• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyesuaian Diri Lansia Pasca Bercerai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penyesuaian Diri Lansia Pasca Bercerai"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

PENYESUAIAN DIRI LANSIA PASCA BERCERAI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

OLEH:

MARINI NOVIANDRI

091301007

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya

bahwa skripsi saya yang berjudul :

Penyesuaian Diri Lansia Pasca Bercerai

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh

gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari

hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan

norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini,

saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juni 2014

MARINI NOVIANDRI

(3)

Penyesuaian Diri Lansia Pasca Bercerai Marini Noviandri dan Indri Kemala Nasution

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran penyesuaian diri lansia pasca bercerai. Penyesuaian diri akan dijabarkan berdasarkan indikator penyesuaian diri yang normal oleh Schneiders (1964). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus terhadap dua orang partisipan dengan karakteristik lansia wanita yang telah bercerai di usia 60 tahun ke atas. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara secara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan kedua partisipan memiliki penyesuaian diri yang baik setelah bercerai. Penyesuaian diri ini dapat dilihat dengan tidak adanya emosi berlebihan, tidak adanya mekanisme pertahanan psikologis, tidak adanya rasa frustrasi, pertimbangan rasional dan kemampuan pertahanan diri, mampu untuk belajar, memanfaatkan pengalaman masa lalu, dan bersikap realistis serta objektif. Dukungan emosional yang diberikan oleh lingkungan keluarganya membantu partisipan dalam menyesuaikan diri.

(4)

Elderly’s Post-Divorce Adjustment Marini Noviandri and Indri Kemala Nasution

ABSTRACT

The aim of this research is to know how alderly can make a self-adjustment after a divorce by using Schneiders’ normal adjustmet theory. The method used in this research is case study of two partisipants which has several characteristics such as, elderly woman who have been divorced at age 60 years and over. The method which has been used to gathering datas was in-depth-interview. The result showed the partisipant could adjust herself nicely after the divorce. The adjustment can be seen by the absence of excessive emotionality, absence of psychological mechanisms, absence of the sense of personal frustration, rational deliberation and self-direction, ability to learn, utilization of past experience, and realistic, objective attitude. The emotional support she takes from her family helps her to adjust herself nicely.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas

karunia dan hidayahnya penulis dapat menyusun sebuah penelitian yang berjudul

“PENYESUAIAN DIRI LANSIA PASCA BERCERAI” guna memenuhi salah

satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Sumatera

Utara.

Rasa terima kasih juga ingin penulis sampaikan kepada kedua orang tua

tercinta, H. Arziyon, SE. dan Dr. Hj. Chairul Bariah Mozasa, SH., M.Hum., yang

tidak henti-hentinya memberikan semangat, dukungan, dan doa di sepanjang

proses penelitian ini. Terciptanya penelitian ini tidak terlepas dari doa restu yang

selalu dipanjatkan oleh Papa dan Mama.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terima kasih

kepada berbagai pihak yang memberikan dukungan serta bantuan. Untuk itu

peneliti ingin mengucapkan terima kasih setulus hati kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Psi., psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sumatera Utara.

2. Kak Indri Kemala Nasution, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing

skripsi yang telah sabar meluangkan waktu dan tenaganya untuk

membimbing, mendukung, serta memberi saran selama proses penyelesaian

(6)

3. Ibu Ade Rahmawati, M.Psi, psikolog dan Ibu Meutia Nauly, M.Si, psikolog

selaku dosen penguji skripsi. Terima kasih atas kesediaan ibu untuk

meluangkan waktu menguji serta memberikan saran dan kritik guna

menyempurnakan penelitian ini.

4. Mbak Aprilia Fadjar Pertiwi, M.si, psikolog selaku dosen pembimbing

akademik. Walaupun hanya beberapa semester, penulis tetap berterima kasih

kepada Mbak Iteung karena saran yang diberikan benar-benar membantu

penulis di masa-masa awal perkuliahan. Tidak lupa juga penulis

mengucapkan terima kasih kepada kak Juliana Irmayanti Saragih, M.psiyang

juga menjadi dosen pembimbing akademik di masa pertengahan hingga akhir

perkuliahan. Tidak hanya memberikan bimbingan akademik, namun Kak Juli

juga berbaik hati untuk memberikan saran terkait penelitian ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang

telah membagikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis. Semoga ilmu ini

akan terus bermanfaat sepanjang hidup.

6. Seluruh staf bidang akademik, administrasi, dan perpustakaan Fakultas

Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dan melancarkan

segala urusan administrasi penulis selama ini.

7. Kakak, adik, serta sepupu-sepupu penulis, kak Annisa Yulindri (Icha), Yati

Sharfina Desiandri, kak Euis Wikanita, dan Rafika Maya Sari Siregar (Pika)

yang juga memberikan dukungan penuh terhadap penelitian ini. terima kasih

juga karena telah memberikan semangat kepada penulis untuk segera

(7)

8. Teman-teman terbaik dari penulis, Rezki Wulandari (Wulan), Hana Zafirah

Ardani, Rahma Safitri (Lili), Yurisqa Shadila (Dila), Qisty Anindiaty,

Yuanda Novrita (Wanda), dan Farah Oktamurdiantri (Pai) yang selama 5

tahun terakhir menjadi tempat untuk saling berbagi, mulai dari berbagi ilmu,

cerita, hingga makanan. Terima kasih atas dukungan yang telah diberikan.

Terima kasih karena selalu ada ketika dibutuhkan. Terima kasih atas semua

kenangan yang kalian berikan selama perkuliahan ini. Semoga persahabatan

ini berlangsung hingga selamanya.

9. Terima kasih kepada Katriin dan Ratna yang membantu penulis memberikan

inspirasi dalam menulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Aisyah,

Putri Carol, Agiska, Jeremy, Serefhy, Juli, Inu, Chika, Susi T., Fita, Rezqy

‘Ubi’, dan Riri yang juga berjuang selama proses penelitian ini berlangsung.

Semoga kita semua bisa menyandang gelar Sarjana Psikologi dalam waktu

dekat.

10. Keluarga besar H. Mohammad Zain Saidi (Mozasa) dan keluarga besar H.

Abdurrahman yang selalu memberikan dukungan dan perhatian kepada

penulis. Perhatian-perhatian tersebut selalu menjadi semangat bagi penulis

selama proses penyelesaian penelitian ini.

11. Pihak-pihak yang membantu penulis ketika mencari partisipan yang sesuai

dengan karakteristik penelitian. Terima kasih kepada Om Edi Yunara, Pak

Jalaludin, dan Pak Zulham yang tiada hentinya memberikan informasi kepada

(8)

12. Kedua partisipan penelitian yang bersedia meluangkan waktunya di dalam

penelitian ini. Semoga Allah SWT membalas kebaikan Anda berdua.

13. Pihak-pihak yang telah membantu keseluruhan proses penelitian ini yang

tidak dapat disebutkan namanya satu per satu. Terima kasih atas bantuan,

dukungan, saran, serta kritik yang diberikan selama penelitian berlangsung.

Penulis sadar bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna, maka

daripada itu penulis mengharapkan saran dan kritik agar penelitian ini menjadi

lebih baik. Akhir kata penulis berharap agar penelitian ini dapat memberikan

manfaat bagi para pembaca.

Medan, April 2014

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK

ABSTRACT

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

(10)

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II : LANDASAN TEORI ... 11

A. Penyesuaian Diri ... 11

1. Definisi Penyesuaian Diri ... 11

2. Bentuk Penyesuaian Diri ... 12

3. Indikator Penyesuaian Diri yang Normal ... 14

4. Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri ... 16

5. Karakteristik Penyesuaian Diri yang Baik ... 18

6. Penyesuaian Diri Lansia ... 20

B. Lansia ... 23

1. Definisi Lansia ... 23

2. Tugas Perkembangan Lansia ... 25

C. Perceraian ... 26

1. Definisi Lansia ... 26

2. Perceraian di Masa Lansia ... 27

3. Penyebab Perceraian ... 28

4. Dampak Perceraian ... 31

5. Penyesuaian Perceraian ... 33

D. Penyesuaian Diri Lansia Pasca Bercerai ... 37

E. Dinamika Penelitian ... 40

BAB III : METODE PENELITIAN ... 41

(11)

B. Metode Penelitian ... 42

C. Partisipan Penelitian ... 42

1. Karakteristik Partisipan Penelitian ... 42

2. Jumlah Partisipan Penelitian ... 43

3. Teknik Pengambilan Partisipan ... 43

4. Lokasi Penelitian ... 44

D. Metode Pengambilan Data ... 44

E. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 45

F. Kredibilitas dan Validitas Penelitian ... 46

G. Prosedur Penelitian ... 47

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 47

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 49

3. Tahap Pencatatan Data ... 51

4. Prosedur Analisis Data ... 51

BAB IV : ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN... 54

A. Hasil ... 55

1. Analisa Data Partisipan ... 55

a. Identitas Diri Partisipan ... 55

b. Latar Belakang Partisipan ... 55

2. Data Wawancara Partisipan ... 58

a. Data Hasil Observasi ... 58

(12)

