PENYESUAIAN DIRI LANSIA PASCA BERCERAI
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
OLEH:
MARINI NOVIANDRI
091301007
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya
bahwa skripsi saya yang berjudul :
Penyesuaian Diri Lansia Pasca Bercerai
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari
hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini,
saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Juni 2014
MARINI NOVIANDRI
Penyesuaian Diri Lansia Pasca Bercerai Marini Noviandri dan Indri Kemala Nasution
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran penyesuaian diri lansia pasca bercerai. Penyesuaian diri akan dijabarkan berdasarkan indikator penyesuaian diri yang normal oleh Schneiders (1964). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus terhadap dua orang partisipan dengan karakteristik lansia wanita yang telah bercerai di usia 60 tahun ke atas. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara secara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan kedua partisipan memiliki penyesuaian diri yang baik setelah bercerai. Penyesuaian diri ini dapat dilihat dengan tidak adanya emosi berlebihan, tidak adanya mekanisme pertahanan psikologis, tidak adanya rasa frustrasi, pertimbangan rasional dan kemampuan pertahanan diri, mampu untuk belajar, memanfaatkan pengalaman masa lalu, dan bersikap realistis serta objektif. Dukungan emosional yang diberikan oleh lingkungan keluarganya membantu partisipan dalam menyesuaikan diri.
Elderly’s Post-Divorce Adjustment Marini Noviandri and Indri Kemala Nasution
ABSTRACT
The aim of this research is to know how alderly can make a self-adjustment after a divorce by using Schneiders’ normal adjustmet theory. The method used in this research is case study of two partisipants which has several characteristics such as, elderly woman who have been divorced at age 60 years and over. The method which has been used to gathering datas was in-depth-interview. The result showed the partisipant could adjust herself nicely after the divorce. The adjustment can be seen by the absence of excessive emotionality, absence of psychological mechanisms, absence of the sense of personal frustration, rational deliberation and self-direction, ability to learn, utilization of past experience, and realistic, objective attitude. The emotional support she takes from her family helps her to adjust herself nicely.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
karunia dan hidayahnya penulis dapat menyusun sebuah penelitian yang berjudul
“PENYESUAIAN DIRI LANSIA PASCA BERCERAI” guna memenuhi salah
satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Sumatera
Utara.
Rasa terima kasih juga ingin penulis sampaikan kepada kedua orang tua
tercinta, H. Arziyon, SE. dan Dr. Hj. Chairul Bariah Mozasa, SH., M.Hum., yang
tidak henti-hentinya memberikan semangat, dukungan, dan doa di sepanjang
proses penelitian ini. Terciptanya penelitian ini tidak terlepas dari doa restu yang
selalu dipanjatkan oleh Papa dan Mama.
Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terima kasih
kepada berbagai pihak yang memberikan dukungan serta bantuan. Untuk itu
peneliti ingin mengucapkan terima kasih setulus hati kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Psi., psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara.
2. Kak Indri Kemala Nasution, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah sabar meluangkan waktu dan tenaganya untuk
membimbing, mendukung, serta memberi saran selama proses penyelesaian
3. Ibu Ade Rahmawati, M.Psi, psikolog dan Ibu Meutia Nauly, M.Si, psikolog
selaku dosen penguji skripsi. Terima kasih atas kesediaan ibu untuk
meluangkan waktu menguji serta memberikan saran dan kritik guna
menyempurnakan penelitian ini.
4. Mbak Aprilia Fadjar Pertiwi, M.si, psikolog selaku dosen pembimbing
akademik. Walaupun hanya beberapa semester, penulis tetap berterima kasih
kepada Mbak Iteung karena saran yang diberikan benar-benar membantu
penulis di masa-masa awal perkuliahan. Tidak lupa juga penulis
mengucapkan terima kasih kepada kak Juliana Irmayanti Saragih, M.psiyang
juga menjadi dosen pembimbing akademik di masa pertengahan hingga akhir
perkuliahan. Tidak hanya memberikan bimbingan akademik, namun Kak Juli
juga berbaik hati untuk memberikan saran terkait penelitian ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang
telah membagikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis. Semoga ilmu ini
akan terus bermanfaat sepanjang hidup.
6. Seluruh staf bidang akademik, administrasi, dan perpustakaan Fakultas
Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dan melancarkan
segala urusan administrasi penulis selama ini.
7. Kakak, adik, serta sepupu-sepupu penulis, kak Annisa Yulindri (Icha), Yati
Sharfina Desiandri, kak Euis Wikanita, dan Rafika Maya Sari Siregar (Pika)
yang juga memberikan dukungan penuh terhadap penelitian ini. terima kasih
juga karena telah memberikan semangat kepada penulis untuk segera
8. Teman-teman terbaik dari penulis, Rezki Wulandari (Wulan), Hana Zafirah
Ardani, Rahma Safitri (Lili), Yurisqa Shadila (Dila), Qisty Anindiaty,
Yuanda Novrita (Wanda), dan Farah Oktamurdiantri (Pai) yang selama 5
tahun terakhir menjadi tempat untuk saling berbagi, mulai dari berbagi ilmu,
cerita, hingga makanan. Terima kasih atas dukungan yang telah diberikan.
Terima kasih karena selalu ada ketika dibutuhkan. Terima kasih atas semua
kenangan yang kalian berikan selama perkuliahan ini. Semoga persahabatan
ini berlangsung hingga selamanya.
9. Terima kasih kepada Katriin dan Ratna yang membantu penulis memberikan
inspirasi dalam menulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Aisyah,
Putri Carol, Agiska, Jeremy, Serefhy, Juli, Inu, Chika, Susi T., Fita, Rezqy
‘Ubi’, dan Riri yang juga berjuang selama proses penelitian ini berlangsung.
Semoga kita semua bisa menyandang gelar Sarjana Psikologi dalam waktu
dekat.
10. Keluarga besar H. Mohammad Zain Saidi (Mozasa) dan keluarga besar H.
Abdurrahman yang selalu memberikan dukungan dan perhatian kepada
penulis. Perhatian-perhatian tersebut selalu menjadi semangat bagi penulis
selama proses penyelesaian penelitian ini.
11. Pihak-pihak yang membantu penulis ketika mencari partisipan yang sesuai
dengan karakteristik penelitian. Terima kasih kepada Om Edi Yunara, Pak
Jalaludin, dan Pak Zulham yang tiada hentinya memberikan informasi kepada
12. Kedua partisipan penelitian yang bersedia meluangkan waktunya di dalam
penelitian ini. Semoga Allah SWT membalas kebaikan Anda berdua.
13. Pihak-pihak yang telah membantu keseluruhan proses penelitian ini yang
tidak dapat disebutkan namanya satu per satu. Terima kasih atas bantuan,
dukungan, saran, serta kritik yang diberikan selama penelitian berlangsung.
Penulis sadar bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna, maka
daripada itu penulis mengharapkan saran dan kritik agar penelitian ini menjadi
lebih baik. Akhir kata penulis berharap agar penelitian ini dapat memberikan
manfaat bagi para pembaca.
