• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyesuaian Diri Pasca Bercerai

Dalam dokumen Penyesuaian Diri Lansia Pasca Bercerai (Halaman 84-93)

BAB IV : ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

3) Penyesuaian Diri Pasca Bercerai

Partisipan menjalani puluhan tahun pernikahannya dengan dipenuhi konflik. Ia mengalami pergulatan emosi akibat memendam permasalahan dalam rumah tangganya. Setelah terjadinya perceraian, partisipan butuh untuk menyesuaikan diri sehingga dapat menjalani kehidupan barunya dengan lebih baik.

a) Tidak adanya emosi yang berlebihan

Partisipan tidak menunjukkan adanya emosi yang berlebihan setelah bercerai. Partisipan memang sempat merasakan kesedihan di awal perpisahannya. Ia memikirkan rumah tangganya yang telah hancur.

“oh sedihnya tetap sedih. Ha, sedih juga, “ih, hancurlah rumah tangga udah 25 tahun”. Kan lama jugalah kan? Udah anak enam, anaknya udah besar-besar. Sedih jugalah waktu itu, “hancurlah rumah tanggaku gak bisa dipertahankan”. Begitu waktu itu.”

(W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14/b193-196/h6)

Partisipan tidak mengalami emosi berlebihan pasca bercerai karena sebelum bercerai ia memang tidak memiliki perasaan terhadap

mantan suaminya. Kini partisipan merasa lebih lega karena ia tidak lagi memikirkan perkara dalam rumah tangganya.

“Eceknya udah gak ada lagi (perasaan) orang udah lamalah pula kan. Sebelum yang di pengadilan kan udah gak baik (hubungannya), gak bagus. Jadi bukan lantaran begadoh baru ke pengadilan, bukan gitu. Jadi kalau itu mungkinlah ada rasa sayang, ada rasa cinta juga. Ini memang udah enggak ada tersisa apa-apa. Habis segala-galanya hilang terbang (tertawa). Jadi udah gak apa-apa lagi.”

(W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14/b153-157/h5)

“Dulu dia marah-marah. Lain nanti menghadapi dia lagi makan, merepet-merepet. Kita kan dengar. Palak jugalah. Kita kan dongkol, kita kan palak. Ibu malu kali rasa ibu. Jadi ibu terpikir juga. Udah gak ada itu lega, lapang kali gak ada yang merepet-merepet (marah) gitu.”

(W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14/b371-372/h11)

Selain itu partisipan merasa lega karena tidak lagi merasa berdosa. Sebelumnya ia merasa berdosa karena menolak suaminya untuk melakukan hubungan suami istri.

“Udah senang, udah plong gitu. Udah gak masing-masing berdosa gitulah. Kalau gak kan berdosa dia masih menganggap itu (suami istri), ibu udah gak menganggap. Ibu gak merasa.” (W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14/b159-160/h5)

Sebelum bercerai, partisipan selalu memikirkan permasalahan yang terjadi padanya. Kini setelah bercerai, ia lebih santai dalam menghadapi masalah, misalnya masalah dengan keluarga mantan suaminya. Beberapa anggota keluarga mantan suaminya masih mau untuk menjalin hubungan kekerabatan dengan partisipan, sedangkan beberapa orang lainnya masih menyalahkan partisipan atas perceraian yang terjadi.

Tapi partisipan tidak ingin terlalu menanggapi hal tersebut dan bersikap sewajarnya saja.

“Cuma adalah yang dia marah hati juga sama ibu. Ya ibu gak maulah kan. Dibilangnya ibulah yang salah kan.”

“...gak apa-apa ibu. Ibu diamkan aja. Suka hati kaulah situ (tertawa).”

(W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14/b178-183/h6)

“Ibu memang gak apa-apa cuma kalau ada dia rasa ibu yang salah, ya kita kan jadi malas. Itulah cuman. Itu pun ya cakap juga, tegur juga kalau udah jumpa.”

(W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14/b185-190/h6)

b) Tidak adanya mekanisme psikologis

Partisipan tidak menunujukkan adanya mekanisme psikologis. Pada saat menikah, ia lebih suka untuk memendam segala permasalahan rumah tangganya sehingga tidak diketahui orang lain. Sekarang partisipan lebih terbuka ketika menghadapi masalah. Jika ia memiliki masalah dan memendam permasalahan tersebut, anak-anaknya akan membantu agar partisipan mengeluarkan isi hatinya.