2) Perceraian ... 65

3) Penyesuaian Diri Pasca Bercerai ... 68

a) Tidak adanya emosi yang berlebihan ... 68

b) Tidak adanya mekanisme psikologis ... 70

c) Tidak adanya rasa frsutrasi ... 71

d) Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri ... 72

e) Mampu untuk belajar ... 73

f) Memanfaatkan pengalaman masa lalu ... 75

g) Sikap yang realistis dan objektif ... 76

3. Hasil Data Partisipan ... 77

B. Analisa dan Pembahasan Partisipan ... 85

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 150

A. Kesimpulan ... 150

B. Saran ... 153

1. Saran Praktis ... 153

2. Saran Penelitian Lanjutan ... 154

DAFTAR PUSTAKA ... 155

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan ... 55

Tabel 2. Waktu dan Lokasi Wawancara Partisipan ... 58

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Gambaran Penyesuaian Diri Partisipan

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

(16)

Elderly’s Post-Divorce Adjustment Marini Noviandri and Indri Kemala Nasution

ABSTRACT

The aim of this research is to know how alderly can make a self-adjustment after a divorce by using Schneiders’ normal adjustmet theory. The method used in this research is case study of two partisipants which has several characteristics such as, elderly woman who have been divorced at age 60 years and over. The method which has been used to gathering datas was in-depth-interview. The result showed the partisipant could adjust herself nicely after the divorce. The adjustment can be seen by the absence of excessive emotionality, absence of psychological mechanisms, absence of the sense of personal frustration, rational deliberation and self-direction, ability to learn, utilization of past experience, and realistic, objective attitude. The emotional support she takes from her family helps her to adjust herself nicely.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Semasa hidup, manusia akan melewati tahap-tahap perkembangan tertentu.

Perkembangan manusia diawali dari pertumbuhan janin di dalam rahim hingga

masa lansia. Setiap tahap perkembangan memiliki beberapa tugas perkembangan

yang harus dilewati tiap individu. Begitu pula dengan lansia, yang juga menjalani

tugas perkembangannya (Havighurst dalam Hurlock, 1996).

Tugas perkembangan lansia didominasi oleh penyesuaian diri (Havighurst

dalam Hurlock, 1996). Di masa senjanya, lansia akan mengalami penurunan

kondisi fisik yang mengakibatkan lansia harus mengurangi beberapa kegiatan

yang dijalaninya. Tugas perkembangan lainnya adalah penyesuaian diri terhadap

masa pensiun yang umumnya dijalani oleh lansia. Selain kedua hal di atas, tugas

perkembangan lansia lainnya adalah menyesuaikan diri terhadap hilangnya

pasangan (Hurlock, 1996).

Kehilangan pasangan di masa lansia dapat terjadi karena kematian ataupun

perceraian (Hurlock, 1996). Walaupun lebih banyak lansia yang menjadi janda

atau duda akibat kematian pasangan, namun ada juga beberapa lansia yang

mengalami kesendirian karena perceraian. Menurut data yang dihimpun oleh

(18)

2009 persentase lansia di Indonesia yang mengalami perceraian adalah 2,21% dari

total jumlah lansia. Jumlah ini memang cukup sedikit, tetapi hal ini menunjukkan

bahwa perceraian di masa lansia juga perlu mendapat perhatian khusus (Komisi

Nasional Lanjut Usia, 2010).

Jumlah lansia yang bercerai di kota Medan, baik sebagai pihak penggugat

maupun tergugat, pada tahun 2013 mencapai 177 orang. Tidak adanya

keharmonisan merupakan penyebab utama dari perceraian (Pengadilan Agama

Medan, 2013). Menurut Direktorat Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (2012), ketidakcocokan

atau disharmonis antara pasangan lansia disebabkan oleh penurunan fungsi fisik

dan psikologis dari lansia itu sendiri. Akibatnya timbulah ketegangan emosional

yang mempengaruhi hubungan pernikahannya. Selain itu tidak sedikit lansia yang

bercerai karena masing-masing tidak dapat menerima pendapat pasangannya.

Pada sebuah artikel yang ditulis oleh Yadegaran (2012) disebutkan bahwa

perceraian di masa lansia juga memiliki alasan yang cukup sederhana misalnya

pasangan suami istri yang mempunyai tujuan hidup berbeda, hubungan yang tidak

lagi dekat, atau tidak memiliki perasaan terhadap pasangan. Hurlock (1996)

menjelaskan perceraian yang terjadi pada lansia tidaklah muncul akibat suatu

permasalahan baru melainkan berasal dari sebuah keputusan yang telah dipikirkan

sejak awal namun terhalang karena pasangan lebih mengedepankan kepentingan

(19)

Beberapa penelitian mengemukakan beberapa hal yang mendasari

terjadinya perceraian pada pasangan lansia. Sebuah studi yang dilakukan oleh

Gottman (dalam Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006) menyatakan bahwa

penyebab terjadinya perceraian pada lansia didasari oleh kurangnya emosi positif

selama menjalani pernikahan. Maksud dari kurangnya emosi positif seperti

dicontohkan oleh Cavanaugh dan Blanchard-Fields (2006) misalnya ketika istri

berbicara dengan semangat kepada suaminya tetapi tidak ditanggapi oleh sang

suami. Dalam pernikahan seperti ini biasanya tidak terjadi pertengkaran yang

hebat antara suami dan istri, bahkan pernikahan bisa bertahan cukup lama tapi

akan lebih beresiko berakhir dengan perceraian.

Di lain pihak, menurut penelitian Sternberg (dalam DeGenova, 2008) hal

lain yang mendasari konflik dalam pernikahan lansia berdasarkan teori komponen

cinta adalah pasangan lansia yang hanya memiliki komitmen di dalam

pernikahannya. Komitmen meliputi suatu keputusan untuk berada di suatu

hubungan dan menjaganya dalam jangka waktu yang lama. Namun komitmen

saja tidak dapat mempertahankan suatu hubungan pernikahan. Di dalam

pernikahan juga dibutuhkan hasrat dan kedekatan agar pernikahan bisa bertahan

lama.

Kekerasan juga merupakan salah satu penyebab perceraian pada lansia.

Menurut data yang dihimpun dari Pengadilan Agama Klas IA Medan, sekitar

6,1% dari kasus perceraian di masa lansia disebabkan oleh tindak kekerasan oleh

(20)

pernikahan umumnya disebabkan karena level kepuasan pernikahan yang rendah

dan masalah dalam komunikasi (DeGenova, 2008).

Selain masalah ketidakharmonisan dan kekerasan, permasalahan ekonomi

dalam kehidupan rumah tangga juga menjadi penyebab perceraian pada lansia.

Menurut studi yang dilakukan oleh International Longevity Center di London,

lansia lebih banyak mengalami permasalahan keuangan karena anggaran pensiun

terus dipakai untuk melunasi hutang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

lansia yang tidak mampu mengatur keuangan memiliki kemungkinan lebih besar

untuk bercerai dibandingkan dengan lansia yang memiliki keuangan yang stabil

(Republika Online, 2013).

Perceraian memiliki dampak bagi lansia. Memang lansia pria maupun

wanita yang kehilangan pasangan akibat kematian maupun perceraian akan

mengalami hal yang sama, namun perceraian memiliki karakteristik yang khas. Di

masa awal setelah bercerai, lansia akan menjadi marah kepada mantan

pasangannya (Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006). Hal ini sesuai dengan

pernyataan SY yang berusia 62 tahun:

“perasaan marah? Ya pastilah. Cuman lama-lama kita pikir-pikir ya ngapain lagi (marah). Sama mantan pasangan saya gak pernah berkomunikasi lagi. Pas anak saya nikah, di situlah saya bilang ‘maaf ya’. Dibilangnya, ‘ya udahlah, kita jalanin aja’”

(wawancara personal, 5 Maret 2014)

Selain itu lansia yang bercerai akan merasakan trauma karena mereka telah

membangun hubungan dalam jangka waktu yang lama dengan pasangan,

(21)

komitmen dalam hubungannya, tetapi kini seseorang yang sudah lama dikenal

telah menjadi orang asing (Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006).

Kesepian merupakan salah satu dampak stres psikologis yang dialami

lansia setelah kehilangan pasangannya (DeGenova, 2008; Matlin, 2008). Selain

kehilangan pasangan, perasaan kesepian yang dialami oleh lansia ini dikarenakan

hilangnya persahabatan di antara teman sebaya. Menurut Direktorat Bina

Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan Badan Kependudukan dan Keluarga

Berencana Nasional (2012) interaksi lansia dengan teman sebaya menurun karena

keterbatasan yang dimiliki lansia misalnya keterbatasan fisik, gerak, serta akses

komunikasi. Selain itu lingkup pertemanan menjadi mengecil karena proses

kepindahan ataupun kematian.