Medan, April 2014
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 9
E. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II : LANDASAN TEORI ... 11
A. Penyesuaian Diri ... 11
1. Definisi Penyesuaian Diri ... 11
2. Bentuk Penyesuaian Diri ... 12
3. Indikator Penyesuaian Diri yang Normal ... 14
4. Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri ... 16
5. Karakteristik Penyesuaian Diri yang Baik ... 18
6. Penyesuaian Diri Lansia ... 20
B. Lansia ... 23
1. Definisi Lansia ... 23
2. Tugas Perkembangan Lansia ... 25
C. Perceraian ... 26
1. Definisi Lansia ... 26
2. Perceraian di Masa Lansia ... 27
3. Penyebab Perceraian ... 28
4. Dampak Perceraian ... 31
5. Penyesuaian Perceraian ... 33
D. Penyesuaian Diri Lansia Pasca Bercerai ... 37
E. Dinamika Penelitian ... 40
BAB III : METODE PENELITIAN ... 41
B. Metode Penelitian ... 42
C. Partisipan Penelitian ... 42
1. Karakteristik Partisipan Penelitian ... 42
2. Jumlah Partisipan Penelitian ... 43
3. Teknik Pengambilan Partisipan ... 43
4. Lokasi Penelitian ... 44
D. Metode Pengambilan Data ... 44
E. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 45
F. Kredibilitas dan Validitas Penelitian ... 46
G. Prosedur Penelitian ... 47
1. Tahap Persiapan Penelitian ... 47
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 49
3. Tahap Pencatatan Data ... 51
4. Prosedur Analisis Data ... 51
BAB IV : ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN... 54
A. Hasil ... 55
1. Analisa Data Partisipan ... 55
a. Identitas Diri Partisipan ... 55
b. Latar Belakang Partisipan ... 55
2. Data Wawancara Partisipan ... 58
a. Data Hasil Observasi ... 58
2) Perceraian ... 65
3) Penyesuaian Diri Pasca Bercerai ... 68
a) Tidak adanya emosi yang berlebihan ... 68
b) Tidak adanya mekanisme psikologis ... 70
c) Tidak adanya rasa frsutrasi ... 71
d) Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri ... 72
e) Mampu untuk belajar ... 73
f) Memanfaatkan pengalaman masa lalu ... 75
g) Sikap yang realistis dan objektif ... 76
3. Hasil Data Partisipan ... 77
B. Analisa dan Pembahasan Partisipan ... 85
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 150
A. Kesimpulan ... 150
B. Saran ... 153
1. Saran Praktis ... 153
2. Saran Penelitian Lanjutan ... 154
DAFTAR PUSTAKA ... 155
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan ... 55
Tabel 2. Waktu dan Lokasi Wawancara Partisipan ... 58
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Gambaran Penyesuaian Diri Partisipan
DAFTAR LAMPIRAN
Elderly’s Post-Divorce Adjustment Marini Noviandri and Indri Kemala Nasution
ABSTRACT
The aim of this research is to know how alderly can make a self-adjustment after a divorce by using Schneiders’ normal adjustmet theory. The method used in this research is case study of two partisipants which has several characteristics such as, elderly woman who have been divorced at age 60 years and over. The method which has been used to gathering datas was in-depth-interview. The result showed the partisipant could adjust herself nicely after the divorce. The adjustment can be seen by the absence of excessive emotionality, absence of psychological mechanisms, absence of the sense of personal frustration, rational deliberation and self-direction, ability to learn, utilization of past experience, and realistic, objective attitude. The emotional support she takes from her family helps her to adjust herself nicely.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Semasa hidup, manusia akan melewati tahap-tahap perkembangan tertentu.
Perkembangan manusia diawali dari pertumbuhan janin di dalam rahim hingga
masa lansia. Setiap tahap perkembangan memiliki beberapa tugas perkembangan
yang harus dilewati tiap individu. Begitu pula dengan lansia, yang juga menjalani
tugas perkembangannya (Havighurst dalam Hurlock, 1996).
Tugas perkembangan lansia didominasi oleh penyesuaian diri (Havighurst
dalam Hurlock, 1996). Di masa senjanya, lansia akan mengalami penurunan
kondisi fisik yang mengakibatkan lansia harus mengurangi beberapa kegiatan
yang dijalaninya. Tugas perkembangan lainnya adalah penyesuaian diri terhadap
masa pensiun yang umumnya dijalani oleh lansia. Selain kedua hal di atas, tugas
perkembangan lansia lainnya adalah menyesuaikan diri terhadap hilangnya
pasangan (Hurlock, 1996).
Kehilangan pasangan di masa lansia dapat terjadi karena kematian ataupun
perceraian (Hurlock, 1996). Walaupun lebih banyak lansia yang menjadi janda
atau duda akibat kematian pasangan, namun ada juga beberapa lansia yang
mengalami kesendirian karena perceraian. Menurut data yang dihimpun oleh
2009 persentase lansia di Indonesia yang mengalami perceraian adalah 2,21% dari
total jumlah lansia. Jumlah ini memang cukup sedikit, tetapi hal ini menunjukkan
bahwa perceraian di masa lansia juga perlu mendapat perhatian khusus (Komisi
Nasional Lanjut Usia, 2010).
Jumlah lansia yang bercerai di kota Medan, baik sebagai pihak penggugat
maupun tergugat, pada tahun 2013 mencapai 177 orang. Tidak adanya
keharmonisan merupakan penyebab utama dari perceraian (Pengadilan Agama
Medan, 2013). Menurut Direktorat Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (2012), ketidakcocokan
atau disharmonis antara pasangan lansia disebabkan oleh penurunan fungsi fisik
dan psikologis dari lansia itu sendiri. Akibatnya timbulah ketegangan emosional
yang mempengaruhi hubungan pernikahannya. Selain itu tidak sedikit lansia yang
bercerai karena masing-masing tidak dapat menerima pendapat pasangannya.
Pada sebuah artikel yang ditulis oleh Yadegaran (2012) disebutkan bahwa
perceraian di masa lansia juga memiliki alasan yang cukup sederhana misalnya
pasangan suami istri yang mempunyai tujuan hidup berbeda, hubungan yang tidak
lagi dekat, atau tidak memiliki perasaan terhadap pasangan. Hurlock (1996)
menjelaskan perceraian yang terjadi pada lansia tidaklah muncul akibat suatu
permasalahan baru melainkan berasal dari sebuah keputusan yang telah dipikirkan
sejak awal namun terhalang karena pasangan lebih mengedepankan kepentingan
Beberapa penelitian mengemukakan beberapa hal yang mendasari
terjadinya perceraian pada pasangan lansia. Sebuah studi yang dilakukan oleh
Gottman (dalam Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006) menyatakan bahwa
penyebab terjadinya perceraian pada lansia didasari oleh kurangnya emosi positif
selama menjalani pernikahan. Maksud dari kurangnya emosi positif seperti
dicontohkan oleh Cavanaugh dan Blanchard-Fields (2006) misalnya ketika istri
berbicara dengan semangat kepada suaminya tetapi tidak ditanggapi oleh sang
suami. Dalam pernikahan seperti ini biasanya tidak terjadi pertengkaran yang
hebat antara suami dan istri, bahkan pernikahan bisa bertahan cukup lama tapi
akan lebih beresiko berakhir dengan perceraian.
Di lain pihak, menurut penelitian Sternberg (dalam DeGenova, 2008) hal
lain yang mendasari konflik dalam pernikahan lansia berdasarkan teori komponen
cinta adalah pasangan lansia yang hanya memiliki komitmen di dalam
pernikahannya. Komitmen meliputi suatu keputusan untuk berada di suatu
hubungan dan menjaganya dalam jangka waktu yang lama. Namun komitmen
saja tidak dapat mempertahankan suatu hubungan pernikahan. Di dalam
pernikahan juga dibutuhkan hasrat dan kedekatan agar pernikahan bisa bertahan
lama.
Kekerasan juga merupakan salah satu penyebab perceraian pada lansia.
Menurut data yang dihimpun dari Pengadilan Agama Klas IA Medan, sekitar
6,1% dari kasus perceraian di masa lansia disebabkan oleh tindak kekerasan oleh
pernikahan umumnya disebabkan karena level kepuasan pernikahan yang rendah
dan masalah dalam komunikasi (DeGenova, 2008).
Selain masalah ketidakharmonisan dan kekerasan, permasalahan ekonomi
dalam kehidupan rumah tangga juga menjadi penyebab perceraian pada lansia.
Menurut studi yang dilakukan oleh International Longevity Center di London,
lansia lebih banyak mengalami permasalahan keuangan karena anggaran pensiun
terus dipakai untuk melunasi hutang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
lansia yang tidak mampu mengatur keuangan memiliki kemungkinan lebih besar
untuk bercerai dibandingkan dengan lansia yang memiliki keuangan yang stabil
(Republika Online, 2013).
Perceraian memiliki dampak bagi lansia. Memang lansia pria maupun
wanita yang kehilangan pasangan akibat kematian maupun perceraian akan
mengalami hal yang sama, namun perceraian memiliki karakteristik yang khas. Di
masa awal setelah bercerai, lansia akan menjadi marah kepada mantan
pasangannya (Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006). Hal ini sesuai dengan
pernyataan SY yang berusia 62 tahun:
“perasaan marah? Ya pastilah. Cuman lama-lama kita pikir-pikir ya ngapain lagi (marah). Sama mantan pasangan saya gak pernah berkomunikasi lagi. Pas anak saya nikah, di situlah saya bilang ‘maaf ya’. Dibilangnya, ‘ya udahlah, kita jalanin aja’”
(wawancara personal, 5 Maret 2014)
Selain itu lansia yang bercerai akan merasakan trauma karena mereka telah
membangun hubungan dalam jangka waktu yang lama dengan pasangan,
komitmen dalam hubungannya, tetapi kini seseorang yang sudah lama dikenal
telah menjadi orang asing (Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006).
Kesepian merupakan salah satu dampak stres psikologis yang dialami
lansia setelah kehilangan pasangannya (DeGenova, 2008; Matlin, 2008). Selain
kehilangan pasangan, perasaan kesepian yang dialami oleh lansia ini dikarenakan
hilangnya persahabatan di antara teman sebaya. Menurut Direktorat Bina
Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (2012) interaksi lansia dengan teman sebaya menurun karena
keterbatasan yang dimiliki lansia misalnya keterbatasan fisik, gerak, serta akses
komunikasi. Selain itu lingkup pertemanan menjadi mengecil karena proses
kepindahan ataupun kematian.
