• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL ANALISIS DATA

A. Responden 1 (Ibu Sari Ginting-samaran)

4. Data Wawancara

Wawancara berlangsung selama 3 (tiga) kali di waktu yang berbeda. Dari ketiga wawancara tersebut diperoleh data sebagai berikut :

a. Latar Belakang Ibu Dan Kondisi Anak

Ibu Sari merupakan seorang wanita berusia 40 tahun. Ibu Sari berlatar belakang suku Batak, secara spesifik Batak Karo dan menikah dengan suaminya yang berusia 43 tahun yang juga berlatar belakang suku Batak Karo. Ibu Sari berdomisili di kota Medan sejak kecil, hingga akhirnya berumah tangga dan memiliki anak. Ibu Sari bersama suami dan kedua anaknya tinggal di sekitaran jalan dr.Mansur, Medan.

Ibu Sari memiliki dua orang anak. Anak pertama ibu Sari perempuan berusia sekitar 9 tahun, dan anak kedua seorang anak laki-laki dengan gangguan Autisme berusia sekitar 6,5 tahun. K merupakan anak ke dua dan anak laki-laki satu-satunya ibu Sari. K didiagnosa mengalami gangguan Autisme di usia sekitar 3 tahun kurang. Pada masa kehamilan K ibu Sari tidak memiliki kecurigaan tertentu mengenai kondisi anaknya yang akan terlahir berkebutuhan khusus, dalam kasus ini Autisme, meski dalam kehamilan ibu Sari terdapat masalah. Yakni saat mengandung K ibu Sari mengidap kista di rahimnya, dan sesuai anjuran dokter ibu Sari tidak diperbolehkan meminum obat karena dikhawatirkan akan menggangu janin. Oleh sebab itu ibu Sari sering menahankan rasa sakit selama mengandung K. Hingga akhirnya saat kelahiran K sekaligus dilakukan operasi pengambilan kista ibu Sari. Secara keseluruhan pada masa kehamilan ibu Sari tidak memiliki kecurigaan akan kondisi janinnya yang memiliki kelainan. Hal ini diperkuat denga kondisi janin yang aktif bergerak di dalam kandungan dan dikatakan dokter dalam keadaan sehat.

“ Waktu hamil itu biasa aja awalnya, cuma dia lasak kali, lasak sering gerak-gerak, dan memang cuma saya kena kista.”

(R1.W1/b.21-24/hal.1)

“...dokter bilang gak boleh makan obat, kalau makan obat berbahaya untuk janin, ditahankan sakitnya luar biasa.”

(R1.W1/b.25-28/hal.1)

Setelah kelahiran K ibu Sari masih merasa kondisi anaknya baik-baik saja, tidak ada yang terlalu mengkhawatirkan. Meski terdapat beberapa hal yang menarik perhatian ibu Sari, antara lain K yang hanya menangis sebentar saat baru dilahirkan dan ibu Sari merasa hal tersebut sedikit berbeda dengan kelahiran

kakak K sebelumnya. Di masa bayi K lebih sering tertidur sepanjang hari, ibu Sari menganggap hal tersebut wajar bagi bayi dan hal tersebut justru menandakan K anak yang baik. Pertumbuhan fisik K tidak seaktif di saat berada dalam kandungan, meski secara bobot tubuh K terlihat sehat. Setelah berlangsung beberapa lama ibu Sari semakin merasa perkembangan K lambat bila dibandingkan dengan kakaknya atau anak-anak seusianya.

“Terus waktu baru lahir dia nangisnya sebentar beda sama kakaknya, kalau kakaknya kencang dan lama ini dia bentar pelan.”

(R1.W1/b.28-32/hal.1)

“Dia bayi sukanya tidur aja, kita kan kira ya anak bayi, lagian gak ngerti jadi dikira wah anaknya baik, kalau gak dibanguni gak bangun-bangun.”

(R1.W1/b.32-36/hal.1)

“...siap itu kok gak lincah, padahal badannya gemuk dan montok, terus makin lama tante perhatikan kok perkembangannya lambat. Kepalanya teleng gak bisa tegak dan tidur aja. Umur 8 bulan baru bisa tegak kepalanya, tapi telungkup bisa, jalan juga lama, hampir 2 tahun baru jalan, merangkak tapi cepat juga tapi lebih kayak ngesot, tapi keseluruhan lamalah perkembangannya.”