Dampak-dampak setelah bercerai biasanya disertai dengan usaha dalam

menyesuaikan diri (Dewi, 2011). Dalam menyesuaikan diri terdapat pengadopsian

sebuah pola perilaku pada situasi maupun konflik sehingga dengan cara tersebut

nantinya akan muncul keselarasan dan keharmonisan antara individu dan

lingkungan (Schneiders, 1964).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa menjalin hubungan dengan

orang lain merupakan suatu hal yang membantu pasca bercerai misalnya dengan

membangun hubungan sosial atau menikah kembali. Menikah kembali dapat

membantu lansia menyesuaikan diri setelah bercerai dimana individu yang

menikah kembali menunjukkan penyesuaian yang lebih baik (Burgess & Locke,

1960; DeGenova, 2008). Pernikahan kembali lebih banyak dilakukan oleh pria

(22)

Pernikahan kembali bukanlah bentuk penyesuaian setelah bercerai yang dipilih

oleh wanita. Pada profil penduduk lanjut usia di tahun 2009 yang dihimpun oleh

Komisi Nasional Lansia (2010) terlihat bahwa persentase lansia wanita yang

bercerai sebanyak 3,14%. Hal ini diperkuat dengan pernyataan S, 63 tahun, yang

menyatakan tidak ingin menikah kembali setelah bercerai dengan suaminya:

“ah, ngapain lah nenek kawin lagi. Itu kan kerjaannya yang muda-muda aja. Kalo nenek enggak lah. Udah gak ada pikiran kayak gitu lagi”

(Wawancara personal, 31 Mei 2013)

Pada lansia wanita, salah satu faktor yang membantu setelah bercerai

adalah lingkungan (Schneiders, 1964). Kelompok dukungan (support group)

merupakan bentuk bantuan yang bisa didapatkan oleh lansia wanita dari

lingkungan. Support group dapat membantu lansia memulihkan keadaan pasca

bercerai. Bagi wanita, kelompok ini akan memberikan pengaruh jika memberikan

dukungan secara emosional (Oygard & Hardeng dalam Cavanaugh &

Blanchard-Fields, 2006). Sebuah penelitian oleh Nisa (2009) mengenai wanita desa yang

bercerai menunjukkan dukungan dari teman dan keluarga dapat membantu

penyesuaian diri. Dalam sebuah wawancara personal, S (63 tahun) dengan cepat

dapat melupakan permasalahan perceraiannya dan tidak mengalami rasa kesepian

karena kegiatan yang dilakukannya bersama dengan teman-teman sebaya yang

ada di lingkungannya.

“jadi nenek tinggal di kampung. Namanya pun kampung tapi ramai. Yang apa (menemani) ya kawan-kawanlah. Mengaji kita pigi sama-sama, ramai-ramai. Kan gak terasa apa, susah-susah. Yang susah-susah itu kan yang gak ada kegiatan. Duduk aja. Kalau (diajak) pergi, ayo.”

(23)

Dukungan dari keluarga serta pandangan masyarakat terhadap perceraian

juga membantu lansia wanita untuk menyesuaikan diri. Lansia wanita yang

bercerai umumnya akan tinggal berdekatan ataupun tinggal bersama salah satu

anaknya. Cara ini dilakukan lansia untuk dapat melakukan kontak sosial dengan

orang di sekitarnya (Hurlock, 1996). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh

Widarti (2012) menunjukkan beberapa partisipan penelitiannya dapat

menyesuaikan diri karena mendapatkan dukungan dari pihak keluarga. Sementara

itu beberapa partisipan lainnya masih belum bisa untuk menyesuaikan diri akibat

pandangan negatif masyarakat mengenai perceraian dan keluarga yang

menyalahkan partisipan atas perceraian.

Selain lingkungan, agama juga dapat memberikan kontribusi terhadap

penyesuaian diri lansia. Penelitian yang dilakukan oleh Indriana, Desiningrum,

dan Kristiana (2011) menunjukkan bahwa religiusitas yang dimiliki lansia

berhubungan secara signifikan dengan penyesuaian diri lansia. Lansia yang

religius dapat menjadi individu yang lebih dapat menyesuaikan diri sehingga

mencapai kesejahteraan sosial.

Teori penyesuaian diri yang dikemukakan oleh Schneiders (1964) memuat

indikator-indikator yang menunjukkan bahwa seseorang telah menyesuaikan diri

secara normal. Indikator-indikator tersebut antara lain: tidak menunjukkan emosi

yang berlebihan, tidak adanya mekanisme pertahanan diri, dan tidak menunjukkan

rasa frustrasi, mampu mengarahkan diri, memiliki pertimbangan rasional,

kemauan untuk belajar dari pengalaman masa lalu, serta bersikap realistis serta

(24)

Wahyuningsih (2007) menunjukkan bahwa individu yang bersikap realistis

dengan menerima status janda atau dudanya dapat menyesuaikan diri lebih baik.

Hal ini senada dengan pernyataan seorang lansia wanita yang menerima status

jandanya dan menjadikan kunjungan ke tempat anak-anaknya sebagai cara untuk

menyesuaikan dirinya.

“(pengaruh perceraian) gak ada. Dia gak suka sama kita apa boleh buat... Sekarang biasa aja. Nanti nenek melancong-melancong ke tempat anak di sana, di sini. Gak ada nenek pikir-pikir (perceraian)”

(wawancara personal, 31 Mei 2013)

Berdasarkan fenomena yang telah dijabarkan di atas, dapat dilihat bahwa

perceraian juga dapat terjadi di masa lansia. Perceraian juga memberikan dampak

dalam kehidupan lansia seperti misalnya kesepian. Untuk itulah dibutuhkan

penyesuaian diri agar tercipta keselarasan dalam diri walaupun tanpa kehadiran

pasangan. Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana

penyesuaian diri lansia setelah mengalami perceraian.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti ingin

meneliti bagaimana penyesuaian diri pada lansia setelah bercerai berdasarkan

indikator-indikator penyesuaian diri yang normal menurut Schneiders (1964).

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penyesuaian diri

(25)

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan informasi dalam ilmu

psikologi, khususnya psikologi perkembangan lanjut usia. Selain itu penelitian ini

juga dapat memberikan manfaat bagi peneliti lainnya. Selama ini penelitian

mengenai lansia hanya menyoroti permasalahan psikologis lansia yang kehilangan

pasangan karena kematian. Semoga penelitian ini dapat menjadi referensi bagi

peneliti lain yang ingin mengetahui kasus perceraian di masa lanjut usia.

2. Manfaat Praktis

Selain ditujukan untuk menambah informasi, penelitian ini juga dapat

memberikan manfaat lainnya seperti:

a. Memberikan informasi mengenai indikator-indikator penyesuaian diri setelah

bercerai;

b. Menjadi sumber acuan bagi lansia yang bercerai untuk dapat menyesuaikan

dirinya setelah bercerai dengan mengacu pada faktor-faktor yang

mempengaruhi penyesuaian diri dan indikator penyesuaian diri yang normal;

c. Membantu lingkungan di sekitar lansia untuk memahami kondisi psikologis

yang dialami lansia yang telah bercerai sehingga dapat membantu lansia

(26)

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I : Bab ini berisi latar belakang mengenai kasus perceraian di Indonesia,

khususnya pada lansia serta dampak dan penyesuaian setelah

terjadinya perceraian. Selanjutnya dipaparkan juga tujuan, manfaat,

dan sistematika penulisan dari penelitian ini.

Bab II : Bab II berisi landasan teori yang digunakan untuk menjelaskan lebih

dalam lagi mengenai penyesuaian diri, lansia, dan perceraian pada

lansia.

Bab III : Bab III berisi metodologi penelitian seperti apa yang akan dilakukan

selama penelitian berlangsung.

Bab IV : Bab IV berisi analisa dari data yang telah dikumpulkan dan

pembahasan berdasarkan teori digunakan.

Bab V : Bab V berisi kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan serta

saran-saran, baik saran yang ditujukan untuk peneliti selanjutnya

(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PENYESUAIAN DIRI 1. Definisi Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri sebagaimana dimaksudkan oleh Schneiders (1964) ialah:

a process involving both mental and behavioral responses by which an

individual strive to cope successfully with inner needs, tensions, frustrations, and conflicts, and to effect a degree of harmony between these inner demands and those imposed on him by the objective world in which he lives.”

Sesuai dengan definisi di atas, maka pengertian penyesuaian diri menurut

Schneiders adalah sebuah proses yang meliputi respon mental dan perilaku pada

individu untuk menghadapi kebutuhan internal, ketegangan, frustrasi, serta

konflik-konflik. Penyesuaian diri nantinya berdampak pada keselarasan antara

tuntutan dari dalam diri individu dan lingkungan di sekitarnya (Schneiders, 1964).

Selaras dengan pernyataan Schneiders, penyesuaian diri menurut

Calhoun dan Acocella (1990) adalah sebuah interaksi yang kontinyu antara diri

sendiri, orang lain, dan lingkungan. Penyesuaian diri merupakan sebuah proses

timbal balik dan saling mempengaruhi antara individu dan lingkungannya.