Dampak-dampak setelah bercerai biasanya disertai dengan usaha dalam
menyesuaikan diri (Dewi, 2011). Dalam menyesuaikan diri terdapat pengadopsian
sebuah pola perilaku pada situasi maupun konflik sehingga dengan cara tersebut
nantinya akan muncul keselarasan dan keharmonisan antara individu dan
lingkungan (Schneiders, 1964).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa menjalin hubungan dengan
orang lain merupakan suatu hal yang membantu pasca bercerai misalnya dengan
membangun hubungan sosial atau menikah kembali. Menikah kembali dapat
membantu lansia menyesuaikan diri setelah bercerai dimana individu yang
menikah kembali menunjukkan penyesuaian yang lebih baik (Burgess & Locke,
1960; DeGenova, 2008). Pernikahan kembali lebih banyak dilakukan oleh pria
Pernikahan kembali bukanlah bentuk penyesuaian setelah bercerai yang dipilih
oleh wanita. Pada profil penduduk lanjut usia di tahun 2009 yang dihimpun oleh
Komisi Nasional Lansia (2010) terlihat bahwa persentase lansia wanita yang
bercerai sebanyak 3,14%. Hal ini diperkuat dengan pernyataan S, 63 tahun, yang
menyatakan tidak ingin menikah kembali setelah bercerai dengan suaminya:
“ah, ngapain lah nenek kawin lagi. Itu kan kerjaannya yang muda-muda aja. Kalo nenek enggak lah. Udah gak ada pikiran kayak gitu lagi”
(Wawancara personal, 31 Mei 2013)
Pada lansia wanita, salah satu faktor yang membantu setelah bercerai
adalah lingkungan (Schneiders, 1964). Kelompok dukungan (support group)
merupakan bentuk bantuan yang bisa didapatkan oleh lansia wanita dari
lingkungan. Support group dapat membantu lansia memulihkan keadaan pasca
bercerai. Bagi wanita, kelompok ini akan memberikan pengaruh jika memberikan
dukungan secara emosional (Oygard & Hardeng dalam Cavanaugh &
Blanchard-Fields, 2006). Sebuah penelitian oleh Nisa (2009) mengenai wanita desa yang
bercerai menunjukkan dukungan dari teman dan keluarga dapat membantu
penyesuaian diri. Dalam sebuah wawancara personal, S (63 tahun) dengan cepat
dapat melupakan permasalahan perceraiannya dan tidak mengalami rasa kesepian
karena kegiatan yang dilakukannya bersama dengan teman-teman sebaya yang
ada di lingkungannya.
“jadi nenek tinggal di kampung. Namanya pun kampung tapi ramai. Yang apa (menemani) ya kawan-kawanlah. Mengaji kita pigi sama-sama, ramai-ramai. Kan gak terasa apa, susah-susah. Yang susah-susah itu kan yang gak ada kegiatan. Duduk aja. Kalau (diajak) pergi, ayo.”
Dukungan dari keluarga serta pandangan masyarakat terhadap perceraian
juga membantu lansia wanita untuk menyesuaikan diri. Lansia wanita yang
bercerai umumnya akan tinggal berdekatan ataupun tinggal bersama salah satu
anaknya. Cara ini dilakukan lansia untuk dapat melakukan kontak sosial dengan
orang di sekitarnya (Hurlock, 1996). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Widarti (2012) menunjukkan beberapa partisipan penelitiannya dapat
menyesuaikan diri karena mendapatkan dukungan dari pihak keluarga. Sementara
itu beberapa partisipan lainnya masih belum bisa untuk menyesuaikan diri akibat
pandangan negatif masyarakat mengenai perceraian dan keluarga yang
menyalahkan partisipan atas perceraian.
Selain lingkungan, agama juga dapat memberikan kontribusi terhadap
penyesuaian diri lansia. Penelitian yang dilakukan oleh Indriana, Desiningrum,
dan Kristiana (2011) menunjukkan bahwa religiusitas yang dimiliki lansia
berhubungan secara signifikan dengan penyesuaian diri lansia. Lansia yang
religius dapat menjadi individu yang lebih dapat menyesuaikan diri sehingga
mencapai kesejahteraan sosial.
Teori penyesuaian diri yang dikemukakan oleh Schneiders (1964) memuat
indikator-indikator yang menunjukkan bahwa seseorang telah menyesuaikan diri
secara normal. Indikator-indikator tersebut antara lain: tidak menunjukkan emosi
yang berlebihan, tidak adanya mekanisme pertahanan diri, dan tidak menunjukkan
rasa frustrasi, mampu mengarahkan diri, memiliki pertimbangan rasional,
kemauan untuk belajar dari pengalaman masa lalu, serta bersikap realistis serta
Wahyuningsih (2007) menunjukkan bahwa individu yang bersikap realistis
dengan menerima status janda atau dudanya dapat menyesuaikan diri lebih baik.
Hal ini senada dengan pernyataan seorang lansia wanita yang menerima status
jandanya dan menjadikan kunjungan ke tempat anak-anaknya sebagai cara untuk
menyesuaikan dirinya.
“(pengaruh perceraian) gak ada. Dia gak suka sama kita apa boleh buat... Sekarang biasa aja. Nanti nenek melancong-melancong ke tempat anak di sana, di sini. Gak ada nenek pikir-pikir (perceraian)”
(wawancara personal, 31 Mei 2013)
Berdasarkan fenomena yang telah dijabarkan di atas, dapat dilihat bahwa
perceraian juga dapat terjadi di masa lansia. Perceraian juga memberikan dampak
dalam kehidupan lansia seperti misalnya kesepian. Untuk itulah dibutuhkan
penyesuaian diri agar tercipta keselarasan dalam diri walaupun tanpa kehadiran
pasangan. Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana
penyesuaian diri lansia setelah mengalami perceraian.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti ingin
meneliti bagaimana penyesuaian diri pada lansia setelah bercerai berdasarkan
indikator-indikator penyesuaian diri yang normal menurut Schneiders (1964).
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penyesuaian diri
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan informasi dalam ilmu
psikologi, khususnya psikologi perkembangan lanjut usia. Selain itu penelitian ini
juga dapat memberikan manfaat bagi peneliti lainnya. Selama ini penelitian
mengenai lansia hanya menyoroti permasalahan psikologis lansia yang kehilangan
pasangan karena kematian. Semoga penelitian ini dapat menjadi referensi bagi
peneliti lain yang ingin mengetahui kasus perceraian di masa lanjut usia.
2. Manfaat Praktis
Selain ditujukan untuk menambah informasi, penelitian ini juga dapat
memberikan manfaat lainnya seperti:
a. Memberikan informasi mengenai indikator-indikator penyesuaian diri setelah
bercerai;
b. Menjadi sumber acuan bagi lansia yang bercerai untuk dapat menyesuaikan
dirinya setelah bercerai dengan mengacu pada faktor-faktor yang
mempengaruhi penyesuaian diri dan indikator penyesuaian diri yang normal;
c. Membantu lingkungan di sekitar lansia untuk memahami kondisi psikologis
yang dialami lansia yang telah bercerai sehingga dapat membantu lansia
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I : Bab ini berisi latar belakang mengenai kasus perceraian di Indonesia,
khususnya pada lansia serta dampak dan penyesuaian setelah
terjadinya perceraian. Selanjutnya dipaparkan juga tujuan, manfaat,
dan sistematika penulisan dari penelitian ini.
Bab II : Bab II berisi landasan teori yang digunakan untuk menjelaskan lebih
dalam lagi mengenai penyesuaian diri, lansia, dan perceraian pada
lansia.
Bab III : Bab III berisi metodologi penelitian seperti apa yang akan dilakukan
selama penelitian berlangsung.
Bab IV : Bab IV berisi analisa dari data yang telah dikumpulkan dan
pembahasan berdasarkan teori digunakan.
Bab V : Bab V berisi kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan serta
saran-saran, baik saran yang ditujukan untuk peneliti selanjutnya
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PENYESUAIAN DIRI 1. Definisi Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri sebagaimana dimaksudkan oleh Schneiders (1964) ialah:
“a process involving both mental and behavioral responses by which an
individual strive to cope successfully with inner needs, tensions, frustrations, and conflicts, and to effect a degree of harmony between these inner demands and those imposed on him by the objective world in which he lives.”
Sesuai dengan definisi di atas, maka pengertian penyesuaian diri menurut
Schneiders adalah sebuah proses yang meliputi respon mental dan perilaku pada
individu untuk menghadapi kebutuhan internal, ketegangan, frustrasi, serta
konflik-konflik. Penyesuaian diri nantinya berdampak pada keselarasan antara
tuntutan dari dalam diri individu dan lingkungan di sekitarnya (Schneiders, 1964).