(R1.W1/b.37-49/hal.1-2)

Melihat kondisi K yang tidak seperti anak-anak seusianya, terutama melihat lambatnya perkembangan dan tumbuh kembang K ibu Sari bersama suaminya memutuskan membawa K ke dokter anak, saat itu usia K sekitar 2-3 tahun. Saat pertama kali dibawa ke dokter anak, sang dokter mengatakan bahwa kondisi K baik-baik saja dan tidak mengalami kelainan. Menurut ibu Sari hal tersebut dikarenakan tampilan badan K yang terlihat sehat. Ibu Sari dan suaminya merasa kurang puas dengan penjelasan dari dokter pertama, sehingga kembali membawa K ke dokter. Kali ini ibu Sari membawa K ke dokter ahli syaraf, dan kemudian oleh dokter tersebut K didiagnosa mengalami gangguan Autisme.

“Itulah awalnya mulai dari kepalanya teleng lama banget tegak, anak lain kan cepat, kalau dia 8 bulan baru mulai bisa tegak, kontak mata dan interaksinya juga gak ada.”

(R1.W1/b.122-127/hal.3)

“Ngomongnya jugakan itu gak ada, dia hobinya kayak saya bilang tadi bengong, gitulah hobinya. Jadi saya ajak ajak ngomong, saya pangil-panggil namanya, saya ajak interaksilah.”

(R1.W2/b.958-963/hal.20)

“Kalau dulu itu blanklah. Sama sekali gak ada responnya. Saya coba mulai dari ajak ngomong, saya sentuh pipinya gitu, saya kasi mainan, makanan, gak terlalu respon, kalau lagi mood dia bagus saya kasi mainan diambilnya kalau gak dia cuek aja.”

(R1.W2/b.968-975/hal.20)

“Cepat juga sekitar 2-3 tahun, pas udah bisa jalan juga (dibawa ke dokter dan ke psikolog).”

(R1.W1/b.96-97/hal.2)

“Dulu pas di bawa ke dokter anak pertama-tama, dokternya bilang gak, gak Autis ini anakmu orang sehat gini kok gitu. Yang kedua dibawa ke dokter syaraf baru dibilang kalau Autis. Karena dia asik sendiri, jalan-jalan aja, memang dia setelah bisa jalanudah mulai aktif lagi, suka kali jalan, sanggup dia itu jalan dari rumah di dr.Mansyur ke sini, gak ada capenya.”

(R1.W1/b.82-93/hal.2-3)

Sebagai ibu yang memiliki anak dengan gangguan Autisme, hal ini tidaklah mudah bagi ibu Sari. Tahap demi tahap penerimaan dilalui oleh ibu Sari. Saat awal mengatahui kondisi anaknya K ternyata mengalami keterlambatan karena kondisi gangguan Autismenya, ibu Sari sempat merasa sedih dan khawatir. Ibu Sari merasa bingung mengenai gangguan Autisme tersebut dan bagaimana membesarkan K kedepannya. Tetapi setelah mencari informasi lebih lanjut dan mendapat paparan dari para profesional mengenai gangguan Autisme ibu Sari berusaha tetap optimis. Ibu Sari justru sempat mengalami masa-masa sulit saat usia K sekitar 1,8 tahun, hal ini dikarenakan ibu Sari merasa tertekan dengan kondisi membesarkan K yang sulit dan merasa tidak mendapat bantuan dari sang

suami. Akan tetapi meski merasa tertekan ibu Sari tetap mengontrol emosinya agar tidak melampiaskannya pada K. Meski sempat merasa sedih dan cemas menghadapi kondisi Autisme K, ibu Sari cukup bisa menerima kondisi K. Hal ini dikarenakan ibu Sari sudah menaruh curiga dari awal bahwa K mengalami gangguan perkembangan dan mulai mempersiapkan dirinya. Ibu Sari justru semakin merasa sayang terhadap K dan semakin berusaha untuk mengerti kondisi K. Kekhawatiran utama ibu Sari adalah masalah biaya pengobatan K yang cukup besar, meski belum menjadi satu masalah. Ibu Sari semakin merasa kuat dan tenang setelah banyak mendapat bimbingan keagamaan. Ibu Sari mendekatkan diri pada Tuhan dan merasa lebih siap dan kuat untuk membesarkan K. Ibu Sari menerima kondisi K anaknya yang mengalami gangguan Autisme.