Schneiders (1964) membagi penyesuaian diri ke dalam tiga sudut

pandang. Sudut pandang pertama adalah penyesuaian diri sebagai bentuk adaptasi

(adaptation) yang lebih menyoroti penyesuaian diri dalam hal fisik, fisiologis, dan

(28)

konformitas (conformity) dimana individu menyesuaikan diri agar sesuai dengan

norma yang ada di lingkungan dan menghindari penyimpangan perilaku, baik

secara moral, sosial, maupun emosional. Sudut pandang yang terakhir adalah

penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery) dimana individu mampu

untuk merencanakan dan mengorganisasikan suatu respon untuk mengatasi

konflik, kesulitan, dan rasa frustrasi yang dialami.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka yang dimaksud dengan

penyesuaian diri adalah sebuah proses yang meliputi respon mental dan perilaku

atas tuntutan yang berasal dari dalam diri seperti kebutuhan internal maupun

konflik, ketegangan, dan frustrasi. Selain itu, penyesuaian diri juga sebagai proses

timbal balik antara diri dan lingkungan sekitar.

2. Bentuk Penyesuaian Diri

Schneiders (1964) juga mengemukakan bahwa ada empat macam bentuk

penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu berdasarkan pada kontak

situasional respon, yaitu:

a. Penyesuaian diri personal

Penyesuaian diri personal adalah penyesuaian diri yang diarahkan kepada diri

sendiri. Penyesuaian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

1) Penyesuaian Diri Fisik dan Emosi

Dikatakan oleh Schneiders bahwa kesehatan fisik berhubungan erat

(29)

kesehatan emosi dan penyesuaian diri, yaitu: adekuasi emosi,

kematangan emosi, dan kontrol emosi.

2) Penyesuaian Diri Seksual

Merupakan kapasitas yang bereaksi terhadap realitas seksual

(impuls-impuls, nafsu, pikiran, konflik-konflik, frustasi, perasaan salah dan

perbedaan seks). Kapasitas tersebut memerlukan perasaan, sikap sehat

yang berkenaan dengan seks, kemampuan menunda ekspresi seksual,

orientasi heteroseksual yang adekuat, kontrol yang ketat dari pikiran dan

perilaku, identifikasi diri yang sehat.

3) Penyesuaian Moral dan Religi

Moralitas adalah kapasitas untuk memenuhi moral kehidupan secara

efektif dan bermanfaat yang dapat memberikan kontribusi ke dalam

kehidupan individu.

b. Penyesuaian Diri Sosial

Dikatakan Schneiders bahwa rumah, sekolah dan masyarakat merupakan

aspek khusus dari kelompok sosial. Hal ini berarti melibatkan pola-pola

hubungan diantara kelompok tersebut dan saling berhubungan secara integral

diantara ketiganya.

c. Penyesuaian Diri Marital atau Perkawinan

Penyesuaian diri marital pada dasarnya adalah seni kehidupan yang efektif

dan bermanfaat dalam kerangka tanggung jawab, hubungan dan harapan yang

(30)

d. Penyesuaian Diri Jabatan atau Vokasional

Berhubungan erat dengan penyesuaian diri akademis dimana kesuksesan

dalam penyesuaian diri akademik akan membawa keberhasilan seseorang di

dalam penyesuaian diri karir atau jabatan.

3. Indikator Penyesuaian Diri yang Normal

Istilah “penyesuaian yang normal” yang dikemukakan oleh Schneiders

(1964) mengarah kepada perilaku yang umum dan tidak memiliki kesulitan serta

karakteristik negatif yang diasosiasikan dengan respon maladjustive dan

abnormal. Berikut ini merupakan indikator dari penyesuaian diri yang normal

menurut Schneiders (1964).

a. Tidak adanya emosi yang berlebihan.

Individu dapat merespon suatu situasi atau permasalahan dengan tenang dan

terkontrol yang memungkinkan mereka untuk berpikir dan mencari jalan

keluarnya. Hal ini tidak berarti bahwa ia tidak memiliki emosi, yang mana

mengindikasikan abnormalitas, tapi lebih mengarah kepada kendali diri yang

positif.

b. Tidak adanya mekanisme psikologis.

Penyesuaian diri yang normal juga dikarakteristikkan dengan tidak adanya

mekanisme psikologis. Melakukan pendekatan secara langsung terhadap

permasalahan atau konflik dinilai sebagai respon yang lebih normal

dibandingkan dengan melakukan mekanisme pertahanan diri seperti

(31)

c. Tidak adanya rasa frustrasi.

Perasaan frustrasi dapat mempersulit individu untuk berperilaku secara

normal terhadap suatu situasi atau permasalahan. Individu yang merasa

frustrasi akan menemui kesulitan dalam mengorganisasikan pemikiran,

perasaan, motif, serta perilakunya secara efektif.

d. Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri.

Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri sangat bertolak

belakang dengan mekanisme psikologis. Dasar dari kemampuan manusia

ketika berpikir dan mempertimbangkan permasalahan, konflik, dan frustrasi

merupakan sebuah penyesuaian yang normal. Sebaliknya, ketiadaan dari

karakteristik-karakteristik ini merupakan pertanda sulitnya melakukan

penyesuaian.

e. Mampu untuk belajar.

Penyesuaian yang normal dikarakteristikkan dengan pembelajaran

berkelanjutan yang menghasilkan perkembangan dari kualitas personal yang

diperlukan di kehidupan sehari-hari.

f. Memanfaatkan pengalaman masa lalu.

Penyakit mental, seperti neurotik dan kenakalan, dikarakteristikkan oleh

ketidakmampuan untuk belajar dari masa lalu. Sebaliknya, penyesuaian yang

normal memerlukan pembelajaran dari masa lalu.

g. Sikap yang realistis dan objektif.

Sikap yang realistis dan objektif merupakan sesuatu yang didasari oleh

(32)

memungkinkan individu untuk menyadari situasi, permasalahan, atau

keterbatasan diri sebagaimana mestinya. Kemampuan untuk memandang diri

sendiri secara realistis dan objektif merupakan pertanda jelas dari sebuah

kepribadian dengan penyesuaian yang normal.

Berdasarkan penjabaran mengenai indikator-indikator di atas, maka yang

individu yang dikatakan telah melakukan penyesuaian diri yang normal adalah

inidividu yang tidak memiliki emosi yang berlebihan, pertahanan psikologis,

perasaan frustrasi, rasional dan mampu mengarahkan diri, mampu untuk belajar,

memanfaatkan pengalaman masa lalu, serta bersikap realistis dan objektif. Di lain

pihak, karakteritik yang negatif diasosiasikan dengan perlikau maladjustive.

Schneiders (1964) menjelaskan semakin banyak respon-respon yang

memenuhi indikator ini, semakin tinggi tingkat penyesuaiannya. Lebih lanjut

Schneiders juga menjelaskan bukan hanya jumlah penyesuaiannya yang

menentukan tingkat penyesuaian seseorang, tetapi juga kualitas dari penyesuaian

tersebut. Menentukan penyesuaian merupakan hal yang relatif, tergantung pada

kapasitas seseorang dalam menghadapi masalah yang sesuai dengan tingkat

perkembangannya.

4. Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

Schneiders (1964) menjabarkan beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi penyesuaian diri seseorang. Faktor-faktor ini merupakan yang

berasal secara biologis dari dalam diri individu maupun lingkungan di sekitar

(33)

a. Kondisi fisik

Kondisi fisik merupakan kesatuan jasmaniah individu yang merupakan

bawaan lahir yang terdiri dari hereditas, susunan syaraf, sistem kelenjar, otot,

dan sebagainya. Kondisi fisik yang baik dapat mengarah kepada penyesuaian

diri yang baik. Bagi individu yang menderita cacat fisik ataupun penyakit

kronis akan sedikit menghambat proses penyesuaian diri.

b. Perkembangan dan Kematangan

Tingkat perkembangan dan kematangan individu yang berbeda-beda akan

membutuhkan penyesuaian diri yang berbeda pula. Kematangan intelektual,

sosial, moral, dan emosi dapat mengarah kepada penyesuaian diri yang baik.

c. Determinan Psikologis

Yang termasuk di dalam determinan psikologis merupakan pengalaman, hasil

belajar, determinasi diri, konsep diri, frustrasi, dan konflik. Semua hal ini

akan berpengaruh terhadap penyesuaian diri. Pengalaman, baik yang baik

maupun yang buruk, akan berpengaruh terhadap penyesuaian diri. Begitu pula

dengan proses belajar yang dapat membantu individu untuk memahami

hal-hal apa saja yang membantunya dalam menyesuaikan diri.

d. Lingkungan

Lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat juga memberikan pengaruh

terhadap penyesuaian diri. Kekohesifan maupun permasalahan dalam

keluarga memberi dampak dalam penyesuaian diri individu. Sedangkan

lingkungan sekolah berpengaruh terhadap penyesuaian diri karena di sinilah

(34)

Konsistensi nilai, sikap, peraturan, dan moral yang dianut dalam masyarakat

akan diidentifikasi oleh individu sehingga juga dapat mempengaruhi

penyesuaian diri.

e. Agama dan budaya

Agama berkaitan erat dengan budaya. Agama memberikan sumbangan

nilai-nilai dan keyakinan yang sangat mendalam sehingga mempengaruhi tujuan,

kestabilan, serta keseimbangan hidup individu.