Selaras dengan pernyataan Schneiders, penyesuaian diri menurut
Calhoun dan Acocella (1990) adalah sebuah interaksi yang kontinyu antara diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan. Penyesuaian diri merupakan sebuah proses
timbal balik dan saling mempengaruhi antara individu dan lingkungannya.
Schneiders (1964) membagi penyesuaian diri ke dalam tiga sudut
pandang. Sudut pandang pertama adalah penyesuaian diri sebagai bentuk adaptasi
(adaptation) yang lebih menyoroti penyesuaian diri dalam hal fisik, fisiologis, dan
konformitas (conformity) dimana individu menyesuaikan diri agar sesuai dengan
norma yang ada di lingkungan dan menghindari penyimpangan perilaku, baik
secara moral, sosial, maupun emosional. Sudut pandang yang terakhir adalah
penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery) dimana individu mampu
untuk merencanakan dan mengorganisasikan suatu respon untuk mengatasi
konflik, kesulitan, dan rasa frustrasi yang dialami.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka yang dimaksud dengan
penyesuaian diri adalah sebuah proses yang meliputi respon mental dan perilaku
atas tuntutan yang berasal dari dalam diri seperti kebutuhan internal maupun
konflik, ketegangan, dan frustrasi. Selain itu, penyesuaian diri juga sebagai proses
timbal balik antara diri dan lingkungan sekitar.
2. Bentuk Penyesuaian Diri
Schneiders (1964) juga mengemukakan bahwa ada empat macam bentuk
penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu berdasarkan pada kontak
situasional respon, yaitu:
a. Penyesuaian diri personal
Penyesuaian diri personal adalah penyesuaian diri yang diarahkan kepada diri
sendiri. Penyesuaian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Penyesuaian Diri Fisik dan Emosi
Dikatakan oleh Schneiders bahwa kesehatan fisik berhubungan erat
kesehatan emosi dan penyesuaian diri, yaitu: adekuasi emosi,
kematangan emosi, dan kontrol emosi.
2) Penyesuaian Diri Seksual
Merupakan kapasitas yang bereaksi terhadap realitas seksual
(impuls-impuls, nafsu, pikiran, konflik-konflik, frustasi, perasaan salah dan
perbedaan seks). Kapasitas tersebut memerlukan perasaan, sikap sehat
yang berkenaan dengan seks, kemampuan menunda ekspresi seksual,
orientasi heteroseksual yang adekuat, kontrol yang ketat dari pikiran dan
perilaku, identifikasi diri yang sehat.
3) Penyesuaian Moral dan Religi
Moralitas adalah kapasitas untuk memenuhi moral kehidupan secara
efektif dan bermanfaat yang dapat memberikan kontribusi ke dalam
kehidupan individu.
b. Penyesuaian Diri Sosial
Dikatakan Schneiders bahwa rumah, sekolah dan masyarakat merupakan
aspek khusus dari kelompok sosial. Hal ini berarti melibatkan pola-pola
hubungan diantara kelompok tersebut dan saling berhubungan secara integral
diantara ketiganya.
c. Penyesuaian Diri Marital atau Perkawinan
Penyesuaian diri marital pada dasarnya adalah seni kehidupan yang efektif
dan bermanfaat dalam kerangka tanggung jawab, hubungan dan harapan yang
d. Penyesuaian Diri Jabatan atau Vokasional
Berhubungan erat dengan penyesuaian diri akademis dimana kesuksesan
dalam penyesuaian diri akademik akan membawa keberhasilan seseorang di
dalam penyesuaian diri karir atau jabatan.
3. Indikator Penyesuaian Diri yang Normal
Istilah “penyesuaian yang normal” yang dikemukakan oleh Schneiders
(1964) mengarah kepada perilaku yang umum dan tidak memiliki kesulitan serta
karakteristik negatif yang diasosiasikan dengan respon maladjustive dan
abnormal. Berikut ini merupakan indikator dari penyesuaian diri yang normal
menurut Schneiders (1964).
a. Tidak adanya emosi yang berlebihan.
Individu dapat merespon suatu situasi atau permasalahan dengan tenang dan
terkontrol yang memungkinkan mereka untuk berpikir dan mencari jalan
keluarnya. Hal ini tidak berarti bahwa ia tidak memiliki emosi, yang mana
mengindikasikan abnormalitas, tapi lebih mengarah kepada kendali diri yang
positif.
b. Tidak adanya mekanisme psikologis.
Penyesuaian diri yang normal juga dikarakteristikkan dengan tidak adanya
mekanisme psikologis. Melakukan pendekatan secara langsung terhadap
permasalahan atau konflik dinilai sebagai respon yang lebih normal
dibandingkan dengan melakukan mekanisme pertahanan diri seperti
c. Tidak adanya rasa frustrasi.
Perasaan frustrasi dapat mempersulit individu untuk berperilaku secara
normal terhadap suatu situasi atau permasalahan. Individu yang merasa
frustrasi akan menemui kesulitan dalam mengorganisasikan pemikiran,
perasaan, motif, serta perilakunya secara efektif.
d. Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri.
Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri sangat bertolak
belakang dengan mekanisme psikologis. Dasar dari kemampuan manusia
ketika berpikir dan mempertimbangkan permasalahan, konflik, dan frustrasi
merupakan sebuah penyesuaian yang normal. Sebaliknya, ketiadaan dari
karakteristik-karakteristik ini merupakan pertanda sulitnya melakukan
penyesuaian.
e. Mampu untuk belajar.
Penyesuaian yang normal dikarakteristikkan dengan pembelajaran
berkelanjutan yang menghasilkan perkembangan dari kualitas personal yang
diperlukan di kehidupan sehari-hari.
f. Memanfaatkan pengalaman masa lalu.
Penyakit mental, seperti neurotik dan kenakalan, dikarakteristikkan oleh
ketidakmampuan untuk belajar dari masa lalu. Sebaliknya, penyesuaian yang
normal memerlukan pembelajaran dari masa lalu.
g. Sikap yang realistis dan objektif.
Sikap yang realistis dan objektif merupakan sesuatu yang didasari oleh
memungkinkan individu untuk menyadari situasi, permasalahan, atau
keterbatasan diri sebagaimana mestinya. Kemampuan untuk memandang diri
sendiri secara realistis dan objektif merupakan pertanda jelas dari sebuah
kepribadian dengan penyesuaian yang normal.
Berdasarkan penjabaran mengenai indikator-indikator di atas, maka yang
individu yang dikatakan telah melakukan penyesuaian diri yang normal adalah
inidividu yang tidak memiliki emosi yang berlebihan, pertahanan psikologis,
perasaan frustrasi, rasional dan mampu mengarahkan diri, mampu untuk belajar,
memanfaatkan pengalaman masa lalu, serta bersikap realistis dan objektif. Di lain
pihak, karakteritik yang negatif diasosiasikan dengan perlikau maladjustive.
Schneiders (1964) menjelaskan semakin banyak respon-respon yang
memenuhi indikator ini, semakin tinggi tingkat penyesuaiannya. Lebih lanjut
Schneiders juga menjelaskan bukan hanya jumlah penyesuaiannya yang
menentukan tingkat penyesuaian seseorang, tetapi juga kualitas dari penyesuaian
tersebut. Menentukan penyesuaian merupakan hal yang relatif, tergantung pada
kapasitas seseorang dalam menghadapi masalah yang sesuai dengan tingkat
perkembangannya.
4. Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri
Schneiders (1964) menjabarkan beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi penyesuaian diri seseorang. Faktor-faktor ini merupakan yang
berasal secara biologis dari dalam diri individu maupun lingkungan di sekitar
a. Kondisi fisik
Kondisi fisik merupakan kesatuan jasmaniah individu yang merupakan
bawaan lahir yang terdiri dari hereditas, susunan syaraf, sistem kelenjar, otot,
dan sebagainya. Kondisi fisik yang baik dapat mengarah kepada penyesuaian
diri yang baik. Bagi individu yang menderita cacat fisik ataupun penyakit
kronis akan sedikit menghambat proses penyesuaian diri.
b. Perkembangan dan Kematangan
Tingkat perkembangan dan kematangan individu yang berbeda-beda akan
membutuhkan penyesuaian diri yang berbeda pula. Kematangan intelektual,
sosial, moral, dan emosi dapat mengarah kepada penyesuaian diri yang baik.
c. Determinan Psikologis
Yang termasuk di dalam determinan psikologis merupakan pengalaman, hasil
belajar, determinasi diri, konsep diri, frustrasi, dan konflik. Semua hal ini
akan berpengaruh terhadap penyesuaian diri. Pengalaman, baik yang baik
maupun yang buruk, akan berpengaruh terhadap penyesuaian diri. Begitu pula
dengan proses belajar yang dapat membantu individu untuk memahami
hal-hal apa saja yang membantunya dalam menyesuaikan diri.
d. Lingkungan
Lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat juga memberikan pengaruh
terhadap penyesuaian diri. Kekohesifan maupun permasalahan dalam
keluarga memberi dampak dalam penyesuaian diri individu. Sedangkan
lingkungan sekolah berpengaruh terhadap penyesuaian diri karena di sinilah
Konsistensi nilai, sikap, peraturan, dan moral yang dianut dalam masyarakat
akan diidentifikasi oleh individu sehingga juga dapat mempengaruhi
penyesuaian diri.
e. Agama dan budaya
Agama berkaitan erat dengan budaya. Agama memberikan sumbangan
nilai-nilai dan keyakinan yang sangat mendalam sehingga mempengaruhi tujuan,
kestabilan, serta keseimbangan hidup individu.