“Yaa (terdiam) sedih juga sih, terpikir juga gimana besarkannya, biaya pengobatannya juga kan. Karena kurang informasi juga kan. Cemas lah khawatir. Tapi karena cari-cari informasi juga, dari terapinya juga bilang, bisa di terapi bu. Terapinya juga gak harus tiap hari bisa pilih hari, ya..saya lebih optimislah jadinya. Cuma tetap adalah ketakutan-ketakutan. Tapi saya saya coba redam, ya saya berdoa sama Tuhan dikasi kekuatan.”

(R1.W3/b.1508-1521/hal.29-30)

“Ya sedikit banyak, memang jadi masalah utama sekaranglah kecemasan -kecemasan itu (perkembangan dan biaya), tapi ya itu kita optimis mudahan pelan-pelan biasa teratasi, kayak masalah komunikasinya mudah-mudahan dengan rajin terapi bisa berkembang lebih baik.”

(R1.W3/b.1525-1532/hal.30)

“Sejauh ini walau yah 2-3 kali lipat biaya kakaknya, syukurnya masih teratasi belum jadi masalah besar. Masih berkecukupanlah.”

(R1.W3/b.1534-1537/hal.30)

“Pernah juga, di usia 1,8 tahun itu lah itu, perkembangannyakan nampak lambat, terus saya juga makin terasa dia ada yang beda, di situ saya sempat merasanya saya sendiri yang perduli sama kondisi K, kalau bapaknyakan santai aja gitu, jadi saya sempat merasa kesal sendiri, tertekan kenapa gak ada yang khawatir sama kondisi anak saya gitu juga.”

“Oh kalau pas didiagnosa Autis itu saya malah udah lebih bisa nerima, karena saya sebenarya udah curiga juga kalau anak saya ada gangguan Autislah. Sedih sih sedih ya khawatir tadi, tapi saya udah mempersiapkan diri juga. Setelah tau dia Autis saya malah jadi lebih sayang, jadi lebih ngerti oh pantas dia gak bisa ngomong, pantas pertumbuhannya lambat gitu. Jadi walaupun saya yang sedih tapi saya terima.”

(R1.W3/b.1569-1581/hal.31)

“Sebetulnya gak gampang juga kok, tapi saya mikirnya kan gak salah dia, dia juga gak mau jadi anak yang berbeda, udah takdir tuhan. Jadi saya sering cerita sama teman saya yang lebih taat dia nasehati-nasehati, saya ikut acara Gereja jadi lebih terbuka pemikiran saya kalau saya harus nerima kondisi anak saya apa adanya dan terus berusaha untuk dia. ”

(R1.W3/b.1587-1598/hal.31)

“Jadi intinya bisa lebih menerima setelah semakin dekat dengan agama ya tan?” (iter)

“Iya” (itee)

(R1.W3/b.1599-1602/hal.31)

Saya kalau sekarang ini lebih optimis mudah-mudahan walaupun K Autis tapi dia tetap bisa tumbuh berkembang seperti anakk-anak lainlah. Walupun mungkin ada juga saat-saat saya kesal lihat dia jenuh, tapi saya bisa cepat kembali lagi, gak sampai yang kesal terlena terus jadi apa marah amarah atau menelantarkan itu gak.“

(R1.W3/b.1605-1615/hal.31)

Menjalani peran sebagai ibu dari K yang memiliki gangguan Autisme, ibu Sari sering menemui kesulitan-kesulitan tertentu sesuai perkembangan K. Diantaranya ketidak mandirian K dan sulitnya K untuk diajak berkomunikasi, selain itu perilaku Hiperaktif K juga menjadi hambatan utama. Ibu Sari merasa kewalahan menangani K yang Hiperaktif meski pertumbuhan fisiknya lambat. Usia 2 tahun merupakan usia terberat bagi ibu Sari selama masa pengasuhannya terhadap K, dikarenakan pada usia 2 tahun perkembangan K sangat lambat. Namun di usia K yang beranjak 6 tahun ibu Sari merasa K banyak mengalami

kemajuan. Ibu Sari menduga kemajuan yang dialami K sebahagian besar merupakan dampak positif dari terapi yang dilakukan K di Sakai Morison.

“Saya kewalahan karena Hiperaktifnya itu, gak terkontrol gitu geraknya, kalau apa pun gitu dia gak mau dipegang.”

(R1.W1/b.134-137/hal.3)

“Dia gak mau tenang, gak bisa tenang dia, itu yang paling payah. Si om juga nenangkan payah, dia maunya jalan aja, mondar mandir.”

(R1.W2/b.1002-1005/hal.21)

“...aktif kali pun, tenaganya lagi kuat, kan anak laki-laki, tante sering gak sanggup nahannya.”