Berdasarkan penjabaran di atas, kita dapat melihat bahwa faktor

pendukung penyesuaian diri meliputi area personal dan sosial. Faktor personal

seperti kondisi fisik, psikologis, dan kematangan perkembangan. Faktor sosial

seperti lingkungan, agama, dan budaya.

5. Karakteristik Penyesuaian Diri yang Baik

Schneiders (1964) mengatakan individu yang dapat menyesuaikan diri

dengan baik adalah yang memiliki respon-respon yang matang, efisien,

memuaskan, dan juga baik (wholesome). Baik (wholesome) memiliki arti respon

penyesuaiannya sesuai dengan lingkungan, dalam hubungan kemasyarakatan, dan

juga dalam hubungan dengan Tuhan.

Individu yang memiliki penyesuaian yang baik juga merupakan seseorang

yang memiliki keterbatasan namun dapat diatasi dengan kepribadian dan kapasitas

dirinya; telah belajar bagaimana berinteraksi dengan dirinya dan lingkungan

dengan cara yang dewasa, baik, efisien, dan memuaskan; dan mampu mengatasi

(35)

perilaku symptomatis. Dengan kata lain, individu yang menyesuaikan diri dengan

baik relatif tidak mengalami gejala-gejala seperti kecemasan yang kronis, obsesi,

fobia, tidak mampu untuk membuat keputusan, dan gangguan psikosomatis

lainnya yang mengganggu moral, sosial, keyakinan, dan pekerjaan dari individu

tersebut.

Lebih lanjut, Schneiders mengklasifikasikan kriteria penyesuaian diri

yang baik ke dalam 16 poin sebagai berikut:

1. Pengetahuan dan pemahaman diri sendiri.

2. Objektivitas dan penerimaan diri.

3. Kendali dan perkembangan diri.

4. Integrasi personal.

5. Tujuan yang baik dan terarah.

6. Perspektif yang adekuat.

7. Selera humor.

8. Tanggung jawab.

9. Kematangan respon.

10. Pengembangan kebiasaan diri yang baik.

11. Mampu beradaptasi.

12. Bebas dari respon simtomatis atau cacat.

13. Mampu berinteraksi dan menaruh minat terhadap orang lain.

14. Keluasan minat dalam bekerja dan bermain.

15. Kepuasan dalam bekerja dan bermain.

(36)

6. Penyesuaian Diri Lansia

Setiap tahap perkembangan mewajibkan individu untuk melakukan

penyesuaian diri, baik itu terkait kondisi fisik maupun psikologis. Hal ini tak

terkecuali bagi lansia. Terdapat berbagai kriteria dalam menilai penyesuaian diri

yang dilakukan oeh lansia. Empat kriteria di bawah ini merupakan yang paling

umum menurut Hurlock (1996).

a. Kualitas pola perilaku

Penyesuaian diri yang baik pada diri lansia hendaknya sesuai dengan teori

aktivitas (activity theory) dimana teori ini menjelaskan jika seharusnya pria

dan wanita tetap beraktivitas di masa tuanya sebagaimana yang ia lakukan di

masa muda ataupun mencari aktivitas pengganti apabila sudah pensiun,

terlibat masalah keuangan, maupun pindah ke lingkungan baru. Penyesuaian

diri yang buruk adalah penyesuaian diri yang karakteristiknya seperti teori

pelepasan teori (disengagement theory). Teori mengatakan bahwa individu

lebih memilih untuk membatasi kegiatannya baik secara sukarela maupun

tidak. Penyesuaian diri yang baik juga dapat terlihat dalam diri lansia jika ia

mampu menyesuaikan diri di masa mudanya.

b. Perilaku emosional

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lansia lebih apatis dalam kehidupan dan

juga kurang responsif. Lansia juga sulit untuk mengekspresikan perasaan

kasih sayang kepada orang lain. Di lain sisi, perasaan emosional lansia

semakin kuat sehingga lansia sangat mudah untuk marah. Dibandingkan

(37)

untuk menyalurkan emosi mereka sehingga mereka menjadi cemas dan

tertekan dalam waktu yang lama.

c. Kepribadian

Banyak yang mengatakan semakin tua seseorang maka ia akan bertingkah

seperti anak-anak. Sebenarnya pola kepribadian yang terbentuk di masa tua

merupakan manifestasi dari sifat yang sudah ada di dalam diri dan kemudian

menjadi semakin tampak di masa tua karena adanya tekanan-tekanan di hari

tua.

d. Derajat kepuasan atau kebahagiaan

Kriteria yang dipakai untuk mengukur kebahagiaan lansia adalah rentang

antara keadaan diri yang sebenarnya (real selves) dan keadaan pribadi yang

ideal (ideal selves). Jika jarak di antara keduanya kecil, maka lansia akan

memandang kehidupannya sebagai suatu hal yang memuaskan dan

memberikan kebahagiaan. Namun jika terdapat perbedaan yang cukup besar

di antara keduanya, maka lansia akan memandang kehidupannya dengan

kekecewaan dan ketidakbahagiaan.

Kebahagiaan lansia di masa tua juga dipengaruhi oleh “Tiga A Kebahagiaan”

(Three A’s of Happiness) yaitu acceptance (penerimaan), affection (kasih

sayang), dan achievement (pencapaian). Bila seseorang tidak mampu

memenuhi salah satu dari ketiga hal tersebut, kecil kemungkinan bagi lansia

untuk bisa bahagia di masa tuanya. Barrett (dalam Hurlock 1996)

(38)

lansia dalam menghadapi masa pensiun dan memandangnya sebagai masa

kejayaan (the golden years).

Tidak semua penyesuaian diri yang dilakukan lansia merupakan

penyesuaian diri yang baik. Ada beberapa kriteria yang menunjukkan penyesuaian

diri lansia yang buruk. Namun terlebih dahulu kita akan membahas penyesuaian

diri yang baik menurut Hurlock (1996), kemudian diikuti oleh kriteria

penyesuaian diri yang buruk.

Penyesuaian Diri yang Baik

1. Minat yang kuat dan beragam

2. Kemandirian dalam hal ekonomi, yang memungkinkan untuk hidup mandiri

3. Membangun hubungan sosial dengan segala umur dan tidak terbatas pada

orang-orang lanjut usia saja

4. Kenikmatan kerja yang menyenangkan dan bermanfaat tetapi tidak

memerlukan banyak biaya

5. Berpartisipasi dalam organisasi kemasyarakatan

6. Kemampuan untuk memelihara rumah tanpa mengerahkan terlalu banyak

tenaga fisik

7. Kemampuan untuk menikmati berbagai kegiatan masa kini tanpa menyesali

masa lampau

8. Mengurangi kecemasan terhadap diri sendiri maupun orang lain

9. Menikmati kegiatan dari hari ke hari walaupun aktivitas tersebut dilakukan

(39)

10. Menghindari kritik dari orang lain, terutama dari orang yang lebih muda

11. Menghindari kesalahan khususnya tentang kondisi tempat tinggal dan

perlakuan dari orang lain

Penyesuaian Diri yang Buruk

1. Kurang memiliki minat dan kurang berpartisipasi dalam lingkungan

2. Menarik diri dalam dunia khayalan

3. Selalu mengenang masa lalu

4. Selalu cemas karena didorong perasaan menganggur

5. Kurang bersemangat dan produktivitas rendah

6. Menganggap bahwa melakukan suatu aktvitas berarti membuang waktu

7. Merasa kesepian karena hubungan dalam keluarga sangat kaku

8. Terisolasi secara geografis

9. Tinggal di panti jompo maupun bersama anak yang telah dewasa

10. Selalu mengeluh dan mengkritik sesuatu

11. Menolak mengikuti kegiatan orang-orang lansia karena menganggapnya

membosankan.

B. LANSIA

1. Definisi Lansia

Usia tua merupakan tahap akhir dalam rentang kehidupan manusia.

Budaya dan agama sangat berpengaruh dalam menentukan usia seseorang

sehingga definisi untuk seseorang yang lanjut usia merupakan suatu hal yang

(40)

Dalam Papalia, Olds, dan Feldman (2007), peneliti membagi istilah lansia

ke dalam tiga bagian, yaitu young old, old old, dan oldest old. Ketiga istilah ini

secara kronologis dibagi berdasarkan kelompok usia dan jenis kegiatan yang

dilakukan para lansia. Young old merujuk kepada seseorang yang berumur 65-74

tahun yang biasanya masih beraktivitas dengan aktif. Istilah old old diberikan

kepada seseorang yang berusia 75-84 tahun, kemudian istilah oldest old merujuk

kepada seseorang yang berusia 85 tahun ke atas dan biasanya memiliki kesulitan

untuk beraktivitas sehari-hari.