“Kadang-kadang dibilang jugalah. Tetap memang masih ada juga kalau udah sifat itu rupanya. Memang ada juga yang ibu ceritakan tapi suatu saat yang sulit rasanya kan nanti kalau ibu ceritakan nanti jadi begini-begini, maka ibu pendam. Tapi dari wajah kita nampak.”

(W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14/b116-118/h4) (W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14/b119-122/h4)

Anak-anak partisipan pun terkadang mengingat kembali pertengkaran kedua orang tuanya. Ia pun baru menyadari betapa kejamnya perilaku mantan suaminya ketika mereka masih menikah. Namun respoden tidak merasa terbebani jika harus mengingat kembali kejadian yang

menimpanya di masa lalu. Ia bahkan tertawa saat membicarakannya kepada peneliti.

“sebetulnya kalau ibu gak teringat. Sama anak-anak ini, “eh, gini-gini ya”. Ha, gitu. Kadang-kadang kan orang ini merasakannya gitulah. Entah apa-apa teringat yang lain, “dulu gini gini gini”. Kalau ibu memang gak lagi udah (tertawa).” (W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14/b195-198/h6)

“gak jugalah sekarang ini (tertawa). Enggak karena udah lupa itu. Cuma itu tadilah, “kejam kalilah rupanya ya”, gitu ada.” (W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14/b227-228/h7)

c) Tidak adanya rasa frustrasi

Partisipan tidak menunjukkan adanya perasaan frustrasi. Ia menyatakan tidak ada gangguan yang dialaminya setelah bercerai, misalnya seperti gangguan tidur yang mengindikasikan rasa frustrasi. Ia malah merasa lebih tenang karena gangguan yang datang selama ini berasal dari mantan suaminya.

“enggak. Enggak ada pula itu (gangguan) kalau tentang itu gak adalah. Malah aman. Kalau gak nanti cakapnya (mantan suami) gini gini gini itukan jadi pikiran juga kalau sebelum itu. Inikan udah gak ada lagilah. Jadi kita itu tenang sikit pikiran.”

(W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14/b365-366/h11)

“Berubahnya cuma gak ada dia di sini (mantan suami) karena dibawa sama anak perempuan yang nomor satu kan. Kalau enggak kan di rumah ibu. Itulah, itu ajalah berubahnya. Gak ada yang marah-marah (tertawa).”

(W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14/b290-293/h9)

Sebelumnya ketika masih menikah, partisipan kerap memikirkan pertengkarannya dengan mantan suami. Hal tersebut menjadi beban pikiran baginya.

“dulu-dulu iya ada jugalah (pemikiran), “kok begini? Mengapalah begini?” gitu juga. sekarang ini udah gak lagi (tertawa).”

(W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14/b75-78/h3)

d) Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri Partisipan memiliki pertimbangan rasional yang baik. Setelah bercerai, partisipan suka bermusyawarah dengan anak-anaknya sebagai pendekatan terhadap masalah. Partisipan kini dapat bertukar pikiran dengan anak-anak karena anak partisipan telah dewasa.

“Ibu kompromi sama anak-anaklah. Ibu kompromikan sama anak-anak. Dari dulu ya gitu. Udah besar-besarlah orang ini gitulah. Karena dari kecil udah ibu ini menahan (perasaan) sebetulnya. Jadi udah besar-besar itu ya kompromilah sama anak-anak.”

(W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14/b185-189/h6)

Sebelum bermusyawarah, partisipan kerap mempertimbangkan langkah apa yang harus diambilnya. Permasalahan yang biasanya dihadapi oleh partisipan berkaitan dengan anak-anaknya. Untuk itu partisipan mengambil pertimbangan dengan menilai masalah yang dihadapinya, apakah bisa ia tangani sendiri atau apakah permasalahan tersebut perlu untuk diceritakan kepada anak partisipan yang lainnya.

“oh, itu tengok-tengok masalahnya (tertawa). Ibu banyak pertimbangannya. Itulah tengok-tengok masalahnya. Kadang-kadangkan anak yang satu begini, tapi kalau bilang sama dia (anak yang lain) jadi begini. Gak mau ibu bilang. Ha, gitu. Gak mau ibu bilangkan. Tapi kalau kira-kira memang sesuailah dimusyawarahkanlah dulu. Ha, baru mau ibu bilang. Tapi kalau kira-kira yang gak cocoknya gak ibu bilang ke yang lain.”