(R1.W1/b.147-149/hal.4)

“Berapa ya 2 tahun lah, karena disitu perkembangannya lambat banget, karenakan kalau kayak anak lainkan udah mulai jalan, ngomong, dia belum, jadi gak tau gimana-gimananya dia.”

(R1.W1/b.175-180/hal.4)

“usia paling banyak kemajuan tan?” (iter)

“Sejak terapi ini lah, jadi sekitar usia 6 tahun lah.” (itee) (R1.W1/b.183 -184/hal.4)

“Ya lumayan banyak juga perkembangannya. Komunikasi mulai ada, walau belum jelas ngomong apa tapi “kakak” “mama” udah bisa dia. Jadi udah mulai keluar suaranya walau gak lengkap lah “aas aas” gitu kan dia bilang awas. “”ngan.. ngan” bilang jangan. Gitu. Tapi dia refleks-refleks gak gimana ya, bukan karena apa dia tau gitu, jadi sepontan-spontan aja keluar gitu apa yang mau di bilangnnya. Tapi saya udah cukup senanglah. Kalau dulu kan sama sekali gak ada. Kata miss‟nya di TK juga udah mulai nampak perkembangannya.”

(R1.W2/b.1226 -1242/hal.23-24)

Ibu Sari adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang tidak bekerja. Meski di rumahnya terdapat usaha foto copy, tetapi bukan merupakan pekerjaan ibu Sari. Sesekali dia membantu bila sedang memiliki waktu luang, tetapi mengurus K tetap merupakan prioritas ibu Sari. Rutinitas sehari-harinya adalah mengurus keperluan keluarga terutama mengurus K. Hubungan K dengan ibu Sari juga

sangat dekat. Ibu Sari mengurus K sendiri sejak bayi hingga sekarang berusia 6,5 tahun, dan tidak menggunakan jasa pembantu.

“...di rumah aja, sekarang ada usaha foto copy juga tapi di rumah dan ada yang bantu. Jadi gak fokus ke kerja lah, apa lagi K sekarang gini kan jadi fokus ke dia.”

(R1.W1/b.166-170/hal.4)

“...hmm saya itu istilahnya lebih sayang sama K lah dari kakaknya,..” (R1.W1/b.394-396/hal.9)

“Iya memang dari dulu terasa lebih dekat, tapi semenjak dia tau Autis semakin sayang lagi lah, kalau kakaknya dekat sama ompungnya mama saya. Kalau K memang selalu sama saya.”

(R1.W1/b.425-430/hal.9)

“Ngurusin K aja lah, kakaknya udah lebih mandiri, pagi antar sekolah nanti ke tempat neneknya atau pulang ke rumah beres-beres, siang jemput K baru antar ke terapi nanti kadang pulang kadang nungguin, sore pulang malam bantuin K ngerjain tugas, gitu lah kurang lebih. Tapi dia tidur gak disuruh-suruh cape dia langsung tidur.

(R1.W1/b.806-819/hal.17)

“...selalu saya sendiri (mengurus K), kalau sekali-sekali di bantu mamak saya, neneknya. Kalau saya sakit paling.”

(R1.W1/b.433-435/hal.9)

Secara karakteristik atau kepribadian ibu Sari menggambarkan dirinya orang yang cenderung tenang dan cuek meski terkadang juga cerewet.

“Kalau saya sih cuek-cuek aja, santai lah orangnya. Tapi cerewet juga loh. (R1.W1/b.493-495/hal.11)

b. Pemahaman Nilai-Nilai Batak Pada Ibu

Ibu Sari terlahir sebagai wanita berlatar belakang suku Batak Karo hal ini terlihat jelas dari marga yang dimiliki ibu Sari di belakang namanya yakni Ginting. Ibu Sari sejak kecil berdomisisli di kota Medan dan kemudian menikah dengan seorang pria dengan latar belakang suku Batak Karo pula bermarga

Kembaren dan tetap berdomisili di kota Medan. Keluarga besar dari ibu Sari rata-rata berlatar belakang suku Batak Karo, ibu dan ayahnya adalah orang Batak Karo begitu pula dengan kedua mertua ibu Sari dan ke empatnya masih hidup.