Berdasarkan penjabaran di atas, kita dapat melihat bahwa faktor
pendukung penyesuaian diri meliputi area personal dan sosial. Faktor personal
seperti kondisi fisik, psikologis, dan kematangan perkembangan. Faktor sosial
seperti lingkungan, agama, dan budaya.
5. Karakteristik Penyesuaian Diri yang Baik
Schneiders (1964) mengatakan individu yang dapat menyesuaikan diri
dengan baik adalah yang memiliki respon-respon yang matang, efisien,
memuaskan, dan juga baik (wholesome). Baik (wholesome) memiliki arti respon
penyesuaiannya sesuai dengan lingkungan, dalam hubungan kemasyarakatan, dan
juga dalam hubungan dengan Tuhan.
Individu yang memiliki penyesuaian yang baik juga merupakan seseorang
yang memiliki keterbatasan namun dapat diatasi dengan kepribadian dan kapasitas
dirinya; telah belajar bagaimana berinteraksi dengan dirinya dan lingkungan
dengan cara yang dewasa, baik, efisien, dan memuaskan; dan mampu mengatasi
perilaku symptomatis. Dengan kata lain, individu yang menyesuaikan diri dengan
baik relatif tidak mengalami gejala-gejala seperti kecemasan yang kronis, obsesi,
fobia, tidak mampu untuk membuat keputusan, dan gangguan psikosomatis
lainnya yang mengganggu moral, sosial, keyakinan, dan pekerjaan dari individu
tersebut.
Lebih lanjut, Schneiders mengklasifikasikan kriteria penyesuaian diri
yang baik ke dalam 16 poin sebagai berikut:
1. Pengetahuan dan pemahaman diri sendiri.
2. Objektivitas dan penerimaan diri.
3. Kendali dan perkembangan diri.
4. Integrasi personal.
5. Tujuan yang baik dan terarah.
6. Perspektif yang adekuat.
7. Selera humor.
8. Tanggung jawab.
9. Kematangan respon.
10. Pengembangan kebiasaan diri yang baik.
11. Mampu beradaptasi.
12. Bebas dari respon simtomatis atau cacat.
13. Mampu berinteraksi dan menaruh minat terhadap orang lain.
14. Keluasan minat dalam bekerja dan bermain.
15. Kepuasan dalam bekerja dan bermain.
6. Penyesuaian Diri Lansia
Setiap tahap perkembangan mewajibkan individu untuk melakukan
penyesuaian diri, baik itu terkait kondisi fisik maupun psikologis. Hal ini tak
terkecuali bagi lansia. Terdapat berbagai kriteria dalam menilai penyesuaian diri
yang dilakukan oeh lansia. Empat kriteria di bawah ini merupakan yang paling
umum menurut Hurlock (1996).
a. Kualitas pola perilaku
Penyesuaian diri yang baik pada diri lansia hendaknya sesuai dengan teori
aktivitas (activity theory) dimana teori ini menjelaskan jika seharusnya pria
dan wanita tetap beraktivitas di masa tuanya sebagaimana yang ia lakukan di
masa muda ataupun mencari aktivitas pengganti apabila sudah pensiun,
terlibat masalah keuangan, maupun pindah ke lingkungan baru. Penyesuaian
diri yang buruk adalah penyesuaian diri yang karakteristiknya seperti teori
pelepasan teori (disengagement theory). Teori mengatakan bahwa individu
lebih memilih untuk membatasi kegiatannya baik secara sukarela maupun
tidak. Penyesuaian diri yang baik juga dapat terlihat dalam diri lansia jika ia
mampu menyesuaikan diri di masa mudanya.
b. Perilaku emosional
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lansia lebih apatis dalam kehidupan dan
juga kurang responsif. Lansia juga sulit untuk mengekspresikan perasaan
kasih sayang kepada orang lain. Di lain sisi, perasaan emosional lansia
semakin kuat sehingga lansia sangat mudah untuk marah. Dibandingkan
untuk menyalurkan emosi mereka sehingga mereka menjadi cemas dan
tertekan dalam waktu yang lama.
c. Kepribadian
Banyak yang mengatakan semakin tua seseorang maka ia akan bertingkah
seperti anak-anak. Sebenarnya pola kepribadian yang terbentuk di masa tua
merupakan manifestasi dari sifat yang sudah ada di dalam diri dan kemudian
menjadi semakin tampak di masa tua karena adanya tekanan-tekanan di hari
tua.
d. Derajat kepuasan atau kebahagiaan
Kriteria yang dipakai untuk mengukur kebahagiaan lansia adalah rentang
antara keadaan diri yang sebenarnya (real selves) dan keadaan pribadi yang
ideal (ideal selves). Jika jarak di antara keduanya kecil, maka lansia akan
memandang kehidupannya sebagai suatu hal yang memuaskan dan
memberikan kebahagiaan. Namun jika terdapat perbedaan yang cukup besar
di antara keduanya, maka lansia akan memandang kehidupannya dengan
kekecewaan dan ketidakbahagiaan.
Kebahagiaan lansia di masa tua juga dipengaruhi oleh “Tiga A Kebahagiaan”
(Three A’s of Happiness) yaitu acceptance (penerimaan), affection (kasih
sayang), dan achievement (pencapaian). Bila seseorang tidak mampu
memenuhi salah satu dari ketiga hal tersebut, kecil kemungkinan bagi lansia
untuk bisa bahagia di masa tuanya. Barrett (dalam Hurlock 1996)
lansia dalam menghadapi masa pensiun dan memandangnya sebagai masa
kejayaan (the golden years).
Tidak semua penyesuaian diri yang dilakukan lansia merupakan
penyesuaian diri yang baik. Ada beberapa kriteria yang menunjukkan penyesuaian
diri lansia yang buruk. Namun terlebih dahulu kita akan membahas penyesuaian
diri yang baik menurut Hurlock (1996), kemudian diikuti oleh kriteria
penyesuaian diri yang buruk.
Penyesuaian Diri yang Baik
1. Minat yang kuat dan beragam
2. Kemandirian dalam hal ekonomi, yang memungkinkan untuk hidup mandiri
3. Membangun hubungan sosial dengan segala umur dan tidak terbatas pada
orang-orang lanjut usia saja
4. Kenikmatan kerja yang menyenangkan dan bermanfaat tetapi tidak
memerlukan banyak biaya
5. Berpartisipasi dalam organisasi kemasyarakatan
6. Kemampuan untuk memelihara rumah tanpa mengerahkan terlalu banyak
tenaga fisik
7. Kemampuan untuk menikmati berbagai kegiatan masa kini tanpa menyesali
masa lampau
8. Mengurangi kecemasan terhadap diri sendiri maupun orang lain
9. Menikmati kegiatan dari hari ke hari walaupun aktivitas tersebut dilakukan
10. Menghindari kritik dari orang lain, terutama dari orang yang lebih muda
11. Menghindari kesalahan khususnya tentang kondisi tempat tinggal dan
perlakuan dari orang lain
Penyesuaian Diri yang Buruk
1. Kurang memiliki minat dan kurang berpartisipasi dalam lingkungan
2. Menarik diri dalam dunia khayalan
3. Selalu mengenang masa lalu
4. Selalu cemas karena didorong perasaan menganggur
5. Kurang bersemangat dan produktivitas rendah
6. Menganggap bahwa melakukan suatu aktvitas berarti membuang waktu
7. Merasa kesepian karena hubungan dalam keluarga sangat kaku
8. Terisolasi secara geografis
9. Tinggal di panti jompo maupun bersama anak yang telah dewasa
10. Selalu mengeluh dan mengkritik sesuatu
11. Menolak mengikuti kegiatan orang-orang lansia karena menganggapnya
membosankan.
B. LANSIA
1. Definisi Lansia
Usia tua merupakan tahap akhir dalam rentang kehidupan manusia.