Levinson (dalam Colarusso & Nemiroff, 1981) mendeskripsikan masa

paruh baya mulai dari usia 40 hingga 60 tahun dimana masa ini merupakan

periode aktualisasi serta masa untuk berkontribusi kepada masyarakat.

Selanjutnya masa dewasa akhir yang dimulai dari usia tujuh puluhan yang

digambarkan sebagai masa kemunduran, namun juga merupakan masa dimana

muncul kebijaksanaan melalui pengalaman dari konflik antara keinginan dan

moral, antara diri sendiri dan orang lain, dan antara individu dan masyarakat.

Secara kronologis, usia tua dimulai dari usia enam puluh tahun. Hurlock

(1996) membagi tahap lansia ke dalam dua bagian; usia lanjut dini bagi seseorang

yang berusia enam puluh tahun, dan usia lanjut bagi seseorang yang berusia tujuh

puluh tahun ke atas. Usia lanjut dini merupakan peralihan dari masa dewasa

madya menuju masa dewasa akhir. Selanjutnya, Badan Kependudukan dan

Keluarga Berencana Nasional (2012) serta Komisi Nasional Lanjut Usia (2010)

(41)

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka individu yang tergolong ke

dalam usia lanjut adalah yang berusia 60 tahun ke atas dimana masa dewasa akhir

atau lansia diidentikkan dengan masa kemunduran dan juga kebijaksanaan yang

didapatkan dari pengalaman semasa hidup.

2. Tugas Perkembangan Lansia

Tugas perkembangan menurut Havighurst (dalam Lindgren, 1959) adalah

permasalahan atau situasi yang pada umumnya muncul di suatu rentang

kehidupan individu. Jika individu berhasil melakukan tugas perkembangannya,

maka ia juga akan berhasil di dalam kehidupannya. Namun jika ia gagal, maka ia

akan merasa tidak bahagia, tidak memiliki harapan, mendapat penolakan dari

masyarakat, dan sulit untuk melakukan tugas perkembangan di tahap berikutnya.

Pada tahap perkembangan dewasa akhir, tugas perkembangan yang harus

dilakukan lansia adalah proses penyesuaian baik terhadap diri maupun lingkungan

di sekeliling lansia. Havighurst (dalam Hurlock, 1996) menguraikan beberapa

tugas perkembangan pada masa lansia, di antaranya:

a. Penyesuaian diri terhadap menurunnya kondisi fisik dan kesehatan.

b. Penyesuaian diri terhadap masa pensiun dan berkurangnya penghasilan

keluarga.

c. Menyesuaikan diri dengan kehilangan pasangan hidup.

d. Membentuk hubungan dengan orang yang seusia.

(42)

Dengan segala perubahan yang dialami oleh lansia, lansia perlu melakukan

penyesuaian diri terhadap diri dan lingkungannya. Menurunnya kondisi fisik dan

kesehatan pada lansia menuntut lansia agar melakukan perubahan dan perbaikan

peran baik di dalam maupun di luar rumah. Kondisi ini juga berdampak terhadap

kehidupan sosial lansia dimana penurunan kondisi fisik lansia cenderung

menghambat lansia dalam aktivitas sosial yang dulu pernah dilakukan. Pada usia

lanjut, orang tua akan berpisah dengan anak-anaknya. Selain perpisahan dengan

anak, lansia juga harus menyesuaikan diri terhadap kepergian pasangan, baik

karena perceraian maupun kematian. Untuk menghindari rasa kesepian dari

serangkaian peristiwa yang umum terjadi pada lansia, membentuk hubungan

sosial dengan teman sebaya merupakan cara yang paling baik untuk

meningkatkan kesejahteraan lansia (Hurlock, 1996).

C. PERCERAIAN

1. Definisi Perceraian

Jika pernikahan merupakan suatu peristiwa yang membahagiakan, maka

perceraian menurut Landis dan Landis (1960) adalah sebuah peristiwa tidak

bahagia yang berlawanan dengan pernikahan. Perceraian merupakan perpisahan

dari suami dan istri sebagai akhir dari rusaknya pernikahan (Burgess & Locke,

1960). Perceraian merupakan cara yang legal untuk mengakhiri pernikahan dan

sebagai pengumuman ke masyarakat luas bahwa suami dan istri yang telah

(43)

perceraian merupakan suatu peristiwa legal yang tidak bahagia yang menandakan

berakhirnya suatu hubungan suami istri.

2. Perceraian di Masa Lansia

Perceraian juga dialami oleh individu yang memasuki ataupun yang sudah

berada di masa lansia. Beberapa hasil penelitian menunjukkan hal-hal yang

menjadi penyebab perceraian lansia. Gottman dan Levenson (dalam Cavanaugh &

Blanchard-Fields, 2006) mengembangkan dua model yang memprediksi

perceraian yang dibagi menjadi early divorce dan later divorce. Perceraian yang

digolongkan ke dalam early divorce adalah pernikahan yang berusia sekitar 7

tahun. Emosi negatif yang ditunjukkan ketika pasangan memiliki masalah

dikatakan dapat memprediksi perceraian di usia awal pernikahan. Di lain pihak,

perceraian yang digolongkan ke dalam later divorce jika anak pertama sudah

berusia 14 tahun. Kurangnya emosi positif ketika pasangan berdiskusi dikatakan

dapat memprediksi perceraian.

Dilihat dari ilmu sosiologi, meningkatnya perceraian di masa lansia

disebabkan oleh fenomena baby boomers yang mencapai puncaknya pada tahun

1970 hinggan 1996-an (Brown dan Lin, 2012). Dari sini dapat diketahui bahwa

jumlah lansia yang bercerai akan semakin meningkat seiring dengan semakin

banyaknya jumlah lansia akibat fenomena baby boomers.

Di Indonesia, penyebab perceraian di masa lansia menurut Direktorat

Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan, Badan Kependudukan dan Keluarga

(44)

pasangan suami dan istri. Selain itu pertambahan usia juga secara alami dapat

menurunkan kondisi fisik maupun psikologis lansia. Hal ini dapat menyebabkan

timbulnya ketegangan di antara suami dan istri yang membuat mereka tidak dapat

menerima pendapat satu sama lain sehingga timbulah perceraian.

Berdasarkan penjelasan di atas, penyebab terjadinya perceraian di usia

lansia menurut ilmu sosiologis adalah terjadinya fenomena baby boomers

sehingga meningkatkan jumlah lansia. Sedangkan dari sisi psikologis faktor

penyebabnya adalah kurangnya emosi positif ketika menikah serta kemunduran

kondisi fisik dan psikologi yang mengarah pada timbulnya permasalahan pada

pasangan.

3. Penyebab Perceraian

Perceraian dapat bermula dari beberapa permasalahan di dalam

pernikahan yang terjadi sejak lama. Permasalahan yang timbul merupakan

manifestasi dari konflik dan ketegangan yang lebih mendalam. Burgess dan Locke

(1960) menjelaskan beberapa permasalahan dalam pernikahan, dimana jika

dibiarkan terlalu lama akan berujung pada perceraian. Dalam studi yang dilakukan

oleh Burgess dan Locke (1960), pria dan wanita mengalami permasalahan

pernikahan yang berbeda. Pria umumnya memiliki permasalahan pernikahan di

area hubungan percintaan dengan pasangan, seks, perdebatan yang berlangsung

sejak lama, campur tangan dari pihak keluarga pasangan, masalah keuangan,

minuman keras, dan tidak adanya teman. Sama halnya dengan pria, wanita juga

(45)

pasangan, seks, perdebatan dengan pasangan, tidak memiliki teman, serta

kesulitan keuangan dan memiliki perilaku yang kurang diterima masyarakat.

Burgess dan Locke (1960) juga melakukan studi terhadap permasalahan

pernikahan kepada pasangan yang telah bercerai. Subjek pria mengatakan mereka

mengalami kesulitan pernikahan karena hubungan seks yang tidak memuaskan,

tidak memiliki anak, campur tangan dari keluarga pasangan, perdebatan dengan

pasangan, dan kurang memiliki teman. Sedangkan bagi wanita, permasalahan

yang terjadi selama ia pernah menikah adalah penyakit menular seksual, tidak

adanya dukungan, minuman keras, perjudian, dan suami yang ditahan di penjara.