Sebagai wanita yang bersuku Batak Karo dan terlahir dalam keluarga Batak Karo yang dominan, ternyata pemahaman nilai-nilai suku Batak Karo dalam diri ibu Sari tidak kental dan tidak mempengaruhi aspek-aspek kehidupannya. Mulai dari pemilihan pasangan hingga dalam berumah tangga. Ibu Sari mengaku kehidupannya dalam berkeluarga khususnya cenderung kepada keluarga modern yang tidak terlalu memahami nilai-nilai adat khususnya suku Batak sendiri. Pemahaman ibu Sari terhadap nilai-nilai suku Batak yang tidak kental berpengaruh terhadap penerapan nilai-nilai adat Batak dalam kehidupannya, salah satunya berpengaruh terhadap pengharapan pada anak khususnya anak laki-laki.

“...orang tua nerima-nerima aja yang penting baik seiman, tapi ya rezekinya ternyata orang Karo juga.”

(R1.W1/b.301-304/hal.7)

“Kalau harapan-harapan sih gak ada ya, biasa aja, anaknya bisa sehat lahir selamat, kalau masalah kelamin anak sih tante pribadi oke-oke aja mau laki-laki atau perempuan,..”

(R1.W1/b.64-69/hal.2)

Berdasarkan dasar-dasar filosfi Batak anak merupakan pengharapan terbesar orang tua. Orang tua Batak berharap besar miliki keturunan baik laki-laki maupun perempuan, dan khususnya anak laki-laki. Pengaharapan orang tua Batak terhadap anak laki-laki sangatlah besar terkait perannya sebagai penerus marga keluarga. Hal ini tidak terjadi dalam diri ibu Sari, dimana ibu Sari tidak terlalu membedakan atau mempermasalahkan jenis kelamin anak. Bagi ibu Sari baik

anak laki-laki maupun anak pererempuan sama saja. Meski pada dasarnya ibu Sari mengetahui bahwa di dalam adat istiadat Batak terdapat nilai yang menggambarkan harap yang besar terhadap anak dikenal dengan nilai hagabeon. Maka dalam menjalani kehidupannya khusus dalam membesarkan anak dan kehidupan rumah tangganya ibu Sari tidak menerapkan hal-hal yang terkait dengan nilai-nilai Batak. Internalisasi nilai-nilai Batak yang rendah dalam diri ibu Sari khususnya mengenai pengharapan terhadap anak laki-laki ternyata juga didapati pada keluarga besar ibu Sari, baik suami, orang tua kandung ibu Sari maupun kedua mertuanya tidak mempermasalahkan keterunan baik anak laki-laki ataupun anak perempuan bagi mereka sama saja.

“Ooo, iya iyaa, bener di Batak sih memang anak laki-laki yang nerusin marga (nilai Hagabeon) ya tapi gak tau ya, kalau di keluarga tante yang gitu udah lama gak teralu dibahas lagi, itu lebih ke orang-orang jaman dulu, bahkan kae ompung K, mama tante itu dia anak perempuan sendiri jadi tante gak punya tulang, dan gak masalah, gak apa-apa. Trus bapaknya juga gak ada mempermasalahkan mau cowok atau cewek gitu juga. Ada sih nampak dia lebih suka sama anak laki-laki tapi ya karena dia laki-laki juga kan, tapi dia gak mempermasalahkan gitu.”

(R1.W1/b.218-234/hal.5)

“Biasa aja kayaknya gak terlalu gimana juga saya ke adat, standart aja.” (R1.W1/b.282-284/hal.6)

“Gak sih, gak ada (tidak ada tuntutan jenis kelamin cucu). Mereka (kakek dan nenek K) oke-oke aja, terima-terima aja (baik cucu laki-laki maupun perempuan)”

(R1.W1/b.199-200/hal.5)

“...nerima-nerima aja, mau laki-laki mau perempuan sama aja. Karena ya kalau laki-laki ya rusak rusak aja, anak perempuan juga bisa membanggakan.”

(R1.W3/b.1795-1799/hal.35)

Pemahaman dan penerapan nilai-nilai adat dari suku Batak yang tidak kental dalam diri ibu Sari ternyata tidak begitu saja terjadi, terdapat beberapa