Budaya dan agama sangat berpengaruh dalam menentukan usia seseorang
sehingga definisi untuk seseorang yang lanjut usia merupakan suatu hal yang
Dalam Papalia, Olds, dan Feldman (2007), peneliti membagi istilah lansia
ke dalam tiga bagian, yaitu young old, old old, dan oldest old. Ketiga istilah ini
secara kronologis dibagi berdasarkan kelompok usia dan jenis kegiatan yang
dilakukan para lansia. Young old merujuk kepada seseorang yang berumur 65-74
tahun yang biasanya masih beraktivitas dengan aktif. Istilah old old diberikan
kepada seseorang yang berusia 75-84 tahun, kemudian istilah oldest old merujuk
kepada seseorang yang berusia 85 tahun ke atas dan biasanya memiliki kesulitan
untuk beraktivitas sehari-hari.
Levinson (dalam Colarusso & Nemiroff, 1981) mendeskripsikan masa
paruh baya mulai dari usia 40 hingga 60 tahun dimana masa ini merupakan
periode aktualisasi serta masa untuk berkontribusi kepada masyarakat.
Selanjutnya masa dewasa akhir yang dimulai dari usia tujuh puluhan yang
digambarkan sebagai masa kemunduran, namun juga merupakan masa dimana
muncul kebijaksanaan melalui pengalaman dari konflik antara keinginan dan
moral, antara diri sendiri dan orang lain, dan antara individu dan masyarakat.
Secara kronologis, usia tua dimulai dari usia enam puluh tahun. Hurlock
(1996) membagi tahap lansia ke dalam dua bagian; usia lanjut dini bagi seseorang
yang berusia enam puluh tahun, dan usia lanjut bagi seseorang yang berusia tujuh
puluh tahun ke atas. Usia lanjut dini merupakan peralihan dari masa dewasa
madya menuju masa dewasa akhir. Selanjutnya, Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (2012) serta Komisi Nasional Lanjut Usia (2010)
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka individu yang tergolong ke
dalam usia lanjut adalah yang berusia 60 tahun ke atas dimana masa dewasa akhir
atau lansia diidentikkan dengan masa kemunduran dan juga kebijaksanaan yang
didapatkan dari pengalaman semasa hidup.
2. Tugas Perkembangan Lansia
Tugas perkembangan menurut Havighurst (dalam Lindgren, 1959) adalah
permasalahan atau situasi yang pada umumnya muncul di suatu rentang
kehidupan individu. Jika individu berhasil melakukan tugas perkembangannya,
maka ia juga akan berhasil di dalam kehidupannya. Namun jika ia gagal, maka ia
akan merasa tidak bahagia, tidak memiliki harapan, mendapat penolakan dari
masyarakat, dan sulit untuk melakukan tugas perkembangan di tahap berikutnya.
Pada tahap perkembangan dewasa akhir, tugas perkembangan yang harus
dilakukan lansia adalah proses penyesuaian baik terhadap diri maupun lingkungan
di sekeliling lansia. Havighurst (dalam Hurlock, 1996) menguraikan beberapa
tugas perkembangan pada masa lansia, di antaranya:
a. Penyesuaian diri terhadap menurunnya kondisi fisik dan kesehatan.
b. Penyesuaian diri terhadap masa pensiun dan berkurangnya penghasilan
keluarga.
c. Menyesuaikan diri dengan kehilangan pasangan hidup.
d. Membentuk hubungan dengan orang yang seusia.
Dengan segala perubahan yang dialami oleh lansia, lansia perlu melakukan
penyesuaian diri terhadap diri dan lingkungannya. Menurunnya kondisi fisik dan
kesehatan pada lansia menuntut lansia agar melakukan perubahan dan perbaikan
peran baik di dalam maupun di luar rumah. Kondisi ini juga berdampak terhadap
kehidupan sosial lansia dimana penurunan kondisi fisik lansia cenderung
menghambat lansia dalam aktivitas sosial yang dulu pernah dilakukan. Pada usia
lanjut, orang tua akan berpisah dengan anak-anaknya. Selain perpisahan dengan
anak, lansia juga harus menyesuaikan diri terhadap kepergian pasangan, baik
karena perceraian maupun kematian. Untuk menghindari rasa kesepian dari
serangkaian peristiwa yang umum terjadi pada lansia, membentuk hubungan
sosial dengan teman sebaya merupakan cara yang paling baik untuk
meningkatkan kesejahteraan lansia (Hurlock, 1996).
C. PERCERAIAN
1. Definisi Perceraian
Jika pernikahan merupakan suatu peristiwa yang membahagiakan, maka
perceraian menurut Landis dan Landis (1960) adalah sebuah peristiwa tidak
bahagia yang berlawanan dengan pernikahan. Perceraian merupakan perpisahan
dari suami dan istri sebagai akhir dari rusaknya pernikahan (Burgess & Locke,
1960). Perceraian merupakan cara yang legal untuk mengakhiri pernikahan dan
sebagai pengumuman ke masyarakat luas bahwa suami dan istri yang telah
perceraian merupakan suatu peristiwa legal yang tidak bahagia yang menandakan
berakhirnya suatu hubungan suami istri.
2. Perceraian di Masa Lansia
Perceraian juga dialami oleh individu yang memasuki ataupun yang sudah
berada di masa lansia. Beberapa hasil penelitian menunjukkan hal-hal yang
menjadi penyebab perceraian lansia. Gottman dan Levenson (dalam Cavanaugh &
Blanchard-Fields, 2006) mengembangkan dua model yang memprediksi
perceraian yang dibagi menjadi early divorce dan later divorce. Perceraian yang
digolongkan ke dalam early divorce adalah pernikahan yang berusia sekitar 7
tahun. Emosi negatif yang ditunjukkan ketika pasangan memiliki masalah
dikatakan dapat memprediksi perceraian di usia awal pernikahan. Di lain pihak,
perceraian yang digolongkan ke dalam later divorce jika anak pertama sudah
berusia 14 tahun. Kurangnya emosi positif ketika pasangan berdiskusi dikatakan
dapat memprediksi perceraian.
Dilihat dari ilmu sosiologi, meningkatnya perceraian di masa lansia
disebabkan oleh fenomena baby boomers yang mencapai puncaknya pada tahun
1970 hinggan 1996-an (Brown dan Lin, 2012). Dari sini dapat diketahui bahwa
jumlah lansia yang bercerai akan semakin meningkat seiring dengan semakin
banyaknya jumlah lansia akibat fenomena baby boomers.
Di Indonesia, penyebab perceraian di masa lansia menurut Direktorat
Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan, Badan Kependudukan dan Keluarga
pasangan suami dan istri. Selain itu pertambahan usia juga secara alami dapat
menurunkan kondisi fisik maupun psikologis lansia. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya ketegangan di antara suami dan istri yang membuat mereka tidak dapat
menerima pendapat satu sama lain sehingga timbulah perceraian.
Berdasarkan penjelasan di atas, penyebab terjadinya perceraian di usia
lansia menurut ilmu sosiologis adalah terjadinya fenomena baby boomers
sehingga meningkatkan jumlah lansia. Sedangkan dari sisi psikologis faktor
penyebabnya adalah kurangnya emosi positif ketika menikah serta kemunduran
kondisi fisik dan psikologi yang mengarah pada timbulnya permasalahan pada
pasangan.
3. Penyebab Perceraian
Perceraian dapat bermula dari beberapa permasalahan di dalam
pernikahan yang terjadi sejak lama. Permasalahan yang timbul merupakan
manifestasi dari konflik dan ketegangan yang lebih mendalam. Burgess dan Locke
(1960) menjelaskan beberapa permasalahan dalam pernikahan, dimana jika
dibiarkan terlalu lama akan berujung pada perceraian. Dalam studi yang dilakukan
oleh Burgess dan Locke (1960), pria dan wanita mengalami permasalahan
pernikahan yang berbeda. Pria umumnya memiliki permasalahan pernikahan di
area hubungan percintaan dengan pasangan, seks, perdebatan yang berlangsung
sejak lama, campur tangan dari pihak keluarga pasangan, masalah keuangan,
minuman keras, dan tidak adanya teman. Sama halnya dengan pria, wanita juga
pasangan, seks, perdebatan dengan pasangan, tidak memiliki teman, serta
kesulitan keuangan dan memiliki perilaku yang kurang diterima masyarakat.
Burgess dan Locke (1960) juga melakukan studi terhadap permasalahan
pernikahan kepada pasangan yang telah bercerai. Subjek pria mengatakan mereka
mengalami kesulitan pernikahan karena hubungan seks yang tidak memuaskan,
tidak memiliki anak, campur tangan dari keluarga pasangan, perdebatan dengan
pasangan, dan kurang memiliki teman. Sedangkan bagi wanita, permasalahan
yang terjadi selama ia pernah menikah adalah penyakit menular seksual, tidak
adanya dukungan, minuman keras, perjudian, dan suami yang ditahan di penjara.