Partisipan juga mampu mengarahkan dirinya dengan baik. Ia tidak menceritakan permasalahan pernikahannya kepada teman-temannya karena ia merasa tidak perlu untuk melakukan itu.

“gak ada yang tahulah. Dekat-dekat sini pun gak ada. kita gak pernah cerita-cerita soal rumah tangga. Orang ibu ini orangnya gak bercerita makanya jadi orang gak tahu. itulah makanya orang di sebelah ini pun gak pernah ibu ceritain.”

(W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14/b290-296/h9)

e) Mampu untuk belajar

Permasalahan pernikahan yang dialami oleh partisipan membuatnya mampu untuk belajar. Ia kini lebih mengembangkan dirinya ketika menghadapi masalah. Ia menjadi pribadi yang lebih terbuka dan tidak lagi memendam perasaannya.

“ya sikit-sikit ada juga (memendam). Cuma ya selalulah diceritakan. Terbukalah gitu gak macam dulu.”

(W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14/b361-362/h11)

Pelajaran yang didapat partisipan dari perceraian ini dibagikannya pula kepada anak-anaknya. Ia mengatakan kepada anaknya untuk selalu berterus terang atas apa yang dirasakan.

“oh, pelajaran kalilah. Jadi ibu tanamkan sama anak-anak ibu, “janganlah begitu. Kalau kita gak senang, bilanglah terus”. Ha, jadi pelajaran memang betul. Janganlah begitu.”

(W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14/b101-103/h3)

Ia juga berpesan agar anak-anaknya jujur, terutama dalam hal keuangan keluarga. Hal ini dikarenakan ketika menikah ia tidak

mengetahui pendapatannya suaminya dan kemudian berusaha untuk menanggulangi kekurangan biaya.

“itu tadilah saling jujur. Itulah ibu bilang itu (kepada anak), “kalian inilah yang kerja ini, kalian dua-dua kerja. Jadi gaji kau (suami) berapa, gaji kau (istri) berapa. Berapa duit kita ini? Apa yang mau kita beli? Jujurlah, kalian bulatlah sepakat”, ibu bilang. Dari situlah pelajaran ibu tadi kan. Kalau dulu kan ibu gak tahu pendapatan dia (mantan suami) berapa, ibu terima. Kan ibu merasakannya kayak gitu. Begitulah pelajarannya itu juga. Jujurlah kalian bersama. Kalau gak ada kejujuran, gak ada bagusnya. Itulah, bilangkan itulah yang penting.”

(W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14/b131-135/h4)

Perceraian ini juga mengubah cara pandang partisipan terhadap orang lain. Selama ini ia menganggap bahwa jika ia baik maka semua orang juga baik. Namun kini ia tahu bahwa tidak semua orang akan membalas kebaikan yang ia berikan. Hal ini dialaminya sendiri setelah ia mencoba baik kepada mantan suaminya tetapi mantan suami malah menganggap bahwa kebaikan itu adalah sinyal untuk saling berbaikan.

“...Bukannya ibu mau musuhan, mau dendam, mau apa, ibu mau baik. Tapi jangan istilah anak sekarang ini ‘lebay’ (tertawa). Gitu. Jadi ibu memang mau ibu baik. Tapi jangan dia (mantan suami) udah baik kita teruslah. Dikiranya kita mau balik sama dia. Itulah makanya ibu jaga jarak dari dulu dia masih tinggal di sini.”

(W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14/b259-262/h8)

“Betulah. Karena rupanya gitulah manusia ya. Kalau kita lurus-lurus hidup kita, pikir kita orang itu pun lurus-lurus juga sama kita. Kan gitu hidup ini kan? Kita kan jarang itu kalau yang berbelok-belok, pikirnya orang pun belok juga hatinya. Jadi udah dikaji-kaji, dikaji-dikaji-kaji, oh rupanya inilah. Gitu.”

f) Memanfaatkan pengalaman masa lalu

Setelah bercerai, partisipan belajar dari pengalaman masa lalunya. Ia kini tidak memiliki niat untuk menikah kembali. Ia merasa dirinya sudah tua dan tidak perlu untuk menikah lagi.

“enggaklah. (tertawa) udah tua, udah mau mati. Gak adalah. Kalau ibu mau niat gitu udah dari dululah minta surat (cerai). Lantaran gak ada niat itulah makanya ibu gak usahlah, gak usahlah (cerai).”