Burgess dan Locke (1960) menjabarkan beberapa faktor yang dapat

menimbulkan konflik di dalam pernikahan, yaitu:

a. Genic and Psychogenic Tensions

Genic dan psychogenis tensions ini sering disebut juga dengan

ketidaksesuaian tempramen. Hal ini dapat berkembang dari suami dan istri

yang memiliki tempramen yang sama ataupun berbeda. Ketidaksesuaian

tempramen yang dimilliki pasangan dapat mengarah kepada konflik

pernikahan, bahkan perceraian.

b. Budaya

Konflik pernikahan dapat bermula dari budaya. Di dalam pernikahan, suami

dan istri pasti memiliki kebiasaan yang beragam dalam berbicara, bersikap,

berpikir, dan dalam nilai yang dimiliki pasangan tersebut. Semua hal tersebut

tanpa sadar tercipta sejak awal pernikahan. Faktor yang mempengaruhinya

(46)

c. Peran Sosial

Konflik dalam keluarga dapat muncul ketika anggota keluarga memiliki

status dan peran sosial yang berbeda. Perbedaan ini akan menciptakan konflik

dalam keluarga jika dianggap lebih penting melebihi pendidikan, agama, dan

kemampuan intelektual.

d. Ekonomi

Sikap pasangan terhadap keuangan dapat memprediksi munculnya konflik di

dalam pernikahan atau tidak. Pasangan hendaklah memiliki kesamaan sikap

dalam melihat tujuan dan peran ekonomi di dalam keluarga. Jika terjadi

perbedaan dalam tujuan menggunakan uang, maka kemungkinan terjadinya

konflik akan lebih besar.

e. Kasih Sayang dan Hubungan Seksual

Konflik antara suami dan istri dapat muncul ketika keduanya tidak mampu

mengekspresikan rasa kasih sayang dan kepuasan dalam hubungan seksual.

Dalam hubungan seksual, konflik tidak akan muncul jika pasangan memiliki

sikap yang sama dalam tujuan melakukan hubungan seksual, misalnya

dengan sama-sama berpikir bahwa hubungan seksual adalah hanya untuk

kegiatan prokreasi atau kegiatan hiburan. Namun jika pasangan memiliki

pandangan yang berbeda, maka akan timbul konflik.

Berdasarkan penjabaran di atas, dapat dilihat bahwa penyebab perceraian

dapat dilihat melalui perspektif gender. Selain itu perceraian juga terjadi karena

perbedaan tempramen, budaya, sosial, ekonomi, atau hanya karena sudah tidak

(47)

4. Dampak Perceraian

Perceraian tidak menghilangkan masalah. Masih ada dampak yang

ditimbulkan setelah bercerai. Dampak dari perceraian lebih traumatik

dibandingkan dengan kematian karena sebelum dan sesudah perceraian akan

timbul rasa sakit dan tekanan emosional dalam diri seseorang. Dampak lainnya

adalah cela sosial yang diberikan oleh masyarakat. Perceraian juga memberikan

pengaruh kepada anak-anak. Mereka akan merasa malu karena merasa berbeda.

Hal ini dapat merusak konsep diri anak. Lebih lengkapnya, berikut penjabaran

mengenai masalah yang umum dihadapi pria dan wanita setelah bercerai oleh

Hurlock (1996):

a. Masalah ekonomi. Setelah bercerai, baik istri maupun suami mengalami

kurangnya pendapatan keluarga karena harus menghidupi dua rumah tangga.

Seringkali istri harus bekerja lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup.

b. Masalah praktis. Suami dan istri melakukan pekerjaan rumah tangga

bersama-sama. Namun setelah bercerai mereka harus mengerjakan semua

rutinitas terebut masing-masing.

c. Masalah psikologis. Individu akan merasa tidak menentu dan identitasnya

“kabur” setelah bercerai. Hal ini khususnya terjadi pada wanita karena selama

menikah identitasnya sangat tergantung pada suaminya.

d. Masalah emosional. Setelah perceraian akan timbul rasa bersalah, kemarahan,

benci, dendam, dan cemas mengenai hari ke depannya, sehingga

(48)

e. Masalah sosial. Permasalahan sosial biasanya terjadi kepada wanita karena

kehidupan sosialnya hanya terbatas kepada sanak saudara dan teman dekat

saja. Kehidupan sosial pria lebih baik dibandingkan wanita, walaupun ia akan

merasa tersisih juga.

f. Masalah kesepian. Pria akan merasa lebih kesepian dibandingkan wanita,

khususnya di hari libur. Hal ini karena pria biasa menyerahkan urusan

anak-anak kepada istrinya pada saat-saat seperti itu.

g. Masalah pembagian tanggung jawab terhadap pemeliharaan anak. Masalah

penyesuaian diri akan timbul pada orang tua dan anak setelah pembagian hak

asuh. Terlebih lagi jika kedua orang tua mendapatkan hak asuh. Bila hak asuh

jatuh di salah satu pihak (ayah atau ibu), maka ia akan menghadapi

permasalahan yang berhubungan dengan anak yang tidak patuh dan tanggung

jawab.

h. Masalah seksual. Bercerai dapat menyebabkan aktivitas seksual terhenti. Cara

untuk memecahkan masalah ini adalah dengan menikah kembali. Jarak antara

bercerai dan menikah kembali relatif lebih panjang pada wanita dibandingkan

dengan pria.

i. Masalah perubahan konsep diri. Rasa kebencian akan timbul setelah bercerai,

tidak peduli siapa yang menyebabkan perceraian terjadi. Perasaan ini akan

selalu mewarnai konsep diri mereka yang dapat mengarah kepada perubahan

kepribadian.

Lebih lanjut, Landis dan Landis (1960) mengungkapkan enam masalah

(49)

a. Seseorang harus menerima dirinya sendiri setelah perceraian. Rasa tidak

aman dan tidak percaya terhadap orang lain timbul setelah bercerai. Hal ini

hanya akan menambah masalah.

b. Menyesuaikan diri setelah terkejut secara emosional akibat perceraian.

c. Perubahan dalam kehidupan sosial.

d. Permasalahan keuangan yang umumnya terjadi pada pria dan wanita. Wanita

harus mencari dukungan finansial baru setelah perceraian. Sedangkan pria

harus tetap menghidupi anak dan istrinya meskipun telah bercerai.

e. Bagi wanita, ia harus mengatur kembali seluruh hidupnya setelah bercerai.

f. Permasalahan emosional.

5. Penyesuaian Perceraian

Penyesuaian terhadap perceraian lebih sulit dibandingkan dengan

penyesuaian pernikahan. Hal ini dikarenakan penyesuaian pernikahan dilakukan

secara bersama-sama oleh dua individu sedangkan penyesuaian perceraian hanya

dilakukan oleh satu individu saja (Landis & Landis, 1960).

Penyesuaian terhadap perceraian dapat berbeda antara pria dan wanita;

anak muda dan orang tua; dan antara seseorang yang menjalani pernikahan dalam

waktu yang singkat atau lama. Penyesuaian terhadap perceraian akan lebih mudah

bagi orang yang berusia muda. Penyesuaian pernikahan nantinya akan berbeda

antara seseorang yang mendapatkan hak asuh anak dan yang tidak mendapatkan

(50)

akibat perceraian, penyesuaian perceraian akan dirasa lebih sulit (Burgess &

Locke, 1960).

Selanjutnya, Burgess dan Locke (1960) dan DeGenova (2008) juga

mengemukakan beberapa penyesuaian yang bisa dilakukan setelah bercerai.

Penyesuaian-penyesuaian ini dibagi ke dalam delapan kategori, seperti:

a. Mengatasi trauma akibat perceraian.

Perceraian merupakan peristiwa yang dapat mengganggu secara emosional

akibat kehilangan pasangan secara tiba-tiba. Perasaan trauma lebih besar

ditunjukkan oleh pihak yang tidak berinisiatif memulai perceraian. Berbicara

dengan orang lain merupakan suatu cara untuk melampiaskan emosi setelah

bercerai. Dalam studi yang dilakukan oleh Locke, wanita-wanita yang

bercerai lebih memilih tinggal di lingkungan yang sama dan saling berbagi.

b. Mengatasi sikap dari masyarakat.

Masyarakat memandang perceraian sebagai suatu kegagalan moral ataupun

kegagalan seseorang dalam mempertahankan rumah tangganya. Namun

seiring dengan berjalannya waktu, kini perceraian dianggap sebagai suatu hal

yang wajar. Bagi orang-orang yang memandang perceraiannya dalam cara

yang positif, maka mereka akan cenderung cepat untuk menyesuaikan diri.

Lain halnya dengan individu yang memandang perceraiannya sebagai hal

yang negatif, maka ia cenderung akan membutuhkan waktu yang lebih lama

(51)

c. Kesepian dan penyesuaian kembali di kehidupan sosial.

Kesepian akan sangat terasa bagi pihak yang tidak mendapatkan hak asuh

anak. Membangun hubungan sosial dengan orang lain dapat memberikan

dukungan dan juga membantu individu untuk menyesuaikan diri setelah

bercerai. Selain itu, menikah kembali juga dapat membantu penyesuaian.

Bagi individu yang tidak menikah kembali, maka akan merasa kesepian.

Penyesuaian setelah bercerai juga terasa lebih sulit bagi orang yang lebih tua,

terutama wanita. Wanita yang bercerai di atas 40 tahun memiliki kesulitan

keuangan bagi dirinya sendiri serta anak-anaknya.

d. Penyesuaian terhadap hak asuh anak.