faktor yang memberi pengaruh besar terhadap ibu Sari. Ibu Sari dibesarkan oleh kedua orang tuanya yang berlatar belakang suku Batak Karo dengan lebih modern, dimana tidak lagi mendapatkan asupan nilai-nilai Batak yang kuat. Ditambah lagi ibu Sari dan keluarga sudah berbaur dengan suku-suku lain selama tinggal di kota Medan, khususnya suku Jawa, yang ternyata mempengaruhi perubahan pola pikir ibu Sari terhadap suku Batak sendiri. Ibu Sari menuturkan pula perubahan zaman menjadi aspek penting yang mengakibatkan perubahan pola pikir terkait nilai-nilai adat. Sehingga dewasa ini banyak orang-orang Batak yang tidak mementingkan nilai-nilai adat secara keseluruhan lagi, termasuk salah satunya pengharapan yang besar pada anak terkait jenis kelamin anak. Perubahan zaman memberi dampak modernisasi baik dalam pola pikir maupun pemilihan keputusan dalam keluarga Batak, faktor ekonomi juga turut andil, dimana pemahaman memiliki anak sedikit meski tidak adanya anak laki-laki tidak menjadi masalah asalkan anak-anak yang keluarga Batak miliki bisa dipenuhi tumbuh kembangnya dengan baik oleh orang tua.

“Gak ada, saya gak ngerti-ngerti kali juga, malah kadang saya menolak, karena saya juga dididik orang tua biasa-biasa aja, bagus juga kok.”

(R1.W1/b.876-880/hal.18)

“Udah berubah zaman kali ya, kayak bujingnya malah anaknya dua, dua-duanya laki-laki gak ada pengen nambah anak perempuan juga, dan kayak yang temen-temen tante yang tante ceritain tadi juga gak ada anak laki-laki gak terlalu masalah, gak harus nambah sampe ada anak laki-laki, tapi mungkin pengaruh takut kesulitan ekonomi juga kali ya, sekarang kan makin sulit, orang-orang kesana sekarang kayaknya pertimbangannya, selain perubahan zaman lebih modren juga.”

(R1.W1/b.257-271/hal.6)

“...bahkan kae ompung K, mama tante itu dia anak perempuan sendiri jadi tante gak punya tulang, dan gak masalah, gak apa-apa.”

“Tapi banyak sih teman-teman kenalan gak punya anak laki-laki walaupun Batak gak apa-apa suaminya gak minta supaya ada anak laki-laki juga, bukan dia yang gak mau suaminya pula memang yang gak mau, aneh jg, tapi ya itu setau saya.”

(R1.W1/b.236-244/hal.5-6)

“Gak biasa aja, ya mungkin karena kayak saya bilang tadi memang mungkin banyak pengaruh dari zaman. Banyak keluarga yang lebih modern, termasuk keluarga saya.”

(R1.W1/b.310-315/hal.7)

“Ya karena udah lebih modren, udah lebih rasional. Gak masuk akal lah beda-bedakan jenis kelamin anak, atau lebih berharap sama anak laki-laki. Karena saya juga kan ikut kristen kharismatik itu kan, jadi saya nolak lah yang gak masuk akal menurut saya. Toh umpamanya kayak adat adat itu saya gak apa ya, kayak kita lihat suku lain gak melaksanakannya gak apa-apanya gak ada masalahnya. Jadi memang gak inilah, gak ngikutin adat Batak lagi saya. Orang jawa gak ada gini-gini kan gak ada apa-apa juga. Gitu sih saya pikir atau berdebat sama orang lain. Oya saya juga mungkin gak ngerti adat Batak ini, karena memang saya dulu kan bergaulnya tetangga itu banyak orang jawa, jadi udah lebih global pemikiran saya sepertinya”

(R1.W3/b.1801-1824-/hal.35-36)

Pemahaman ibu Sari akan kesetaraan pengharapan baik kepada anak laki-laki maupun anak perempuan juga mempengaruhinya untuk tidak menambah keturunan lagi. Meski mendapat masukan dari tetangga untuk mencoba menambah keturunan agar mendapatkan keturunan anak laki-laki penerus marga yang sehat, ibu Sari menolak dan dengan tegas mengatakan tidak mempermasalahkan jenis kelamin anak. Bahkan jika seandainya ibu Sari hanya memiliki anak perempuan tanpa adanya anak laki-laki hal tersebut tidak menjadi masalah baginya.

“Gak ada sih (tidak berniat menambah keterunan, khususnya laki-laki).” (R1.W1/b.366/hal.8)

“...saya masalah marga-marga itu sudah tidak terlalu memahami lagi. Anak laki-laki sama perempuan sama aja buat saya. Orang juga bilang tambah

adek lagi lah mana tau adeknya laki-laki. Saya bilang enggaklah 2 aja udah. K ini pasti butuh biaya besar sampe besar nanti. Gak perlulah banyak-banyak anak laki-laki untuk neruskan marga. Saya sih memang gak mau.”

Dokumen terkait