk tempat ibu. Eceknya ibu kan masakkan anak kita yang kerja ini. Jadi dia (suami) tetap makan sama kami. Tapi asik salah aja ibu. Salah juga.”

(W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14/b91-94/h3)

“pernah karena sikit aja kan ibu disiramnya pakai air panas di situ. Untung ada menantu.”

“...iya. Eceknya ada lah menantu sama anak, mau (marah). Iya mau.”

(W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14/b107/h4)

Suami partisipan pun kerap meminta partisipan untuk melakukan hubungan suami istri. Namun partisipan selalu menolak permintaan tersebut. Ia merasa telah berpisah dengan suaminya walau tanpa melalui proses perceraian ke pengadilan.

“Rupanya dia mau diladenin jugalah. Sedangkan ibu bilang sama saudaranya. Ibu bilang ibu udah gak mau lagi, udah gak bisa lagi. Kalau mau tinggal situ terserahlah, gak ada rumahnya. Terserahlah.”

(W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14/b108-110/h4)

“Jadi itulah, ke pengadilan buang-buang uang juga ibu rasa. Bukannya ibu mau menikah pakai surat (bercerai). Uang lima juta hilang (tertawa).”

(W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14/b162-164/h5)

“Karena itu tadi ibu (berpikir) alah ngapain ibu bukannya mau kawin lagi ibu pikir kan. Tapi hati kita ini udahlah cukuplah sampai situ, begitu.”

(W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14/b158-160/h5)

Alasan lain partisipan tidak mau bercerai adalah ia merasa kasihan pada anak-anaknya karena jika bercerai mereka tidak memiliki ayah lagi. Di

sisi lain, partisipan sudah tidak memiliki perasaan terhadap suaminya. Untuk itulah partisipan merasa ia tidak perlu bercerai meski tinggal bersebelahan dengan suaminya.

“Ibu sebetulnya udah lama kan yang ibu bilang itu kan, karena ibu memikirkan anak-anak ibu. Kasihanlah ibu kalau minta cerai kita kan, kasihannya ibu anak-anak ini gak ada ayahnya. Lain kalau meninggal kan? Kalau cerai kasihannya. Itulah yang ibu pertahankan sebetulnya. Sayang ibu sama anak ibu. Kasihannya lah, gitu. Kalau hati ibu memang rasanya udah gak itulah.”

(W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14/b81-88/h3)

Puncak permasalahan rumah tangga partisipan terjadi ketika salah satu saudara suami partisipan meninggal dunia. Suami partisipan sudah diberitahu untuk pergi bersama anaknya tetapi ia tidak mendengar sehingga ia pun ditinggalkan oleh rombongan. Ia tidak terima karena tidak diikutsertakan untuk melayat. Ia pun memarahi bahkan memaki anaknya.

“Berkelahi lagi habis saudaranya meninggal padahal dia dikasih tahu. Dikasih tahu mungkin gak dengar, marahlah dia tadi. Entah apa-apalah katanya. Begadohlah sama anak ibu. Entah apa-apa yang dibilangnya sampai macam orang lainlah. Di-anjing-kannya si anak tadi.”

(W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14/b128-130/h4)

Melihat ibunya yang penyabar, anak-anak partisipan pun menyarankan partisipan untuk segera mendaftarkan perceraiannya ke Pengadilan Agama. Setelah bermusyawarah dengan keluarga dan ustadz, akhirnya partisipan mau untuk bercerai secara resmi.

“itu (cerai) memang itu udah lama disuruh anak-anak ini. Tahunya orang itu ibu udah gak mau lagi. Jadi anak itu ya udahlah, apalagi. Ngapainlah kalau udah gak mau, gitu. ‘Jadi pun kalau bersama mamak jadi bulan-bulanan aja’, kata anak-anak ini gitu kan.

Perintahnya, ininya yang gak tahan gitu. Makanya anak-anak ini mendukung.”

(W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14/b173-178/h5)

“Mudaratnya tadi kan gak berdosa lagi kita gitu. Kalau dulu itu kan ingat kita dosa. Ustadz itu bilang, “kita berdosa, gak kita ladeni sedangkan kita dah gak mau”. Kan rasanya udahlah beres, udahlah lega rasanya.”

(W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14/b199-201/h6)

Dalam dokumen Penyesuaian Diri Lansia Pasca Bercerai (Halaman 74-84)

Dokumen terkait