Perceraian dapat mengurangi kedekatan antara anak dan orang tua yang tidak

mendapatkan hak asuh anak. Ibu, sebagai pihak yang lebih sering diberi hak

asuh anak, pada umumnya masih mengizinkan mantan pasangan untuk

mengunjungi anak-anaknya. Jika ibu puas dengan keputusan hak asuh anak

ini, maka kesejahteraan anak akan semakin meningkat.

e. Keuangan

Masalah keuangan umumnya dialami oleh wanita, terlebih jika ia

mendapatkan hak asuh anak. Meskipun sudah diatur oleh pengadilan, tetapi

pada kenyataannya masih banyak wanita yang tidak diberi bantuan finansial

dari mantan suaminya.

f. Mengatur kembali tanggung jawab dan peran kerja

Bagi pihak yang mendapatkan hak asuh anak, maka ia harus menyesuaikan

(52)

harus bekerja lebih keras untuk mencari nafkah untuk dirinya sendiri serta

anak-anak. Sebagai konsekuensinya, waktu untuk berkumpul dengan anak

akan menjadi lebih sedikit.

g. Berhubungan dengan mantan pasangan

Banyak pasangan yang masih menyimpan kemarahan kepada mantan

pasangan bahkan setelah bertahun-tahun bercerai. Padahal jika hubungan

dengan mantan pasangan masih terjaga, maka kedua pihak akan mendapatkan

keuntungan di antaranya menjaga hubungan dengan anak atau mendapatkan

dukungan finansial. Semakin buruk hubungan dengan mantan pasangan,

maka akan semakin sulit untuk menyesuaikan diri.

f. Menikah kembali

Seseorang yang telah bercerai dapat menemukan kepuasan dan penyesuaian

setelah bercerai dengan cara menikah kembali. Pernikahan kembali dapat

membuat seseorang melupakan pernikahannya terdahulu.

h. Interaksi dengan keluarga

Keluarga dapat membantu penyesuaian setelah bercerai dengan cara

memberikan dukungan. Pria dan wanita memiliki perbedaan dalam meminta

dukungan dari orang tua atau keluarga. Pria umumnya bergantung pada

keluarga sesaat setelah bercerai dan periode yang dibutuhkan wanita dalam

bergantung pada keluarganya lebih lama dibandingkan dengan pria.

Wanita lebih suka menjaga hubungan dengan keluarga mantan pasangan

(53)

sering menjaga hubungan dengan keluarga mantan pasangan dibandingkan

dengan pihak yang tidak mendapatkan hak asuh.

i. Pindah ke lokasi baru

Pindah ke lokasi baru dapat menjadi salah satu bentuk penyesuaian. Biasanya

di awal perceraian seseorang akan pindah ke rumah orang tuanya, lalu

kemudian pindah ke tempat baru dan meninggalkan teman-temannya. Hal ini

dilakukan untuk melupakan kenangan bersama mantan pasangan.

Dampak dari perceraian tidak hanya mempengaruhi individu namun juga

orang-orang yang berada di lingkungan sekitarnya. Untuk itu penyesuaian

perceraian tidak hanya meliputi aspek personal, tetapi juga sosial. Walaupun

melakukan penyesuaian terhadap perceraian lebih sulit dibandingkan dengan

penyesuaian pernikahan, tetapi hal ini akan terasa lebih mudah jika didukung oleh

lingkungan sekitar individu.

D. PENYESUAIAN DIRI LANSIA PASCA BERCERAI

Perceraian yang terjadi di masa lansia dapat dijelaskan dari sudut pandang

sosiologis maupun psikologis. Penyebab terjadinya perceraian di usia lansia

menurut ilmu sosiologis adalah terjadinya fenomena baby boomers sehingga

meningkatkan jumlah lansia (Brown & Lin, 2012). Sedangkan dari sisi psikologis

faktor penyebabnya adalah kurangnya emosi positif ketika menikah serta

kemunduran kondisi fisik dan psikologi yang mengarah pada timbulnya

permasalahan pada pasangan (Direktorat Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan

(54)

Perceraian tersebut pun berdampak terhadap permasalahan emosional dan

sosial lansia (Hurlock, 1996; Burgess & Locke, 1960). Perceraian tentu saja

berpengaruh pada tugas perkembangan lansia dalam menyesuaikan diri terhadap

hubungan sosial dengan teman sebaya dan peran sosial yang dimilikinya.

Setelah perceraian terjadi, individu hendaklah melakukan penyesuaian.

Penyesuaian diri dapat membantu individu untuk menyelaraskan tuntutan dari

dalam diri individu dan lingkungan sekitarnya. Tidak mampu menyesuaikan diri

dapat mengarahkan seseorang berperilaku maladjustive seperti frustrasi maupun

munculnya konflik mental (Schneiders, 1964).

Burgess dan Locke (1960) serta Hurlock (1996) mengemukakan

penyesuaian-penyesuaian yang banyak berfokus pada penyesuaian personal dan

sosial, seperti misalnya mengatasi rasa trauma, mengatur keuangan, dan

melakukan penyesuaian baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat.

Berinteraksi dengan keluarga dapat memberikan lansia dukungan. Selain itu

berbicara dengan orang lain dinilai Locke (dalam Burgess & Locke, 1960) sebagai

suatu cara lansia untuk meluapkan perasaan kepada orang lain.

Penyesuaian diri didukung oleh beberapa faktor, di antaranya faktor

kondisi fisik, perkembangan dan kematangan, psikologis, lingkungan, dan agama

serta budaya (Schneiders, 1964). Faktor-faktor ini dapat berpengaruh terhadap

penyesuaian diri lansia. Faktor lingkungan dapat membantu lansia untuk

meningkatkan kualitas pola perilaku lansia dimana penyesuaian diri lansia yang

baik adalah jika lansia terlibat dalam berbagai kegiatan (activity theory). Selain itu

(55)

untuk mengatur perilaku emosionalnya. Bagi lansia yang memandang poositif

perceraiannya maka akan lebih mudah untuk melakukan penyesuaian (Burgess &

Locke, 1960).

Seluruh faktor penyesuaian diri di atas mengarah kepada indikator

penyesuaian diri yang normal. Schneiders (1964) mengemukakan indikator dari

individu yang mampu melakukan penyesuaian diri adalah tidak memiliki emosi

yang berlebihan, tidak mempunyai pertahanan psikologis, tidak ada perasaan

frustrasi, berpikir rasional dan mampu mengarahkan diri, mampu untuk belajar

dan memanfaatkan pengalaman, serta bersikap realistis dan objektif. Sikap yang

realistis merupakan faktor penunjang kebahagiaan lansia seperti yang

(56)

E. DINAMIKA PENELITIAN

(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. PENDEKATAN KUALITATIF

Poerwandari (2007) menyederhanakan perbedaan pendekatan kualitatif

dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif didasarkan pada angka, cara berpikir yang

digunakan adalah deduktif, menjaga objektivitas dengan menentukan generalisasi

jumlah, serta mempunyai desain penelitian yang tegas sejak awal. Sementara itu

Poerwandari mengemukakan ciri-ciri pendekatan kualitatif, yaitu berdasar pada

kekuatan narasi, studi dalam situasi alamiah, peneliti melakukan kontak langsung

dengan partisipan di lapangan, dan peneliti sebagai instrumen kunci.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Fokus dalam penelitian

ini adalah penyesuaian diri lansia setelah bercerai. Penyesuaian diri merupakan

suatu hal yang subjektif dimana tiap individu melakukan penyesuaian dengan cara

yang berbeda. Selain itu alasan dan dampak dari perceraian itu sendiri juga

berbeda pada setiap pasangan. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif

subjektifitas partisipan dapat terlihat. Hal ini dikarenakan pendekatan kualitatif

memang menekankan pentingnya kedekatan dengan orang-orang dan situasi

penelitian, agar peneliti memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan kondisi

Gambar

Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan
Tabel 2. Waktu dan Lokasi Wawancara Partisipan
Gambaran Penyesuaian Diri
Gambar 1. Skema Gambaran Penyesuaian Diri Partisipan Pasca Bercerai

Referensi

Dokumen terkait

Olen kiinnostunut nimenomaan siitä, miten nuoret kokivat hankkeen auttavan ja tukevan heitä mahdollisten muutosten tekemisessä sekä mitä nämä muutoksen

Hasil ini menunjukkan bahwa variabel Etnis memberikan pengaruh terhadap hubungan antara citra SHB X sebagai gubernur DIY dengan sikap masyarakat DIY terkait RUUK.. Pengaruh

Untuk dapat menjadi apoteker pengelola apotek, maka seorang apoteker harus memenuhi persyaratan yang tercantum di dalam peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

“I said, eeh… in the first time… eeh… we need money but the most important -- money is… ee h… not… not everything for our life… we can combine actually if… eeh… God

Hasil validasi yang dilakukan oleh dua orang validator yang merupakan orang-orang yang bertugas di bidang genetika dan pendidikan menyatakan bahwa LKM berbasis Mastery

macam sumber stres ( stressor ) dalam bidang akademis pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang dianggap sebagai beban perkuliahan.. Pada

[r]

NOTIS: Pemilihan sarung tangan spesifik untuk aplikasi khas dan tempoh penggunaan di tempat kerja perlu mengambil kira semua faktor relevan tempat kerja seperti, tetapi tidak terhad