Burgess dan Locke (1960) menjabarkan beberapa faktor yang dapat
menimbulkan konflik di dalam pernikahan, yaitu:
a. Genic and Psychogenic Tensions
Genic dan psychogenis tensions ini sering disebut juga dengan
ketidaksesuaian tempramen. Hal ini dapat berkembang dari suami dan istri
yang memiliki tempramen yang sama ataupun berbeda. Ketidaksesuaian
tempramen yang dimilliki pasangan dapat mengarah kepada konflik
pernikahan, bahkan perceraian.
b. Budaya
Konflik pernikahan dapat bermula dari budaya. Di dalam pernikahan, suami
dan istri pasti memiliki kebiasaan yang beragam dalam berbicara, bersikap,
berpikir, dan dalam nilai yang dimiliki pasangan tersebut. Semua hal tersebut
tanpa sadar tercipta sejak awal pernikahan. Faktor yang mempengaruhinya
c. Peran Sosial
Konflik dalam keluarga dapat muncul ketika anggota keluarga memiliki
status dan peran sosial yang berbeda. Perbedaan ini akan menciptakan konflik
dalam keluarga jika dianggap lebih penting melebihi pendidikan, agama, dan
kemampuan intelektual.
d. Ekonomi
Sikap pasangan terhadap keuangan dapat memprediksi munculnya konflik di
dalam pernikahan atau tidak. Pasangan hendaklah memiliki kesamaan sikap
dalam melihat tujuan dan peran ekonomi di dalam keluarga. Jika terjadi
perbedaan dalam tujuan menggunakan uang, maka kemungkinan terjadinya
konflik akan lebih besar.
e. Kasih Sayang dan Hubungan Seksual
Konflik antara suami dan istri dapat muncul ketika keduanya tidak mampu
mengekspresikan rasa kasih sayang dan kepuasan dalam hubungan seksual.
Dalam hubungan seksual, konflik tidak akan muncul jika pasangan memiliki
sikap yang sama dalam tujuan melakukan hubungan seksual, misalnya
dengan sama-sama berpikir bahwa hubungan seksual adalah hanya untuk
kegiatan prokreasi atau kegiatan hiburan. Namun jika pasangan memiliki
pandangan yang berbeda, maka akan timbul konflik.
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat dilihat bahwa penyebab perceraian
dapat dilihat melalui perspektif gender. Selain itu perceraian juga terjadi karena
perbedaan tempramen, budaya, sosial, ekonomi, atau hanya karena sudah tidak
4. Dampak Perceraian
Perceraian tidak menghilangkan masalah. Masih ada dampak yang
ditimbulkan setelah bercerai. Dampak dari perceraian lebih traumatik
dibandingkan dengan kematian karena sebelum dan sesudah perceraian akan
timbul rasa sakit dan tekanan emosional dalam diri seseorang. Dampak lainnya
adalah cela sosial yang diberikan oleh masyarakat. Perceraian juga memberikan
pengaruh kepada anak-anak. Mereka akan merasa malu karena merasa berbeda.
Hal ini dapat merusak konsep diri anak. Lebih lengkapnya, berikut penjabaran
mengenai masalah yang umum dihadapi pria dan wanita setelah bercerai oleh
Hurlock (1996):
a. Masalah ekonomi. Setelah bercerai, baik istri maupun suami mengalami
kurangnya pendapatan keluarga karena harus menghidupi dua rumah tangga.
Seringkali istri harus bekerja lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
b. Masalah praktis. Suami dan istri melakukan pekerjaan rumah tangga
bersama-sama. Namun setelah bercerai mereka harus mengerjakan semua
rutinitas terebut masing-masing.
c. Masalah psikologis. Individu akan merasa tidak menentu dan identitasnya
“kabur” setelah bercerai. Hal ini khususnya terjadi pada wanita karena selama
menikah identitasnya sangat tergantung pada suaminya.
d. Masalah emosional. Setelah perceraian akan timbul rasa bersalah, kemarahan,
benci, dendam, dan cemas mengenai hari ke depannya, sehingga
e. Masalah sosial. Permasalahan sosial biasanya terjadi kepada wanita karena
kehidupan sosialnya hanya terbatas kepada sanak saudara dan teman dekat
saja. Kehidupan sosial pria lebih baik dibandingkan wanita, walaupun ia akan
merasa tersisih juga.
f. Masalah kesepian. Pria akan merasa lebih kesepian dibandingkan wanita,
khususnya di hari libur. Hal ini karena pria biasa menyerahkan urusan
anak-anak kepada istrinya pada saat-saat seperti itu.
g. Masalah pembagian tanggung jawab terhadap pemeliharaan anak. Masalah
penyesuaian diri akan timbul pada orang tua dan anak setelah pembagian hak
asuh. Terlebih lagi jika kedua orang tua mendapatkan hak asuh. Bila hak asuh
jatuh di salah satu pihak (ayah atau ibu), maka ia akan menghadapi
permasalahan yang berhubungan dengan anak yang tidak patuh dan tanggung
jawab.
h. Masalah seksual. Bercerai dapat menyebabkan aktivitas seksual terhenti. Cara
untuk memecahkan masalah ini adalah dengan menikah kembali. Jarak antara
bercerai dan menikah kembali relatif lebih panjang pada wanita dibandingkan
dengan pria.
i. Masalah perubahan konsep diri. Rasa kebencian akan timbul setelah bercerai,
tidak peduli siapa yang menyebabkan perceraian terjadi. Perasaan ini akan
selalu mewarnai konsep diri mereka yang dapat mengarah kepada perubahan
kepribadian.
Lebih lanjut, Landis dan Landis (1960) mengungkapkan enam masalah
a. Seseorang harus menerima dirinya sendiri setelah perceraian. Rasa tidak
aman dan tidak percaya terhadap orang lain timbul setelah bercerai. Hal ini
hanya akan menambah masalah.
b. Menyesuaikan diri setelah terkejut secara emosional akibat perceraian.
c. Perubahan dalam kehidupan sosial.
d. Permasalahan keuangan yang umumnya terjadi pada pria dan wanita. Wanita
harus mencari dukungan finansial baru setelah perceraian. Sedangkan pria
harus tetap menghidupi anak dan istrinya meskipun telah bercerai.
e. Bagi wanita, ia harus mengatur kembali seluruh hidupnya setelah bercerai.
f. Permasalahan emosional.
5. Penyesuaian Perceraian
Penyesuaian terhadap perceraian lebih sulit dibandingkan dengan
penyesuaian pernikahan. Hal ini dikarenakan penyesuaian pernikahan dilakukan
secara bersama-sama oleh dua individu sedangkan penyesuaian perceraian hanya
dilakukan oleh satu individu saja (Landis & Landis, 1960).
Penyesuaian terhadap perceraian dapat berbeda antara pria dan wanita;
anak muda dan orang tua; dan antara seseorang yang menjalani pernikahan dalam
waktu yang singkat atau lama. Penyesuaian terhadap perceraian akan lebih mudah
bagi orang yang berusia muda. Penyesuaian pernikahan nantinya akan berbeda
antara seseorang yang mendapatkan hak asuh anak dan yang tidak mendapatkan
akibat perceraian, penyesuaian perceraian akan dirasa lebih sulit (Burgess &
Locke, 1960).
Selanjutnya, Burgess dan Locke (1960) dan DeGenova (2008) juga
mengemukakan beberapa penyesuaian yang bisa dilakukan setelah bercerai.
Penyesuaian-penyesuaian ini dibagi ke dalam delapan kategori, seperti:
a. Mengatasi trauma akibat perceraian.
Perceraian merupakan peristiwa yang dapat mengganggu secara emosional
akibat kehilangan pasangan secara tiba-tiba. Perasaan trauma lebih besar
ditunjukkan oleh pihak yang tidak berinisiatif memulai perceraian. Berbicara
dengan orang lain merupakan suatu cara untuk melampiaskan emosi setelah
bercerai. Dalam studi yang dilakukan oleh Locke, wanita-wanita yang
bercerai lebih memilih tinggal di lingkungan yang sama dan saling berbagi.
b. Mengatasi sikap dari masyarakat.
Masyarakat memandang perceraian sebagai suatu kegagalan moral ataupun
kegagalan seseorang dalam mempertahankan rumah tangganya. Namun
seiring dengan berjalannya waktu, kini perceraian dianggap sebagai suatu hal
yang wajar. Bagi orang-orang yang memandang perceraiannya dalam cara
yang positif, maka mereka akan cenderung cepat untuk menyesuaikan diri.