(W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14/b310-312/h9)

Pengalamannya bercerai kini ia bagikan kepada anak-anaknya. Ia ingin untuk membagi pengalaman tersebut selama ia masih hidup sehingga anak-anaknya dapat mengambil contoh darinya. Ia selalu mengatakan kepada anak laki-lakinya untuk selalu sayang kepada istrinya walaupun rumah tangga mereka didera permasalahan ekonomi.

“Ha, jadi pelajaran memang betul. Janganlah begitu. Kalaupun yang laki-laki ibu sarankan, “sayanglah kalian sama istri kalian”. Ibu bilang gitu, “sayanglah sama istri. Perempuan kalau kurang pun duitnya sikit kalau disayang, gak apa-apanya dia itu. Jangan marah-marah sama istri. Jangan. Karena mamak udah merasakannya”. Ibu bilang gitulah. Memang jadi pelajaran itu memang betulah. Jadi pelajaran kali memang. Ini ibu masih sehat masih bisalah ibu bilangkan anak-anak ini kan gitulah sebetulnya.”

(W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14/b103-110/h4)

Lain halnya kepada anak perempuan. Partisipan yang selalu menjadi tempat bercerita oleh anak-anaknya selalu menasehati mereka agar sabar jika menghadapi permasalahan rumah tangga. Ia juga tidak pernah menghakimi anak-anaknya sehingga mereka suka bercerita kepada partisipan.

“sabar, gitu. Tapi kadang, “iyalah kami gak bisa sabar macam mamak” (tertawa). “sabar, gak bisa gitu. Kita perempuan.” Kalau (anak-anak) udah cerita-cerita, ibu nampung aja. Gak pernah ibu marah kalau dia cerita.’sabar, nanti ada berubahnya. Jangan kau begini begini begini’. Ha, gitu ibu. Makanya mau anak-anak itu cerita.”

(W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14/b245-251/h7)

g) Sikap yang realistis dan objektif

Walaupun mengalami pengalaman buruk dalam pernikahannya, partisipan tetap bersikap realistis dan objektif. Ia mau memaafkan kesalahan yang telah diperbuat oleh mantan suaminya. Ia bahkan bersedia untuk menjalin hubungan persaudaraan dengan mantan suaminya tersebut asal kehidupan pribadinya tidak lagi diusik.

“oh, itu udah maafkanlah. Ibu udah gak ada lagilah rasanya. Maaflah sudah, gitu.”

(W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14/b169-170/h5)

“Ibu jadi saudara pun mau (tertawa). Bukannya ibu itu benci. Enggak, (jadi) saudara pun ibu mau. Biarlah dia situ pun gak apa-apa tapi janganlah nguping-ngupingin ibu.”

(W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14/b141-142/h5)

Partisipan juga tidak memutuskan tali persaudaraan pada keluarga mantan suami. Ia tetap bersilaturahmi ke rumah adik mantan suaminya. Hubungan kekeluargaan tersebut telah dibangun puluhan tahun karena sedari awal partisipan dan keluarga mantan suaminya telah tinggal di lingkungan yang berdekatan.

“oh kalau ibu biasa. Mau ibu datang ke tempat keluarganya. Orang udah lama kan? Datang juga ibu kalau hari raya. Ada juga ibu datang ke rumah adiknya. Ini orang itu enam

(bersaudara), tinggal tiga. Udah meninggal tiga orang. Kalau yang belum meninggal itu ada juga ibu datang.”

(W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14/b172-176/h5)

Partisipan juga bersikap objektif dengan menceritakan seluruh permasalahan rumah tangganya dalam penelitian ini. Ia tidak keberatan untuk membagi kisahnya karena ia tahu nantinya penelitian ini digunakan dalam ranah pendidikan. Ia hanya berusaha membantu peneliti.

“gak apa-apa ibu. Gak berat, gak sedih, gak susah. Ibu malah niatnya mau nolong. Kan anak mau sekolah. Ha, itulah niat ibu. Kalau sebetulnya kan gak bagus untuk nyeritakan, gak baik kan. Tapi ibu kan rasanya, “oh, dia sekolah.” Ibu kan nolong untuk sekolahnya, gitu. Jadi ibu gak jadi masalah. Gak berat, gak ini, gak itu.”

(W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14/b297-301/h9)

Dalam dokumen Penyesuaian Diri Lansia Pasca Bercerai (Halaman 84-93)

Dokumen terkait