Lain halnya dengan individu yang memandang perceraiannya sebagai hal
yang negatif, maka ia cenderung akan membutuhkan waktu yang lebih lama
c. Kesepian dan penyesuaian kembali di kehidupan sosial.
Kesepian akan sangat terasa bagi pihak yang tidak mendapatkan hak asuh
anak. Membangun hubungan sosial dengan orang lain dapat memberikan
dukungan dan juga membantu individu untuk menyesuaikan diri setelah
bercerai. Selain itu, menikah kembali juga dapat membantu penyesuaian.
Bagi individu yang tidak menikah kembali, maka akan merasa kesepian.
Penyesuaian setelah bercerai juga terasa lebih sulit bagi orang yang lebih tua,
terutama wanita. Wanita yang bercerai di atas 40 tahun memiliki kesulitan
keuangan bagi dirinya sendiri serta anak-anaknya.
d. Penyesuaian terhadap hak asuh anak.
Perceraian dapat mengurangi kedekatan antara anak dan orang tua yang tidak
mendapatkan hak asuh anak. Ibu, sebagai pihak yang lebih sering diberi hak
asuh anak, pada umumnya masih mengizinkan mantan pasangan untuk
mengunjungi anak-anaknya. Jika ibu puas dengan keputusan hak asuh anak
ini, maka kesejahteraan anak akan semakin meningkat.
e. Keuangan
Masalah keuangan umumnya dialami oleh wanita, terlebih jika ia
mendapatkan hak asuh anak. Meskipun sudah diatur oleh pengadilan, tetapi
pada kenyataannya masih banyak wanita yang tidak diberi bantuan finansial
dari mantan suaminya.
f. Mengatur kembali tanggung jawab dan peran kerja
Bagi pihak yang mendapatkan hak asuh anak, maka ia harus menyesuaikan
harus bekerja lebih keras untuk mencari nafkah untuk dirinya sendiri serta
anak-anak. Sebagai konsekuensinya, waktu untuk berkumpul dengan anak
akan menjadi lebih sedikit.
g. Berhubungan dengan mantan pasangan
Banyak pasangan yang masih menyimpan kemarahan kepada mantan
pasangan bahkan setelah bertahun-tahun bercerai. Padahal jika hubungan
dengan mantan pasangan masih terjaga, maka kedua pihak akan mendapatkan
keuntungan di antaranya menjaga hubungan dengan anak atau mendapatkan
dukungan finansial. Semakin buruk hubungan dengan mantan pasangan,
maka akan semakin sulit untuk menyesuaikan diri.
f. Menikah kembali
Seseorang yang telah bercerai dapat menemukan kepuasan dan penyesuaian
setelah bercerai dengan cara menikah kembali. Pernikahan kembali dapat
membuat seseorang melupakan pernikahannya terdahulu.
h. Interaksi dengan keluarga
Keluarga dapat membantu penyesuaian setelah bercerai dengan cara
memberikan dukungan. Pria dan wanita memiliki perbedaan dalam meminta
dukungan dari orang tua atau keluarga. Pria umumnya bergantung pada
keluarga sesaat setelah bercerai dan periode yang dibutuhkan wanita dalam
bergantung pada keluarganya lebih lama dibandingkan dengan pria.
Wanita lebih suka menjaga hubungan dengan keluarga mantan pasangan
sering menjaga hubungan dengan keluarga mantan pasangan dibandingkan
dengan pihak yang tidak mendapatkan hak asuh.
i. Pindah ke lokasi baru
Pindah ke lokasi baru dapat menjadi salah satu bentuk penyesuaian. Biasanya
di awal perceraian seseorang akan pindah ke rumah orang tuanya, lalu
kemudian pindah ke tempat baru dan meninggalkan teman-temannya. Hal ini
dilakukan untuk melupakan kenangan bersama mantan pasangan.
Dampak dari perceraian tidak hanya mempengaruhi individu namun juga
orang-orang yang berada di lingkungan sekitarnya. Untuk itu penyesuaian
perceraian tidak hanya meliputi aspek personal, tetapi juga sosial. Walaupun
melakukan penyesuaian terhadap perceraian lebih sulit dibandingkan dengan
penyesuaian pernikahan, tetapi hal ini akan terasa lebih mudah jika didukung oleh
lingkungan sekitar individu.
D. PENYESUAIAN DIRI LANSIA PASCA BERCERAI
Perceraian yang terjadi di masa lansia dapat dijelaskan dari sudut pandang
sosiologis maupun psikologis. Penyebab terjadinya perceraian di usia lansia
menurut ilmu sosiologis adalah terjadinya fenomena baby boomers sehingga
meningkatkan jumlah lansia (Brown & Lin, 2012). Sedangkan dari sisi psikologis
faktor penyebabnya adalah kurangnya emosi positif ketika menikah serta
kemunduran kondisi fisik dan psikologi yang mengarah pada timbulnya
permasalahan pada pasangan (Direktorat Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan
Perceraian tersebut pun berdampak terhadap permasalahan emosional dan
sosial lansia (Hurlock, 1996; Burgess & Locke, 1960). Perceraian tentu saja
berpengaruh pada tugas perkembangan lansia dalam menyesuaikan diri terhadap
hubungan sosial dengan teman sebaya dan peran sosial yang dimilikinya.
Setelah perceraian terjadi, individu hendaklah melakukan penyesuaian.
Penyesuaian diri dapat membantu individu untuk menyelaraskan tuntutan dari
dalam diri individu dan lingkungan sekitarnya. Tidak mampu menyesuaikan diri
dapat mengarahkan seseorang berperilaku maladjustive seperti frustrasi maupun
munculnya konflik mental (Schneiders, 1964).
Burgess dan Locke (1960) serta Hurlock (1996) mengemukakan
penyesuaian-penyesuaian yang banyak berfokus pada penyesuaian personal dan
sosial, seperti misalnya mengatasi rasa trauma, mengatur keuangan, dan
melakukan penyesuaian baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat.
Berinteraksi dengan keluarga dapat memberikan lansia dukungan. Selain itu
berbicara dengan orang lain dinilai Locke (dalam Burgess & Locke, 1960) sebagai
suatu cara lansia untuk meluapkan perasaan kepada orang lain.
Penyesuaian diri didukung oleh beberapa faktor, di antaranya faktor
kondisi fisik, perkembangan dan kematangan, psikologis, lingkungan, dan agama
serta budaya (Schneiders, 1964). Faktor-faktor ini dapat berpengaruh terhadap
penyesuaian diri lansia. Faktor lingkungan dapat membantu lansia untuk
meningkatkan kualitas pola perilaku lansia dimana penyesuaian diri lansia yang
baik adalah jika lansia terlibat dalam berbagai kegiatan (activity theory). Selain itu
untuk mengatur perilaku emosionalnya. Bagi lansia yang memandang poositif
perceraiannya maka akan lebih mudah untuk melakukan penyesuaian (Burgess &
Locke, 1960).
Seluruh faktor penyesuaian diri di atas mengarah kepada indikator
penyesuaian diri yang normal. Schneiders (1964) mengemukakan indikator dari
individu yang mampu melakukan penyesuaian diri adalah tidak memiliki emosi
yang berlebihan, tidak mempunyai pertahanan psikologis, tidak ada perasaan
frustrasi, berpikir rasional dan mampu mengarahkan diri, mampu untuk belajar
dan memanfaatkan pengalaman, serta bersikap realistis dan objektif. Sikap yang
realistis merupakan faktor penunjang kebahagiaan lansia seperti yang
E. DINAMIKA PENELITIAN
BAB III
METODE PENELITIAN
A. PENDEKATAN KUALITATIF
Poerwandari (2007) menyederhanakan perbedaan pendekatan kualitatif
dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif didasarkan pada angka, cara berpikir yang
digunakan adalah deduktif, menjaga objektivitas dengan menentukan generalisasi
jumlah, serta mempunyai desain penelitian yang tegas sejak awal. Sementara itu
Poerwandari mengemukakan ciri-ciri pendekatan kualitatif, yaitu berdasar pada
kekuatan narasi, studi dalam situasi alamiah, peneliti melakukan kontak langsung
dengan partisipan di lapangan, dan peneliti sebagai instrumen kunci.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Fokus dalam penelitian
ini adalah penyesuaian diri lansia setelah bercerai. Penyesuaian diri merupakan
suatu hal yang subjektif dimana tiap individu melakukan penyesuaian dengan cara
yang berbeda. Selain itu alasan dan dampak dari perceraian itu sendiri juga
berbeda pada setiap pasangan. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif
subjektifitas partisipan dapat terlihat. Hal ini dikarenakan pendekatan kualitatif
memang menekankan pentingnya kedekatan dengan orang-orang dan situasi
penelitian, agar peneliti memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan kondisi